SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 24 November 2011

KONSEP EKONOMI ISLAM UNTUK KESEJAHTERAAN


Oleh :Dr. H. Saparuddin Siregar SE Ak. MAg / Wakil Ketua BAZDASU
Prodi Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN SU

ABSTRAKSI

Tujuan ekonomi adalah kemakmuran, dimana kemiskinan ditekan pada angka yang minimal. Berbagai kebijakan negara disusun untuk mencapai kesejahteraan ini, namun kebijakan saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan sikap pemimpin yang amanah. Sistem ekonomi Islam yang telah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan bahwa kepemimpinan yang amanah mampu menekan kemiskinan sampai titik yang terendah.

A. Pendahuluan

Umat Islam memiliki jumlah populasi yang besar di Indonesia,[1] namun populasi yang besar ini tidak didukung oleh kualitasnya yang tinggi, sehingga Umat Islam secara umum masih mengalami ketertinggalan dalam ekonomi. [2]

Model Ekonomi Negara sesuai konsepsi Islam adalah sistem ekonomi yang terbebas dari Maysir, Gharar dan Riba (“Maghrib”), dimana pengelola ekonomi haruslah orang-orang yang amanah.

Melalui makalah ini akan diuraikan beberapa pengertian tentang kemiskinan, beberapa konsep mengatasinya dan suatu uraian ringkas bukti sejarah diterapkannya ekonomi islam dengan amanah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana hanya dalam masa 2 tahun kepemimpinannya telah berhasil menghapus kemiskinan.

B. Kemiskinan dan Cara Pemecahannya

Kemiskinan mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal dari asal kata fakir dengan awalan ke dan akhiran an.[3] Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin dengan pengertian orang yang sangat kekurangan. Al-Qur’an memakai beberapa kata dalam menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin, al-sail, dan al-mahrum, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Kata fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan kata miskin disebut sebanyak 25 kali, yang masing-masing digunakan untuk pengertian yang hampir sama.[4]

Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-berdayaan – ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, kelompok, bangsa bahkan negara yang menyebabkan kondisi tersebut rentan terhadap timbulnya berbagai permasalahan kehidupan sosial.[5]

Berdasarkan cara pandang , kemiskinan dapat dibagi kepada kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang dipandang dari pendapatan masyarakat yang secara nyata di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain. Kemiskinan jenis ini sering dikaitkan karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan.

Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi kepada kemiskinan kultural dan struktural.

1. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.

2. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan natural dan kemiskinan buatan (artificial)[6]

1. Kemiskinan natural berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan, hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Kemiskinan natural juga berhubungan dengan faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita.[7] disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah yang terisolir.

2. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan kultural maupun struktural dapat dilakukan strategi masing-masing sebagai berikut.[8]

Mengatasi kemiskinan struktural

Kemiskinan Struktural diatasi melalui kebijakan pemerintah dalam bidang Ekonomi, pendidikan dan kelembagaan

a. Bidang ekonomi

1) Kebijakan pemerintah dan regulasi sosial tentang ekonomi masyarakat pedesaan

2) Pemberdayaan sektor riil dan peningkatan produktifitas

3) Ekonomi berbasis agama

4) Perempuan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat

5) Pengaturan kepemilikan

b. Pendidikan

6) Pesantren sebagai center for community development yang efektif untuk akselerasi penyejahteraan masyarakat muslim pedesaan

7) Pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan berbasis pesantren atau lembaga-lembaga keagamaan sejenis dan pentingnya konservasi lingkungan hidup

8) Pesantren masyarakat, dan kewirausahaan

9) Pengembangan Ekonomi Pesantren melalui Paradigma Integrasi dan Interkoneksi Keahlian

10) Pengembangan Ekonomi masyarakat pedesaan, pesantren dan potensi pariwisata

c. Kelembagaan

11) Revitalisasi dan rekonseptualisasi tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI)

12) Kinerja MUI

13) Kelembagaan BAZDA

14) Lembaga DOMPET DHUAFA

15) Peran lembaga-lembaga sosial keagamaan

16) Organisasi Keagamaan dan kiprah ulama

17) Wakaf tunai

Mengatasi kemiskinan Sosial Kultural

Untuk mengatasi kemiskinan ini dilakukan melalui pemahaman umat beragama tentang: ajaran agamanya, fenomena alam, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai sosial

1) Pemahaman umat beragama tentang agamanya

2) Pemahaman umat beragama tentang kemiskinan dan fenomena alam

3) Pemahaman umat beragama tentang nilai-nilai budayanya.

4) Masyarakat religius pedesaan dan potensi ekonomi lokal untuk pengentasan kemiskinan

5) Hambatan pengembangan ekonomi dari pemahaman Islam yang sempit

6) Pandangan umat Islam tentang pengembangan jaringan ekonomi masyarakat

7) Agama dan pemberdayaan kaum miskin

8) Islam dan Etos Kerja

9) Tasawuf dan Business

10) Institusional Ritual Agama

11) Amal ibadah

12) Dakwah dan Pengembangan Masyakarat Islam

13) Kriminalitas dan kemiskinan

14) Kearifan Lokal

15) Pemahaman umat beragama tentang alam

C. Umar bin Abdul Azis dan Reformasi ekonomi

1. Biografi

Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H, pada umur 38 tahun ia dibai’at menjadi khalifah Bani Umayyah dan hanya memimpin selama 2 tahun. Ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malijk), tetapi Sulaiman berwasiat menunjuk langsung Umar sebagai penggantinya. Umar adalah sepupu Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik bin Marwan. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim bin Umar bin Khattab. Dengan demikian Umar bin Abdul Aziz adalah cicit dari Umar bin Khattab.

Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II

Silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa Umar bin Khattab.

Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.

Ibu : “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”

Anak : “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”

Ibu : “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.

Anak : “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.

Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.

Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.[9]

Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

2. Reformasi ekonomi Umar Bin Abdul Aziz

a. Memulai dari diri sendiri dan keluarga

Umar Bin Abdul Aziz melakukan perbaikan dalam kehidupan Negara yang luas dengan memulai dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkanya kepada keluarga intinya dan selanjutnya kepada keluarga istana yang lebih besar. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri, keluarga dan istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi yang besar yang abadi dalam sejarah. Umar bin Abdul Aziz memulai dari diri dan keluarganya agar tidak hidup dengan bermewah-mewahan, bahkan gajinya sebagai seorang khalifah pun tidak diambil karena sudah kecukupan dari kekayaan pribadinya dan gaji tersebut diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Begitu selesai dilantik Umar segera memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya, baik berupa uang maupun barang, ke Kas Negara, termasuk pakaiannya yang mewah. Ia juga menolak tinggal di istana, ia tetap menetap di rumahnya. Pola hidupnya berubah secara total, dari seorang pecinta dunia menjadi seorang zahid yang hanya mencari kehidupan akhirat yang abadi. Sejak berkuasa ia tidak pernah lagi tidur siang, mencicipi makanan enak. Akibatnya, badan yang tadinya padat berisi dan kekar berubah menjadi kurus dan ceking.

Setelah selesai dengan dirinya sendiri, ia melangkah kepada keluarga intinya. Ia memberikan dua pilihan kepada istrinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadi mu ke kas Negara atau kita harus bercerai.” Tapi istrinya Fatimah Binti Abdul Malik, memilih ikut bersana suaminya dalam kafilah reformasi tersebut.

Langkah itu juga ia lakukan dengan anak-anaknya. Suatu saat anak-anaknya memprotesnya karena sejak beliau manjadi khalifah mereka tidak pernah lagi menikmati makanan-makanan enak dan lezat yang biasa mereka nikmati sebelumya. Tapi Umar justru menangis tersedu-sedu dan memberikan dua pilihan kepada anak-anak, “Saya beri kalian makanan yang enak dan lezat tapi kalian harus rela menjebloskan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.”

Selanjutnya, Umar melangkah ke istana dan keluarga istana. Ia memerintahkan menjual seluruh barang-barang mewah yang ada di istana dan mengembalikan harganya ke kas Negara. Setelah itu ia mulai mencabut semua fasilitas kemewahan yang selama ini diberikan ke keluarga istana satu persatu dan perlahan-lahan. Keluarga istana melakukan protes keras, tapi Umar tetap tegar menghadapi mereka.

b. Gerakan Penghematan

Langkah kedua yang dilakukan Umar Bin Abdul Aziz adalah penghematan total dalam penyelenggaraan Negara. Langkah ini jauh lebih mudah dibanding langkah pertama, karena pada dasarnya pemerintah telah menunjukkan kredibilitasnya di depan public melalui langkah pertama. Tapi dampaknya sangat luas dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi ketika itu.

Sumber permborosan dalam penyelenggaraan Negara biasanya terletak pada struktur Negara yang tambun, birokrasi yang panjang, administrasi yang rumit. Tentu saja itu disamping gaya hidup mewah para penyelenggaranya. Setelah secara pribadi beliau menunjukkan tekad untuk membersihkan KKN dan hidup sederhana, maka beliau pun mulai memberishkan struktur Negara dari pejabat korup. Selanjutnya beliau merampingkan struktur Negara, memangkas rantai birokrasi yang panjang menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara itu Negara menjadi sangat efesien dan efektif.

Sebuah contoh penghematan, suatu saat gubernur Madina mengirim surat kepada Umar Bin Abdul Aziz meninta tambahan blangko surat untuk beberapa keperluan administrasi kependudukan. Tapi beliau membalik surat itu dan menulis jawabanya, “Kaum muslimin tidak perlu mengeluarkan harta meraka untuk hal-hal yang tidak perlu mereka perlukan, seperti blangko surat yang sekarang kamu minta.”

Umar bin Abdul Aziz melarang kepada para pejabat negara dalam menghamburkan kekayaan umat/negara, dan memerintahkan untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah diambilnya secara illegal, jika harta perorangan yang dirampas segera mengembalikan kepada pemiliknya, dan jika pemiliknya sudah tiada harta itu dikembalikan kepada ahli warisnya dan bila tidak didapati maka dikembalikan ke Baitul Mal.

c. Redistribusi Kekayaaan Negara

Langkah ketiga adalah melakukan redistribusi kekayaan Negara secara adil. Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, pada dasarnya Umar telah menghemat belanja Negara, dan pada waktu yang sama mensosialosasikan semangat bisnis dan kewirausahaan di tengah masyarakat. Dengan cara begitu Umar mamperbesar sumber-sumber pendapatan Negara melalui zakat, pajak dan jizyah.

Dalam konsep distribusi zakat penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahiq, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah bentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberbedayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan menigkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat yang selanjutnya mendorong meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolute, tapi juga dapat menjadi factor stimulan. Bagi pertumbuhan ekonomi secara makro.

Di masa Umar Bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah pemerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagika zakat, tapi tak seorangpun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahiq zakat benar-benar habis secara absolute, sehingga Negara mengalami surplus. Redistribusi kekayaan Negara selanjutnya di arahkan kepada subsidi pembayaran utang-utang pribadi (swasta), dan subsidi social dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan Negara, seperti biaya perkawinan.

Suatu saat akibat surplus yang berlebih Negara mengumumkan bahwa “Negara akan menangung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah di usia muda.

Semua kebutuhan rakyat ini dipenuhi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada rakyatnya: "Apa-apa yang kalian inginkan kirimkan surat kepadaku pasti aku penuhi". Maka pada waktu itu sistem takaful sosial (jaminan sosial sudah diimplementasikan secara penuh). Kebutuhan-kebutuhan rakyat semua telah dipenuhi baik yang bersifat kebutuhan dasar ekonomi, sosial maupun pendidikan dan kesehatan. Semua gaji pegawai yang asalnya kecil dapat dinaikan bahkan dalam suatu riwayat Umar bin Abdul Aziz setiap hari memanggil-manggil

" Aina al- Muhtajun? Aina al-Ghorimun Aina an-Nakihun?" (Mana rakyatku yang membutuhkan bantuan? Mana orang-orang yang banyak hutangnya? Mana orang-orang mau menikah tapi tidak punya modal? Maka akan aku penuhi kebutuhan-kebutuhan kalian).

Pada suatu hari seseorang rakyatnya yang bernama Anbasah bin Saad datang kepada Umar bin Abdul Aziz meminta kebutuhannya, untuk mengetahui konsep kecukupan itu (Haddu al- Kifayah). Kemudian Umar bin Abdul Aziz bertanya kepadanya: Ya, Anbasah Jika Anda memiliki harta yang halal maka cukuplah itu, dan jika harta itu haram jangan kau tambahkan keharaman itu, beritahulah kami! Apakah kamu membutuhkan bantuan? Dia menjawab tidak, kemudian Umar bertanya lagi: Apakah kamu punya hutang? Dia menjawab tidak. Kemudian Umar bin Abdul Aziz berkata:

"Bagaimana kami memberikan harta Allah kepadamu padahal kamu tidak membutuhkannya, jika Aku memberikan harta itu kepadamu berarti kami meninggalkan hak orang-orang fakir, dan jika kamu orang yang banyak hutangnya, maka akan aku penuhi hutangmu itu dan jika kamu orang yang membutuhkan maka akan aku beri kamu agar kamu dapat mandiri, Bertaqwalah kepada Allah, dari mana harta ini kami kumpulkan, intropeksilah dirimu sebelum Allah menanyakan pertanggung jawabanmu di hari kelak.

Dalam mereformasi kondisi masyarakat seperti ini Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijakan redistribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara adil, hal itu dengan cara menginventarisir kebijakan-kebijakan pemimpin sebelumnya mana yang sudah sesuai pada tempatnya dan mana yang masih menyeleweng. Maka Umar bin Abdul Aziz mengkritik pemimpin sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malik) dalam strategi pemerataan pembangunan dan pendistribusian kepada rakyatnya dengan mengatakan: " Sungguh Saya melihat orang yang kaya semakin kaya dan orang yang miskin ditinggalkan dalam kondisi kefakirannya".

d. reformasi perpajakan

Untuk mencapai keseimbangan ekonomi. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, maka sektor perpajakan adalah menjadi perhatiannya yang paling besar, karena dari sektor inilah semua sistem keadilan dan pertumbuhan ekonomi dimulai. Maka kebijakan reformasi perpajakan sangat penting, yaitu dengan menempatkan perpajakan secara proporsional, artinya; semua masyarakat dari kelas teri sampai kelas kakap semua warga negara dikenai pajak sesuai dengan banyak dan sedikitnya kekayaan yang masyarakat miliki (Kekayaan Kena Pajak (KKP)).

Berbeda dengan masa sebelum Umar bin Abdul Aziz memerintah, sistem perpajakan ini sangat amburadul, dan banyak kekayaan ini didapatkan dari penindasan kepada masyarakat kecil dan para konglomerat dibebaskan dari perpajakan. Maka Umar bin Abdul Aziz menerapkan keadilan dan menempatkan kebijakan perpajakan sesuai dengan porsinya. Dan dia mengatakan bahwa Rasulullah diutus sebagai petunjuk tidak sebagai pengambil pajak. Dan perkataan ini juga dilengkapi oleh Ali, RA. "Pemimpin yang mengambil pajak dan ia tidak membangun rakyatnya, maka dia telah merusak negaranya".

Tujuan dari pajak tidak lain adalah sebagai modal untuk membangun negaranya dengan berkeadilan sosial. Sehingga dengan demikian jurang pemisah antara kaya dan miskin akan hilang dalam tatanan sosial, karena adanya keadilan sesuai dengan proporsinya dan batas hidup layak telah terimplementasikan sebagai buah pembangunan yang bermodalkan dari pajak, zakat, SDA dan pendapatan negara lainnya.

e. Proteksi Kekayaan Negara dan Rasionalisasi Pembelajaan Anggaran.

Kekayaan umum (negara). Adalah kekayaan yang bersifat umum artinya semua unsur masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas hal itu. Karena terlalu banyaknya kekayaan negara, otomatis proteksi ini akan melemah dan otomatis akan terjadi penyelewengan, korupsi harta negara. Maka pengawasan ini sangat penting agar kekayaan negara dapat diamankan dari tangan-tangan pencuri yang berdasi.

Langkah Umar bin Abdul Aziz dalam hal ini adalah memilih pejabatnya dari orang-orang yang amanah, professional dan tidak boros dalam membelanjakan harta negara. Maka anggaran birokrasi, fasilitas pejabat dan anggaran pembelian senjata militer harus dirasionalisasikan agar penghematan keuangan negara dapat terwujud demi mencapai pembangunan bangsa yang berkeadilan sosial, adil dan makmur.

f. Mendorong Investasi dalam Berbagai sektor.

Umar bin Abdul Aziz menghimbau kepada rakyatnya agar berinvestasi dalam semua bidang; industri, pertanian, biro jasa dan pelayanan, perdagangan dan semua bentuk mata pencaharian yang menghasilkan pendapatan untuk mewujudkan program hidup layak yang berkeadilan. Baik investasi ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Karena dalam ajaran Islam juga mendorong akan hal ini baik investasi matriil (duniawi) maupun in-matriil (akhirat).

Umar bin Abdul Aziz menghimbau agar semua unsur ekonomi harus diberdayakan untuk mendapatkan pendapatan (materi/pahala) baik pemberdayaan itu berbentuk pemberdayaan SDM dengan kerja agar tidak ada pengangguran, investasi SDA dan penginvestasian modal finansial yang ada. Hal itu semua merupakan piranti/alat dalam mewujudkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada pertambahan ekonomi nasional. Karena pengangguran dan kemiskinan itu tidak sesuai dengan syariah Islam, maka jangan sampai ada harta benda yang tertimbun, semua unsur kehidupan ekonomi harus berjalan sesuai dengan fungsinya demi kemanfaatan masyarakat secara luas.

E. P e n u t u p

Dari uraian diatas tampak bahwa kemiskinan sesungguhnya dapat diatasi, namun sangat tergantung daripada sikap amanah penyelenggara negara dan political will negara.

Sumber


DAFTAR BACAAN

Abu Yusuf , al-Kharaj, (Bairut Lebanon: Dar al-Ma’rifah, t.t.).

http://iastudies.co.cc/usaha-memahami-kemiskinan-secara-multidimensional-ditinjau-dari-agama/ 22 Oktober 2011

Abdul Aziz Sayyid Al-Ahli, Umar bin Abdul Aziz, terjemahan (Jakarta: Samara Publishing, 2009)

Abdurrahman al-Baghdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988).

Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1985).

Narayan Deepa, dkk. Voice of Poor. (Woshington, DC: World Bank Publication, 2000)

Ellies, S. The Dimension of Poverty. Kumarian Press. 1994.

Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, (Jakarta: Belantika, 2004).

Kartasasmita, Ginanjar. Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Admintrasi pada fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawujaya, (Malang, 27 Mei 1995).

Lewis, Oscar. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1996.

Al-Maliki, Abdurahman., as-S iyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963.

Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.

Soendoro, T. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan: Tindakan Strategis untuk

Sudarwati, Ninik, Kebijakan Pengentasan Kemiskinan (Mengurangi Kegagalan Penanggulangan Kemiskinan. (Malang: Intimedia, 2009).

Supriatna, Tjahya. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora Utama Press. Bandung.1997.

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. (Beirut Lebanon: Daarul Ummah, 1990) Cetakan keempat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar