SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 11 Maret 2010

Tarekat & Syarat Mursyid

Bila informasi ini berguna untuk anda sebagai ucapan terimakasih Tolong KLIK Tulisan Hijau disebelah KIRI anda beberapa kali.
 
1. Pengertian Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thoriqoh yang artinya jalan, cara, aliran, atau metode. Dalam terminologi sufistik, tarekat adalah jalan atau metode khusus untuk mencapai tujuan spiritual.1 Dalam sejarah dunia tasawuf, kata ini telah tersosialisasi secara besar-besaran, terutama sejak abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah (12 atau 13 Masehi), khususnya sejak Al-Ghazali berhasil merumuskan konsep tasawuf-sunni atau tashawwuf-’amali; sebuah antitesa dari perkembangan sebelumnya, tashawwuf-falsafi. Pada periode ini, kata ”tarekat” oleh para sufi mutakhir selalu dinisbatkan kepada sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terperinci di jalan ruhaniah, yang hidup secara kolektif di berbagai zawiyah, rabath, atau khanaqah, yang berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu serta mengadakan pertemuan ilmiah maupun ruhaniah secara teratur.
Secara terminologi, pemaknaan tarekat agak sulit dirumuskan dengan pas, karena pengertian tarekat ikut berkembang mengikuti perjalanan kesejarahan dan perluasan kawasan penyebarannya. Dari berbagai sumber klasik maupun kontemporer, nampaknya tarekat dapat dimaknai sebagai ”suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi pamahaman dan pengamalan ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatu’I-lah”. Dalam perspektif ini, secara operasional rumusan ini bisa diartikan sebagai usaha kolektif dalam upaya tazkiyah an nafs dalam rangka interiorisasi keberagamaan.
Tarekat itu artinya jalan petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai.
Menurut Mircea Aliade, kata thariqah digunakan dalam dunia tasawuf sebagai jalan yang harus di tempuh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atau metode psikologis-moral dalam membimbing seseorang untuk mengenali Tuhannya. Sedangkan J. S. Trimingham menyatakan bahwa tarekat adalah ”a practical method (other terms were madhhab, ri’ayah and suluk) to guide a seeker by tracing a way of thought, feeling and action, leading a succession of stages (maqamat, an integral association with psycological experiance called ’states’ ahwal) to experianceof Divine Reality (haqiqa) ”, metode praktis (bentuk-bentuk lainnya, mazhab, ri’ayah, dan suluk) untuk membimbing murid dengan menggunakan pikiran, perasaan dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan (maqamat, kesatuan yang utuh dari pengalaman jiwa yang disebut ’states’, ahwal) secara beruntun untuk merasakan hakikat Tuhan”.
Tarekat berakar dari pengalaman seorang sufi –ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan pengikutnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tarekat terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penamaan satu tarekat diambil dari nama pimpinan kelompok belajar itu. Misalnya tarekat Naqsyabandiyah dinamai demikian adalah karena kelompok pembelajaran tasawuf itu dirintis oleh Bahauddin al- Naqsyaband. Hal ini berarti, nampaknya tarekat mirip dengan aliran tasawuf –the sufi orders-, atau semacam pranata sosial keagamaan yang visi dan misinya sufism. Dengan demikian tarekat yang pada awalnya dimaknai sebagai metode mendekatkan diri kepada Allah, berubah menjadi sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga. Dalam tarekat sebagai lembaga, ditemui adanya seorang mursyid atau pembimbing dan biasanya didampingi satu orang asisten atau lebih, yang disebut ”khalifah” atau wakil, pengikutnya dinamai ”murid” atau yang berminat. Tempat untuk belajar dan pondokan –semacam asrama- disebut ribath atau zawiyah dan juga dinamai taqiyah yang dalam bahasa persia disebut khanaqoh.

2. Tujuan dan Dasar Utama Tarekat
Tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi, termasuk Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bias merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan semacam ini, biasanya seorang anggota atau salik (penempuh dan pencari hakikat ketuhanan) akan diarahkan oleh tradisi-tradisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat bersangkutan sebagai upaya pengembangan untuk bias menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau makrifat kepada Allah ’Azza wa Jalla. Setiap tarekat memilki perbedaan dalam menentukan metode dan prinsip-prinsip pembinaanya. Meski demikian, tujuan utama setiap tarekat akan tetap sama, yakni mengharap kan Hakikat Yang Mutlak, Allah ’Azza wa Jalla. Secara umum, tujuan utama setiap tarekat adalah penekanan pada kehidupan akhirat, yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia beragama. Sehingga, setiap aktifitas atau amal perbuatan selalu diperhitungkan, apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan.

Karena itu, Muhammad ’Amin al-Kurdi, salah seorang tokoh Tarekat Naqsyabandi, menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa memperoleh kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhannya. Menurutnya, minimal ada tiga tujuan bagi seseorang yang memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan ibadah. Pertama, supaya ”terbuka” terhadap sesuatu yang diimaninya, yakni Zat Allah AWT, baik mengenai sifat-sifat, keagungan maupun kesempurnaan-Nya, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya secara dekat lagi, serta untuk mencapai hakikat dan kesempurnaan kenabian dan para sahabatnya. Kedua, untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat dan akhlak yang keji, kemudian menghiasinya dengan akhlak yang terpuji dan sifat-sifat yang diridhai (Allah) dengan berpegangan pada para pendahulu (shalihin) yang telah memiliki sifat-sifat itu. Ketiga, untuk menyempurnakan amal-amal syariat, yakni memudahkan beramal salih dan berbuat kebajikan tanpa menemukan kesulitan dan kesusahan dalam melaksanakannya.
Langkah utama dan pertama bagi seseorang yang akan memasuki dunia tarekat adalah kesiapan untuk menaati aturan-aturan syariat islam. Karena seluruh aktifitas kehidupan anggota tarekat akan selalu bersandar pada hukum-hukum syariat, terutam yang terpilih dan memiliki keunggulan, dan mereka lebih senang menghindari hukum-hukum islam yang ringan dan mudah. Karena itu, mencium ambang pintu syariat, kata Abu al- Majdud as-Sana’i, merupakan kewajiban pertama bagi seseorang yang akan menempuh perjalanan ”mistik”ini. Di samping itu, dasar-dasar akidah yang benar juga merupakan pondasi utama bagi berlangsungnya perjalanan seorang murid dalam tarekat, yakni akidah para salaf salih, para sahabat, tabi’in, para wali serta para shiddiqin yang selalu berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Kedua dasar itu (akidah dan syariat) sangat diperlukan bagi seorang salik (pencari hakikat ketuhanan), mengingat perjalanan yang akan mereka tempuh sangat sulit dan mendaki, terutama untuk sampai pada maqam-maqam yang mereka tuju. Tanpa memilliki aqidah yang kuat, menguasai dan menjalani kehidupan syariat, maka pencapaian kehidupan tarekat mereka mustahil bisa dilakukan dengan benar, karena sesungguhnya dalam tarekat terjalin hal-hal yang diterangkan oleh syariat. Sebaliknya, kehidupan syariat nampak tidak akan seimbang bila tidak diiringi dengan nilai-nilai yang ada dalam tarekat atau dunia tasawuf secara umum. Peranan tarekat atau tasawuf sebagai dimensi batin syariat telah diakui oleh para pendiri aliran hukum, yang menenkankan pentingnya aspek ini dalam pendalaman etika islam.
Di sinilah tarekat memberikan keseimbangan dalam mengiringi jalannya syariat islam, sebagai penghalus untuk meresapkan nilai-nilai hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah sehingga bisa mencapaiai hakikatnya. Sebagian besar ulama salaf dalam masyarakat isalm telah mampu menjaga keseimbangan ini, yakni menjaga jangan sampai syariat terpisah dari tarekat dan tarekat terasing dari syariat. Vitalitas keagamaan dan spiritual Islam tumbuh dari kedua dimensi ini (syariat dan tarekat) selama berabadabad, yang secara bersama-sama telah membentuk tradisi keagamaan yang integraldalam masyarakat religius. Menurut simbolisme sufi yang cukup terkenal, Islam diumpamakan dengan buah ”kenari” yang kulitnya diibaratkan syariat, sedangkan isinya adalah tarekat, dan minyaknya yang ada dimana-mana adalah hakikat. Kenari tanpa kulit tidak akan tumbuh di alam, begitu pula bila tanpa isi, ia tidak akan mempunyai arti apa-apa. Syariat tanpa tarekat seperti tubuh tanpa jiwa, dan tarekat tanpa syariat pasti tidak akan mempunyai bentuk lahiriah serta tidak akan mampu bertahan dan mewujudkan dirinya di dunia ini. Bagi keseluruhan tradisi, keduanya mutlak diperlukan. Di sinilah secara universal rekat telah menunjukkan tujuannya sebagai penyempuna dalam memberikan keseimbangan bagi setiap hamba untuk menjalankan ajaran islam dan mengantarkan mereka menuju pintu hakikatnya. Melalui latihan-latihan mental dan spiritual (riyadhah)- nay, tarekat telah menunjuk kan metode praktisnya dalam memberikan nilai-nilai
keseimbangan tadi

3. Perkembangan Tarekat dalam Dunia Islam
Dilihat dari sisi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai lembaga, sulit diketahui karena tiadanya artifact sejarah yang jelas. Dari beberapa literatur yang dirujuk, nampaknya Tarekat Taifuriyah adalah tarekat tertua. Tarekat ini berdiri pada abad ke-IX di Persia yang mengembangkan tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Taifuriyah. Pendapat ini dipandang cukup beralasan, karena tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid al-Busthami. Pada umumnya tarekat yang berkembang di Persia, menganut paham tasawuf Abu Yazid yang lahir di Taifur, satu desa yang terletak di Khurasan Persia atau Iran. Namun perkembangan nyata keberadaan tarekat adalah sekitar abad ke XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia (Irak). Tarekat yang bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan tarekat yang berkembang di Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid al-Baghdadi. Pada era abad dua belas itu, di Khurasan berdiri tarekat Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi (w. 1169) dan tarekat khawajaganiyah yang didirikan oleh Abdul Khaliq al- Ghazdawani (1220).
Tarekat Yasaviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru tarekat Bektashiyah diidentikkan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin Ibrahim Hajji Bekhtash (w.1335). Tarekat ini cukup populer pada masa kekuasaan Sultan Murad I, karena tarekat itu memiliki komando sebagai kekuatan inti kerajaan Turki Osmani, yang disebut ”jenissari”. Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat yang merupakan pengembangan dari tarekat Khawajaganiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335) . Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini menyebar ke Turki, India dan Indonesia dengan nama baru sesuai dengan pendirinya di kawasan setempat. Di Indonesia tarekat yang merupakan cabang dari Naqsyabandiyah, antara lain tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujaddidah., Ahsaniyah dan lain-lain. Selain dari kedua tarekat induk tadi, tarekat yang tergolong rumpun Khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia tarekat, seperti tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w.1397). Di kawasan Mesir tarekat ini didirikan oleh Ibrahim Ghulseni (1534) yang kemudian berganti nama tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Karim as-Sammani (w.1775), tarekat ini disebut juga dengan nama Tarekat Hafniyah.
Tarekat yang berasal dari rumpun Mesopotamia-Irak anutannya berakar pada tasawuf Abdul Qasim al-Junaidi yang meninggal sekitar tahun 910 atau menganut paham tasawuf Abdul Qadir al-Jailani (w.1078). Tarekat Suhrawardiyah yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi (w.1234), tarekat Kubrawiyah yang dipelopori Najamuddin al-Kubra (w.1221) dan tarekat Maulawiyah yang didirikan oleh Jalaludin al-Rummi (w.1273), adalah tarekat-tarekat besar yang mengacu pada tasawuf al-Junaidi. Tarekat Kubrawiyah cukup digemari di India dan Pakistan, sedangkan Tarekat Maulawiyah berkembang subur diwilayah Turki, Tarekat Qadariyah yang dibangun oleh Muhyidin Abdul Qadir al- Jaelani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui tarekat Shadziliyah yang didirikan oleh Nuruddin as-Shadzili (w.1258) dan tarekat Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad Ibn Ali Ar-Rifai (w. 1182). Tarekat yang berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar luas dihampir seluruh negeri islam. Tarekat Faridiyah yang mengilhami lahirnya tarekat Sanusiyah dan Idrisiyah di kawasan Afrika Utara, adalah tarekat yang termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar pada tasawuf Dzuan Nun al-Mishri (w.860). Tarekat Qadariyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al-Ghawth dengan mendirikan tarekat Ghawthiya sekitar tahun 1617.
Oleh karena banyaknya penyebaran tarekat dari satu induk saja, maka terasa sulit menelusuri perkembangan dan pertumbuhan tarekat secara sistematis. Tetapi yang jelas, cabang-cabang atau tarekat baru yang berdiri itu adalah karena tersebarnya abituren satu tarekat ke berbagai kawasan. Di antara abituren itu, pasti ada sekian orang yang mendapat wewenang untuk membuka tarekat baru di daerah asalnya masing-masing. Dengan cara demikian maka dari satu Ribath induk dapat melahirkan beberapa ribath cabang, dan dari satu ribath cabang dapat pula berkembang menjadi banyak ribath ranting dan seterusnya berkembang secara diasporis. Namun demikian perkembangan satu tarekat induk kekawasan manapun atau sebanyak apapun, nilai anutannya tetap sama seperti tarekat induknya. Dengan kata lain, penyebaran itu hanyalah dalam segi jumlah tetapi tidak menyentuh aspek anutannya. Kehidupan tarekat di Indonesia cukup subur dan banyak pengikut, karena sesuai dengan kultur mayoritas bangsa ini. Hal ini terbukti dari banyaknya ribath-ribath yang menyebar di hampir seluruh kawasan nusantara. Namun yang cukup luas dikenal masyarakat dan banyak pengikutnya, antara lain : Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalidiyah, Rifaiyah dan Khalwatiyah. Menurut Jumhur Ulama Pada abad ini terdapat 41 thariqah. Masing-masing mempunyai Syekh.

4. Urgensi Mursyid dalam Tariqat
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’ yang artinya petunjuk. Sedangkan pelakunya adalah mursyid yang artinya orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama. Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan.

Menurut Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin dan membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah (Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt, Nabi bersabda :
Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda:
“Dahulu kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut ”, Sahabat bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau perintahkan pada kami?” Rasul menjawab, “Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka, Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena Allah Ta’ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).
Pengertian Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau beramalan-amalan saleh.

Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah. Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian.
Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ

Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.

Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)
Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :

عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ

Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam perkara-perkara (thareqat) ini.
Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.

5. Kemampuan dan syarat syarat Musyid
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
1. Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
2. Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti
3. Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
4. Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
5. Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
6. Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.





Daftar Pustaka

Aceh, Abubakar. 1996. Pengantar Ilmu Tarikat. Solo. Ramadhani.
Hari, David, Dkk,2007 Tujuan Dan Perkembangan Tarekat Dalam Dunia Islam,Makalah Kelompok, UIN Malang
Said, Fuad. 1993. Hakikat Tarikat Naqsyabandiah.. Jakarta. PT. AlHusna Zikra.
_______________Berguru kepada sufi. http://sufi muda.wordpress.com
_______________Urgensi Mursyid dalam Tarekat. http://www.sufinews.com

Bila informasi ini berguna untuk anda sebagai ucapan terimakasih Tolong KLIK Tulisan Hijau disebelah KIRI anda beberapa kali.

Teruskan Baca......