SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 31 Mei 2012

Iran dan Ekonomi Politik Islam: Bagian Pertama


Oleh: Purkon Hidayat "Tugas ilmu membuat ilmu, tugas ilmuwan menemukannya."Karl Popper Revolusi Islam dan Ilmu Sosial Tiga puluh tiga tahun yang lalu sebuah revolusi berbasis agama meletus di kawasan Timur Tengah. Para ilmuwan sosial terperangah. Heran. Tidak percaya. Terlalu sulit memercayai adanya seorang sosok ulama tua memimpin gerakan rakyat menggulingkan sebuah rezim kuat dukungan Barat. Ketika itu, bahkan hingga kini, teramat sedikit pemikir sosial yang percaya bahwa kekuatan sosial berbasis agama bisa menumbangkan kekuasaan monarki berusia ribuan tahun. Dari yang sedikit itu, Foucault tampil nyaring berbicara berbeda dari mainstream pemikir sosial era itu. Pemikir Perancis ini menyinggung adanya sebuah sistem sosial baru yang mampu resisten menghadapi derasnya modernisme Iran yang digagas secara belum tuntas oleh Reza Shah. Tokoh posmoderisme ini, memotret kedekatan erat antara rakyat dan seorang agamawan kharismatik sebagai bangunan ikatan sosial model baru di Iran pasca Revolusi Islam. "Keperibadian Khomeini mampu meruntuhkan legenda Dinasti Pahlevi. Tidak ada pemimpin negara dan politik, meski mereka mendapat dukungan penuh media, yang berani mengklaim bahwa rakyatnya memiliki hubungan emosional yang begitu tinggi seperti ikatan yang terjalin antara Khomeini dengan rakyat Iran," tutur Foucault lebih dari tiga dekade silam. Kini, setelah berlalu lebih dari tiga dekade, ilmu sosial mainstream tetap saja masih begitu sulit menerima eksistensi sistem sosial baru yang berjalan dan diterapkan di Iran selama ini. Tampaknya, ilmu sosial mainstream masih gamang mengakui Islam sebagai sistem alternatif. Misalnya, dalam disiplin ilmu ekonomi, para pemikir masih saja meletakkan frame dualisme Kapitalisme-Sosialisme ketika membaca sistem ekonomi politik sebuah negara Islam semacam Iran. Mereka melihat model perekonomian Islam di Iran sebagai penerapan sistem ekonomi campuran antara dua mainstream besar dunia itu. "Sebuah kombinasi antara sistem Kapitalisme (Liberalisme ekonomi) dan Sosialisme yang mencoba diharmoniskan dengan aturan syariah Islam," tutur seorang alumnus sebuah universitas terkemuka di negara Barat, yang saya temui di Tehran. Quo Vadis Ilmu Sosial Modern Lalu mengapa bisa terjadi demikian. Pertama, keberadaan Iran sebagai negara berbasis agama masih belum bisa diterima sebagai sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual. Kedua, minimnya literatur yang menjelaskan masalah yang terjadi di Iran dari pendekatan ilmu sosial modern. Ketiga, adanya vested interest yang sangat besar di dalam ilmu sosial sendiri. Benar kata Foucault, kekuasaan dan pengetahuan itu seperti dua gambar dalam sebuah mata uang. Selalu ada efek kuasa dan pengetahuan. Dan begitu sebaliknya. Teori sosial yang berlawanan dengan arus besar sulit untuk bisa berkembang dan mengemuka. Tampaknya, terjadi apa yang disebut oleh Foucault sebagai klaim kebenaran pengetahuan, yang tidak memberikan ruang bagi yang lain. Mazhab ekonomi politik mainstream, terutama Merkantilisme dan Liberalisme ekonomi di ranah filsafat pengetahuan merupakan bagian dari era modern yang mendorong munculnya peradababan baru dengan dua basis; rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme Rene Descartes dan Empirisisme Francois Bacon menjadi landasan ide yang berkembang pada masa renaisance, dan inilah pendorong munculnya peradababan baru bernama modernisme. Bagi Foucault, pengetahuan moderen telah menciptakan kebenaran melalui produksi pengetahuan ilmiah yang disebarkan melalui institusi-institusi seperti Universitas, angkatan bersenjata, dan media. Faktanya, di level disiplin ilmu ekonomi politik (dan ekonomi politik Internasional) hanya berpijak pada tiga pendekatan utama yaitu: Markantilisme, Liberalisme dan Sosialisme. Padahal dalam kasus Iran, (dan mungkin juga negara lain) ketiga pendekatan itu tidak memadai untuk menjelaskan basis ekonomi politik Republik Islam itu. Di level teori sosial terjadi terjadi reduksi metodologis terhadap realitas sosial, jika memaksakan harus menjelaskan fenomena sistem ekonomi politik Iran dengan tiga pendekatan itu. Menggunakan salah satu atau campuran dari tiga pendekatan itu jelas akan mereduksi sistem ekonomi politik Islam yang diterapkan di Iran. Sebab, Merkantilisme, Liberalisme ekonomi, dan Marxisme tidak memberikan ruang bagi kebijakan ekonomi politik sebuah negara yang mengambil prinsip nilai-nilai yang yang dianut bangsa Iran, termasuk nilai-nilai agama. Dalam konsepsi filsafat sosial, ekonomi politik Merkantilisme dan Liberalisme yang dijadikan pijakan hingga saat ini mengadopsi prinsip Unilitarianisme yang menilai manusia ditimbang berdasarkan ukuran kebahagiaan yang diperolehnya. Sebuah tindakan seseorang dikatakan baik, jika mampu meningkatkan kepuasan bagi dirinya. Namun jika tidak, maka harus ditinggalkan. Berdasarkan pandangan ini, kepuasaan berbanding lurus dengan utilitas yang diperolehnya. Pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Tidak seperti Merkantilisme, ekonomi politik Islam menilai kekayaan alam seperti logam mulia, minyak hanyalah alat, dan bukan ukuran kesejahteraan maupun kekuasaan sebuah negara tersebut. Mazhab ekonomi politik Islam juga tidak sependapat dengan Merkantilisme yang memandang perekonomian internasional sebagai ajang konflik dari pada kerjasama yang saling menguntungkan. Menurut Jackson dan Sorensen, dalam bukunya Introduction to International Relations: Theories And Approaches,(2005: 232)Merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena zero-sum game. Keuntungan sebuah negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lainnya. Teori ini tidak berlaku dalam kebijakan negara yang mengadopsi nilai-nilai Islam seperti Iran. Sebab, keuntungan selain punya sisi nilai kuantitatif, juga mengandung aspek kualitatif. Kedua, keuntungan di satu pihak bisa jadi keuntungan di pihak lain. Ketiga, di sini terjadi pembatasan pada definisi keuatungan hanya pada material saja. Ketika Benign Mercantilism atau Merkantilisme ramah memandang negara berupaya untuk memelihara kepentingan nasional yang dianggap sebagai unsur penting bagi keamanan dan ketahanan negara. Mazhab ekonomi politik Islam memasukan kepentingan universal kemanusiaan yang berdampingan dengan kepentingan nasional. Ada kepentingan religiusitas maupun keumatan, selain kepentingan nasional belaka. Bantuan luar negeri Iran terhadap gerakan perlawanan Islam Palestina semacam Hamas dalam kacamata Merkantilisme sebagai upaya Iran meningkatkan pengaruhnya di Palestina. Tentu saja penjelasan dengan kacamata Merkantilisme Ramah itu jelas tidak memadai. Karena ada faktor lain dari tujuan Iran membantu Palestina yaitu dimensi religiusitas dan kemanusian. Bagi Republik Islam membantu Palestina merupakan kepentingan nasional mendukungan terhadap bangsa yang tertindas di dunia yang dijiwai spirit religiusitas. Merkantilisme yang menggunakan pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Maka, pembangunan ekonomi dijadikan acuan bagi seluruh bidang lainnya. Melampaui pandangan utilitarianisme, manusia menurut Imam Khomeini adalah makhluk yang memiliki dua dimensi. Di satu sisi, sebagai materi yang memiliki karakter hewani. Sedangkan di lain sisi, merupakan dimensi non materi, spiritual, rasional dan ilahi. Kedua dimensi ini bergradasi; bisa terus tumbuh dan berkembang atau mengalami penurunan. Bersambung (IRIB Indonesia/PH)

Teruskan Baca......

Pendekatan Utama di dalam Ekonomi Politik Internasional


Citra Adelia – 070912037 (Tugas EPI: 2) Pendekatan Utama di dalam Ekonomi Politik Internasional Merkantilisme, liberalisme ekonomi, dan marxisme, merupakan tiga pendekatan yang dianggap sebagai pendekatan utama di dalam ekonomi politik internasional oleh sebagian besar penstudi hubungan internasional. Jika pada studi hubungan internasional isu-isu yang dibahas terdahulu adalah mengenai perang dan damai atau konflik dan kerjasama, maka dengan kemunculan ekonomi politik internasional, isu bahasan bergeser ke dalam ranah isu kekayaan dan kemiskinan, mengenai aapa yang di dapatkan di dalam sistem internasional oleh para aktor. Merkantilisme, merupakan sebuah pendekatan yang memandang bahwa elit-elit politik merupakan aktor utama dalam pembangunan negara modern. Pandangan utama dalam pendekatan merkantilisme adalah ekonomi merupakan alat politik yang digunakan sebagai dasar kekuasaan politik. Sehingga para penganut merkantilisme beranggapan bahwa kegiatan ekonomi harus tunduk pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat, hal ini tentu tidak terlepas dari asumsi bahwa ekonomu merupakan alat politik bagi sebuah negara (Sorensen, 1999: 232). Merkantilisme memandang perekonomian internasional sebagai ajang konflik karena di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang bertentangan dibandingkan sebagai arena kerjasama yang menguntungkan. Dengan kata lain, merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena zero-sum game dimana keuntungan negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lainnya. Selain itu, merkantilisme berasumsi bahwa kekayaan material negara perlu dikhawatirkan, sebab melalui keuntungan ekonomi relatif yang dimiliki negara, maka negara tersebut akan mampu memperkuat kekuatan politik dan militer untuk melawan negara lain (Sorensen, 2005: 232). Merkantilisme melihat terdapat dua bentuk persaingan ekonomi antarnegara, yaitu benign mercantilism atau merkantilisme ramah, dimana negara berupaya untuk memelihara kepentingan nasionalnya karena hal ini dianggap sebagai unsur penting bagi keamanan dan ketahanan negara. Merkantilisme ramah bersifat bertahan. Jenis kedua adalah malevolent mercantilism atau merkantilisme jahat. berpandangan bahwa ekonomi internasional merupakan arena imperialis, eksploitasi, serta perluasan nasional. Maka dari itu disebut dengan merkantilisme yang bersifat agresif atau jahat (Gilpin, 1987: 234). Dalam pendekatan merkantilisme ini negara dipandang sebagai aktor utama yang berperan dengan tujuan utama meningkatkan kekuatan negara. Ekonomi dan politik, yaitu kekayaan dan kekuasaan dinilai saling melengkapi satu sama lain. Melalui kekayaan ekonomi, negara akan mampu meningkatkan power di dalam bidang politik dan militer, begitu pula sebaliknya, melalui keuataan politik dan militer, negara akan dengan mudah mendapatkan keuntungan ekonomi. Pendekatan utama lain adalah liberalisme ekonomi. Liberalisme ekonomi muncul sebagai kritik terhadap pendekatan Merkantilisme yang melihat ekonomi sebagai alat politik negara untuk meningkatkan powernya. Pada pendekatan liberalisme ekonomi, ekonomi dan politik cenderung menjadi dua komponen yang terpisahkan. Meskipun para kaum liberalis beranggapan bahwa pasar tidak boleh mengikutkan campur tangan pemerintah, namun hubungan antar ekonomi dan politik ini tergambar secara implisit. Pasar dianggap muncul dan mengalami perluasan secara spontan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Adam Smith menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pasar, uang, serta institusi ekonomi tercipta. Pemikiran dasar mengenai sistem pasar sendiri ditujukan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi guna mensejahterakan manusia (Gilpin, 1987: 28). Adam Smith sebagai bapak ekonomi liberal berpandangan bahwa ekonomi pasar adalah sumber utama kemajuan, kerjasama, dan kesejahteraan. MEskipun tidak secara eksplisit menjelaskan hubungan ekonomi dan politik, namun pernyataan dan asumsi-asumsi dari leiberalis ekonomi ini sendiri cukup menggambarkan adanya keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam cakupan interrnasional. Smith melihat bahwa campur tangan politik melalui peraturan negara akan menyebabkan konflik dan kemunduran (Sorense, 2005: 235). Jika pada pendekatan merkantilisme negara dianggap sebagai aktor utama yang berperan dalam ekonomi politik internasional, pada pendekatan liebralisme ekonomi, individu sebagai konsumen dan produsen menjadi aktor utama. Peran negara di dalamnya hanya berfungsi untuk mencegah kegagalan pasar atau sebagai penyedia barang publik saja. Kegiatan ekonominya bersifat positive sum game, seiring perkembangannya, pasar merupakan arena kerjasama yang dapat meberi keuntungan timbal balik bagi negara yang berpartisipasi di dalamnya. Pendekatan ketiga adalah pendekatan marxisme. Jika liberalisme ekonomi melihat perekonomian sebagai arena yang saling menguntungkan, berbeda dengan mrxisme yang berpandangan bahwa perekonomian adalah arena eksploitasi manusia dan perbedaan kelas. Hampir sama dengan merkantilisme yang memandang perekonomian sebagai zero sum game, marxisme menggunakannya pada hubungan antar kelas selain hubungan antar negara. Jika merkantilisme menempatkan ekonomi sebagai alat politik, yang berarti poltiik memiliki posisi di atas ekonomi, marxisme adalah kebalikannya. Marxisme menempatkan ekonomi di atas politik. Di dalam perekonomian kapitlais, marxis melihat adanya du akelas yang tercipta, yaitu borjuis dan proletar (Sorensen, 2005: 235-236). Kapitalisme dianggap oleh kaum marxisme sebagaisebuah langkah kemajuan, dimana buruh dapat menjual tenaganya dan memperoleh imbalan, selain itu kapitalisme juga dipandang membuka jalan bagi revolusi sosial. Dominasi kaum borjuis dalam perekonomian kapitalis ini dipandang juga memiliki kecenderungan untuk mendominasi sektor politik. Jika pada merkantilisme negara sebagai aktor utamanya dan pada liberalisme ekonomi individu merupakan aktornya, pada marxisme negara dianggap tidak otonom, kegiatan ekonomi dan politik digerakkan oleh kepentigan kelas-kelas penguasa. Selain itu kapitalisme dianggap bersifat ekspansif, perluasan inilah menjadi salah satu bentuk globalisasi ekonomi, dimana banyak perusahaan transnasional raksasa yang berkuasa (Sorensen, 2005: 240). Pada intinya, pendekatan marxisme beranggapan bahwa aktor utama adalah kelas-kelas. Bahwasanya kelas-kelas penguasa yang mendominasi salah satu sektor juga akan mendominasi sektor lainnya. Dominasi kelas ekonomi akan juga mendominasi sektor politik, dan fokus bahasan pada pendekatan marxisme ini adalah seputar pembangunan kapitalis global yang menyebabkan krisis antar negara dan juga antar kelas. Ketiga pendekatan yang disebutkan di atas merupakan tiga pendekatan utama dalam pembahasan ekonomi politik internasional. Ketiganya muncul sebagai reaksi atas pendekatan lainnya. Merkantilisme melihat bahwa negara akan menggunakan ekonomi sebagai alat poltiik yang mampu meningkatkan power bagi negara. Liberalisme ekonomi berpandangan bahwa negara tidak seharusnya memberi campur tangan pada perekonomian. Dan marxisme mngkritisi pandangan liberalisme ekonomi yang melihat pasar sebagai arena kerjasama, marxisme lebih melihat pasar sebagai arena eksploitasi kelas. Meskipun saling mengkritisi satu sama lain, ketiga pendekatan ini memberikan alternatif-alternatif pandangan yang variatif dalam melihat hubungan antar aekonomi dan politik internasional. Referensi: Gilpin, Robert. 1987. “Three Ideologies of Political Economy”, dalam The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princetin University Press, pp.25-64. Jackson, Robert & Sorensen, Goerg. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Oxford University Press.

Teruskan Baca......