SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 08 Desember 2011

Memulai Bisnis Online

Undang Teman dan Keluarga Anda
... dan dapatkan Rp. 20.000 untuk setiap orang yang membeli Deal kami!
Bagaimana caranya?
Pertama Anda harus registrasi menjadi member terlebih dahulu.

Setelah log in, Anda bisa mengundang teman anda dengan mengunjungi halaman Akunku dan memilih menu Undanganku di sebelah kiri.

Anda bisa mengirimkan undangan melalui beberapa channel yang tersedia:
1. Sharing menggunakan Facebook dan Twitter
2. Copy-paste link pribadi yang telah disediakan ke teman-teman Anda
3. Mengirimkan email melalui kotak yang tersedia

Semakin banyak teman yang Anda ajak, semakin banyak kredit yang bisa Anda raih dan semakin seru juga pengalaman berbelanja Anda!

Bagaimana caranya saya mendapatkan kredit?
Apabila seseorang yang Anda undang telah menjadi member (tidak melalui FB Connect) dan telah melakukan verifikasi nomor telepon sebelum melakukan pembelian voucher untuk pertama kali di DealKeren, maka Anda akan otomatis mendapatkan kerdit Rp 20.000. Pastikan yang mengundang dan diundang sudah melakukan verifikasi nomor telepon terlebih dahulu di AkunKu -> ProfilKu.

Bagaimana caranya saya melihat kredit saya?
Anda dapat melihat poin Anda dengan mengunjungi menu Akunku dan memilih menu Kreditku di

Teruskan Baca......

Minggu, 27 November 2011

Pemikiran Ekonomi Sang Hujatul Islam, Al-Ghazali

JOSEPH A. Schumpeter dalam karya klasiknya, History of Economic Analysis (1954) memperkenalkan sebuah tesis “Great Gap” yang menyatakan bahwa terdapat masa kekosongan (blank centuries) antara zaman kejayaan Yunani (Greeks) sampai zaman munculnya ilmuwan-ilmuwan Latin (Latin Scholastics), khususnya St Thomas Aquinus (1225-1274 M) di Eropa. Selama masa kekosongan ini, Schumpeter berpendapat bahwa tidak ada tulisan satu pun yang relevan tentang ekonomi.

Tesis Schumpeter ini berusaha menafikan kontribusi peradaban Islam terhadap evolusi perkembangan ilmu pengetahun (intellectual evolution) sampai zaman modern ini. Di saat Islam mencapai puncak kejayaannya di Cordova, kehidupan orang Eropa masih berada pada titik peradaban yang terendah. Kehidupan bangsa Eropa mulai berubah ketika mereka mulai bersentuhan dengan peradaban Islam di Andalusia (Spanyol).

Pada hakekatnya, peradaban Islamlah yang menjembatani kontinuitas peradaban Yunani sampai ke Eropa dan Barat. Namun masa kejayaan Islam ini berusaha ditutup-tutupi oleh sebagian ilmuwan Klasik Barat dengan memunculkan istilah “Great Gap” atau “Blank Centuries”.

Masa kejayaan Islam yang berlangsung lebih dari 6 abad lamanya telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan klasik Islam beserta karya-karya monumentalnya yang sampai saat ini masih menjadi rujukan kaum intelektual di kalangan Islam maupun Barat dalam berbagai disiplin ilmu zaman modern ini.

Al-Ghazali adalah salah satu ilmuwan muslim yang sering dikutip pemikirannya dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk dalam pemikiran ekonomi.

Beberapa penelitian membuktikan adanya kesamaan pemikiran ekonomi Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam Ihya ‘Ulum al-Din dengan pemikiran St Thomas Aquinus (1225-1274) dalam Summa Theologica-nya.

Margaret Smith (1944) mengatakan, “there can be no doubt that Al-Ghazali’s works would be among the first to attract the attenton of these European scholars”, kemudian dia mengatakan lagi bahwa salah satu tokoh Kristen yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali adalah St Thomas Aquinus. Dia belajar di University of Naples di mana pengaruh literatur dan budaya Arab sangat dominan pada saat itu. Bahkan lebih lanjut dia mengatakan, Albertus Magnus and Raymond Martin yang menjadi guru sekaligus mentor Thomas Aquinus, sangat familiar dengan pemikiran Al-Ghazali dan ilmuwan Arab muslim lainnya.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri pemikiran ekonomi Al-Ghazali sebagai upaya untuk membantah tesis Great Gap-nya Schumpeter bahwa Blank Centuries yang berlangsung selama 6 abad itu tidak pernah terjadi dan berusaha membuktikan bahwa pada masa itu justru terjadi puncak peradaban Islam, khususnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan.

Berbagai Ilmu

Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Tusi Al-Ghazali lahir di Tus Khurasan, Iran pada tahun 450 H (1058 M). Beliau diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiqh, ilmu al-Quran, tasawuf, politik, administrasi, dan ekonomi.

Namun yang tersisa hingga kini hanya 84 buah, di antaranya adalah Ihya ‘Ulum al-Din, Tahfut al-Falasifaha, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, al-Mustashfa, Mizan al-‘Amal.

Pemikiran ekonomi Al-Ghazali setidaknya mencakup konsep dasar tentang perilaku individu sebagai economic agent, konsep tentang harta, konsep kesejahteraan sosial (maslahah), market evolution, demand dan supply, harga dan keuntungan, nilai dan etika pasar, aktivitas produksi dan hirarkinya, sistem barter dan fungsi uang, dan fungsi negara dalam sebuah perekonomian.

Menurut Al-Ghazali, terlibat dalam aktivitas ekonomi hukumnya fardu kifayah. Aktivitas ekonomi harus didasarkan pada tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat.

Lebih lanjut lagi ia menjelaskan alasan kenapa manusia harus terlibat dalam urusan ekonomi, yaitu:

Pertama, Allah telah menciptakan sumber daya alam yang melimpah untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya, sekaligus sebagai bukti kesyukuran kepada Sang Maha Pemberi Rezeki.

Kedua, orang yang kuat secara ekonomi maka hidupnya akan bebas, jauh dari ketergantungan pada orang lain dan dapat menjalankan ajaran agama secara sempurna, misalnya zakat, infak, sedekah dan ibadah haji.

Ketiga, perilaku dalam mengejar pemenuhan ekonomi tak boleh menyimpang dari ajaran dan prinsip agama Islam.

Al-Ghazali menekankan pentingnya bagi para pelaku ekonomi untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan Islam dalam transaksi ekonomi. Mereka harus mengetahui jenis-jenis transaksi yang dilarang dan dibolehkan. Mereka harus mengetahui tentang bai’ (jual-beli), riba, salam, ijarah, musharakah dan mudharabah. Setiap transaksi-transaksi ekonomi tersebut memiliki rukun dan ketentuan yang wajid diketahui oleh para pelaku ekonomi demi menghindari kemudharatan dan kerugian yang bisa muncul kemudian hari.

Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial Islam”. Dari konsep ini kemudian lahirlah istilah masalih (utilitas, manfaat) dan mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningktakan kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan suatu masyarakat hanya akan terwujud jika memelihara lima tujuan dasar, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Melalui kelima tujuan dasar ini, dia kemudian membagi tiga tingkatan utilitas individu dan sosial, yakni daruriat (kebutuhan), hajiat (kesenangan), dan tahsinat (kemewahan).

Jadi konsep tentang kemaslahatan dan kemudaratan sudah lama dikemukakan oleh Al-Ghazali sebelum konsep ini berkembang dalam ekonomi modern dengan istilah “kesejahteraan sosial”. Ia mengatakan bahwa setiap tindakan individu yang merugikan orang lain maka termasuk perbuatan zholim. Contoh perbuatan yang membahayakan kepentingan umum dan masuk dalam kategori perbuatan zholim menurut Al-Ghazali adalah menimbun barang dan memalsukan uang. Hal ini dianggap sebagai perbuatan zholim karena berdampak pada ketidakseimbangan pasar yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat umum.

Al-Ghazali juga mengemukakan secara detail tentang proses terbentuknya “pasar” secara alamiah. Pasar terbentuk karena adanya dorongan untuk saling memenuhi kebutuhan. Al-Ghazali menggunakan istilah pandai besi (blacksmiths), tukang kayu (carpenters), dan petani (farmers) untuk saling bertukar kepemilikan demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara alamiah akan terbentuk suatu tempat yang disebut “pasar” untuk saling bertukar jika kebutuhan masing-masing berbeda. Al-Ghazali kemudian berpendapat bahwa dengan alasan perdagangan (tukar-menukar) maka akan terjadi perpindahan barang dagangan dari satu tempat ke tempat lain. Adapun motif utama di balik aktivitas ini adalah untuk mengumpulkan modal dan keuntungan. Adam Smith (1723-1790) yang hidup 700 tahun setelah Al-Ghazali mengungkapkan istilah yang hampir mirip dengan pandangan Al-Ghazali ketika menjelaskan proses terbentuknya pasar (tukar-menukar), namun menggunakan istilah yang berbeda yaitu tukang daging (butcher), pembuat bir (brewer), dan tukang roti (baker).

“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love.” (Adam Smith, The Wealth of Nation).”

Meskipun Al-Ghazali tidak banyak berteori tentang hukum pasar supply-demand seperti dalam teks buku-buku ekonomi saat ini, namun banyak pikirannnya bisa ditemukan dalam bukunya, khususnya Ihya ‘Ulum al Din yang menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang hukum pasar supply-demand. Misalnya beliau mengatakan, “Ketika seorang petani tidak menemukan seorang pembeli atas hasil pertaniannya maka ia akan menjualnya dengan harga yang lebih rendah.” (Ghazanfar, 2005)

Al-Ghazali juga nampaknya begitu mengerti tentang ‘price-inelastic’ demand. Hal ini terlihat pada anjurannya untuk tidak mengambil keuntungan yang tinggi dalam perdagangan barang-barang kebutuhan dasar manusia seperti makanan.

Uang diciptakan untuk memfasilitasi pertukaran dalam transaksi ekonomi. Al-Ghazali sangat memahami fungsi uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange). Tukar-menukar barang dan jasa tidak akan efektif jika hanya mengandalkan sistem barter. Di sinilah manfaat ciptaan Allah bernama Dinar dan Dirham yang memiliki nilai intrinsic dan dapat digunakan sebagai alat pertukaran. Al-Ghazali mengatakan “kepemilikan uang (dinar dan dirham) tidak bermanfaat kecuali jika digunakan sebagai alat pertukaran barang dan jasa.” (Ghazanfar, 2005)

Uang tidak hanya berfungsi sebagai alat pertukaran tapi juga sebagai pengukur nilai (measure of value). Al-Ghazali mengingatkan supaya tidak menggunakan uang dalam praktik riba seperti dalam perkataannya:

“jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya. Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din)

Al-Ghazali juga memikirkan tentang fungsi Negara dan penguasa dalam pengaturan aktivitas ekonomi. Kemajuan ekonomi akan tercapai jika terjadi keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan stabilitas. Dan ini merupakan ruang lingkup tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Selain itu, Al-Ghazali juga berbicara tentang konsep keuangan publik. Pendapatan negara didapatkan dari zakat, fai, ghanimah dan jizyah. Sementara untuk pengeluaran publik, Al-Ghazali menganjurkan perlunya membangun infrastruktur sosio ekonomi yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

*)Penulis adalah Master Student in Economics, IIUM. Rep:
Red: Sumber

Teruskan Baca......

Sabtu, 26 November 2011

Fazlur Rahman
STUDI HADIS FAZLUR RAHMAN

(Disarikan dari buku Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965)

Oleh : Anjar Nugroho
1. Pendahuluan

Pada mulanya, Fazlur Rahman, seorang intelektual neo-modernis, merasakan kegelisahan akademik, yang juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu tertutupnya rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa di kalangan umat Islam. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhjadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan.

Kegelisahan Rahman berikutnya adanya fenomena di kalangan pembaharu Islam yang dalam melakukan pembaharu umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory.

Studi Fazlur Rahman terhadap hadis memiliki arti yang sangat penting terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan oleh studi sanad, yang menutrut ia, walau memberi informasi biografis yang kaya, tetapi tidak dapat dijadikan argumentasi positif yang final. Umat Islam dewasa ini, menurut Rahman, membutuhkan upaya yang metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya.

Fazlur Rahman telah menelaah karya-karya intelektual sebelunya yang terkait dengan studi hadis, antara lain Ignaz Goldziher, Margoliouth, H. Lammens, dan Joseph Schacht. Ruang lingkup studi Rahman adalah hadis yang dimulai kajiannya dari konsep-konsep sunnah pada awal sejarah Islam sampai formalisasi hadis, serta menawarkan sebuah pendekatan historis dalam studi tersebut. Maka kata kuncinya adalah sunnah yang hidup (living sunnah), idea moral ( ratio legis), dan legal spesifik.

Studi hadis Fazlur Rahman memberikan beberapa kontribusi yaitu pengetahuan baru tentang metode kritik terhadap hadis, memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik dan atomistik, dan memberi sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih feasible terhadap tantang jaman.

Fazlur Rahman mengawali penulisannya dengan memaparkan secara singkat kegelisahan intelektualnya tentang kondisi real umat Islam yang terbelenggu dengan tertutupnya pintu ijtihad.. Selanjutnya Rahman menguraikan evolusi historis hadis dari perkembangan awal hadis di masa Nabi.Pada akhirnya Rahman menawarkan metodologi dalam studi hadis untuk mengembalikan kembali hadis menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) melalui pendekatan historis yang dipadu dengan pendekatan sosiologis.

2. Problem (Kegelisahan Akademik)

Bermula dari kegelisahan paling mendasar dari seorang intelektual neo-modernis, Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondosif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis.

Tertutupnya pintu ijtihad telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhjadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam – al-Qur’an dan Sunnah nabi – umat Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalistis dan atomistis.

Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi – sebagaimana disaksikan oleh Fazlur Rahman -, mereka dalam melakukan pembaharuan umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi – tanpa mempertimbangkan latar kesejarahannya – kemudian menyusunnya ke dalam sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat – tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi – jelas merupakan pembaharuan yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan konsisten”.[1]

Dalam iklim pembaharuan yang lesu semacam ini munculah Fazlur Rahman dengan menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian hadis dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin segar terhadap arah pembaharuan ajaran Islam yang lebih paradigmatis.

3. Pentingnya Topik Penelitian

Studi Fazlur Rahman terhadap hadis memiliki arti yang sangat penting terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan oleh studi sanad, yang menutrut ia, walau memberi informasi biografis yang kaya, tetapi tidak dapat dijadikan argumentasi positif yang final.

Umat Islam dewasa ini, menurut Rahman, membutuhkan upaya yang metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Upaya itu perlu, untuk memilahkan dalam kandungan hadis sisi-sisi normativitas dari sisi-sisi historisitasnya, sehingga muncul gagasan idea moral hadis yang dapat dijadikan sebagai basis etika dalam mengembangkan formula baru ajaran Islam yang adaptatif terhadap perkembangan jaman.

Untuk selanjutnya, tidak berlebihan jika apa yang Fazlur Rahman tawarkan merupakan prinsip-prinsip yang tidak hanya berguna bagi yurispridensi Islam, tetapi juga bagi keseluruhan pemikiran Islam.
4. Hasil Penelitian Terdahulu

Studi Fazlur Rahman tentang hadis merupakan respon terhadap kontroversi yang berkepanjangan mengenai sunnah dan hadis di Pakistan, dan terhadap situasi kesarjanaan Barat. Di bawah ini adalah gambaran secara singkat situasi kesarjanaan Barat terkait dengan konsep sunnah dan hadis.

Ignaz Goldziher dapat dikatakan sebagai sarjana Barat pertama yang melakukan studi kritis hadis. Dalam karya munomentalnya, Muhammadanische Studien (vol. 2, 1890), ia mengemukakan bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadis yang terus membengkak pada masa-masa selanjutnya, dan karena dalamsetiap generasi Muslim materi hadis berjalan pararel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi yang seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menemukan hadis-hadis yang orisinil berasal dari Nabi.[2]

Margoliouth dalam Early Development of Islam, mengemukakan bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnnah yang dipraktekkan kaum Muslim awal sama sekali bukan merupakan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al-Qur’an. Margoliuoth juka mengemukakan bahwa dalam rangka memberikan otoritas dan normativitas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad kedua Hijriyah telah mengembangkan kosep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme hadis untuk merealisasikan konsep tersebut.[3]

H. Lammens, dalam bukunya Islam ; Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang sama dengan Margoliouth dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek sunnah pasti sudah mendahului perumusannya dalam hadis.[4]

Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, menyatakan – sebagaimana Margoliuth – bahwa konsep sunnah Nabi merupakan kreasi kaum Muslim belakangan. Menurutnya sunnah mencerminkan kebiasan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” dan “tradisi yang hidup” itu adanya mendahului hadis (tradisi Nabi), Ketika hadis pertama kali beredar – sekitar menjelang abad kedua hijriyah – ia tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tabi’in, baru pada tahap berikutnya, dirujukkan kepada sahabat dan Nabi.[5]

Dalam kajiannya mengenai sunnah dan hadis, Rahman memang mengkonfirmasi temuan-temuan atau teori-teori para sarjana Barat tentang hal itu, tetapi dia tidak sepakat dengan teori mereka bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum Muslim yang belakangan. Bagi Rahman, konsep Sunnah Nabi merupakan “konsep yang shahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa”.[6] Dan dari sinilah posisi unik Rahman di antara pemikir-pemikir Barat yang telah terlebih dahulu melakukan studi terhadap hadis. Rahman tidak apriori terhadap eksistensi hadis dalam hasanah pemikiran Islam, tetapi juga tidak menerima begitu saja teori resmi dan baku tentang hadis yang terwadahi dalam ulumul hadis versi ulama-ulama hadis. Dan yang terpenting dalam studi Rahman terhadap hadis adalah, bagaimana ia menawarkan pandekatan dan metode baru dalam memahami dan mengoperasikan hadis dalam khasanah intelektual Muslim dewasa ini.

5. Kerangka Teori dan Pendekatan

Secara garis besar, menurut Fazlur Rahman, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept) dari pada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak. Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat disimpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku (behavioral term), oleh karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi, demikian tegas Rahman, merupakan petunjuk arah (pointer in the direction) dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti (an exactly laid-out series of rulers).[7]

Berdasarkan asumsi itu, Rahman mengintrodusir teorinya tentang penafsiran situasional terhadap hadis. Ia menegaskan bahwa kebutuhan kaum Muslim dewasa ini adalah melakukan revaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadis dan reinterpretasi dengan sempurna terhadap hadis sesuai dengan kondisi-kondisi moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendekatan historis dalam studi hadis, yakni mengembalikan hadis menjadi “sunnah yang hidup” dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya.[8]

Penafsiran situasional tersebut, menurut Rahman, akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin keagamaan harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali, seperti masalah determinisme dan free-will (karsa bebas) manusia yang tercermin dalam hadis-hadis. Hadis-hadis ini harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Penafsiran situasional yang sama, menurut Rahman, juga harus dilakukan terhadap hadis-hadis hukum. Hadis-hadis ini, demikian harus dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be re-treated) dan bukan dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang dapat secara langsung dipergunakan (a ready-made law).[9]

Pendekatan historis dalam “penafsiran situasional” ala Fazlur Rahman mengisyaratkan adanya beberapa langkah strategis. Pertama, memahami makna teks Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat pada periode nabi secara umum (asbab al-wurud makro), termasuk di sini pula sebab-sebab munculnya hadis (asbab al-wurud mikro). Di samping itu juga memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang relevan. Hal ini penting, karena Rahman memandang bahwa kreterium penilai yang handal untuk otentisitas pemaknaan hadis adalah dua hal, yakni sejarah dan al-Qur’an. Dari langkah ini dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legis) dari ketetapan legal spesifiknya, dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip idea moral dari hadis tersebut.

Langkah berikutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip idea moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.

Contoh operasi metodologis pendekatan historis dalam studi hadis yang ditawarkan Fazlur Rahman dapat ditemukan dalam uraiannya tentang riba dalam bukunya Islamic Methodology in History sebagai berikut :

Al-Qur’an … menjelaskan alasan yang sesungguhnya di balik pelarangan riba dengan mengatakan bahwa riba tidak dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi komersial karena ia merupakan suatu proses yang dengannya modal berlipat ganda secara tidak wajar. Hadis historis mengkonfirmasi hal ini dengan memberi informasi kepada kita behwa riba, dalam kenyataannya, merupakan praktek orang-orang Arab pra-Islam. Tetapi kita telah melihat ketegasan moral yang dengannya opini legal telah memasukkan berbagai aktivitas dalam definisi riba dengan merumuskan suatu prinsip umum bahwa “setiap pinjaman yang memberi keutungan kepada kreditur adalah riba”. Dalam nada yang sama dikatakan bahwa riba secara eksklusif berlaku terhadap bahan-bahan makanan, emas, dan perak, serta tidak berlaku terhadap hal-hal lainnya. Ini secara tegas menyiratkan arti bahwa, sebagai contohnya, sejumlah kapas boleh dipinjamkan dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian ia harus dikembalikan dalam jumlah yang lebih banyak selaras dengan kehendak kreditor. Hal semacam ini, tentu saja, bertentangan dengan prinsip umum yang baru saja dikutip. Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa yang hendak diformulasikan secara kaku adalah penafsiran moral yang progresif terhadap larangan al-Qur’an tersebut. Sudah barang tentu kita tidak bisa menerima penafsiran yang moral-legal yang spesifik ini dalam segala situasi dan kondisi. Lebih lanjut, bahwa bunga bank dewasa ini secara sah dicakup oleh definisi perdagangan sulit untuk disangkal. Ahli-ahli ekonomi dan moneter sajalah yang dapat menentukan apakan bank tanpa bunga dapat berfungsi atau tidak. Jika dapat berfungsi, syukurlah. Tetapi jika tidak, maka menegaskan bahwa (sistem) perbankan komersial dewasa ini – denagn perekonomian yang amat terkontrol – masuk dalam larangan al-Qur’an dan sunnah Nabi sama sekali tidak menunjukkan kejujuran terhadap sejarah dan agama tetapi menunjukkan krisis kepercayaan manusia yang akut dan sinisme yang tak kenal kompromi.[10]

Dalam contoh penafsiran hadis di atas, terlihat Rahman memandang hadis-hadis legal mengenai riba sebagai formulasi kaum Muslim belakangan, meski ia tidak merujuk secara langsung hadis-hadis tersebut. Di sisi lain, terlihat bahwa penafsiran situasional terhadap hadis hukum – yang tentu saja dipandang olehnya sebagai interpretasi kreatif kaum Muslim awal terhadap sunnah ideal Nabi – didasarkan pada hadis historis dan norma moral al-Qur’an, dengan memperhatikan secara cermat kondisi kesejarahannya : “Hanya dengan memahami latar belakang yang terdiri atas hal-hal yang telah diketahui secara pasti tentang Nabi dan Umat awal (di samping al-Qur’an), kita dapat menafirkan hadis hukum (teknis)”.[11]

6. Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian

Studi Fazlur Rahman ini ruang lingkupnya adalah hadis yang dimulai kajiannya dari konsep-konsep sunnah pada awal sejarah Islam sampai formalisasi hadis, serta menawarkan sebuah pendekatan historis dalam studi tersebut. Maka kata kunci yang digunakan oleh Fazlur Rahman antara lain : sunnah yang hidup (living sunnah), idea moral (ratio legis), dan legal spesifik.

7. Kontribusi dalam Ilmu-Ilmu Keislaman

Studi hadis Fazlur Rahman memberikan beberapa kontribusi terhadap pengembangan pemikiran Islam, antara lain ; Pertama, memberikan pengetahuan baru tentang metode kritik terhadap hadis yang selama ini didominasi oleh metode kritik sanad yang menjadi manhaj paling absah untuk menilai otentisitas hadis. Kedua, memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik dan atomistik. Ketiga, seluruh bangunan pemikiran Rahman, khususnya yang terkait dengan pemikiran atas sumber-sumber syari’ah, (al-Qur’an dan sunnah), adalah sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih feasible terhadap tantang jaman.

8. Logika dan Sistematika Penulisan

Fazlur Rahman memulai penulisan studi hadisnya di dalam karya yang sangat monumental, Islamic Methodology in History, dengan memaparkan secara singkat kegelisahan intelektualnya tentang kondisi real umat Islam yang terbelenggu dengan tertutupnya pintu ijtihad. Pemaparan sejenis secara lebih memadai penulis dapatkan di buku Rahman yang lain, misalnya, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition. Selanjutnya Rahman menguraikan evolusi historis hadis dari perkembangan awal hadis di masa Nabi, lalu munculah ‘sunnah yang hidup’ hingga masa tadwin (bahasa Rahman : formasilisasi hadis). Ketika hadis belum diformalisasikan pada sekitar abad 2 Hijriyah, khasanah pemikiran Islam mengalami perkembangan yang dinamis dengan menerapkan pilar utama pemikiran Islam, yakni al-Qur’an, sunnah, ijtihad, dan ijma’, akan tetapi, begitu tulis Rahman, ketika umat Islam memasuki era formalisasi hadis (terjadi pergeseran dari sunnah ke hadis), yang terjadi adalah tertutupnya rapat-rapat intellectual exercise untuk mengaktualkan sunnah Nabi secara adil dan proporsional.

Pada akhirnya Rahman menawarkan metodologi dalam studi hadis untuk mengembalikan kembali hadis menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) melalui pendekatan historis yang dipadu dengan pendekatan sosiologis. Dalam pembahasan ini, Rahman juga menampilkan beberapa contoh hadis yang kemudian ia analisis berdasarkan metode dan pendekatan yang ia tawarkan sebelumnya. Dari sini dapat dilihat konsistensi pemikiran Rahman tentang hadis, baik dalam ranah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.



BIBLIOGRAFI


Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965


____________, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984

____________, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago ; The University of Chicago Press, 1982

Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen & Unwin, 1971

Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at The Clarendon Press, 1971, h. 2-58, 80-189

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994



[1] Lihat Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994, h. 39-40

[2] Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen & Unwin, 1971, h. 38

[3] Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984, h. 45

[4] Ibid., h. 55

[5] Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at The Clarendon Press, 1971, h. 2-58, 80-189

[6] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965, h. 5-6

[7] Ibid., h. 12

[8] Ibid., h. 77-78

[9] Ibid., h. 78

[10] Ibid., h. 79-80

[11] Ibid., 81

Teruskan Baca......

Kamis, 24 November 2011

KONSEP EKONOMI ISLAM UNTUK KESEJAHTERAAN


Oleh :Dr. H. Saparuddin Siregar SE Ak. MAg / Wakil Ketua BAZDASU
Prodi Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN SU

ABSTRAKSI

Tujuan ekonomi adalah kemakmuran, dimana kemiskinan ditekan pada angka yang minimal. Berbagai kebijakan negara disusun untuk mencapai kesejahteraan ini, namun kebijakan saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan sikap pemimpin yang amanah. Sistem ekonomi Islam yang telah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan bahwa kepemimpinan yang amanah mampu menekan kemiskinan sampai titik yang terendah.

A. Pendahuluan

Umat Islam memiliki jumlah populasi yang besar di Indonesia,[1] namun populasi yang besar ini tidak didukung oleh kualitasnya yang tinggi, sehingga Umat Islam secara umum masih mengalami ketertinggalan dalam ekonomi. [2]

Model Ekonomi Negara sesuai konsepsi Islam adalah sistem ekonomi yang terbebas dari Maysir, Gharar dan Riba (“Maghrib”), dimana pengelola ekonomi haruslah orang-orang yang amanah.

Melalui makalah ini akan diuraikan beberapa pengertian tentang kemiskinan, beberapa konsep mengatasinya dan suatu uraian ringkas bukti sejarah diterapkannya ekonomi islam dengan amanah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana hanya dalam masa 2 tahun kepemimpinannya telah berhasil menghapus kemiskinan.

B. Kemiskinan dan Cara Pemecahannya

Kemiskinan mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal dari asal kata fakir dengan awalan ke dan akhiran an.[3] Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin dengan pengertian orang yang sangat kekurangan. Al-Qur’an memakai beberapa kata dalam menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin, al-sail, dan al-mahrum, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Kata fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan kata miskin disebut sebanyak 25 kali, yang masing-masing digunakan untuk pengertian yang hampir sama.[4]

Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-berdayaan – ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, kelompok, bangsa bahkan negara yang menyebabkan kondisi tersebut rentan terhadap timbulnya berbagai permasalahan kehidupan sosial.[5]

Berdasarkan cara pandang , kemiskinan dapat dibagi kepada kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang dipandang dari pendapatan masyarakat yang secara nyata di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain. Kemiskinan jenis ini sering dikaitkan karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan.

Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi kepada kemiskinan kultural dan struktural.

1. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.

2. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan natural dan kemiskinan buatan (artificial)[6]

1. Kemiskinan natural berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan, hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Kemiskinan natural juga berhubungan dengan faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita.[7] disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah yang terisolir.

2. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan kultural maupun struktural dapat dilakukan strategi masing-masing sebagai berikut.[8]

Mengatasi kemiskinan struktural

Kemiskinan Struktural diatasi melalui kebijakan pemerintah dalam bidang Ekonomi, pendidikan dan kelembagaan

a. Bidang ekonomi

1) Kebijakan pemerintah dan regulasi sosial tentang ekonomi masyarakat pedesaan

2) Pemberdayaan sektor riil dan peningkatan produktifitas

3) Ekonomi berbasis agama

4) Perempuan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat

5) Pengaturan kepemilikan

b. Pendidikan

6) Pesantren sebagai center for community development yang efektif untuk akselerasi penyejahteraan masyarakat muslim pedesaan

7) Pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan berbasis pesantren atau lembaga-lembaga keagamaan sejenis dan pentingnya konservasi lingkungan hidup

8) Pesantren masyarakat, dan kewirausahaan

9) Pengembangan Ekonomi Pesantren melalui Paradigma Integrasi dan Interkoneksi Keahlian

10) Pengembangan Ekonomi masyarakat pedesaan, pesantren dan potensi pariwisata

c. Kelembagaan

11) Revitalisasi dan rekonseptualisasi tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI)

12) Kinerja MUI

13) Kelembagaan BAZDA

14) Lembaga DOMPET DHUAFA

15) Peran lembaga-lembaga sosial keagamaan

16) Organisasi Keagamaan dan kiprah ulama

17) Wakaf tunai

Mengatasi kemiskinan Sosial Kultural

Untuk mengatasi kemiskinan ini dilakukan melalui pemahaman umat beragama tentang: ajaran agamanya, fenomena alam, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai sosial

1) Pemahaman umat beragama tentang agamanya

2) Pemahaman umat beragama tentang kemiskinan dan fenomena alam

3) Pemahaman umat beragama tentang nilai-nilai budayanya.

4) Masyarakat religius pedesaan dan potensi ekonomi lokal untuk pengentasan kemiskinan

5) Hambatan pengembangan ekonomi dari pemahaman Islam yang sempit

6) Pandangan umat Islam tentang pengembangan jaringan ekonomi masyarakat

7) Agama dan pemberdayaan kaum miskin

8) Islam dan Etos Kerja

9) Tasawuf dan Business

10) Institusional Ritual Agama

11) Amal ibadah

12) Dakwah dan Pengembangan Masyakarat Islam

13) Kriminalitas dan kemiskinan

14) Kearifan Lokal

15) Pemahaman umat beragama tentang alam

C. Umar bin Abdul Azis dan Reformasi ekonomi

1. Biografi

Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H, pada umur 38 tahun ia dibai’at menjadi khalifah Bani Umayyah dan hanya memimpin selama 2 tahun. Ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malijk), tetapi Sulaiman berwasiat menunjuk langsung Umar sebagai penggantinya. Umar adalah sepupu Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik bin Marwan. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim bin Umar bin Khattab. Dengan demikian Umar bin Abdul Aziz adalah cicit dari Umar bin Khattab.

Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II

Silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa Umar bin Khattab.

Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.

Ibu : “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”

Anak : “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”

Ibu : “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.

Anak : “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.

Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.

Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.[9]

Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

2. Reformasi ekonomi Umar Bin Abdul Aziz

a. Memulai dari diri sendiri dan keluarga

Umar Bin Abdul Aziz melakukan perbaikan dalam kehidupan Negara yang luas dengan memulai dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkanya kepada keluarga intinya dan selanjutnya kepada keluarga istana yang lebih besar. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri, keluarga dan istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi yang besar yang abadi dalam sejarah. Umar bin Abdul Aziz memulai dari diri dan keluarganya agar tidak hidup dengan bermewah-mewahan, bahkan gajinya sebagai seorang khalifah pun tidak diambil karena sudah kecukupan dari kekayaan pribadinya dan gaji tersebut diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Begitu selesai dilantik Umar segera memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya, baik berupa uang maupun barang, ke Kas Negara, termasuk pakaiannya yang mewah. Ia juga menolak tinggal di istana, ia tetap menetap di rumahnya. Pola hidupnya berubah secara total, dari seorang pecinta dunia menjadi seorang zahid yang hanya mencari kehidupan akhirat yang abadi. Sejak berkuasa ia tidak pernah lagi tidur siang, mencicipi makanan enak. Akibatnya, badan yang tadinya padat berisi dan kekar berubah menjadi kurus dan ceking.

Setelah selesai dengan dirinya sendiri, ia melangkah kepada keluarga intinya. Ia memberikan dua pilihan kepada istrinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadi mu ke kas Negara atau kita harus bercerai.” Tapi istrinya Fatimah Binti Abdul Malik, memilih ikut bersana suaminya dalam kafilah reformasi tersebut.

Langkah itu juga ia lakukan dengan anak-anaknya. Suatu saat anak-anaknya memprotesnya karena sejak beliau manjadi khalifah mereka tidak pernah lagi menikmati makanan-makanan enak dan lezat yang biasa mereka nikmati sebelumya. Tapi Umar justru menangis tersedu-sedu dan memberikan dua pilihan kepada anak-anak, “Saya beri kalian makanan yang enak dan lezat tapi kalian harus rela menjebloskan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.”

Selanjutnya, Umar melangkah ke istana dan keluarga istana. Ia memerintahkan menjual seluruh barang-barang mewah yang ada di istana dan mengembalikan harganya ke kas Negara. Setelah itu ia mulai mencabut semua fasilitas kemewahan yang selama ini diberikan ke keluarga istana satu persatu dan perlahan-lahan. Keluarga istana melakukan protes keras, tapi Umar tetap tegar menghadapi mereka.

b. Gerakan Penghematan

Langkah kedua yang dilakukan Umar Bin Abdul Aziz adalah penghematan total dalam penyelenggaraan Negara. Langkah ini jauh lebih mudah dibanding langkah pertama, karena pada dasarnya pemerintah telah menunjukkan kredibilitasnya di depan public melalui langkah pertama. Tapi dampaknya sangat luas dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi ketika itu.

Sumber permborosan dalam penyelenggaraan Negara biasanya terletak pada struktur Negara yang tambun, birokrasi yang panjang, administrasi yang rumit. Tentu saja itu disamping gaya hidup mewah para penyelenggaranya. Setelah secara pribadi beliau menunjukkan tekad untuk membersihkan KKN dan hidup sederhana, maka beliau pun mulai memberishkan struktur Negara dari pejabat korup. Selanjutnya beliau merampingkan struktur Negara, memangkas rantai birokrasi yang panjang menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara itu Negara menjadi sangat efesien dan efektif.

Sebuah contoh penghematan, suatu saat gubernur Madina mengirim surat kepada Umar Bin Abdul Aziz meninta tambahan blangko surat untuk beberapa keperluan administrasi kependudukan. Tapi beliau membalik surat itu dan menulis jawabanya, “Kaum muslimin tidak perlu mengeluarkan harta meraka untuk hal-hal yang tidak perlu mereka perlukan, seperti blangko surat yang sekarang kamu minta.”

Umar bin Abdul Aziz melarang kepada para pejabat negara dalam menghamburkan kekayaan umat/negara, dan memerintahkan untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah diambilnya secara illegal, jika harta perorangan yang dirampas segera mengembalikan kepada pemiliknya, dan jika pemiliknya sudah tiada harta itu dikembalikan kepada ahli warisnya dan bila tidak didapati maka dikembalikan ke Baitul Mal.

c. Redistribusi Kekayaaan Negara

Langkah ketiga adalah melakukan redistribusi kekayaan Negara secara adil. Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, pada dasarnya Umar telah menghemat belanja Negara, dan pada waktu yang sama mensosialosasikan semangat bisnis dan kewirausahaan di tengah masyarakat. Dengan cara begitu Umar mamperbesar sumber-sumber pendapatan Negara melalui zakat, pajak dan jizyah.

Dalam konsep distribusi zakat penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahiq, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah bentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberbedayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan menigkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat yang selanjutnya mendorong meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolute, tapi juga dapat menjadi factor stimulan. Bagi pertumbuhan ekonomi secara makro.

Di masa Umar Bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah pemerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagika zakat, tapi tak seorangpun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahiq zakat benar-benar habis secara absolute, sehingga Negara mengalami surplus. Redistribusi kekayaan Negara selanjutnya di arahkan kepada subsidi pembayaran utang-utang pribadi (swasta), dan subsidi social dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan Negara, seperti biaya perkawinan.

Suatu saat akibat surplus yang berlebih Negara mengumumkan bahwa “Negara akan menangung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah di usia muda.

Semua kebutuhan rakyat ini dipenuhi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada rakyatnya: "Apa-apa yang kalian inginkan kirimkan surat kepadaku pasti aku penuhi". Maka pada waktu itu sistem takaful sosial (jaminan sosial sudah diimplementasikan secara penuh). Kebutuhan-kebutuhan rakyat semua telah dipenuhi baik yang bersifat kebutuhan dasar ekonomi, sosial maupun pendidikan dan kesehatan. Semua gaji pegawai yang asalnya kecil dapat dinaikan bahkan dalam suatu riwayat Umar bin Abdul Aziz setiap hari memanggil-manggil

" Aina al- Muhtajun? Aina al-Ghorimun Aina an-Nakihun?" (Mana rakyatku yang membutuhkan bantuan? Mana orang-orang yang banyak hutangnya? Mana orang-orang mau menikah tapi tidak punya modal? Maka akan aku penuhi kebutuhan-kebutuhan kalian).

Pada suatu hari seseorang rakyatnya yang bernama Anbasah bin Saad datang kepada Umar bin Abdul Aziz meminta kebutuhannya, untuk mengetahui konsep kecukupan itu (Haddu al- Kifayah). Kemudian Umar bin Abdul Aziz bertanya kepadanya: Ya, Anbasah Jika Anda memiliki harta yang halal maka cukuplah itu, dan jika harta itu haram jangan kau tambahkan keharaman itu, beritahulah kami! Apakah kamu membutuhkan bantuan? Dia menjawab tidak, kemudian Umar bertanya lagi: Apakah kamu punya hutang? Dia menjawab tidak. Kemudian Umar bin Abdul Aziz berkata:

"Bagaimana kami memberikan harta Allah kepadamu padahal kamu tidak membutuhkannya, jika Aku memberikan harta itu kepadamu berarti kami meninggalkan hak orang-orang fakir, dan jika kamu orang yang banyak hutangnya, maka akan aku penuhi hutangmu itu dan jika kamu orang yang membutuhkan maka akan aku beri kamu agar kamu dapat mandiri, Bertaqwalah kepada Allah, dari mana harta ini kami kumpulkan, intropeksilah dirimu sebelum Allah menanyakan pertanggung jawabanmu di hari kelak.

Dalam mereformasi kondisi masyarakat seperti ini Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijakan redistribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara adil, hal itu dengan cara menginventarisir kebijakan-kebijakan pemimpin sebelumnya mana yang sudah sesuai pada tempatnya dan mana yang masih menyeleweng. Maka Umar bin Abdul Aziz mengkritik pemimpin sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malik) dalam strategi pemerataan pembangunan dan pendistribusian kepada rakyatnya dengan mengatakan: " Sungguh Saya melihat orang yang kaya semakin kaya dan orang yang miskin ditinggalkan dalam kondisi kefakirannya".

d. reformasi perpajakan

Untuk mencapai keseimbangan ekonomi. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, maka sektor perpajakan adalah menjadi perhatiannya yang paling besar, karena dari sektor inilah semua sistem keadilan dan pertumbuhan ekonomi dimulai. Maka kebijakan reformasi perpajakan sangat penting, yaitu dengan menempatkan perpajakan secara proporsional, artinya; semua masyarakat dari kelas teri sampai kelas kakap semua warga negara dikenai pajak sesuai dengan banyak dan sedikitnya kekayaan yang masyarakat miliki (Kekayaan Kena Pajak (KKP)).

Berbeda dengan masa sebelum Umar bin Abdul Aziz memerintah, sistem perpajakan ini sangat amburadul, dan banyak kekayaan ini didapatkan dari penindasan kepada masyarakat kecil dan para konglomerat dibebaskan dari perpajakan. Maka Umar bin Abdul Aziz menerapkan keadilan dan menempatkan kebijakan perpajakan sesuai dengan porsinya. Dan dia mengatakan bahwa Rasulullah diutus sebagai petunjuk tidak sebagai pengambil pajak. Dan perkataan ini juga dilengkapi oleh Ali, RA. "Pemimpin yang mengambil pajak dan ia tidak membangun rakyatnya, maka dia telah merusak negaranya".

Tujuan dari pajak tidak lain adalah sebagai modal untuk membangun negaranya dengan berkeadilan sosial. Sehingga dengan demikian jurang pemisah antara kaya dan miskin akan hilang dalam tatanan sosial, karena adanya keadilan sesuai dengan proporsinya dan batas hidup layak telah terimplementasikan sebagai buah pembangunan yang bermodalkan dari pajak, zakat, SDA dan pendapatan negara lainnya.

e. Proteksi Kekayaan Negara dan Rasionalisasi Pembelajaan Anggaran.

Kekayaan umum (negara). Adalah kekayaan yang bersifat umum artinya semua unsur masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas hal itu. Karena terlalu banyaknya kekayaan negara, otomatis proteksi ini akan melemah dan otomatis akan terjadi penyelewengan, korupsi harta negara. Maka pengawasan ini sangat penting agar kekayaan negara dapat diamankan dari tangan-tangan pencuri yang berdasi.

Langkah Umar bin Abdul Aziz dalam hal ini adalah memilih pejabatnya dari orang-orang yang amanah, professional dan tidak boros dalam membelanjakan harta negara. Maka anggaran birokrasi, fasilitas pejabat dan anggaran pembelian senjata militer harus dirasionalisasikan agar penghematan keuangan negara dapat terwujud demi mencapai pembangunan bangsa yang berkeadilan sosial, adil dan makmur.

f. Mendorong Investasi dalam Berbagai sektor.

Umar bin Abdul Aziz menghimbau kepada rakyatnya agar berinvestasi dalam semua bidang; industri, pertanian, biro jasa dan pelayanan, perdagangan dan semua bentuk mata pencaharian yang menghasilkan pendapatan untuk mewujudkan program hidup layak yang berkeadilan. Baik investasi ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Karena dalam ajaran Islam juga mendorong akan hal ini baik investasi matriil (duniawi) maupun in-matriil (akhirat).

Umar bin Abdul Aziz menghimbau agar semua unsur ekonomi harus diberdayakan untuk mendapatkan pendapatan (materi/pahala) baik pemberdayaan itu berbentuk pemberdayaan SDM dengan kerja agar tidak ada pengangguran, investasi SDA dan penginvestasian modal finansial yang ada. Hal itu semua merupakan piranti/alat dalam mewujudkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada pertambahan ekonomi nasional. Karena pengangguran dan kemiskinan itu tidak sesuai dengan syariah Islam, maka jangan sampai ada harta benda yang tertimbun, semua unsur kehidupan ekonomi harus berjalan sesuai dengan fungsinya demi kemanfaatan masyarakat secara luas.

E. P e n u t u p

Dari uraian diatas tampak bahwa kemiskinan sesungguhnya dapat diatasi, namun sangat tergantung daripada sikap amanah penyelenggara negara dan political will negara.

Sumber


DAFTAR BACAAN

Abu Yusuf , al-Kharaj, (Bairut Lebanon: Dar al-Ma’rifah, t.t.).

http://iastudies.co.cc/usaha-memahami-kemiskinan-secara-multidimensional-ditinjau-dari-agama/ 22 Oktober 2011

Abdul Aziz Sayyid Al-Ahli, Umar bin Abdul Aziz, terjemahan (Jakarta: Samara Publishing, 2009)

Abdurrahman al-Baghdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988).

Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1985).

Narayan Deepa, dkk. Voice of Poor. (Woshington, DC: World Bank Publication, 2000)

Ellies, S. The Dimension of Poverty. Kumarian Press. 1994.

Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, (Jakarta: Belantika, 2004).

Kartasasmita, Ginanjar. Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Admintrasi pada fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawujaya, (Malang, 27 Mei 1995).

Lewis, Oscar. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1996.

Al-Maliki, Abdurahman., as-S iyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963.

Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.

Soendoro, T. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan: Tindakan Strategis untuk

Sudarwati, Ninik, Kebijakan Pengentasan Kemiskinan (Mengurangi Kegagalan Penanggulangan Kemiskinan. (Malang: Intimedia, 2009).

Supriatna, Tjahya. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora Utama Press. Bandung.1997.

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. (Beirut Lebanon: Daarul Ummah, 1990) Cetakan keempat

Teruskan Baca......

Rabu, 23 November 2011

HARUN NASUTION 
(Ajaran Dasar dan Non Dasar, Paham Rasional)

Oleh : La Jamaa



Abstract

This writing will explain the idea of Harun Nasution about the problems of basic and non basic doctrine, rational concept and education. The basic doctrine came from Al-Qur’an and Hadist directly, so the value of the truth are absolute, universal and used it in any period of time, condition and places, so that it cannot influence by interpretation and Ijtihad. Beside that, the non basic doctrine came from interpretation and ijtihad so its value of the truth is relative and can accept any different of interpretation because of the changes of period, condition, and place. Harun Nasution Idea focus on the thinking of human ratio. It said that men must use their mind as Khalifah in the earth. According to Harun Nasution, Islamic education must have the objectives to develop human sources that have good relation with God or berakhlakul Karimah. For that the system of education must be as the religion education not the religion teaching.



A. Pendahuluan

Islam sebagai agama sering salah dipahami, baik penganut-nya sendiri maupun umat lain. Hal ini muncul dari asumsi bahwa semua ajaran Islam bersifat absolut sehingga tidak ada kemung-kinan untuk diinterpretasi lain yang berbeda dengan interpretasi ulama klasik. Kecenderungan umum di kalangan umat Islam me-nunjukkan, bahwa pemahaman yang kaku terhadap ajaran Islam, sehingga menyebabkan bias antara ajaran Islam pada satu sisi dengan pelaksanaan ajaran agama Islam dalam kehidupan sosial masyarakat pada sisi lain.

Dalam realitas kehidupan umat Islam telah terjadi benturan antara pendukung normativis-tekstualis yang absolutis dengan pen-dukung historisitas-relativis dalam pemahaman ajaran Islam. Pen-dukung pemahaman keagamaan yang pertama cenderung meng-absolutkan teks keagamaan tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang lahirnya teks itu (asbab al-wurud).[1] Padahal terhadap ajaran non dasar tidak di-benarkan adanya absolutisme, sebab setiap bentuk-bentuk absolu-tisme akan menyebabkan sistem pemikiran menjadi tertutup, dan ketertutupan itu akan menjadi sumber keabsolutannya. Sesuatu kreasi pemikiran manusia jika diabsolutkan akan secepatnya akan menjadi tertutup[2] dari kemungkinan penafsiran yang berbeda.

Bertolak dari realitas keberagamaan umat Islam umumnya, dan Indonesia khususnya, mendorong pemikir muslim Indonesia untuk melontarkan gagasan baru dalam memaknai ajaran Islam secara utuh dan komprehensif. Salah satu gagasan tersebut adalah bahwa ajaran Islam yang sebenarnya terbagi dua kategori, yakni ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar inilah yang memi-liki kebenaran absolut, sehingga tidak dapat berubah dengan ter-jadinya perubahan zaman, tempat dan keadaan. Namun demikian di samping ajaran dasar, ada ajaran non dasar yang nilai kebenarannya tidak mutlak (tidak absolut) sehingga terbuka kemungkinan untuk berubah.

Di samping itu, pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan keberagamaan umat Islam (dalam realitas sosial) menunjukkan bahwa ajaran Islam lebih cenderung dimaknai secara normatif atau doktrin dan kurang menampilkan fungsinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Jelasnya, bahwa umat Islam lebih condong mem-perhatikan pelaksanaan ajaran Islam dari segi formalitasnya sedangkan fungsional ajaran Islam itu dalam kehidupan kurang tampak. Dengan demikian terjadi gap antara pelaksanaan ajaran Islam (khususnya yang berkaitan dengan ibadah) dengan fungsinya dalam kehidupan.

Dari uraian di atas muncul pertanyaan, bahwa apakah ke-timpangan antara pelaksanaan ajaran Islam – yang berkaitan dengan ibadah itu – dengan fungsinya dalam kehidupan sosial, disebabkan oleh sistem pendidikan agama Islam selama ini yang lebih menitik-beratkan pada “pengajaran agama Islam” ketimbang “pendidikan agama Islam.” Sehingga siswa dan mahasiswa hanya menguasai seperangkat pengetahuan agama Islam, akan tetapi kurang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan keberagamaannya.

B. Biografi Singkat Harun Nasution

Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1919. Beliau adalah putera keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama serta pedagang, menjadi qadhi dan penghulu di Pematang Siantar. Ibunya adalah keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan.

Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, Holland-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1934, ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamietiesche Kweekcshool (MIK) di Bukittinggi dan tamat pada tahun 1937. Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir dan memperoleh Ahliyah, pada tahun 1940 dan Candidat dari Fakultas Ushuluddin pada tahun 1942. Di Mesir ia juga memasuki Universitas Amerika, Kairo dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam Studi Sosial pada tahun 1952.[3]

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1953, Harun Nasution bertugas di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah. Selama tiga tahun, sejak tahun 1955 bertugas di Kedutaan Republik Indonesia di Brussel dan banyak mewakili berbagai per-temuan, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris. Harun Nasution ke Mesir melanjutkan studinya di al-Dirasah al-Islamiyyah namun terhambat biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya ia menerima beasiswa dari Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada. Sehing-ga pada tahun 1962 ia melanjutkan studi di Universitas McGill, Montreal Kanada.

Pada tahun 1965, Harun Nasution memperoleh gelar Magister of Art (MA) dalam Studi Islam dengan judul tesisnya The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Move-ment for Its Creation and The Theory of The Masjumi pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan almamater yang sama dengan disertasi yang berjudul The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.[4]

Pada tahun 1969, Harun Nasution kembali ke tanah air serta berkiprah dalam bidang akademis sebagai dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Di samping itu Harun Nasution menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta (sejak 1970), Universitas Nasional Jakarta (sejak 1970) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (sejak 1975). Kegiatan akademis ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), menjadi Ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1982.[5]

Harun Nasution dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang se-luas-luasnya, tidak hanya terbatas pada bidang pemikiran saja se-perti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqh), akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum muslimin. Harun Nasution berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam tak ter-kecuali di Indonesia adalah disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy’ariyah. Hal itu menurut-nya harus diubah dengan pandangan rasional, yang sebenarnya telah dikembangkan teologi Mu’tazilah. Karena itu reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.

C. Ajaran Dasar dan Non Dasar

Harun Nasution mengemukakan bahwa apa yang terkan-dung dalam pengertian Islam dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok ajaran dan kelompok non ajaran. Dalam kelompok non ajaran dapat dimasukkan sejarah, kebudayaan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang datang ke dalam Islam sebagai hasil dari perkembangan Islam ke dalam sejarah.

Kelompok ajaran selanjutnya dapat dibagi ke dalam ajaran dasar sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, serta ajaran bukan dasar (non dasar) yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi para ulama dan ahli Islam terhadap ajaran-ajaran dasar tersebut.[6]

Menurut Harun Nasution, sebagai agama universal, Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat univer-sal, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah, jumlahnya menurut para ulama hanya kurang lebih 500 ayat atau kurang lebih 14 % dari seluruh ayat Al-Qur’an.[7]

Ajaran dasar yang bersifat universal dan tetap itu biasanya dikenal dengan ajaran yang pasti (qat’iy). Ajaran ini mencakup tiga bentuk ajaran, yakni (1) ajaran qat’iy al- wurud, yaitu ajaran yang pasti sumber kedatangannya, baik dari Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an maupun dari Nabi berupa hadis mutawatir, (2) qat’i al- dalalah, yaitu ajaran yang pasti maknanya karena suatu teks (nash) hanya memiliki satu arti, baik dari ayat Al-Qur’an maupun dari hadis mutawatir, ajaran dalam bentuk ini sangatlah sedikit dan bia-sanya mengenai kata yang menunjuk kepada bilangan, dan (3) qat’i al-tanfiz,yaitu ajaran yang mesti diberlakukan dan bila tidak di-laksanakan, maka seseorang tergolong melakukan pelanggaran, seperti aqimu al-salah wa atu al-zakah.[8] Setiap muslim harus menunaikan apa yang dimaksud ayat ini.

Perincian tentang maksud dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat dan zaman tertentu (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal).[9] Dengan kata lain, perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar melahirkan ajaran non dasar.

Ajaran non dasar adalah ajaran yang nisbi, relatif, tidak tetap, boleh berubah, dan tidak mengikat. Ajaran ini biasanya di-kenal sebagai kelompok ajaran yang zanni. Ajaran ini meliputi tiga bentuk ajaran, yaitu (1) zanni al- wurud, yakni semua ajaran selain ayat Al-Qur’an dan hadis mutawatir disebut ajaran yang tidak di-pastikan kedatangannya, ketidakpastian ajaran ini terjadi karena hanya dikemukakan oleh orang perorangan atau pendapat dan ijti-had pribadi, termasuk dalam ajaran ini semua hadis ahad (yang di-riwayatkan orang perorangan), pendapat ulama dan penafsiran-nya terhadap Al-Qur’an), (2) zanni al-dalalah, yakni ajaran yang tidak pasti maknanya karena makna yang dikandung suatu teks (nash) lebih dari pada satu arti, baik dari Al-Qur’an maupun hadis muta-watir, (3) zanni al-tanfiz, yakni ajaran yang tidak mesti diberla-kukan, misalnya soal waris, sekalipun ayat yang memuat tentang waris termasuk pasti maknanya (qat’i al-dalalah) tetapi pember-lakuannya tidaklah mesti. Artinya, seseorang tidak dianggap ber-dosa bila tidak membagi warisnya satu banding satu seperti tertera dalam ayat, tetapi ia boleh saja melakukan perdamaian dengan membagi satu banding satu dengan saudara wanitanya.[10] Dengan kata lain, yang menjadi ajaran dasar, hanyalah Al-Qur’an dan hadis.[11]

Asumsi di atas berlaku pula dalam hukum Islam, yang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni (1) Hukum Islam yang telah di-tegaskan secara langsung oleh nash/teks Al-Qur’an atau hadis yang tidak mengandung penafsiran dan penakwilan, (2) Hukum Islam yang belum/tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an atau hadis, dimana ia baru diketahui setelah digali melalui lembaga ijti-had.[12] Hukum Islam kategori pertama disebut syariah, sedang-kan hukum Islam kategori kedua disebut fiqh. Syariah itulah statusnya qat’i, ia harus diikuti apa adanya, tidak boleh di-tambah dan di-kurangi, berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman, dalam segala kondisi dan situasi serta tidak perlu diijtihadkan lagi. Sedangkan fiqh statusnya zanni dan penerapan-nya harus sesuai dengan kondisi dan situasi sejalan dengan perubahan zaman[13]

Asumsinya, adalah karena semuanya adalah penafsiran dan penjabaran dari ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an, maka semuanya ber-ada dalam kebenaran.[14] Dalam hal ini, kebudayaan setempat memi-liki pengaruh besar pada penafsiran dan cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal. Sehingga terjadinya perbedaan dalam interpretasi dan pelaksanaan ajaran dasar, bukanlah suatu ke-salahan, tetapi justru menunjukkan sifat ajaran dasar yang uni-versal itu sendiri.

C. Paham Rasional

Keadaan umat Islam, sebagaimana tampak dalam sejarah sepanjang 700 tahun, terutama 300 tahun terakhir, terkesan tidak adanya dinamika Islam, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat berkembang dan masa depan umat banyak tergantung pada nasib. Dengan kata lain, setelah abad ketiga belas Masehi, muncul kesan bahwa ajaran Islam mengantarkan umat kepada sikap pasif dan tidak dapat memainkan peranan dalam menentukan ke-adaannya di masa kini maupun di masa depan.

Bertolak dari realitas tersebut, bagaimana sebenarnya pan-dangan Islam tentang manusia? Apakah manusia dipandang lemah dan karena itu mempunyai sikap pasif, ataukah ia mempunyai kekuasaan sehingga mempunyai dinamika?

Dalam pandangan Harun Nasution, bahwa menurut keyaki-nan Islam, manusia adalah makhluk Tuhan. Ketinggian, keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lain terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akallah yang menyebabkan ma-nusia memiliki kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Akal manu-sialah yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengantar manusia dapat mengubah dan mengatur alam di sekitar-nya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya, baik pada masa kini maupun pada masa mendatang. Memang akallah yang menyebab-kan manusia berbeda dengan hewan dan karena itu pula dalam filsafat, manusia disebut sebagai hayawan al-natiq, binatang ber-bicara atau berpikir.[15]

Kalau begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia, maka perlu dipahami kedudukan akal dalam ajaran Islam. Apakah kedudukannya rendah sehingga menyebabkan umat Islam berada dalam kondisi yang memprihatinkan itu?

Kalau menelaah Al-Qur’an dan hadis, sebagai sumber asli dan utama dari ajaran-ajaran Islam, kita akan sampai pada kesim-pulan sebaliknya. Karena akal, di samping wahyu, memiliki pera-nan penting dalam Islam. Wahyu membawa ajaran-ajaran dasar yang selain jumlahnya tidak banyak, juga hanya memberi keten-tuan-ketentuan dalam garis besar (global). Penafsiran dan cara pe-laksanaan serta perincian-perincian ajaran dasar itu diserahkan ke-pada akal manusia untuk menentukannya. Mengenai masalah-masalah kehidupan yang tidak disebut dalam Al-Qur’an dan hadis itu diserahkan pula kepada akal manusia untuk menyelesaikannya sesuai dengan jiwa ajaran-ajaran dasar tersebut.[16]

Karena begitu besar perhatian umat Islam pada abad-abad pertama terhadap kedudukan akal, sehingga tidak mengherankan mereka berbeda dengan umat Islam pada zaman sesudahnya hingga saat ini. Dengan dijiwai oleh penghargaan terhadap akal yang di-anugerahkan Tuhan kepada manusia dan didorong oleh keinginan untuk mencari ilmu pengetahuan telah mengantarkan mereka men-jadi generasi yang memperoleh kemajuan dan kejayaan Islam di masanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Akal adalah lambang kekuatan manusia. Karena dalam Islam, akal diberi kedudukan yang tinggi dan dengan demikian akal mempunyai daya yang kuat, maka manusia bukanlah makhluk yang lemah. Ia mempunyai kemampuan untuk mempertimbangkan baik buruknya perbuatan, dapat menentukan kehendaknya sendiri serta dapat mewujudkan apa yang dikehendakinya, dengan berpatokan pada prinsip-prinsip sunnatullah.[17] Dengan demikian, Islam adalah agama yang rasional.[18]

Dari uraian di atas, jelas bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an dan hadis, yang melahirkan teologi rasional dalam Islam, teologi yang berpengaruh di kalangan ulama Islam di zaman klasik. Teologi rasional ini mengandung ajaran bahwa akal manusia mempunyai kemampuan yang tinggi, bahwa manusia diberi kebebasan oleh Tuhan dalam melakukan perbuatan dan kemauan serta dengan demikian bersikap dinamis, dan bahwa Tuhan mengatur alam ini melalui sunnatullah atau hukum alam ciptaan-Nya.[19]

Kedudukan akal yang tinggi dalam Al-Qur’an dan hadis, serta teologi rasional itulah yang menyebabkan munculnya pemiki-ran rasional yang pada gilirannya melahirkan ilmu pengetahuan di zaman Islam klasik yang telah berpengaruh besar lahirnya Renaisans di Eropa pada abad pertengahan serta berkembangnya peradaban Eropa modern yang ada sekarang ini.[20] Karena itu pula secara faktual, umat Islam dapat menggeser dominasi kekuatan emperium Persia dan Romawi, yang kekuatannya saat itu barang-kali mirip kekuatan Barat saat ini.[21]

Namun demikian paham rasional yang dikembangkan Harun Nasution tidak dapat disamakan dengan rasionalisme. Sebab rasionalisme adalah sikap yang hanya mau menerima kebenaran yang jika seluruhnya dapat dimengerti oleh akal. Sedangkan sikap rasional tidak menuntut agar semua sikap harus dibuktikan secara ilmiah. Sikap rasional justru menerima keterbatasan seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah.[22]

Dengan demikian manusia bersifat dinamis lagi aktif. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan sikap mental tradisional yang pasrah pada nasib menjadi sikap mental rasional yang dinamis.

D. Pendidikan

Konsep pendidikan menurut Harun Nasution harus disesu-aikan dengan konsep manusia menurut Al-Qur’an dan hadis.

Konsep manusia menurut ajaran Islam, bukan hanya terdiri dari tubuh, seperti yang terdapat dalam filsafat materialisme,[23] tetapi tersusun dari unsur jasmani dan ruhani. Dalam pada itu unsur ruhani bukan pula terdiri hanya dari daya intelek seperti yang terdapat dalam filsafat Barat, tetapi daya berpikir yang disebut akal dan daya merasa yang disebut kalbu.

Dengan demikian manusia tersusun dari dua unsur, unsur materi (jasmani atau tubuh) dan unsur immateri (ruh). Tubuh manusia berasal dari tanah di bumi, sedangkan ruh manusia berasal dari substansi immateri di alam gaib. Tubuh mempunyai daya-daya fisik atau jasmani, seperti mendengar, melihat, merasa, mencium, dan daya gerak seperti menggerakkan tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Sedangkan ruh yang juga disebut al-nafs mempunyai dua daya, yakni daya berpikir yang disebut akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang disebut kalbu yang berpusat di dada.[24]

Akal dikembangkan melalui pendidikan sains dan daya rasa melalui pendidikan agama. Dalam sistem pendidikan semacam ini pendidikan agama mempunyai kedudukan yang pentingnya sama dengan pendidikan sains. Keduanya merupakan bagian yang esen-sial dan integral dari sistem pendidikan umat. Tidak tepat jika di dalam pendidikan agama menomorduakan pendidikan sains dan tidak tepat pula jika pendidikan sains dianakemaskan dan pendidi-kan agama dianaktirikan. Keduanya harus dipandang sebagai anak emas. Pandangan ini mirip dengan pandangan Fazlur Rahman ten-tang sistem pendidikan.[25] Karena memang pendidikan dalam pan-dangan Islam adalah mencetak manusia yang saleh.[26]

Khusus mengenai pendidikan agama, baik di lembaga pen-didikan umum maupun agama, Harun Nasution menjelaskan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan agama dan bukan pengajaran agama. Yang dipraktekkan pada umumnya di perguruan-perguruan kita, baik umum maupun agama selama ini adalah “pengajaran agama” dan bukan “pendidikan agama.” Yang dimaksud dengan “pengajaran agama” ialah pengajaran tentang pengetahuan keaga-maan kepada siswa dan mahasiswa kita, seperti pengetahuan ten-tang tauhid atau ketuhanan, pengetahuan tentang fiqh, tafsir, hadis dan sebagainya. Di antara pengetahuan-pengetahuan yang biasanya dipentingkan adalah fiqh dan itu pun pada umumnya hanya ber-kisar di sekitar ibadah terutama shalat, puasa, zakat dan haji.

Dengan demikian apa yang disebut pendidikan agama dalam sistem pendidikan di perguruan kita, bukan bertujuan meng-hasilkan siswa dan mahasiswa yang berjiwa agama, tetapi maha-siswa yang berpengetahuan agama. Padahal berbeda antara yang berpengetahuan agama dengan orang yang berjiwa agama. Keliha-tannya di sinilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kemerosotan akhlak yang terjadi sekarang ini dalam masyarakat kita.[27]

Padahal inti ajaran Islam adalah moral atau akhlak yang mulia. Ibadah-ibadah mahdah yang diajarkan Islam pun pada da-sarnya merupakan pendidikan akhlak yang mulia pula.[28] Bahkan Muhammad saw diutus ke dunia dalam rangka memperbaiki akhlak yang mulia ini.

Dengan demikian, bahan pendidikan agama di sekolah umum sebaiknya didasarkan pada tujuan moral, spiritual, dan inte-lektual. Sebaliknya tujuan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan agama seharusnya bukan lagi hanya menghasilkan aga-mawan dan ulama tanpa predikat tertentu, tetapi ulama yang ber-pikiran luas, rasional, filosofis, dan ilmiah, serta teologi rasional-nya, sebagai ganti dari ulama yang berpikiran tradisional yang pada umumnya dihasilkan lembaga-lembaga pendidikan Islam selama ini. Untuk menghasilkan ulama yang berpengetahuan luas, rasional, filosofis dan ilmiah itu, maka kurikulum mulai madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi agama, harus disusuri atas mata pelajaran yang dapat mencapai tujuan itu.

Dalam kaitan ini menurut Harun Nasution, pendidikan tra-disional harus diubah, dengan memasukkan mata pelajaran-mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern (sains) ke dalam kuri-kulum madrasah. Juga mendirikan sekolah-sekolah modern di sam-ping madrasah-madrasah yang telah ada, sehingga dapat mem-pro-duk ahli-ahli Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekno-logi.[29]

Untuk mewujudkan gagasannya itu, pada tahun 70-an dan 80-an, Harun Nasution mengadakan reformasi fundamental ter-hadap IAIN. Menurutnya, sesuai dengan hakekat penciptaan manu-sia, maka sarjana muslim atau ulama yang harus dihasilkan oleh IAIN adalah sarjana muslim atau ulama yang berkembang akal dan daya pikirnya serta halus kalbu dan daya batinnya. Dengan kata lain, sarjana atau ulama yang dihasilkan IAIN harus-lah sarjana muslim dan ulama pengetahuannya bukan hanya terbatas pada pengetahuan agama saja, tetapi juga mencakup apa yang lazim di-sebut pengetahuan umum, serta akhlak dan budi pekerti yang luhur.[30]

Karena itulah dosen-dosen IAIN tidak dikirim ke Mesir me-lainkan ke dunia Barat untuk mempelajari Islam dari segi metodo-loginya serta cara berpikir rasional, sehingga mereka akan dapat menjadi ulama yang berpikir rasional.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pemikiran Harun Nasution tentang pendidikan merupakan usaha beliau me-wujudkan tujuan pendidikan Islam agar dapat mewarnai keber-agamaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula pandangannya tentang ajaran dasar dan non dasar, bukanlah untuk membingungkan umat Islam Indonesia, namun justru mengantar-kan umat kepada pemahaman terhadap ajaran Islam secara utuh serta mengeleminir terjadinya konflik akibat klaim kebenaran setiap kelompok dalam masyarakat Islam. Paham rasional Harun Nasution tidak identik dengan rasionalisme dalam filsafat Barat, namun beliau ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ajaran Islam itu rasional dan sekali lagi beliau tidak bermaksud merasionalisme-kan ajaran Islam.

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Ajaran Islam terdiri dari ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar karena bersumber langsung dari Al-Qur’an dan hadis, maka nilai kebenarannya bersifat mutlak (absolut) dan bersifat universal, berlaku dalam segala zaman dan tempat serta kondisi, sehingga tidak menerima kemungkinan interpretasi atau ijtihad. Karena itu pula ajaran dasar bersifat qat’i dan ber-sifat mengikat. Sedangkan ajaran non dasar karena merupakan interpretasi dari ajaran dasar, maka nilai kebenarannya bersifat relatif dan menerima kemungkinan terjadinya perbedaan inter-pretasi akibat perubahan zaman, tempat dan kondisi.

2. Paham rasional yang dikembangkan Harun Nasution bertumpu pada pemahaman bahwa manusia harus mendayagunakan akal-nya sehingga mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Dalam kerangka ini pula maka harus dikembangkan sikap hidup yang dinamis untuk menggantikan sikap hidup statis dan pasrah pada nasib.

3. Dalam pandangan Harun Nasution, pendidikan Islam harus di-arahkan untuk perwujudan tujuan pendidikan itu sendiri, yakni mencetak manusia yang bertakwa atau manusia yang berakhla-kul karimah. Sebab itu sistem pendidikan yang dilaksanakan bukanlah “pengajaran agama,” melainkan “pendidikan agama.” Di samping itu, khusus untuk IAIN beliau mengharapkan agar alumninya tidak saja ahli di bidang agama, namun juga memiliki pengetahuan umum dan akhlak.



Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Cet. III, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002.

A. Kadir, Muslim. Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama Islam Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Departemen Agama R.I. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: CV Anda Utama, 1993

Kartanegara, Mulyadhi .“Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif Historis.” Dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, 2000.

Madjid, Nurcholish et al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani. (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000.

Munif Suratmaputra, Ahmad. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali Masalah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Mubarok, Achmad. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa Dalam Al-Qur’an. Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000.

Mousa, Ibrahim. “Kata Pengantar.” Dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan Dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam. Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Nasution, Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986

——-. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, dan II. Cet. V, Jakarta: UI Press, 1985

——-. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Cet. VI, Bandung: Mizan, 2000.

——-. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Cet. II, Jakarta: UI Press, 1986.

——-. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Noer, Deliar. “Harun Nasution Dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia.” Dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution. Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989..

Panitia Penyusun Biografi Ibrahim Hossen, Ibrahim Hossen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Cet. I, Jakarta: CV Putra Harapan, 1990



Rusell, Bertrand. History of Western Phiolosophy and its Connection with Political and Sosial Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk dengan judul Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Syarifuddin, Amir. Usul Fiqh, Jilid I. Cet. I, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya. Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Al-Syahrastaniy, Abu al- Fath Muhammad bin ‘Abd al- Karim. Al- Milal wa al- Nihal, Juz I Cet. II, Bayrut: Dar al- Kutub al- Ilmiyyah, 1413 H/1992 M.

Suseno SJ, Franz Magnis.“Sumbangan Filsafat Agama di Indonesia,” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution. Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989.

Syah, Ismail Muhammad. Filsafah Hukum Islam. Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Uchrowi, Zaim dan Ahmadie Thaha. “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah.” Dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution. Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989.

Watt, W. Montgomery. The Influence of Islam on Medieval Europe. Diterjemahkan oleh Hendro Prasetyo dengan judul Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Cet. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah,. Cet. X, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.




[1]M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Cet. III, Yogya-karta: Pustaka pelajar, 2002), h. vi.

[2]M. Nurcholish Madjid, at al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000), h. 306.

[3]Lihat Departemen Agama R.I, Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: CV Anda Utama, 1993), h. 348. Lihat pula Riwayat Hidup Harun Nasution dalam Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986), h. 157. Lihat pula Zaim Uchrowi dan Ahmadie Thaha, “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah,” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution (Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989), h. 3-22.

[4]Ibid.

[5]Lihat Departemen Agama R.I, op. cit., h. 349.

[6]Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1985), h. 113.

[7]Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet. VI, Bandung: Mizan, 2000), h. 33.

[8]Lihat Harun Nasution, Akal dan wahyu Dalam Islam (Cet. II, Jakarta: UI Press, 1986), h. 34. Lihat pula dengan Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, Jilid I (Cet. I, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 102. Lihat pula Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 79-80.

[9]Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Cet. X, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 183.

[10]Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, op.cit., h. 81-82.

[11]Lihat Deliar Noer, “Harun Nasution Dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia,” dalam Refleksi Pembaharuan, h. 83.

[12]Panitia Penyusun Biografi Ibrahim Hossen, Ibrahim Hossen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I, Jakarta: CV Putra Harapan, 1990), h. 118-119.

[13]Lihat Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al Ghazali Masalah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam (Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 17-18.

[14]Harun Nasution, Islam Rasional, …op. cit.,h. 33.

[15]Ibid., h. 139.

[16]Ibid., h. 139-140.

[17]Ibid., h. 142,146.

[18]Harun Nasution, Akal…op. cit., h. 98.

[19]Harun Nasution, Islam Rasional…op. cit., h. 303. Bandingkan dengan Abu al- Fath Muhammad bin ‘Abd al- Karim al- Syahrastaniy, Al- Milal wa al- Nihal, Juz I (Cet. II, Bayrut: Dar al- Kutub al- Ilmiyyah, 1992/1413H), h. 81.

[20]Lihat W. Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe, diter-jemahkan oleh Hendro Prasetyo dengan judul Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan (Cet. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 1-2. Lihat pula Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1985), h. 74-75.

[21]Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13.

[22]Franz Magnis-Suseno SJ, “Sumbangan Filsafat Agama di Indonesia,” dalam Refleksi, h. 183.

[23]Lihat Bertrand Rusell, History of Western Phiolosophy and its Connection with Political and Sosial Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, diter-jemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk dengan judul Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 1020.

[24]Harun Nasution, Islam Rasional, h. 400. Bandingkan dengan Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa Dalam Al Qur’an (Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000), h. 1x.

[25]Ibrahim Mousa, “Kata Pengantar,” dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan Dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam (Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 30.

[26]Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama Islam (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 171.

[27]Harun Nasution, Islam Rasional…op. cit.,, h. 385.

[28]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Lihat pula Ismail Muhammad Syah, Filsafah Hukum Islam (Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 113-121.

[29]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam…op. cit., h. 208.

[30]Mulyadhi Kartanegara, “Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif Historis,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, 2000), h. 246.

Teruskan Baca......