SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Selasa, 15 Januari 2013

Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI Hukum)



Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
         
A.      Pendekatan Dalam Pengkajian Islam.................................................................. 1
                Pendekatan normative...................................................................... 4
                1. Pendekatan Missionaris Tradisional............................................. 4
                2. Pendekatan Apologetik................................................................ 4
                3. Pendekatan Irenic......................................................................... 5
                Pendekatan deskriptif...................................................................... 7
                1. Pendekatan filologis dan sejarah.................................................. 7
                2. Pendekatan ilmu-ilmu social......................................................... 8
                3. Pendekatan fenomenologis.......................................................... 9
B.   Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Dengan Pendekatan Hukum..................... 11
C.   Pengertian Istilah Kunci....................................................................................... 13
D.  Mazhab Hukum Utama dan Pendekatan Mereka Terhadap Kajian Hukum......... 16
E.   Disiplin-disiplin Utama Studi Hukum dan Cabang-cabangnya............................ 21
F.   Contoh Penlitian Yang Relevan............................................................................ 23


A. Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
Berbicara tentang persoalan Islam dikaitkan dengan tradisi, terdapat dua hal penting yang perlu dipikir ulang (rethought) menurut Charles J. Adams, yaitu Islam dan agama[1]. Dua hal itu merupakan kata kunci yang menjadi kegelisahan akademik Adams sehingga ia berkeinginan menggagas sebuah formulasi pendekatan studi Islam yang  tepat dalam mengkaji persoalan Islam, agama, dan tradisi.
Persoalan yang pertama, Islam, berkenaan dengan betapa sulitnya membuat garis pemisah yang jelas antara mana wilayah yang Islami dan yang tidak. Banyak orang yang masih takut membuat penjelasan atau jawaban ketika ditanya tentang Islam, apalagi jika jawaban itu berbeda dan kontradiktif dari persepsi yang selama ini telah terbangun. Padahal, menurut Adams, mustahil menjelaskan dan menemukan pemahaman esensi Islam yang dapat mencapai kesepakatan universal[2].
Dalam konteks ini, maka selain Islam harus dipahami–dalam perspektif sejarah–sebagai sesuatu yang selalu berubah (change) dan berkembang (evolve), generasi Muslim harus mampu pula merespon kenyataan dunia (vision of reality) dan makna kehidupan manusia (meaning of human life)[3].  Dengan demikian Islam bukanlah sesuatu yang satu. Islam tidak hanya sistem kepercayaan dan ibadah, tetapi multisistem dalam historisitas yang selalu berubah dan berkembang(Thus Islam cannot be one thing but rather is many systems, not a system of beliefs and practices, etc., but many systems(or non systems) in a never ceasing flux  of development and changing relations to evolving historical situations)[4].  Hal ini selaras dengan pendapat M. Amin Abdullah yang menyatakan bahwa dalam diskursus keagamaan kontemporer telah dijelaskan bahwa agama mempunyai banyak wajah (multifaces), bukan lagi berwajah tunggal. Agama tidak lagi dipahami sebagai hal yang semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, credo, pandangan hidup, dan ultimate concern. Selain sifat konvensionalnya, tenyata agama juga terkait erat dengan dengan persoalan-persoalan historis-kultural yang merupakan keniscayaan manusiawi belaka[5].
Sedangkan, menyangkut persoalan kedua, agama, Adams–mengutip dari W.C. Smith–mengungkapkan bahwa terdapat persoalan yang sangat rumit ketika ada yang memahami agama (Islam) sebagai tradisi (tradition) dan sebagai kepercayaan (faith) an sich[6] Agar lebih sederhana, penulis mengilustrasikan dalam tabel berikut:
| Tradition            |  Faith     
| External             |  Internal  |
| Observe social   |  Ineffable (tak terkatakan)
| Historical aspect |  Transendentally oriented
  of religiousnes   |  Private dimension of religious life
Dua pemahaman yang berbeda di atas, sama-sama berdiri kokoh. Di satu sisi, aliran tradisi menghendaki pendekataan agama dilakukan dalam frame yang bersifat eksternalistik, sosial, dan historis, pada sisi yang lain, aliran faith menghendaki agar agama dimaknai dari sisi yang berkarakter internalistik,  innefable, transenden, dan berdimensi privat.
Agar dapat mencerna dan memahami dua model pemahaman agama yang saling bertolak belakang tersebut, Adams terdorong melakukan penelitian dalam konteks studi Islam. Bagaimanapun juga, menurutnya, agama memiliki dua sisi yang tak terpisahkan, pengalaman batiniah (inward experience) dan sikap keberagamaan lahiriah (outward behavior). Begitu juga, para mahasiswa Islamic studies harus mampu mencurahkan segala kemampuannya dalam mengeksplorasi keduanya.
Selain itu, persoalan agama yang tersisa, menurut Adams, adalah terlalu banyaknya definisi tentang agama. Kendati seseorang dapat menemukan pemahaman terhadap agama–dalam pengertian umum–yang dapat memuaskannya, tetapi masih terdapat pertanyaan yang harus dijawab, misalnya, dalam konteks agama apa seseorang dapat menemukan pemahaman yang utuh terhadap agama, Islamkah atau yang lain? Atau taruhlah keberagamaan seseorang dapat dilihat dari keyakinan terhadap doktrin agama, pelaksanaan ibadah, moral yang baik, partisipasinya dalam kehidupan sosial, pertanyaan kemudian adalah apakah beberapa hal itu mencukupi untuk memahami agama?  Bukankah masih ada hal lain di balik itu semua, seperti pengalaman keagamaan yang bersifat individual dan gnostic yang tidak dapat terukur?[7]
 Charles J. Adams membuat formulasi mengenai pendekatan dalam pengkajian Islam. Menurutnya, terdapat dua pola pendekatan untuk mengkaji Islam, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif.
Tentu saja, dua pendekatan ini tidak muncul seketika. Adams menjelaskan bahwa dua pendekatan ini terilhami oleh realitas ketika seseorang mengkaji Islam (atau agama lainnya) dengan tujuan agar lebih kokoh keislaman dan kepercayaannya (proselytizing) pada satu sisi, dan pada sisi yang lain, ada yang didasarkan atas dorongan intelektual (intellectual curiosity) semata karena melihat adanya persoalan agama yang cukup kompleks dalam konteks sosial[8].
Penjelasan lebih detail dan komprehensif tentang dua pendekatan di atas, dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Pendekatan normatif. Pendekatan ini, oleh Adams diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Pendekatan missionaris tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat.
Dalam konteks itu–karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen–, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.
2. Pendekatan apologetik
Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah “keasyikannya” (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi.
3. Pendekatan Irenic
Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara cara pandang para orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut banyak mengandung penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II,  gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic.Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu:
1.      Pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi.
2.      Pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.
Pendekatan deskriptif. Dalam pendekatan yang bersifat deskriptif, Adams membagi ke dalam tiga komponen, yaitu:
1. Pendekatan filologis dan sejarah
Adams mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri pengetahuan yang paling produktif dalam studi Islam adalah filologis dan historis. Lebih dari 100 tahun sarjana Islam dibekali dengan dasar bahasa dan mendapat training metode filologis yang dapat mengantarkan kepada pemahaman teks sebagai bagian dari warisan klasik.
Hasil dari studi dengan pendekatan filologis, menurut Adams, adalah sebuah sumber pustaka (literatur) yang dapat menyentuh semua aspek kehidupan dan kesalihan umat Islam. Tidak hanya menjadi rujukan pengetahun Barat tentang Islam dan sejarahnya, filologis juga memainkan peranan penting di dunia Islam. Outcome dari pendekatan filologis dan historis ini sebagian besar telah dimanfaatkan oleh para intelektual, politisi, dan sebagainya. Selain itu, filologi harus turut andil dalam studi Islam. Hal terpenting yang dimiliki oleh mahasiswa Muslim adalah kekayaan literatur klasik seperti sejarah, teologi, dan mistisisme. yang kesemuanya tidak mungkin dipahami tanpa bantuan filologi.
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi dalam tiga pendekatan, yaitu tafsir, content analysis, dan hermeneutika. Ketiga pendekatan tersebut tidak terpisah secara ekstrim. Pendekatan-pendekatan itu bisa over lapping, saling melengkapi, atau bahkan dalam sudut tertentu sama. Filologi berguna untuk meneliti bahasa, meneliti kajian linguistik, makna kata-kata dan ungkapan terhadap karya sastra.
Sedangkan sejarah atau historis merupakan ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Kendati Adams menyebut pendekatan ini dengan filologis historis, tampaknya ia lebih cenderung kepada yang pertama, karena porsi penjelasan tentang filologis lebih besar dari pada historis. Bisa jadi, karena hubungan antara kedua pendekatan itu sangat erat sehingga bagi Adams berbicara filologis termasuk di dalamnya pendekatan historis.
2. Pendekatan ilmu-ilmu sosial
Sangat sulit untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan “pendekatan ilmu sosial” terhadap studi agama terutama semenjak terdapat banyak pendapat di kalangan ilmuwan tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan.
Dalam wilayah studi agama, usaha yang ditempuh oleh pakar ilmu sosial adalah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya agar dapat menemukan aspek empirik dari keberagamaan berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya, profan (membumi). Walaupun ilmu ini juga mempunyai kekurangan, yaitu melakukan reduksi pemahaman seseorang terhadap agama.
Salah satu ciri dari ilmu sosial ini adalah kecenderungannnya untuk melakukan studi tentang manusia dengan cara membagi dan memetakan aktivitas masyarakat ke dalam beberapa kategori.
Dalam diskursus penelitian agama di Indonesia, Mukti Ali misalnya menyatakan bahwa Islamisis dan atau agamawan lebih cenderung untuk mempelajari ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena: pertama, salah satu ciri pemikiran ahli agama adalah spekulasi teoritis. Menurut mereka pemikiran spekulasi teoritis itu ternyata tidak dapat memecahkan masalah. Kedua, mereka menyadari bahwa usaha memahami masyarakat religius harus juga didekati dengan metode empiris, dengan demikian ilmu sosial menjadi perlu. Ketiga, dalam kasus tertentu, pendekatan secara deduktif seringkali menimbulkan “kekecewaan”. Untuk hal ini, maka selain pendekatan secara deduktif, pendekatan secara induktif harus dikembangkan, yaitu mengajukan berabagi macam fakta sebagai bukti kebenaran yang umum. Dalam konteks ini, mutlak diperlukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sosial[9].
Menurut Atho’ Mudzhar, agama merupakan gejala sosial dan budaya. Cakupan objek studi agama (Islam) dalam perspektif sosiologis, menurutnya, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tema kajian, yaitu (1) pengaruh agama terhadap masyarakat, (2) pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan, (3) tingkat pengamalan beragama masyarakat, (4) pola interaksi sosial masyarakat muslim, dan (5) gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan beragama[10].
3. Pendekatan fenomenologis
Terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi agama. Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama sesorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara netral sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasi fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum, pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama, tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.
Arah dari pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang apa yang yang disebut dengan ritual dan uapacara keagamaan, doktrin, reaksi sosial terhdap pelaku “drama” keagamaan. Sebagai sebuah ilmu yang relatif kebenarannya, pendekatan ini tidak dapat berjalan sendiri. Secara operasioonal, ia membutuhkan perangkat lain, misalnya sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang secara harfiah berarti “gejala” atau “apa ayng telah menampakkan diri” sehingga nyata bagi kita. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dalam operasionalnya, fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ide-ide, emosi, maksud, pengalaman, dan sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar.
Pendekatan fenomenologi berusaha memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia. Pendekatan fenomenologi berupaya untuk mencari esensi keberagamaan manusia. Usaha pendekatan fenomenologi agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalannya agar tidak terlalu jauh melampaui batas-batas kewenangannya.
Untuk memahami Islam dan agama terkait dengan tradisi, ternyata tidak cukup dengan hanya menjelaskan dua pendekatan di atas. Agar komprehensif dan sistematis, penjelasan Admas juga disertai dengan pemaparan tentang objek kajian agama. Oleh karena itu, setelah menjelaskan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam studi Islam tersebut, Adams juga memetakan wilayah kajian studi Islam. Adams mengelompokkan studi Islam menjadi:

(1)   Arabia pra-Islamic (pre-Islamic Arabia)
(2)   Kajian tentang Rasul (studies of the Prophet)
(3)   Kajian al-Qur'an (Qur’anic studies)
(4)   Hadits (prophetic tradition)
(5)   Hukum Islam (Islamic law)
(6)   Filsafat (falsafah)
(7)   Tasawuf (tasawwuf)
(8)   Aliran dalam Islam (the Islamic sects)
(9)   Ibadah (worship and devotional life)
(10) Agama Rakyat (popular religion).

B. Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Dengan Pendekatan Hukum
Pendekatan dalam pengkajian Islam maksudnya pendekatan dalam memahami keislaman dalam berbagai disiplin Ilmu, baik dari segi politik, sosial, budaya, ekonomi dsb. Pendekatan yang dominan dalam islam adalah pendekatan dalam bidang Fikh dan pendekatan tekstual. Karena setiap perilaku seorang muslim selalu saja berhububgan dengan fiqih. Akan tetapi tidak menutup kemungkainan pendekatan yang dominan adalah pendekatan kontekstual.
Dalam pendekatan pengkajian Islam ini, kita kan memandang Islam bukan hanya dalam satu aspek saja, tapi dalam berbagai aspek, Dan disini tentu kita sebagai pemikir Islam kita harus mendaya gunakan akal kita agar sesuai dengan koridor Islam tentunya, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan-penyimpang dalam konsep hukum dan pelaksanaan ajaran Islam. Dan kalau hal ini kita abaikan maka yang akan terjadi adalah penyimpangan dalam berpikir yang hanya mengikuti hawa nafsu saja tanpa memikirkannya dari sudut hukum yang benar sesuai denga Al Qur'an dan Assunnah.
Dalam pembicaraan tentang hukum Islam yang terdapat dalam literature bahasa Arab adalah "Fiqih" dan "Syari'at" atau "hukum syara' ". Para ahli hukum Islam mendefinisikan fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang bersifat operasional (amaliyah) yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci. Syari'at atau hukum syara' adalah seperangkat aturan dasar tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya. 
Dari definisi di atas istilah "hukum Islam" didefinisikan seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang terbebani hukum.
Mengingat hukum Allah yang dititahkan melalui wahyu hanya bersifat aturan dasar dan umum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan operasional, sehingga dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk maksud ini, diperlukan usaha optimal penggalian dan perumusan praktis yang disebut ijtihad. Langkah ini harus dilakukan, karena titah (khithab) Allah yang bernilai hukum dalam Al-Qur'an jumlahnya sangat terbatas, padahal persoalan yang harus diselesaikan sangat banyak, yaitu semua dimensi kehidupan dengan berbagai persoalannya dan persiapan hidupnya di akhirat kelak. 
Seseorang mujtahid dalam memahami dan menggali titah Allah dan penjelasan Nabi melalui hadisnya, disamping berpedoman pada kaidah kebahasaan juga selalu memperhatikan kemaslahatan umat di mana hukum itu diberlakukan, sehingga hukum betul-betulmenjadi hidup di tengah-tengah masyarakat. Kondisi masyarakat dan yang menjadi keyakinannya, tidak sama antara satu tempat dengan tempat lain, antara satu masa dengan masa berikutnya.


C. Pengertian Istilah Kunci
1. Syari’ah
Secara  harfiah  kata syari’ah berasal dari kata syara’a – yasy’rau – syariatan yang berarti jalan keluar tempat air untuk minum[11]. Pengertian lainya yang dikemukakan dalam kitab Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafi’i, secara bahasa Syari’ah adalah jalan lurus. Syariah dalam arti istilah adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang disampaikan Allah kepada hamba-hambanya[12],  dengan demikian syariah dalam pengertian ini adalah wahyu Allah, baik dalam pengertian wahyu al-Matluww (Al-Qur’an), maupun al-Wahyu gair matluw (Sunnah).
Syariah dalam literatur hukum Islam ada tiga pengertian :
1.      Syari’ah dalam arti sebagai hukum yang dapat berubah sepanjang masa.
2.      Syari’ah dalam arti sebagai hukum Islam baik yang tidak dapat berubah sepanjang masa maupun yang dapat berubah.
3.      Syari’ah dalam pengertian hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang disebut Istinbat ) dari Al–Qur’an dan Sunnah[13].
2. Fiqih
Fiqih secara bahasa berarti fahm yang bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Menurut pengertian isthilahnya Abu Hanifah memberikan pengertian (Ma’rifatu nafsi ma laha wa ma alaiha) mengetahui sesuatu padanya dan apa apa yang bersamanya yaitu mengetahui sesuatu  dengan dalil yang ada. Pengertian yang Abu Hanifah kemukakan ini umum yang mencakup keseluruh aspek seperti Aqidah dengan wajibnya beriman atau Akhlak dan juga Tasawuf[14]. Pengertian fiqh secara istilah yang paling terkenal adalah pengertian fiqh menurut Imam Syafi’i yaitu pengetahuan tentang syari’ah ; pengetahuan tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf berdasarkan dalil yang terperinci.
Berdasarkan dengan perkembangan hukum Islam ke berbagai belahan Dunia, term fiqh berkembang hingga digunakan untuk nama-nama bagi sekelompok hukum-hukum yang bersipat praktis. Dalam peraturan perundang-undangan Islam dan sistem hukum Islam kata fiqh ini diartikan dengan hukum yang dibentuk berdasarkan syariah, yaitu hukum-hukum yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau pengetahuan dan juga Ijtihad[15]. Dalam kajian studi Hukum Islam ini arti fiqh yang dimaksudkan adalah arti fiqh dalam pengertian yang diberikan oleh Imam Syafi’i yang lebih mengkhususkan artian fiqh kepada aturan-aturan mengenai perbuatan mukallaf.
3. Usul al-Fiqh
Usul Fiqh terdiri dari dua kata usul jamak dari asl yang berarti dasar atau sesuatu yang dengannya dapat dibina atau dibentuk sesuatu, dan kata fiqh yang berarti pemahaman yang mendalam. Menurut Istilah, Pengertian usul fiqh adalah ilmu tentang kaedah kaedah dan pembahasan yang mengantarkan kepada lahirnya hukum-hukum syariah yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-alil yang terperinci[16]. Dengan demikian usul al-fiqh adalah ilmu tyang digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang maksud syariah. Dengan kata lain usul al-fiqh adalah sistem (metodologi) dari ilmu fiqh.
4. Mazhab
Pengertian mazhab secara bahasa berarti “tempat untuk pergi” yaitu jalan, sedangkan pengertian mazhab secara istilah adalah: pendapat seorang tokoh fiqh tentang hukum dalam masalah ijtihadiyah[17]. Secara lebih lengkap mazhab adalah: faham atau aliran hukum dalam Islam yang terbentuk berdasarkan ijtihad seorang mujtahid dalam usahanya memahami dan menggali hukum-hukum dari sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah[18].
5. Fatwa
Fatwa artinya petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Dalam istilah fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Pihak yang meminta fatwa bisa pribadi atau lembaga maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid tersebut tidak bersifat mengikat atau mesti diikuti oleh si peminta fatwa dan oleh karenanya fatwa ini tidak mempunyai daya ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh disebut dengan Mufti, sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut mustafti[19].
6. Qaul
Kata Qaul secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja Qala-Yaqulu. Kata Qaul dapat bermakna kata yang tersusun lisan, baik sempurna maupun tidak. kiranya secara simpel Qaul dapat diartikan sebagai ujaran, ucapan, perkataan. Dalam istilah fiqh kata Qaul dinisbatkan kepada imam atau pemimpin suatu mazhab atau ulama fiqh yaitu berupa perkataan maupun ucapan daripada imam fiqh tersebut. Istilah ini juga dikenal dalam fiqh Imam Syafi’i, yaitu Qaul Qadim dengan Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat beliau ketika berada di Irak, sedangakan Qaul Jadid adalah pendapat beliau ketika berada di Mesir[20].
D. Mazhab Hukum Utama dan Pendekatan Mereka Terhadap Kajian Hukum
Al-Mazahib (aliran-aliran)dan arti secara sastranya adalah “jalan untuk pergi”. Dalam karya-karya tentang agama Islam, istilah mazahab erat kaitannya dengan hukum Islam adapun mazhab hukum yang terkenal sampai saat ini ada 4 mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Ini adalah hanya beberapa mazhab yang ada dalam Islam dan mereka bukanlah hukum sunni yang refresentatif karna sejak dari abad pertama sampai kepada permulaan abad keempat tidak kurang dari 19 mazhab hukum atau lebih dalam Islam yang dalam arti kata  muslim terdahulu tidak henti hentinya untuk menyesuaikan hukum dengan peradaban yang berkembang16.
Timbulnya mazhab-mazhab ini disebabkan oleh beberapa faktor yang oleh Ali As-Sais dan Muhammad Syaltut mengemukakanya :
a.        Perbedaan dalam memahami tentang lafaz Nash
b.       Perbedaan dalam memahami Hadist
c.        Perbedaan dalam memahami kaidah lughawiyah Nash
d.       Perbedaan tentang Qiyas
e.        Perbedaan tentang penggunaan dali-dalil hukum
f.        Perbedaan tentang mentarjih dalil-dalil yang berlawanan
g.       Pebedaan dalam pemahaman Illat hukum
h.       Perbedaan dalam masalah Nasakh[21].
Berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab timbulnya selain yang dikemukakan di atas, lahirnya mazhab juga terjadi karena perbedaan lingkungan tempat tinggal mereka, para fuqaha’ terus mengembangkan istinbath hukum yang  mereka gunakan secara individu dari berbagai persoalan hukum yang mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan terus melembaga dan terus di ikuti oleh para pengikutnya yaitu para murid-murid mereka.
Mazhab hukum yang terkenal dan pendekatannya terhadap kajian hukum
Sebagaimana telah disinggung, bahwa lahirnya berbagai mazhab yang ada dilatar belakangi oleh faktor yang pada dasarnya perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan metodologi dalam melahirkan hukum. Perbedaan ini melahirkan mazhab yang berkembang luas di berbagai wilayah Islam sampai saat ini diantaranya adalah mazhab dari golongan Syi’ah dan dari golongan Sunni:
a) Imam Ja’far
Nama lengkapnya Ja’far bin Muhammad al- Baqir bin Ali Zainal- Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah ulama besar dalam banyak bidang ilmu Filsafat, Tasawuf, Fiqih, dan juga ilmu kedokteran.
Fiqh Ja;fari adalah fiqih dalam mazhab Syi’ah pada zamannya karena sebelum dan pada masa Ja’far Ash-Shadiq tidak ada perselisihan. Perselisihan itu muncul sesudah masanya. Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukun adalah: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, ‘Aqal (Ra’yu)[22]. Pengikutnya banyak di Iran dam negara sekitarnya, Turki, Syiria, dan Afrika Barat. Mazhab ini diikuti juga oleh ummat Islam negara lainnya meskipun jumlahnya tidak banyak.

b) Mazhab Hanafi
Mazhab ini dihubungkan dengan Imam Abu Hanifah, ia di kenal sebagai pendiri mazhab hanafi. Nama lengkapnya  adalah Nukman bin Tsabit bin Zuthyi keturunan parsi yang cerdas dan punya kepribadian yang kuat serta berbuat, didukung oleh faktor lingkungan sehingga dalam mengantar beliau menuju jenjang karier yang sukses dalam bidang ilmiyah. Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukum fiqih adalah: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qawlu Shahaby, Qiyas, Istihsan, ‘Uruf.
Pola fiqih Abu Hanifah adalah:
a.       Kelapangan dan kelonggaran dalam pengalaman ibadah
b.      Dalam memberi keputusan dan fatwa, lebih memperhatikan kepentingan golongan miskin dan orang lemah
c.       Menghormati hak kebebasan seseorang sebagai manusia
d.      Fiqh Abu Hanifah diwarnai dengan masalah fardhiyah (Perkara yang diada-adakan). Banyak kejadian atau perkara yang belum terjadi, tetapi telah difikirkan dan telah ditetapkan hukumnya.
Adapun diantara murid-murid Abu Hanifah yang berperan sangat penting dalam penyebaran mazhab Abu Hanifah maraka adalah:
1. Abu Yusuf dialah orang pertama menyusun kitab mazhab Hanafi dan memyebarkannya sebagai dalil dari Dasar istinbat imam Malik. Dasar istinbat fiqh Imam Malik adalah Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Masalihul Mursalah, ‘Uruf, Qaulu Shahabi. Adapum pola fiqh Imam Malik meliputi:
a.       Ushul fiqh Imam Malik lebih luwes, lafadz ‘Am atau Muthlaq dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah
b.      Fiqhnya lebih banyak didasarkan pada Maslahah
c.       Fatwa Sahabat dan keputusan-keputusan pada masa sahabat, mewarnai penjabaran pengembangan  hukum Imam Malik.
Diantara beberapa murid-murid Imam Malik yang mengembangkan ajarannya adalah: Abdullah bin Wahab, Abdul Rahman bin Kosim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdur-rahman bin Hakam, Ashbaga bin Al-faraz al Umawi[23].
d). Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibentuk oleh Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin al-Saib bin Abdu-Yazid bin Hasim. Dan kemudian, dia dipopulerkan dengan nama imam Syafi’i. Ia merupakan seorang muntaqil ras Arab asli dari keturunan Quraiys dan berjumpa nasab dengan Rasullulah pada Abdu Al-Manaf. Adapun sumber istinbat beliau mengenai hukum fiqih adalah: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Perkataan Sahabat, Qias, Istishab[24]. banyakkarya-karya iam Syafi’idalam memeberikan keterangan kajian fiqh menurut imam Syafi’i diantaranya : kitab ar-Risalah. al-Um, serta banyaknya pengikut mazhab ini sampai sekarang. Pola pikir imam Syafi’i:
1.      Ciri khas yang dapat dipetik dari fiqih Syafi;i ialah polanya mengawinkan antara cara yang ditempuh Imam Malik dengan Imam Hanafi.
2.      Pembatasan hukum dibatasi pada urusan atau kejadian yang benar-benar terjadi.
3.      Terdapat banyak perbedaan antara pendapat Syafi’i sendiri, antara Qaul Qodim ( paendaptnya sewakyu di Irak ) dengan Qaul Jadid ( pendapatnya sewaktu di Mesir ). Sahabat-sahabatnya yang menyebarkan mazhab ini antaranya Ahmad Ibnu Hambal, Al Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah Az-Zakfani, Abu Ali al Husein bin Ali Qarabisy, Yusuf bin Yahyah Al Buaithy, Abu Ibrahim Ismail Yahya al Muzani dan Ar-Rabik bin Sulaiman al Murady.
e). Mazhab Hanbali
Imam Ahmad adalah tokoh dari mazhab ini beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal. Beliau berpegang teguh pada ayat Al-Quran dipahami secara lahir dan secara mafhum adapun dasar istinbat mengenai hukum fiqih adalah Al-Qur’an, Sunnah, Fatwa sahabat, Qiyas. Adapun pola fikir imam Hanbal adalah:
1.      al-Nushush dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalan alqur,an maka Ia mengambil makna yang tersurat, makna yang tersirat sia abaikan.
2.      Apabila tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an dan Sunnah maka ia mengambil atau menukilfatwasahabatyang disepakati dari sahabat sebelumya.
3.      Apabla fatwa sahabat berbeda-beda maka ia mengambil fatwa sahabat yang paling dekat dengan dalil yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
4.      Beiau menggunakan hadist mursal dan hadist dha’if apabila tidak ada ketentuan sahabat, atsar, ataupun ijmak yang menyalahinya.
5.      Apabila hadist mursal dan dhaif tidak ada maka ia menggunakan metode Qiyas dalam keadaan terpaksa[25].
6.      Langkah terakhir adalah menggunakan Sadd al-Dzar’i
7.      Beliau tidak memiliki karya yang dia buat sendiri hanya saja para muridnya mengembangkan ajarannya dan membuat karya –karya tentang istinbat hukum yang beliau lakukan, salah satu contoh dari kitab mazhab ini adalah sahabat al-Jamik al-Kabir karya Ahmad bin Muhammad bin Harun. Adapun tokoh yang menyebarkan ajarannya adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun, Ahmad bin Muhammad ibn Hajjaj al Maruzi, Ishak bin Ibrahim, Shalih ibn Hanbal, ‘Abdul Malik ibn ‘Abdul Hamid ibn Mahran al-Maumuni[26]
E. Disiplin-disiplin Utama Studi Hukum dan Cabang-cabangnya
Disisplin Hukum adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala gejala hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan. Menghadapi kenyataan yang terjadi dalam pergaulan hidup yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan tertentu.
Berbicara disiplin hukum, maka ruang lingkup utamanya tiga yaitu:
1. Ilmu Hukum adalah Ilmu tentang hukum yang paling umum, sebagai aturan yang paling luas dan konsep yang paling penting. Ilmu hukum ini bisa  di defenisikan sebagai ilmu kaidah yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum.
Pohon Ilmu Hukum
Filsafat Hukum
Politik Hukum
Psikologi hukum
Sosiologi hukum à sosiological yurisprudence
Perbandingan hukum
Antropologi Hukum
 Ilmu Hukum
 




2. Filsafat Hukum
Adalah Ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum, yang isinya dasar dasar kekuatan yang mengikat dari hukum atau perenungan dan perumusan nilai-nilai, termasuk penyesuain nilai-nilai
3. Politik Hukum
Adalah disiplin hukum tang mengkhususkan diri pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang di cita-citakan oleh masyarakat tertentu atau kegiatan-kegiatan mencari dan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai tersebut bagi hukum dalam mencapai tujuannya[27].
Adapun disiplin utama studi hukum dalam hukum Islam tidak lepas dari beberapa kajian yaitu: Disiplin utama Syari’ah, Tarekh Tasyri’, Ushul fiqh, fiqh selanjutnya akan berkembang menjadi cabang cabang kajian studi hukum lain seperti: Ilmu Fiqh ( Fiqh Siyasah, Muamalat, Jinayah, Munakahat dan sebagainya) selanjutnya ada juga kajian Qawaid Fiqhiyah dan Ushuliyah, fatwa, Qanun, Qadha’ dan lain nya.
4. Psikologi hukum
Merupakan cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali kebutuhan bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Psikologi hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour) maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencermin­an perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-­tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial[28]. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seperti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain sebagainya yang menunjukkan hubung­an antara hukum dengan psikologi.
5. Sosiologi hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
F. Contoh Penelitian yang Relevan
1. Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Mandailing Godang[29] (Studi pada Mandailing Godang Kabupaten Madina)
Bahwa pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Mandailing Godang belum sepenuhnya berdasarkan hukum waris Islam. Dimana dalam menentukan objek harta warisan pada umumya masih membedakan harta pusaka dan harta pencaharian sedangkan menurut hukum waris Islam objek harta warisan adalah 12 (setengah) dari harta pencaharian dan harta pusaka. Pada umumnya bagian para ahli waris masih berdasarkan hukum adat. Kalaupun ada bagian ahli waris berdasarkan hukum waris Islam, ayah dan Ibu belum termasuk ahli waris utama. Cara pembagian harta warisan pada umumnya langsung melaksanakan musyawarah. Pada hal seharusnya ditentukan lebih dahulu bagian masing-masing ahli waris sehingga masing-masing memahami bagiannya. Setelah masing-masing memahami bagiannya baru dilaksanakan tsaluh. Hambatan pelaksanaan hukum waris Islam ada beberapa faktor; pertama faktor adat yaitu masih berpegang pada hukum warisan adat dan kedua kurangnya sosialiasi oleh pemuka adat tentang hukum warisan Islam di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan cara penyelesaian jika terjadi sengketa yaitu dengan cara pertama; cara musyawarah adat, tetapi tidak bersifat final dan kedua ke Pengadilan Agama .
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Dengan Sistem Outsourcing di Indonesia[30]
Terdapat persamaan dan perbedaan mengenai pengaturan upah dan pekerja perempuan dalam Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Persamaan mengenai pengaturan upah dalam Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dapat dilihat dari pengertian upah, bentuk upah dan keharusan untuk mengatur tentang upah di dalam perjanjian kerja. Tidak banyak perbedaan mengenai upah di antara Hukum Islam dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Salah satu perbedaan yang didapat adalah mengenai penetapan upah, dimana dalam Hukum Islam digunakan prinsip adil dan layak, sedangkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hanya menggunakan prinsip kebutuhan hidup layak. Mengenai pekerja perempuan dibandingkan mengenai alasan-alasan perempuan boleh bekerja, pekerjaan-pekerjaan yang dilarang untuk perempuan, mengenai prinsip non-diskriminasi dalam bekerja, serta mengenai hak-hak pekerja perempuan dan perlindungan bagi mereka menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upah dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, sedangkan pengaturan mengenai pekerja perempuan diatur dalam Pasal 76. Mengenai upah dan pekerja perempuan diatur dalam Hukum Islam tersebar-sebar dalam AlQur’an dan Hadist.




3. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam[31]
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) yang dikordinir oleh Mahkamah Agung (MA) RI belakangan ini merupakan respon terhadap perkembangan baru dalam kajian dan praktek hukum muamalat (ekonomi Islam) di Indonesia. Praktik hukum muamalat secara institusional di Indonesia itu sudah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990, kemudian disusul oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS) lainnya setelah melihat prospek dan ketangguhan LKS seperti BMI ketika melewati krisis ekonomi nasional sekitar tahun 1998. Belakangan, perkembangan
LKS tersebut semakin pesat yang tentu akan menggambarkan banyaknya praktek hukum muamalat di kalangan umat Islam.
Banyaknya praktek hukum tersebut juga sarat dengan berbagai permasalahan yang muncul akibat dari tarik menarik antar kepentingan para pihak dalam persoalan ekonomi, sementara untuk saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terhadap permasalahan itu. Sejak tahun 1994, jika ada sengketa ekonomi syariah maka diselesaikan lewat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang hanya sebagai mediator (penengah) dan belum mengikat secara hukum. Peraturan yang diterapkan juga masih terbatas pada peraturan Bank Indonesia (BI) yang merujuk kepada fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sedangkan fatwa itu, sebagaimana dimaklumi dalam hukum Islam, adalah pendapat hukum yang tidak mengikat seluruh umat Islam. Sama halnya dengan fikih.
Upaya positifisasi hukum perdata Islam seperti ini juga pernah dilakukan juga oleh Pemerintahan Turki Usmani dalam meberlakukan Kitab Hukum Perdata Islam Majalah al-Ahkam a’-’Adliyyah yang terdiri dari 1851 pasal.1
Disamping itu, ”positifisasi” hukum perdata Islam tersebut merupakan realisasi impian sebagian umat Islam sejak zaman dulu yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih diterapkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang notebene adalah terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan Kolonial Belanda.
Diakui, untuk saat ini positifisasi hukum muamalat sudah menjadi keniscayaan bagi umat Islam, mengingat praktek ekonomi syari’ah sudah semakin semarak melalui LKS-LKS. Kompilasi tersebut kemudian dijadikan acuan dalam penyelesaian perkara-perkara ekonomi syari’ah yang semakin hari semakin bertambah, seiring dengan perkembangan LKS. Adapun lembaga peradilan yang berkompetensi dalam penerapan KHES adalah Peradilan Agama (PA), karena secara materiil, KHES adalah hukum Islam, sebagaimana wewenang PA dalam pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebelumnya melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991.
4.  Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia[32]
Diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi hak kaum perempuan di lingkungan setiap komunitas peradaban manusia berlangsung tanpa ada perubahan yang berarti hingga awal abad ke-20, namun sejak saat itu sejumlah ikhtiar untuk memodifikasi hukum status personal dilakukan di berbagai wilayah.
Sebelum awal abad ke-20, negara membiarkan kontrol terhadap kaum perempuan dan keluarga berada di tangan kelompok-kelompok keluarga patriarkhal. Berbeda dengan tindakan yang sangat intervensionis dalam hukum perdata, komersial, dan pidana Islam, negara menolak usaha yang beresiko tinggi, yakni mencampuri peraturan-peraturan status personal, inti terdalam dari identitas muslim (maskulin). Kontrol patriarkhal terhadap prilaku kaum perempuan dan unit keluarga adalah hal pokok bagi konstruksi identitas ini Namun, pada akhirnya, keengganan Negara mulai meluntur, paling tidak karena tekanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok prempuan di bawah kepemimpinan perempuan-perempuan terkemuka seperti Mesir dan seluruh kesultanan ‘Utsmaniyyah.
Seiring dengan derasnya arus modernisasi yan terutama dimulai awal abad XX yang dibarengi dengan adanya usaha reformasi huku keluarga di dunia Islam, maka secara bertahap perempuan mulai mendapatkan hak-haknya baik hak domestik maupun publik.
Terlepas dari perdebatan apakah proses reformasi itu merupakan implikasi dari gejolak internal maupun desakan eksternal, tetapi reformasi Undang-undang Keluarga muslim termsuk Syiria dan Tunisia telah mengalami kemajuan. Secara substansial kebijakan negara terhadap perempuan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan substansi bangunan fiqih klasik. Dengan demikian usaha interpretasi dan transformasi huku keluarga yang selaras dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi habitatnya mutlak diperlukan. Bukankah produk fiqih-fiqih klasik merupakan hasil dialektika antara ulama dengan tuntutan zamannya? Munculnya qaul qadim dan qaul jaded dari ualama sekaliber Imam Syafi’i merupakan indikasi kuat bahwaa hukum Islam dibentuk dan membentuk masyarakat.
Terakhir terkait dengan usaha reformasi nasib kaum perempuan (istri) di Indonesia sudah waktunya dipikirkan konsep hukum perkawinan yang berkeadilan gender. Usaha ini tidak cukup hanya dengan slogan dan symbol-simbol kesetaraan, tetapi mencakup dataran substansi perundang-undangan yang ada.
5. Tinjauan Yuridis Terhadap Praktek Pembuatan Perjanjian Kawin Di Kota Bandung[33]
Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang pria dan wanita akan melahirkan akibat hukum tertentu dalam kehidupan rumah tangganya. Salah satu akibat hukum dari perkawinan tersebut adalah pengaturan mengenai harta kekayaan suami isteri baik yang berasal sebelum maupun selama perkawinan berlangsung. Dalam kaitannya dengan harta kekayaan suami isteri, calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan dapat melakukan pengaturan harta kekayaannya tersebut melalui perjanjian kawin.
Walaupun sebagian besar, masyarakat Indonesia, menganggap perjanjian kawin yang dibuat oleh calon sami isteri merupakan sesuatu hal yang tabu, namun dalam perkembangannya lembaga ini semakin banyak dipakai oleh calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan. Pada dasarnya pengaturan mengenai harta kekayaan suami istri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 137 sampai dengan Pasal 145 KUH Perdata. Namun demikian baik dalam UUP maupun dalam PP No. 9 tahun 1975 tidak mengatur secara spesifik mengenai harta kekayaan perkawinan, hal ini berbeda dengan ketentuan di KUH Perdata yang mengatur harta kekayaan perkawinan.
 Dalam tesis ini ada tiga hal diungkap oleh peneliti yaitu, mengenai dasar pertimbangan calon suami isteri membuat perjanjian kawin,ketentuan hukum yang dipakai dalam pembuatan perjanjian kawin serta isi dari perjanjian kawin. Penelitian ini dilakukan di Kota Bandung, dengan metode pendekatan yuridis empiris. Metode pendekatan ini digunakan untuk mengetahui penerapan ketentuan hukum dalam Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata dalam kaitannya dengan praktek pembuatan perjanjian kawin di Kota Bandung. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa alasan yang diajukan oleh calon suami isteri pada saat membuat perjanjian kawin adalah alasan yang bersifat individualistik, adanya pergeseran sistem nilai serta pandangan suami dan isteri terhadap harta kekayaan perkawinan. Sementara itu ketentuan yang dipakai sebagai landasan hukum dalam pembuatan perjanjian kawin untuk WNI asli/ pribumi adalah UUP sedangkan untuk WNI Keturunan/ Tionghoa mengacu pada KUH Perdata, keduanya menggunakan Peraturan Pelaksana yang lama dalam KUH Perdata. Di sisi lain isi perjanjian kawin yang dibuat dalam praktek di Kota Bandung adalah mengenai pemisahan harta kekayaan, sedangkan materi lain diluar harta kekayaan perkawinan jarang terjadi.
6. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim Mengenai Perkara Perceraian Akibat Murtad Studi Kasus Putusan Perkara Nomor 370/Pdt.G/2002/Pa.Jp Pengadilan Agama Jakarta Pusat[34]
Tujuan perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, perkawinan dapat putus karena alasan murtad, hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam rumah tangga hingga akhirnya dapat diputuskan untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan. Murtad adalah perbuatan dimana seorang muslim keluar dari agamanya menjadi non muslim, murtad merupakan hal yang paling prinsipil dalam kehidupan beragama dan berumah tangga, adanya pebuatan murtad dalam suatu hubungan perkawinan banyak di temui di Indonesia dan menjadi fenomena yang dijadikan alasan untuk dapat memutus suatu perkara sebagai alasan perceraian. Bagaimana pertimbangan hukum dan putusan oleh hakim Pengadilan Agama perkara nomor 370/Pdt.G/2002/PA.JP dalam memutus perkawinan atas alasan murtad apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, karena kedua masalah tersebut saling berkaitan, untuk itulah kedua masalah tersebut akan dibahas dalam penelitian ini. Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yaitu yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu deskriftif. Adapun metode pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakanan dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan, serta meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder yang berhubungan dengan judul dan pokok permasalahan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa alasan perceraian akibat murtad dapat digunakan untuk mengajukan permohonan bercerai di Pengadilan Agama, ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa peralihan agama /murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dalam pertimbangan hukumnya dan keputusannya hakim akan menilai apakah hal tersebut menjadi masalah berdasarkan dengan bukti-bukti, saksi-saksi serta keyakinan hakim mengenai keadaan perkawinan tersebut yang diselesaikan atau putusan peceraian. Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 370/Pdt.G/2002/P.A.JP telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengenai putusan perkara serta akibatnya jo Pasal dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. Hakim menjadikan penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai salah satu alasan perceraian yaitu : ”antara suami istri terus menerus terjadi peselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.


Daftar Pustaka

________, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam” dalam Amin Abdullah dkkk., Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

________, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius” dalam Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003.

________, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Abdullah, M. Amin, “Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium Ketiga” dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam (Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Adams, Charles J., “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, Canada: John Wiley and Sonc, Inc, 1976.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
Hasbi AR, Perbandingan Mazhab Suatu Pengantar, Medan: Naspar Djaja 1985
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM Universitas Bandung, 1995.
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat, Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.
Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2000.
Mudzhar, M. Atho’, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja’fary, Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah, 1995
MuhammadSaleh,StudiHukumIslam,http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/07/ studi-hukum-islam/ (7 Agustus 2010)
Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Nasution, Khoiruddin, “Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan Kemungkinan Pendekatannya” dalam Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Said Ramadan. Islamic Law its Scope and Equity. Jakarta:Gaya Media Pratama, 1996.
Soedjono Dirjo Sisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Wahbah Zuhaili, Al- Fiqh al-Islam wa-Adillatuhu, jld I, Damaskus: Darul Fikri,1997











[1] Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science (Canada: John Wiley and Sonc, Inc, 1976), hlm. 29.

[2] Ibid , 31.

[3] Ibid, 31.

[4] Ibid, 31.

[5] Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius” dalam Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA-Press, 2003), hlm. 4

[6] Ibid 33.
[7] Ibid 32- 33.

[8] Ibid 32-33
[9] Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

[10] Mudzhar, M. Atho’, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
[11] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat, (Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.), h. 383.

[12] Lajnah Marasiah, Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafii (Kairo:Maktabu Risalah Wathabi’iayah, 2000), h. 2.

[13] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: LPPM Universitas Bandung,1995), h.10.

[14] Wahbah Zuhaili, Al- Fiqh al-Islam wa-Adillatuhu, jld I (Damaskus: Darul Fikri,1997) h.29.

[15] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: LPPM Universitas Bandung,1995), h.10

[16] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh ,cet XII (Kuwait: An-Nasir,1978), h.738.

[17] Wahbah Zuhaili, h. 29

[18] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ananda Utama, 1997), h.875

[19] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), h.326

[20] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), h. 326.

[21] M. Ali As-Sais dan Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, terj. Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 16-18
[22] Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja’fary, (Muhadharat ad-Dirasah al-Arabiyah al-‘Aliyah, 1995) h.28.
[23] Ibid h. 83.

[24] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996), h.151
[25] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 2000) h.118

[26] Ibid, h.116.
[27] Soedjono Dirjo Sisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),h.46.
[28] Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), h. 317.

[29]Farida Hanum, Tesis,  e-USU Repository,  Universitas Sumatera Utara (2004)

[30] Ade Irma Tesis,  e-USU Repository,  Universitas Sumatera Utara.

[31] Abdul mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (Khes) Dalam Tinjauan Hukum Islam,  Program Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga. Al-mawarid edisi xviii tahun (2008)

[32] Masnun Tahir IAIN Mataram,  Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta., Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun (2008).
[33]Hj.Dwi Ratna, Thesis,  Tinjauan Yuridis Terhadap Praktek Pembuatan Perjanjian Kawin Di Kota Bandung., Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (2005).
[34] Aditama, Masters Thesis,  Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim Mengenai Perkara Perceraian Akibat Murtad ( Studi Kasus Putusan Perkara Nomor 370/Pdt.G/2002/Pa.Jp Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar