SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Jumat, 22 Oktober 2010

Perbedaan Asuransi Islami Dengan Asuransi Konvensional asuransi-syariah

Perbedaan Asuransi Islami Dengan Asuransi Konvensional asuransi-syariah

Bahaya, kerusakan dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi manusia di dunia ini. Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini.

Oleh karena itu banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan asuransi yang merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.

Sisem ini sudah berkembang luas dinegara Indonesia secara khusus dan dunia secara umumnya. Sehingga memerlukan penjelasan permasalahan ini dalam tinjauan syari’at islam.

Asuransi Secara Umum

Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebutAssurance. Sedangkan dalam bahasa arab disebut at-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran. [1]

Demikian juga telah didefinisikan dalam perundang-undangan negara Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. [2]

Sedangkan sebagian ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam, diantaranya:

1. Pendapat pertama, asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. [3]

2. Pendapat kedua, asuransi adalah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal tersebut diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (pihak asuransi). [4]

3. Pendapat ketiga, asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya. [5]

Dari definisi yang beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal berikut ini:


* Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin) dan tertanggung (al-Mu’ammin Lahu).
* Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
* Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
* Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya. Inilah asuransi yang umumnya berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI). [6]

Demikian juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal lil Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396H. [7]

Kemudian para ulama memberikan solusi dalam masalah ini dengan merumuskan satu jenis asuransi syari’at yang didasarkan kepada akad tabarru’at [8] yang dinamakan at-Ta’mien at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.

Pengertian Asuransi Ta’awun (at-Ta’mien at-Ta’awuni)

Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni dengan beberapa definisi, diantaranya:

1. Pendapat pertama, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Hal itu dengan cara mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian diantara mereka. Apabila premi yang terkumpulkan tidak cukup untuk itu, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari ganti rugi tersebut maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota dari asuransi ini adalah penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya. Akan jelas gambaran jenis asuransi ini adalah seperti bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan mereka membaginya diantara mereka sesuai dengan tata cara yang dijelaskan. [9]

2. Pendapat kedua, asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah uang untuk kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya yang sudah ditetapkan. [10]

3. Pendapat ketiga, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu apabila tertimpa kerugian (bahaya) tertentu.

4. Pendapat keempat, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak mampuan tersebut. Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha merealisasikan keuntungan namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian mereka. [11]

Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan dan cari keuntungan. Sebagaimana juga akad ini tidak terkandung riba, spekulasi terlarang, gharar dan perjudian. (tentang gharar, baca juga artikel Mengenal Jual-Beli Gharar)

Gambaran paling gampangnya adalah misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq lalu mereka menyerahkan sejumlah uang yang nantinya dari kumpulan uang tersebut digunakan untuk ganti rugi kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya). Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka mereka menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah penunaian ganti rugi tersebut maka dikembalikan kepada mereka atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang. Hal ini mungkin dapat diperluas menjadi satu lembaga atau yayasan yang memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut serta mengeluarkannya. Lembaga ini boleh juga memiliki pengelola yang merencanakan rencana kerja dan managementnya. Semua pekerja dan petugas berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus dibangun untuk tidak cari keuntungan (bisnis) dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong menolong). [12]

Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:

* Tujuan dari asuransi ta’awun adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
* Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), dimana bila kurang mereka menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
* Dasar fikroh asuransi ta’awun ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang, dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka.
* Pada umumnya asuransi ta’awun ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
* Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan) asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. [13]

Perbedaan Antara Asuransi Ta’awun dan Konvensional. [14]

Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:

1. Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’). Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh al-Ihtimaliyah (bisnis oriented yang berspekulasi yang dalam bahasa Prancis contrats aleatoirs).

2. Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun diambil dari jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu tujuan akadnya adalah cari keuntungan, namun keuntungannya tidak bias untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut untung maka nasabah (tertanggung) merugi dan bila nasabah (tertanggung) untung maka perusahaan tersebut merugi. Dan ini merupakan memakan harta dengan batil karena berisi keuntungan satu pihak diatas kerugian pihak yang lainnya.

3. Dalam asuransi konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan yang ada dari peran para anggotanya.

4. Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki perusahaan.

5. Penanggung (al-Mu’ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin Lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu’ammin) adalah pihak luar.

6. Premi yang dibayarkan tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan keuntungannya semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan usaha asuransi tersenut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.

7. Asuransi ta’awun bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.

8. Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun ada pada asas berikut ini:

a. Pengelola perusahaan melaksanakan managemen operasional asuransi berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya dari pengelolaannya dengan mendapatkan gaji tertentu yang jelas. Itu karena mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah fee (gaji) tersebut.

b. Pengelola perusahaan melakukan pengembangan modal yang ada untuk mendapatkan izin membentuk perusahaan dan juga memiliki kebolehan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi sebagai mudhoorib (pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).

c. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk pengembangan modal perusahaan dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi murni milik nasabah (pembayar premi).

d. Pengelola perusahaan bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab al-Mudhooribdari aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan fee (gaji) pengelolaan yang menjadi hak mereka. [15]

Sedangkan hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam asuransi konvensional adalah semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.

1. Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengembangan modal mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali dari keuntungan pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.

2. Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.

Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta’awun ini. Wabillahittaufiq.

Referensi:

1. Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta)
2. Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA
3. al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA
4. Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi.
5. Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya atau www.saaid.net)

Footnotes:

[1] Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S Purwodarminto, cetakan ke-8 tahun 1984, Balai Pustaka, hal 63.
[2] Lihat Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian.
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel Menyoal Asuransi Dalam Islam
[4] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/36.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[6] Lihat al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 255.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[8] Akad Tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, lihat Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[11] Al-Ghoror wa Atsaruhu fi al-’Uquud, DR. al-Dhoriir, cetakan kedua dari Mathbu’aat Majmu’ah Dalah al-Barokah, hlm 638 dinukil dari Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya atau www.saaid.net )
[12] Lihat tentang hal ini dalam pembahasan at-Ta’mien at-Ta’awuni al-Murakkab dalam kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 291-311.
[13] Kelima karekteristik ini diambil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudulRu’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[15] Sebagaimana menjadi hasil keputusan dari Nadwah (Simposium) al-Barkah ke 12 untuk ekonomi islam, ketetapan dan anjuran Nadwah al-Barkah lil Iqtishad al-Islami hal. 212.

***

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel www.ekonomisyariat.com

Teruskan Baca......

Minggu, 10 Oktober 2010

Shalat Dhuha, Keutamaan, dan Hukumnya.



Dari Abu Dzar ra. berkata:

ada sekelompok sahabat Rasulullah berkata, "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya."

Beliau bersabda,"Bukankah Allah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah dan pada setiap tahlil ada sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah."

Mereka bertanya,"Wahai Rasulullah, apakah jika seorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun juga mendapatkan pahala?"

Beliau bersabda,"Apa pendapatmu, bila ia menempatkannya pada tempat yang haram, apakah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkannya pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala," (HR. Muslim)


Dari Abu Hurairah ra. berkata:
Rasulullah saw. bersabda,"Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Mendamaikan dua orang (yg berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik kendaraan atau mengangkatkan barang bawaan ke atasnya merupakan sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah kaki yang engkau ayunkan menuju ke masjid adalah sedekah, dan menyingkirkan aral dari jalan juga merupakan sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim)


Abu Dzar r.a. berkata : Nabi saw bersabda : Pada tiap pagi ada kewajiban pada tiap-tiap persendian untuk bersedekah. Dan tiap tasbih itu sedekah, dan tiap tahlil (La ilaha Illallah) itu sedekah, dan tiap tahmid itu sedekah, dan tiap takbir itu sedekah, dan menganjurkan kebaikan itu sedekah, dan mencegah kemungkaran itu sedekah, dan cukup untuk menggantikan semua itu dua raka’at sunnat dhuha.(HR. Muslim)

Kalaupun bisa lebih dari 2 rakaat mengapa tidak?... lakukan dengan penuh penghayatan... coba iringi dengan berinfaq di jalan Allah....




Oleh :
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda
"Bagi masing-masing ruas

[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha". Diriwayatkan oleh Muslim

[2]Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman.
"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi

[3]Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, dia berkata :"Tidak ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)". Dan dia mengatakan, "Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabin)". Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim.

[4]Hukum Shalat Dhuha
Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai.

[5]Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya.

[6]Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha
Waktu Shalat Dhuha
Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.
Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.
Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut adalah ; "Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat".
Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka'at

[7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya"
[8]
Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama'ah di masjid, lalu dia tetap berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah, sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya". Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.
"Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah, kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…" Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[9]
Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan shalat Dhuha (pagi).
Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat Dhuha. Lalu dia berkata "Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan"[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]
Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya
Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.
Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat shalat Dhuha" Diriwayatkan oleh Muslim.[12]
Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman :"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]
Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu : "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]
Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu Hani, di mana dia bercerita :"Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya, Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat" [15] Diriwayatkan Asy-Syaikhani. [16]
Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya" Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]
Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha saat ditanya oleh Mu'adzah :"Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhua?" Dia menjawab : "Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah" [18]
Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Shalat malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat" [19]
Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Ruku'lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat". Dan juga seperti sabda beliau :"Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah" Wallahu a'lam
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
___________
Foote Note
[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233
[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka'aatin wa Ausathuha Arba'u Raka'aatin au Sittin wal Hatstsu 'alal Muhaafazhati 'alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga kitab, Jami'ul Ushuul (IX/436)
[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440 dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : 'Hasan gharib" Dan dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami'ul Ushuul (IX/4370.
[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma'ul Bahrain) tanpa ucapan :"Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)".
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).

[5]. Majmuu'al Al-Fataawaa (XXII/284)

[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu. (Nailul Authaar III/77).
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menetapkan kesepakatan para ulama tas sunnahnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, kemudian menetapkan hukum sunnatnya, dimana dia mengatakan : "Muncul pertanyaan : 'Apakah yang lebih baik, mengerjakan secara terus menerus ataukah tidak secara terus menerus seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam? Inilah di antara yang mereka pedebatkan". Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan ;"Barangsiapa mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu lagi baginya untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang tertidur sehingga tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi pengganti bagi qiyamul lail" Majmu Al-Fataawaa (XXII/284).
Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, lihat kitab Jaami'ul Ushuul (VI/108-109).

[7]. Ath-Thibi mengatakan : "Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq sebelumnya.

[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba'da Shalaatish Shubhi Hatta Taathlu'a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :"Hasan gharib". Dengan beberapa syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab Jaami'ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.
[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu'jamul Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib (I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu'uz Zawaa'id (X/104)
[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan : Ar-Ramdhaa' berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu, ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang masih kecil". Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)
[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits no. 748.
[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya
[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa'il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156). Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil (II/216).
[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab, Zaadul Ma'ad (III/4100 dan juga Aunul Ma'buud (I/497)
[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no. 1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan lihat juga kitab Jaami'ul Ushuul (VI/110).
[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma'uz Zawaa'id (II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya'qub Az-Zam'i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu'in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha'if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya'qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu 'anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).
[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'ataani wa Akmalaha Tsamaanu Rak'atin wa Ausathuha Arba'u Rak'atin au Sittin wa Hatstsu 'alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).
[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya
Peringatan.
Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh : "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat'. Dan hadits Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu Hatim mengatakan :"Dia bukan seorang yang kuat". Dan Ibnu Hibban menyebutnya di dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : "Darinya, Wahb bin Abdillah meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan". Yahya bin Ma'in mengatakan :"Dia seorang yang haditsnya dha'if". Abu Shalih mengatakan ;"Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di dalam haditsnya terdapat sesuatu" Al-Bukhari mengatakan : "Haditsnya munkar" Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya. Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia riwayatkan sendiri. Wallahu a'lam
Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha'if (lemah) oleh Al-Albani di dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya, dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal. 258-259)(sumber :http://www.almanhaj.or.id/content/2357/slash/0)


Waktunya ???
Didalam Surah Adh-Dhuha Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.” (QS. 93:1-2). Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah swt sampai bersumpah pada kedua waktu itu?. Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa kedua waktu itu adalah waktu yang utama paling dalam setiap harinya.

Sahabat Zaid bin Arqam ra ketika beliau melihat orang-orang yang sedang melaksanakan shalat dhuha: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat itu dilain sa’at ini lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR Muslim).


Lantas bagaimana tidak senang Allah dengan seorang hamba yang seperti ini, sebagaimana janjiNya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 5:35).

Disamping itu shalat dhuha ini juga dapat mengantikan ketergadaian setiap anggota tubuh kita pada Allah, dimana kita wajib membayarnya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Setiap pagi setiap persendian salah seorang diantara kalian harus (membayar) sadhaqah; maka setiap tasbih adalah sadhaqah, setiap tahmid adalah sadhaqah, setiap tahlil adalah sadhaqah, setiap takbir adalah sadhaqah, amar ma’ruf adalah sadhaqah, mencegah kemungkaran adalah sadhaqah, tetapi dua raka’at dhuha sudah mencukupi semua hal tersebut” (HR Muslim).

Tetapi yang lebih dalam dari itu lagi adalah shalat dhuha ini adalah salah amalan yang disukai Rasulullah saw beserta para sahabatnya (sunnah), sebagaimana anjuran beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra: “Kekasihku Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku dengan puasa tiga hari setiap bulan, dua raka’at dhuha dan witir sebelum tidur” (Bukhari, Muslim, Abu Dawud).
Kalaulah tidak khawatir jika ummatnya menganggap shalat dhuha ini wajib hukumnya maka Rasulullah saw akan tidak akan pernah meninggalkannya. Para orang alim, awliya dan ulama sangatlah menjaga shalat dhuhanya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafei’: Tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk tidak melakukan shalat dhuha”. Hal ini sudah jelas dikarenakan oleh seorang mukmin sangat apik dan getol untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”.

“Dari Abu Huraerah ridliyallhu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda : Pada tiap-tiap persendian itu ada shadaqahnya, setiap tasbih adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah (bacaanya : SUBHANALLAH, ALHAMDULILLAH, LAA ILAHA ILLALLAHU, ALLHU AKBAR), setiap amar ma’ruf nahyil munkar itu shadaqah. Dan cukuplah memadai semua itu dengan memperkuat/melakukan dua rakaat shalat dhuha” (Riwayat Muslim - Dalilil Falihin Juz III, hal 627).

Dalam hadits qudsi disebutkan bahwa shalat empat rakaat dipagi hari, Allah bakal menjamin dan mencukupkan segalanya dengan limpahan barakah sepanjang hari itu, sehingga bathinpun akan terasa damai walau apapun tantangan hidup yang merongrong, karena dia telah sadar semua itu ketetapan Allah : “Hai anak Adam, tunaikanlah kewajibanmu untuk KU, yaitu sembahyang empat rakaat pada pagi hari, niscaya Aku akan mencukupi sepanjang harimu (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Abu Ya’la).
Dengan lafadz lain berbunyi : “Hai anak Adam, bersembahyanglah untuk KU empat rakaat pada pagi hari, aku akan mencukupimu sepanjang hari itu” (Riwayat Ahmad dari Abi Murrah).

Doa setelah menunaikan sholat dhuha yang diajarkan Rasulullah SAW : “Ya Allah, bahwasanya waktu dhuha itu waktu dhuha (milik) Mu, kecantikan ialah kencantikan (milik) Mu, keindahan itu keindahan (milik) Mu, kekuatan itu kekuatan (milik) Mu, kekuasaan itu kekuasaan (milik) Mu, dan perlindungan itu perlindungan Mu. Ya Allah, jika rizqiku masih diatas langit, turunkanlah, dan jika ada di didalam bumi, keluarkanlah, jika sukar, mudahkanlah, jika haram sucikanlah, jika masih jauh dekatkanlah, berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba Mu yang shaleh”.

Jumlah raka’at shalat dhuha bisa dengan 2,4,8 atau 12 raka’at. Dan dilakukan dalam satuan 2 raka’at sekali salam. Hadits Rasulullah SAW terkait shalat dhuha antara lain : “Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (H.R. Tarmiji dan Abu Majah). “Siapapun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak busa lautan.” (H.R Turmudzi). “Dari Ummu Hani bahwa Rasulullah SAW shalat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat.” (HR Abu Daud). “Dari Zaid bin Arqam ra. Berkata, Nabi SAW keluar ke penduduk Quba dan mereka sedang shalat dhuha‘. Beliau bersabda, “Shalat awwabin (duha‘) berakhir hingga panas menyengat (tengah hari).” (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi).

Itulah keistimewaan dan keutamaan shalat DHUHA, didunia memberikan keberkahan hidup kepada pelakunya, diakherat pun, di hari kiamat, orang itu dipanggil Allah untuk dimasukkan ke dalam syurga, sebagaimana sabda Nya didalam hadits qudsi : “Sesungguhnya di dalam syurga, ada pintu yang dinamakan pintu DHUHA, maka ketika datang hari kiamat memanggillah (yang memanggil Allah), dimanakah orang yang selalu mengerjakan sembahyang atas Ku dengan sembahyang DHUHA? inilah pintu kamu, maka masuklah kamu ke dalam syurga dengan rahmat Allah”. (Riwayat Thabrani dari Abu Huraerah).



Teruskan Baca......

Gratis, Bisnis mudah dan Gratis di Internet






Pada awal tahun 2010 para blogger dikejutkan oleh adanya program bisnis online yang fantastis dari Geostring, dimana hanya dengan Daftar Gratis Langsung Dapat Komisi $10 Dollar dari Geostring atau sebesar Rp.100.000 (seratus ribu rupiah) jika kurs rupiah sebesar Rp.10.000, sedangkan tugas kita hanya membuka email dari Geostring setiap satu minggu sekali tepatnya pada hari Selasa tanpa harus bergabung atau membeli produk mereka, mudah bukan?

Tidak hanya sampai disitu saja, kita juga akan mendapatkan komisi setiap ada orang yang bergabung menjadi member/anggota melalui rekomendasi atau link referral kita, dimana komisi akan dihitung sampai level 10 (sepuluh), misalnya kita merekrut 3 (tiga) orang dan ketiga orang tersebut merekrut masing-masing 3 (tiga) orang sampai ke dalam 10 level, maka kita akan berpeluang mendapatkan komisi sebesar $895.72 atau sebesar Rp.8.957.200. Komisi akan dibayarkan setelah saldo pendapatan kita mencapai minimal $100 dengan cek yang akan dikirim ke alamat yang kita daftarkan, maka dari itu isilah form pendaftaran sesuai identitas Anda.

Sekarang tunggu apalagi karena program ini 100% gratis dan cara kerjanya pun mudah. Silahkan daftar sekarang dengan mengikuti panduan di bawah ini:

  1. Silahkan klik Daftar Sekarang atau pada banner di atas untuk membuka halaman Geostring;
  2. Setelah terbuka halaman Geostring klik Register, lalu akan terbuka formulir pendaftaran contohnya seperti gambar di bawah ini:

    1. Isilah semua kolom yang bertanda bintang (*) dan kasih tanda centang pada kotak kecil yang bertuliskan: I have read and agree to GeoString's, lalu klik Create account;
    2. Selanjutnya buka Email Anda, jika tidak ditemukan di folder utama biasanya terkirim ke folder Spam/Sampah, lalu klik link aktifasi/konfirmasi dalam Email tersebut, kemudian masukan username dan password anda untuk masuk ke member area guna mengetahui jumlah komisi, link referral dan banner Anda;
    3. Sekarang Anda sudah mempunyai penghasilan $10 dollar, selanjutnya untuk meningkatkan komisi Anda agar mencapai minimal $100, maka Anda harus rajin-rajin mempromosikan link referral Anda, bisa melalui posting seperti ini, lewat pasang iklan dan lainnya.
    Demikianlah informasi bisnis online melalui Daftar Gratis Langsung Dapat Komisi $10 Dollar dari Geostring ini, semoga bermanfaat dan jika belum bergabung silahkan klik Daftar Sekarang, terima kasih


Teruskan Baca......

Kamis, 07 Oktober 2010

Cara menghilangkan Blacklist Smadav, Key Smadav Pro 8.3

 Baru baru ini smadav 8.3 menambahkan fitur blacklist, fitur ini mampu mendeteksi key smadav bajakan alias palsu, salah satu korbanya adalah saya sendiri, smadav saya kena blaclist padahal dulu pake yang pro(meskipun juga bajakan sih ), akhirnya dengan segala upaya bantuan dari om google,  bisa juga merubanya kembali jadi pro, ikuti terus langkahnya, dijamin berhasil

   1. masuk ke pilihan seting

   2. hilangkan semua tanda centang pada pilihan smadav (pengaturan dasar dan engaturan tambahan)

   3. isi nama pada k0tak regristrasi dengan “anti-pembajakan” [tanpa tanda petik]

   4. setelah muncul pesan “berhasil hilangkan tanda bajakan:3″

   5. isi nama dan key berikut (pilih yang disuka )

    6.   Nama : Early
          Key  : 995799257010
   
          Nama : Ridho
           Key  : 995299706040

      Nama : Early Ridho Kismawadi
      Key: 995899365297

  7. Jangan Lupa Comment nya

Teruskan Baca......

Senin, 27 September 2010

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syari'ah(PSAK Syariah 101-111)

 Jangan lupa tinggalkan Comment

Berikut Ini adalah PSAK(Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syari'ah)

KDPPLKSyariah

PSAK101

PSAK102

PSAK103

PSAK104

PSAK105

PSAK106

PSAK 107

PSAK-108

PSAK 109

PSAK 110

PSAK 111




Untuk Perbedaan akuntansi syariah & konvensional Klik Disini

Teruskan Baca......

Senin, 16 Agustus 2010

Posko pengaduan situs porno

Bila informasi ini berguna untuk anda sebagai ucapan terimakasih Tolong KLIK Tulisan Hijau disebelah KIRI anda beberapa kali.
 
Oleh: Sepudin ZuhriJAKARTA: Kementerian Komunikasi dan Informatika mulai hari ini membuka posko pengaduan soal pemblokiran situs porno guna menyampaikan pengaduan, laporan, dan informasi terkait dengan pemblokiran konten porno.

Hal itu tertuang dalam ketentuan No. 91/PIH/Kominfo/8/2010 tentang Pembukaan Posko Pengaduan Pemblokiran Internet yang Memuat Konten Pornografi.

Menkominfo Tifatul Sembiring pada saat melakukan uji coba pemblokiran situs porno oleh enam penyedia jasa internet (PJI) besar pada 10 Agustus, mengatakan bahwa Kemenkominfo akan segera membuka posko pengaduan pemblokiran konten pornografi.

"Sehubungan dengan itu, mulai 16 Agustus, posko pengaduan tersebut telah mulai berfungsi dengan nomor khusus hotline di 38997800," bunyi siaran pers tersebut yang dikeluarkan hari ini.

Masyarakat umum dapat menghubungi nomor tersebut untuk menyampaikan pengaduannya atau dapat juga mendatangi secara langsung ke posko tersebut yang selama ini lebih dikenal sebagai Contact Centre Ditjen Aplikasi Telematika pada jam 09.00-14.00 WIB, yang berlokasi di Lt. 2 gedung depan kantor Kominfo.

Bagi mereka yang ingin menyampaikan pengaduan, laporan dan informasi terkait dengan pemblokiran konten pornografi tersebut dapat mengirimkan ke alamat email aduankonten@depkominfo.go.id.

Pembukaan posko tersebut adalah untuk menggantikan kontak pengaduan darurat yang sebelum ini dibuka melalui Kepala Pusat Humas kementrian itu. Kominfo telah mengimbau agar 200 PJI (internet services provider/ISP) memblokir situs porno.

Dalam uji coba pemblokiran situs negatif itu diikuti oleh PT Telkom Tbk, PT Telkomsel, PT XL Axiata Tbk, PT Indosat Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk dan PT Inosat Mega Media (IM2). (ea)
Bisnis.com

Bila informasi ini berguna untuk anda sebagai ucapan terimakasih Tolong KLIK Tulisan Hijau disebelah KIRI anda beberapa kali.

Teruskan Baca......

Senin, 19 Juli 2010

Jakarta Islamic Index (JII ) dan LQ 45


Jakarta Islamik Index Jakarta Islamic Index (JII ) yang dikeluarkan oleh BEJ merupakan index dari 30 saham perusahaan yang kegiatannya dipandang tidak bertentangan dengan syariah. Untuk dapat dipandang sesuai syariah, dilakukan lima tahap penyaringan. Pertama, dipilih perusahaan yang kegiatan utamanya tidak bertentangan dengan syariah. Kedua, saham tersebut sudah tercatat di BEJ lebih dari 3 bulan. Syarat ini boleh dilanggar bila ia termasuk dalam 10 saham berkapitalisasi besar. Ketiga, dipilih saham yang berdasarkan laporan keuangannya, rasio kewajiban terhadap aktiva maksimal 90%. Ketiga, dipilih 60 saham berdasarkan urutan kapitalisasi pasar selama satu tahun terakhir. Kelima, dipilih 30 saham berdasarkan nilai perdagangan rata-rata selama satu tahun terakhir. Sebagaimana juga Islamic Index lainnya di dunia, seperti Dow Jones Islamic Index, Kuala Lumpur Islamic Index, perusahaan yang sahamnya tercatat di JII bersikap pasif. Artinya, mereka tidak mengupayakan agar saham perusahaannya masuk dalam JII, misalnya dengan menyesuaikan operasional bisnis mereka agar sesuai syariah. Sebaliknya JII lah yang aktif melakukan penyeleksian saham-saham yang tidak bertentangan dengan syariah. Secara langsung JII tidak mempengaruhi perilaku bisnis perusahaan yang sahamnya masuk JII. Dari metode seleksinya, maka dapat diduga bahwa saham-saham yang tercatat dalam JII adalah sama dengan saham-saham di LQ45 setelah dikeluarkan saham perusahaan lembaga keuangan konvensional dan saham perusahaan rokok. Jika saja LQ45 diperas lagi menjadi LQ30, dan dipastikan tidak ada saham-saham perusahaan rokok dan bank konvensional, niscaya kita akan mendapatkan JII. Dengan kata lain JII adalah LQ30 tanpa rokok dan bank. Tidak heran kalau kinerja JII lebih baik dari kinerja IHSG atau LQ 45. Pasca perang sampai dengan 8 Juli tahun ini kinerja JII adalah +102%, sementara itu LQ45 +96%, dan IHSG +97%. Saham dalam JII adalah juga saham yang tercatat di LQ45. Saham-saham LQ45 yang tidak termasuk dalam JII adalah ASII, BNBR, BBCA, BBNI, NISP, PNBN, RMBA, GGRM, HMSP, INKP, IDSR, JIHD, MMPA, TKIM, PNIN, RALS, TRST. Yang menarik ada 2 saham di JII yang tidak termasuk LQ45 yaitu CTRA dan DYNA karena keduanya termasuk medium cap sedangkan saringan pertama di LQ45 berdasarkan urutan volume perdagangan. JII direview setiap enam bulanan, sehingga list saham di JII sifatnya dinamis, ada yang keluar, ada yang masuk , ada pula yang menjadi penghuni tetap. Sejak Juli 2000 beberapa penghuni tetap JII adalah UNTR,ASGR, SMGR, INDF, ISAT, TINS, TLKM, dan ANTM. Penghuni tetap yang baru saja tereliminasi untuk periode 6 enam bulan mendatang adalah MEDC dan AUTO karena tidak lolos tahapan penyeleksian intensitas perdagangan dari BEJ. Sedangkan enam saham baru yang tercatat pada JII adalah BNBR, KIJA, MLPL, PGAS, LSIP, dan TRST. Aktivitas BNBR yang melonjak satu tahun terakhir ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas BUMI yang sempat ramai karena berhasil mengakuisisi KPC pertengahan tahun lalu. LSIP baru saja menyelesaikan restrukturisasi hutang tahun lalu dan dengan prospek keuntungan yang membaik karena meningkatnya harga CPO sejak awal tahun ini. Daftar Saham yang Tercatat dalam JII ANTM INTP SMCB AALI INDF SMGR ASGR ISAT SMRA BNBR INCO PTBA BRPT KLBF TLKM BUMI KIJA TSPC CTRA LMAS TINS DNKS MLPL TRST EMPT PGAS UNVR GJTL LSIP UNTR


Teruskan Baca......

Jumat, 02 Juli 2010

Pajak dalam Islam



Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dan tak lupa pula shalawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafa’atnya di yaumil akhir kelak.
Tugas makalah ini dibuat sebagai tugas untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Perpajakan. Dalam menyelesaikan tugas makalah ini, penulis telah berusaha sebaik dan semaksimal mungkin. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari dosen dan pembaca demi kesempurnaannya.
Akhir kata penulis berharap semoga tugas makalah ini dapat berguna bagi penulis dan kita semua.

Medan, Mei 2010







Daftar Isi
Kata pengantar
Daftar isi
1. Pendahuluan
2. Syarat-syarat Pemungutan Pajak
3. Analisis Perbedaan dan Persamaan Zakat dan Pajak
4. Pajak Menurut Abu Yusuf
5. Pajak Menurut Abu Ubaid
6. Peran Pemungutan Pajak dalam Ekonomi Islam
Kesimpulan
Daftar Pustaka










Pendahuluan
1. Pengertian pajak
Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.( Wikipedia.org )
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah :
1. al-Jizyah ( upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam )
2. al-Kharaj( pajak bumi yang dimiliki oleh Negara )
3. al-Usyr ( bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam )
Pendapat Ulama Tentang Pajak
Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :


لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ

"Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. " ( HR Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, diantaranya adalah :
Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“ Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." ( HR Muslim, no: 3208 )
Kedua : Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“ Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak ( secara zhalim ) “ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ) .
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara dhalim sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratib al Ijma’ hlm : 141 :
“واتفقوا أن المراصد الموضوعة للمغارم على الطرق وعند أبواب المدن وما يؤخذ في الأسواق من المكوس على السلع المجلوبة من المارة والتجار ظلم عظيم وحرام وفسق “
”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.”
Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya
Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.
Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
"Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat." ( HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
2. Syarat-syarat Pemungutan Pajak
Islam adalah agama yang anti kedzaliman. Pengutipan pajak tidak dapat dilakukan sembarangan dan sekehendak hati penguasa. Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1. Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy.
Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhatikan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar – benar kosong. Para ulama benar – benar sangat hati – hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak.
Sultan Zahir Baibas adalah Raja muslim yang berkuasa pada masa Imam Nawawi. Tatkala negara hendak berperang melawan tentara Tartar di negara Syam, dalam Baitul Mal tidak terdapat biaya yang cukup untuk perang. Maka dikumpul para Ulama dalam Musyawarah, mereka menetapkan keharusan memungut pajak kepada rakyat untuk membantu biaya perang. Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “ kenapa tuan menolak ?”
Imam Nawawi berkata : “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa – apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.
Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zahir pula sangat marah kepadanya dan berkata : “keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “saya taati perintah Sultan “, lalu pergilah ia ke kampung Nawa. (maka itulah dia digelari Nawawi). Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “ Beliau itu adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami “. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata : “ Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zahir ada di sana”, kemudian Sultan pun mati. Diantara tulisan berupa nasehat untuk Sultan Zabir ia berkata : “tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul mal ada uang atau perhiasan, tanda atau ladang yang dapat dijual”. Semoga ini menjadi renungan dan i’tibar bagi ummat Islam saat ini, terutama bagi pejabat – pejabat pajak, DPR atau penguasa.
2. Pemungutan Pajak yang Adil.
Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan.
Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyarakat. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan. (Qardhawi h. 1081-1082).
Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar unsur KKN. Jangan prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu saja, tetapi sesuaikan dengan kebutuhan, kenyataan menunjukkan, seorang pejabat hanya terpokus membangun kampung kelahirannya (nenek moyangnya), kurang peduli pada daerah yang lain. Sehingga terjadi kesenjangan pembangunan. Ini merupakan sebuah kezaliman.
Sistem perpajakan yang adil akan terwujud apabila memenuhi 3 (tiga) kriteria sebagai berikut: Pertama, pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang benar-benar diperlukan untuk merealisasikan tujuan kesejahteraan masyarakat umum; Kedua, beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan kepada kemampuan rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua orang yang mampu membayar; Ketiga, dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang karenanya pajak diwajibkan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya.
Karena itu, Al-Qur’an memperhatikan sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa nafsu, keserakahan atau untuk kepentingan money politic. Justru itulah para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat besar menekankan penggunaan kekayaan rakyat pada sasaran-sasaran yang ditetapkan syariat. Jangan sampai pajak tersebut menjadi lahan korupsi.
Tapi sangat di sayangkan, tidak sedikit oknum yang menyalahgunakan pajak untuk kepentingan pribadi, golongan dan kroni-kroninya. Itulah bedanya antara Kulafaur Rasyidin dengan raja dan pejabat yang rakus.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam At-Thabaqat dari Salman bahwa Umar berkata kepadanya, “Apakah aku ini raja atau Khalifah”.? Salman menjawab, “Kalau engkau memungut dari negeri muslim satu dirham, kemudian engkau gunakan bukan pada haknya, maka engkau raja, bukan Khalifah”.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab berkata, Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini Khalifah atau raja, bila aku raja, maka ini masalah yang besar”. Seseorang berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda, Khalifah tidak akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memungut sesuatu kecuali kepada yang berhak. Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang demikian, sedangkan raja (zalim) akan berbuat sekehendaknya”. Maka Umar diam (Qardhawi, hlm. 1083.)

4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.
Karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama. Musyawarah adalah unsur pokok dalam masyarakat yang beriman, sebagai perintah langsung dari Allah SWT
Para pejabat pemerintah yang menangani pajak harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan seksama dan matang dalam menetapkan tarif pajak. DPR harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam membuat sebuah peraturan tentang Pajak, perlu diperhatikan bahwa pajak yang dipungut mengunakan suatu sistem perpajakan yang adil dan mudah serta ditujukan semata-mata untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, sehingga warga negara dapat secara sukarela melaksanakan kewajibannya karena mereka dapat merasakan manfaat pembangunan serta penyediaan prasana dari pengeluaran mereka untuk pajak. Ketidakadilan dalam memungut pajak serta ketidakmerataan pendistribusian hasil penerimaan pajak bagi kesejahteraan masyarakat, akan mengurangi kenginan masyarakat untuk menghasilkan dan memperoleh kemakmuran, serta akan berdampak kepada memburuknya kondisi suatu pasar, sehingga akhirnya kondisi masyarakat secara keseluruhan akan semakin memburuk.
3. Analisis Perbedaan dan Persamaan zakat dan Pajak.
Zakat adalah rukun Islam yang langsung bersentuhan dengan aspek-aspek sosial kemasyarakatan, itu terlihat pada Rukun Islam yang ketiga, yaitu menunaikan zakat.
Banyak kesamaan antara pajak dengan zakat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa antara kedua tetap ada perbedaan yang hakiki. Sehingga keduanya tidak bisa disamakan begitu saja. Persamaan zakat dengan pajak adalah sebagai berikut:
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
3. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
4. Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
5. Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Namun dengan semua kesamaan di atas, bukan berarti pajak bisa begitu saja disamakan dengan zakat. Sebab antara keduanya, ternyata ada perbedaan-perbedan mendasar dan esensial. Sehingga menyamakan begitu saja antara keduanya, adalah tindakan yang fatal. Pajak bisa digunakan untuk membangun jalan raya, dan dalam banyak hal bisa lebih leluasa dalam penggunaannya. Sedangkan zakat, dalam penggunaannya akan terikat ke dalam Ashnaf sebagai pada tercantum dalam Al Quran. Zakat dengan dalih apapun tidak dapat disamakan dengan pajak. Zakat tidak identik dengan pajak. Banyak hal yang membedakan antara keduanya, diantaranya :
1. Zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warganegara kepada ulil amrinya (pemimpinnya)
2. Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam Al Qur’an dan Hadits, sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
3. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak tidak memakai niat. Dan sesungguhnya masih baanyak laagi hal-hal yang membedakan antara zakat dan pajak.

Perbedaan Zakat Dan Pajak Diperbandingkan Dalam Format Tabel.
Perbedaan Zakat Pajak
Arti Nama bersih, bertambah dan berkembang Utang, pajak, upeti
Dasar Hukum Al-Qur`an dan As Sunnah Undang-undang suatu negara
Nishab dan Tarif Ditentukan Allah dan bersifat mutlak Ditentukan oleh negara dan yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
Sifat Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
Subyek Muslim Semua warga negara
Obyek Alokasi Penerima Tetap 8 Golongan Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
Harta yang Dikenakan Harta produktif Semua Harta
Syarat Ijab Kabul Disyaratkan Tidak Disyaratkan
Imbalan Pahala dari Allah dan janji keberkahan harta Tersedianya barang dan jasa publik
Sanksi Dari Allah dan pemerintah Islam Dari Negara
Motivasi Pembayaran Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya Ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
Perhitungan Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantu ‘amil zakat Selalu menggunakan jasa akuntan pajak

Sumber utama pendapatan Negara menurut Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
No Nama Pendapatan Jenis Pendapatan Subjek Objek Tarif Tujuan Penggunaan
1 Ghanimah Tdk Resmi Non Muslim Harta Tertentu 5 Kelompok
2 Zakat Tdk Resmi Muslim Harta Tertentu 8 Kelompok
3 Ushr– Shadaqah Tdk Resmi Muslim Hasil Pertanian/dagang Tetap 8 Kelompok
4 Jizyah Resmi Non Muslim Jiwa Tidak tetap Umum
5 Kharaj Resmi Non Muslim Sewa Tanah Tidak tetap Umum
6 Ushr – Bea Cukai Resmi Non Muslim Barang dagang Tidak tetap Umum
7 Waqaf Tdk Resmi Muslim Harta Tidak tetap Umum
8 Dharibah (Pajak ) Resmi Muslim Harta Tidak tetap Umum


4. Pajak Menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf dalam kitab “Kitabul Kharaj” mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan Pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani. rakyat, maka kewajiban mereka (masyarakat) membayar ongkosnya.
Abu Yusuf mengusulkan penggantian system pajak tetap (lump sum system) atas tanah menjadi pajak proporsional atas hasil pertanian. Sistem proporsional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam . Bagi Abu Yusuf metode pajak secara proporsional dapat meningkatkan pemasukan negara dari pajak tanah dari sisi lain mendorong para penanam untuk meningkatkan produksinya. Abu Yusuf menyatakan:
Dalam pandangan saya, system perpajakan terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan negara dan yang paling tepat untuk menghindari kezaliman terhadap pembayar pajak oleh para pengumpul pajak adalah pajak pertanian yang proporsional. System ini akan menghalau kezaliman terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.
Sistem pajak ini didasarkan pada hasil pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, system tersebut mensyaratkan penetapan pajak berdasarkan produksi keseluruhan, sehingga system ini akan mendorong para petani untuk memanfaatkan tanah tandus dan amati agar mnemperoleh bagian tambahan. Dalam menetapkan angka. Abu Yusuf menganggap system irigasi sebagai landasannya, perbedaan angka yang diajukannya adalah sebagai berikut:
1. 40 % dari produksi yang diairi oleh hujan alamiah
2. 30 % dari produksi yang diairi secara artificial 1/3 dari produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya) ¼ dari produksi tanaman musim panas.
Dari tingkatan angka di atas dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menggunakan sistem irigasi sebagai kriteria untuk menentukan kemampuan tanah membayar pajak, beliau menganjurkan menetapkan angka berdasarkan kerja dan modal yang digunakan dalam menanam tanaman .
Abu Yusuf wrote too that all persons had the right to use water from the great rivers. But if the canal excavated passed through land belonging to others, then those who benefited from this canal might have to pay compensation like a monthly charge
(Abu Yusuf juga menjeaskan bahwa semua manua memiiki hak untuk menggunakan air dari sungai besar tetapi jika kanal (parit kecil) digali yang melalui lahan milik orang lain, kemudian ini dimanfaat dari kanal tersebut harus membayar kopensasi seperti membayar iuran setiap bulan) .
Dalam bukunya kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menguraikan kondisi-kondisi untuk perpajakan, yaitu:
1. charging a justifiable minimum (harga minimum yang dapat dibenarkan)
2. no oppression of tax-payers (tidak menindas para pembayar pajak)
3. maintenance of a healthy treasury, (pemeliharaan harta benda yang sehat)
4. benefiting both government and tax-payers (manfaat yang diperoleh bagi pemerintah dan para pembayar pajak)
5. in choosing between alternative policies having the same effects on treasury, preferring the one that benefits tax-payers (pada pilihan antara beberapa alternatif peraturan yang memeliki dampak yang sama pada harta benda, yang melebihi salah satu manfaat bagi para pembayar pajak
5. Pajak Menurut Abu Ubaid
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
Abu ubaid di dalam Al Amwal menjelaskan dengan mengutib Az Zuhri, Rasulullah menerima jizyat dari majusi Bahrain, Az zuhri menambahkan siapa saja di antara mereka memeluk islam, maka keislaman mereka diterima, dan keselamatan diri dan hartanya akan dilindungi, selain tanah, sebab tanah tersebut adalah fa’i (rampasan) bagi kaum muslim, karena orang-orang tersebut sejak awal tidak pernah menyerah sehingga ia terlindungi. Dan dijelaskan lebih lanjut jika jizyat gugur setelah seseorang kafir masuk islam, maka kewajiban kharaj tidak gugur dengan sebab masuk islamnya tersebut, inilah awal munculnya kewajiban berganda bagi setiap orang islam, kewajiban membayar zakat dan kewajiban membayar jizyat.
6. Peran Pemungutan Pajak Dalam Ekonomi Islam
Kelompok fuqaha yang membenarkan pungutan pajak, berpendapat bahwa dana zakat pada prinsipnya dipergunakan untuk kesejahteraan kaum fakir & miskin, serta enam ashnab lainnya, padahal negara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara effektif. Dasar pembenaran pemungutan “Pajak” oleh parafuqaha adalah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi “”Pada hartamu ada kewajiban selain zakat”. Argumen pendukung pembebanan pemungutan Pajak, menurut Umer Chapra adalah bahwa ”suatu pengorbanan yang lebih kecil dapat direlakan untuk menghindari pengorbanan yang lebih besar”, dan “sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Ibnu Taimiyyah dalam kitab “Majmuatul Fatawa” melarang penghindaran pajak, berdasarkan argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain. Al Marghinani dalam buku “al-Hidayah” menyatakan bahwa jika manfaat dari pajak memang dinikmati rakyat, maka kewajiban mereka (masyarakat) membayar ongkosnya.
Menurut para fuqaha, kewajiban membayar Pajak, mempunyai arti bahwa pembayaran yang mereka lakukan berguna bagi negara agar mampu menjalankan fungsinya secara efektif karena dana dari Pajak tersebut secara langsung atau tidak langsung dipergunakan untuk pelayanan-pelayanan yang diperoleh dari negara, seperti perlindungan keamanan dalam negeri maupun luar negeri pembangunan jalan, pelabuhan laut, bandar udara, pasokan air bersih, kebersihan jalan raya dan lingkungan, serta perawatan sistem drainase dan lainnya. Dengan demikian, sebagian besar fuqaha berpendapat, bahwa Islam menempatkan kewajiban tertentu kepada para pembayar Pajak, namun negara juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi kondisi sebagai berikut: Pertama, penerimaan hasil Pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan Pajak; Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban Pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayarnya.
Perekonomian yang makmur dalam sebuah pemerintahan, akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi dengan tarif pajak yang lebih rendah, sementara perekonomian yang mengalami depresi akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan tarif pajak yang lebih tinggi. Menurut beberapa ahli, penurunan dalam penghasilan pajak disebabkan juga oleh penurunan belanja pemerintah. Hal ini disebabkan karena negara dapatmenghadirkan pasar terbesar bagi dunia usaha. Jika pemerintah menimbun penerimaan pajak atau jika pemerintah tidak bisa membelanjakan penerimaan pajak sebagaimana mestinya, maka pasar akan sepi dan keuntungan pengusaha akan menurun, sehingga berakibat pada penurunan penghasilan pajak. Dengan demikian, kemakmuran cenderung bersirkulasi antara rakyat dan pemerintah, dari pemerintah ke rakyat, dan dari rakyat ke pemerintah. Oleh karenanya, jika pemerintah menjauhkan pajak dari belanja negara, rakyat akan menjadi jauh dari pajak, sehingga akhirnya penghasilan pajak pun tidak bisa diperoleh oleh negara.


Kesimpulan
Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah; al-Jizyah, al-Kharaj, al-Usyr
Pendapat Ulama Tentang Pajak , Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat.
Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya
Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.
Syarat-syarat Pemungutan Pajak
1. Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh.
2. Pemungutan Pajak yang Adil.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.
Perbedaan dan Persamaan zakat dan Pajak.
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
3. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
4. Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
5. Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Perbedaan
1. Zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warganegara kepada ulil amrinya (pemimpinnya)
2. Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam Al Qur’an dan Hadits, sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
3. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak tidak memakai niat. Dan sesungguhnya masih baanyak laagi hal-hal yang membedakan antara zakat dan pajak.

Daftar Pustaka
Abdul Qadim, al-Amwal fi daulah al-Khilafah, (Dar al-ilmi lilmalayin, 1988), Edisi terjemah oleh Ahmad dkk, Sistem Keuangan di Negara Khilafah. (Bogor: Pustaka Thariq al-Izzah, 2002)
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah. (Jakarta: Rajawali Press, 2007)
Karim, Adiwarman Azhar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed. Ke-2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
P3EI UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
http://www.islamic-world.net/economics/al_kharaj.htm
http://www.hermaninbissmillah.blogspot .com/2009/11/pemikiran ekonomi abu yusuf. html
http://www.merza gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami).16 apr 2006.htm



Teruskan Baca......

Selasa, 25 Mei 2010

Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf


BAB I
Pendahuluan

Kebanyakan dari Mahasiswa saat ini lebih mengenal Adam Smith dan para tokoh ekonomi lainnya yang berasal dari barat, akan tetapi kita belum tentu mengetauhi bahwa Islampun memiliki para tokoh ekonomi awal (klasik), seperti al-ghazali, abu Ubaid dan lain-lain. Oleh karenanya menarik untuk dibicarakan satu tokoh ekonomi Islam yang brillian di masanya, yaitu Abu Yusuf, yang terkenal dengan kitab Kharaj-nya (Manual on Land Tax) yang hidup pada masa daulah Abbassiah yaitu pada masa Khalifah Harun al-Rasyid.
Selain itu ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Karena yang sudah kita ketauhi dari paragraph diatas tadi, bahwa terdapat tokoh-tokoh ekonomi Islam, yang mana konsep ekonomi mereka berakar pada hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadis Nabi saw. Sebagaiman tokoh yang akan dibahas dalam makaah ini yaitu Abu Yusuf, beliau telah memberikan kontribusi pemikiran ekonomi. Beliau merupakan seorang tokoh muslim pertama yang menyinggung masalah mekanisme pasar. makalah ini akan berusaha mengangkat tentang bagaimanakah pemikiran ekonomi beliau.
Adapun pembahasan dalam makalah ini akan diawali dengan Sekilas tentang Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj,  Latar Belakang Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf, Mekanisme Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf, Sistem Ekonomi Abu Yusuf, Tujuan Kebijakan ekonomi Abu Yusuf.





BAB II
PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF

Sekilas Tentang Abu Yusuf

Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) merupakan seorang fukaha yang sesunggunya lahir di masa Ummayyah, namun mulai berkarya dengan kualitas yang diakui di masa abassiyah[1].
Time periods of Abu Yusuf
Adapun nama panjang dari Abu yusuf adalah Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-anshari al-jalbi al-Kufi al-Baghdadi. Di panggil al-anshari karena ibunya masih keturunan dari salah seorang sahabat Rasulullah Saw., Sa`ad Al-Anshari. Beliau dilahirkan di kota Kufa. Pada masa kecilnya, Imam Abu Yusuf  memiliki ketertarikan yang kuat pada ilmu pengetahuan, terutama pada ilmu hadis. Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad atho bin as-Saib Al-kufi, Pendidikannya dimulai dari belajar hadits dari bebearapa tokoh. Ia juga ahli dalam bidang fiqh, beliau belajar dari seorang guru yang bernama Muhammad Ibnu abdur Rohman bin Abi laila yang lebih di kenal dengan nama Ibn Abi Laila.selam tujuh belas tahun Abu Yusuf tiada henti-hentinya belajar kepada Abu hanifa, iapun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifa.
 Adapun buku-buku yang pernah ditulis Abu Yusuf seperti:
1.      kitab al-Atsar
2.      kitab ikhtilaf Ibni Abi Hanifa wa Laila
3.      Kitab ar-Radd ala al-Siyar Auza`i
4.      Kitab al-Kharaj. Buku ini merupakan buku yang paling popular dari kepopuleran buku-bukunya yang lain. Dengan buku ini dia dianugerahi sebagai Ulan fikih dan ahli ekonomi klasik muslim[2].

Kitab al-Kharaj

Pemikiran ekonomi Abu Yusuf tertuang pada karangan terbesarnya yakni kitab al-Kharaj. Kitab ini ditulis untuk merespon permintaan khalifah harun al-Rasyid tentang ketentuan-ketentuan agama Islam yang membahas masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Abu Yusuf menuliskan bahwa Amir al-Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, yang dirancang untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Al-Kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-pos pengeluaran berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul saw. Dalam kitab ini dijelaskan bagaimana seharusnya sikap penguasa dalam menghimpun pemasukan dari rakyat sehingga diharapkan paling tidak dalam proses penghimpunan pemasukan bebas dari kecacatan sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga Negara. Kitab ini dapat digolongkan sebagai fublic finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang dipakai dalam kitab al-Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh. Kitab ini berupaya membangun sebuah system keuangan public yang mudak dilaksanakan yang sesuai dengan hokum islam yang sesuai dengan persyaratan ekonomi. Abu Yusuf dalam kitab ini sering menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat gagasan-gagasannya relevan dan mantap[3]. Misalnya Abu yusuf dalam kitabnya al-Kharaj mengomentari perbuatan khalifah Umar dengan mengatakan: pendapat Umar ra yang menolak pembagian tanah kepada penakluknya tersebut, adalah sesuai dengan keterangan al-Qur`an yang di ilhamkan Allah kepadanya dan merupakan taufiq dari Allah kepadanya dalam tindakan yang diambilnya dalam keputusan ini dinyatakan bahwa kekayaan tersebut adalah untuk seluruh umat Islam. Sedangkan pendapatnya yg menegaskan bahwa penghasilan tanah tersebut harus di kumpulkan kemudian dibagi kepada kaum muslimin, juga membawa manfaat yang luas bagi mereka semua[4].
Prinsip-prinsip yang ditekankan Abu Yusuf  dalam perekonomian, dapat disimpulkkan bahwa pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebenarnya tersimpul dalam al-Kharaj yang dapat disebut sebagai bentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiscal, pendapat negara dan pengeluaran[5].
Penamaan al-Kharaj terhadap kitab ini, dikarenakan memuat beberapa persoalan pajak, jiz'ah Kaum non muslim wajib membayar jizyah, namun jika mereka meninggalmaka jizyah tersebut tidak boleh dibayar oleh ahli warisnya. Jizyah dalam terminology konvensional disebut dengan pajak perlindungan, yakni jasa keamanan yang diberikan Negara islam kepada kaum non muslim. Bagi kaum non muslim yang ikut berperang , maka bagi mereka tidak dibebankan untuk membayar jizyah. Berdasarkan klasifikasi strata masyarakat maka jizyah bagi golongan kaya sebesar 4 dinar, golongan menengah 2 dinar dan kelas miskin 1 dinar. Tentang mereka yang enggan membayar jizyah, beliau menyatakan bahwa dalam menarik jizyah dari orang-orang non muslim tidak perlu dengan cara kekerasan tetapi dengan cara yang kekeluargaan yakni memberlakukan mereka layaknya teman, karena hal ini dapat member pengaruh positif yaitu bertambah simpatinya kaum non muslim terhadap Islam., serta masalah-masalah pemerintahan.

Kitab al-Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain :

  1. Tentang pemerintahan, seorang khalifah adalah wakil Allah di bumi untuk melaksanakan perintah-Nya. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Kaidah yang terkenal adalah Tasharaf al-imam manuthum bi al-Maslahah.
  2. Tentang keuangan; uang negara bukan milik khalifah tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dan penuh tanggung jawab.
  3. Tentang pertanahan; tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
  4. Tentang perpajakan ; pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan pada kerelaan mereka.
  5. Tentang peradilan; hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang yang subhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik dari pada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan.

Latar Belakang Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak dari, setting social dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, tidak keluar dari konteksnya. Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan rasionalitas dengan tidak bertaqlid. Faktor ekstern, adanya system pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan setting social seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj[6]. Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada penguasa Dinasti Abbasiyah, Khalifa Harun Al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai kitab al-Kharaj.
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal pajak, ia telah meletakan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya[7]. Misalnya abu Yusuf juga mengangkat kisah khalifah Umar ibn Khattab yang menghadapi kaum nasrani bani Tlaghlab. Mereka hádala orang arab yang anti pajak. Maka jangan sekali-kali kamu engkau jadikan mereka sebagai musuh (karena tidak mau membayar pajak), maka ambillah dari mereka pajak dengan atas nama sedekah. Karena mereka Sejak dulu mau membayar sedekah dengan berlipat ganda asa tidak bernama pajak. Mendengar hal itu pada mulanya khalifah Umar menolak usulan ini, tetapi kemudian hari justru menyetujuinya, sebab di dalamnya terdapat unsur mengais manfaat dan mencegah mudharat[8]. Sebagai contoh dalam sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak.
Dalam bukunya kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menguraikan kondisi-kondisi untuk perpajakan, yaitu:
  1. charging a justifiable minimum (harga minimum yang dapat dibenarkan)
  2. no oppression of tax-payers (tidak menindas para pembayar pajak)
  3. maintenance of a healthy treasury, (pemeliharaan harta benda yang sehat)
  4. benefiting both government and tax-payers (manfaat yang diperoleh bagi pemerintah dan para pembayar pajak)
  5. in choosing between alternative policies having the same effects on treasury, preferring the one that benefits tax-payers (pada pilihan antara beberapa alternatif peraturan yang memeliki dampak yang sama pada harta benda, yang melebihi salah satu manfaat bagi para pembayar pajak[9]
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian. Ia menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka harus diawasi untuk mencegah korupsi dan praktek penindasan. Dan mengusulkan penggantian system pajak tetap (lump sum system) atas tanah menjadi pajak proporsional atas hasil pertanian. Sistem proporsional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam[10]. Bagi Abu Yusuf metode pajak secara proporsional dapat meningkatkan pemasukan negara dari pajak tanah dari sisi lain mendorong para penanam untuk meningkatkan produksinya. Abu Yusuf menyatakan:
Dalam pandangan saya, system perpajakan terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan negara dan yang paling tepat untuk menghindari kezaliman terhadap pembayar pajak oleh para pengumpul pajak adalah pajak pertanian yang proporsional. System ini akan menghalau kezaliman terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.[11]
Sistem pajak ini didasarkan pada hasil pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, system tersebut mensyaratkan penetapan pajak berdasarkan produksi keseluruhan, sehingga system ini akan mendorong para petani untuk memanfaatkan tanah tandus dan amati agar mnemperoleh bagian tambahan. Dalam menetapkan angka. Abu Yusuf menganggap system irigasi sebagai landasannya, perbedaan angka yang diajukannya adalah sebagai berikut:
  1. 40 % dari produksi yang diairi oleh hujan alamiah
  2. 30 % dari produksi yang diairi secara artificial 1/3 dari produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya) ¼ dari produksi tanaman musim panas.
Dari tingkatan angka di atas dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menggunakan sistem irigasi sebagai kriteria untuk menentukan kemampuan tanah membayar pajak, beliau menganjurkan menetapkan angka berdasarkan kerja dan modal yang digunakan dalam menanam tanaman[12].
Abu Yusuf  wrote too that all persons had the right to use water from the great rivers. But if the canal excavated passed through land belonging to others, then those who benefited from this canal might have to pay compensation like a monthly charge (Abu Yusuf juga menjeaskan bahwa semua manua memiiki hak untuk menggunakan air dari sungai besar tetapi jika kanal (parit kecil) digali yang melalui lahan milik orang lain, kemudian ini  dimanfaat dari kanal tersebut harus membayar kopensasi seperti membayar iuran setiap bulan)[13].
Hal kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf  ialah pada masalah pengendalian harga (tas`ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada sunnah Rasul. Dalam hal ini beliau mengutip hadis-hadis rasulullah saw yang menyatakan bahwa “tinggi dan rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan allah, dan kita tidak bias mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut ” (Riwayat Abdu a-Rahman bin Abi Laila dari Hikam bin ‘Utaibah) dan hadis yang menyatakan “Sesungguhnya urusan tinggi dan rendahnya harga suatu barang punya kaitan erat dengan kekuasaan allah swt. Aku berharap dapat bertemu dengan Tuhanku di mana salah seorang diantara kalian tidak akan menuntutku karena kezhaliman” (Hadis Tsabit Abu Hamzah al-Yamani dari Salim bin Abi Ja’ad) dan “…Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang di antara kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam hal darah dan harta” (Riwayat Sufyan bin Uyainah, dari Ayub dari Hasan). Abu yusuf menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan bukan alasan Untuk menurunkan harga panen dan, sebaliknya., kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat abu Yusuf ini merupakan hasi observasi. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun disisi lain, abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga[14] . tapi kelihatannya Abu Yusuf ingin mengatakan bahwa kenyataannya Abu Yusuf ingin mengatakan bahwa pada kenyataannya harga tidak hanya bergantung pada kekuatan penawaran tetapi juga permintaan. Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan dalam produksi. Secara tegas ia mengatakan ada beberapa variabel-variabel lain yang mempengaruhi, namun beliau tidak menjelaskan secara rinci, variabel-variabel apa saja itu.[15]
Tapi bias dari variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu Negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Menurut Siddiqi sebagaimana yang telah dikutip oleh Adiwarman bahwa ucapan Abu yusuf harus diterima sebagai pernyataan dari hasil pengamatan pada saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.
Dapat dilihat bahwa pemikiran Abu Yusuf menggambarkan adanya batasan-batasan tertentu bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan harga. Abu Yusuf lebih banyak mengedepankan ra’yu dengan menggunakan perangkat analisis qiyas dalam upaya mencapai kemaslahatan ‘ammah sebagai tujuan akhir hukum[16].
Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makana dan mereka menghindari kntrol harga. Kecendrungan yang ada daam pemikiran ekonomi adalah membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan pratek korup lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini[17].

Mekanisme Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

Adapun yang menjadi kekuatan utama pemikiran abu yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya, abu yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadobsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. beliau melihat bahwa sektor Negara sebagai satu mekanisme yang memungkinkan warga Negara melakukan campur tangan atas proses ekonomi. Bagaimana mekanisme pengaturan tersebut dalam menentukan : Tingkat pajak yang sesuai dan seimbang dalam upaya menghindari perekonomian Negara dari ancaman resesi. Sebuah arahan yang jelas tentang pengeluaran pemerintah untuk tujuan yang diinginkan oleh kebijaksanaan umum. Untuk dapat mewujudkan keadaan tersebut Abu Yusuf meletakkan beberapa macam mekanisme, yakni:

  1. Menggantikan system wazifah dengan system muqosomah.
Wazifah dan muqosomah merupakan istilah dalam membahasakan system pemungutan pajak. Wazifah memberikan arti bahwa system pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan, sedangkan Muqosomah merupakan system pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional, sehingga pajak diambil dengan cara yang tidak membebani kepada masyarakat[18]. Berkaitan dengan ini Abu Yusuf mengatakan;
Saya mendapat pertanyaan mengenai pajak dan pengumpulannya di Sawad. Saya mengumpulkan pendapat orang-orang di lapangan dan mendiskusikan permasalahan tersebut bersama mereka, dan tak satupun yang gagal dalam pelaksanaanya, kemudian saya menanyakan tentang kharaj yang ditetapkan (tauzif) oleh umar bin Khatab, dan tentang kapasitas tanah yang dikenai pajak (wazifah) mereka (orang-orang yang dikumpulkan untuk bermusyawarah) tersebut mengungkapkan, bahwa belakangan ini tanah-tanah subur lebih banyak dibandingkan dengan tanah-tanah yang tidak subur, dan mereka juga mengungkapkan banyaknya tanah sisa yang tidak dikerjakan (nonproduktif) dan sedikitnya tanah garapan yang digunakan sebagai subyek kharaj. Menurut pandangan mereka , jika tanah yang tidak digarap yang kami miliki akan dikenakan kharaj seperti halnya tanah garapan yang subur, maka kami tidak akan bisa mengerjakan tanah atau lahan-lahan yang ada sekarang, lantaran ketidakmampuan kami untuk membayar kharaj terhadap tanah yang non-produktif tersebut, dan jika tanah tersebut tidak dikelola dalam waktu seratus tahun, maka ia tetap akan menjadi subyek kharaj atau tetap tidak akan pernah digarap selamanya, dan jika memang demikian halnya maka bagi orang-orang yang menggarap tanah ini untuk keperluan sehari-hari tidak bisa dikenai kharaj. Konsekuensinya, saya menyadari bahwa biaya yang tetap dalam[19].
Abu Yusuf dalam membenahi system perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin.

  1. Membangun fleksibilitas social

Problematika muslim dan non-muslim juga tidak lepas dari pembahasan Abu Yusuf, yaitu tentang kewajiban warga negara non-Muslim untuk membayar pajak. Abu Yusuf memandang bahwa warga Negara sama dihadapan hukum, sekalipun beragama non-Islam. Dalam hal ini Abu Yusuf membagi tiga golongan orang yang tidak memiliki kapasitas hukum secara penuh, yaitu Harbi, Musta’min, dan Dzimmi. Kelompok Musta’min dan Dzimmi adalah kelompok asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam dan membutuhkan perlindungan keamanan dari pemerintah Islam, serta tunduk dengan segala aturan hukum yang berlaku. Perhatian ini diberikan Abu Yusuf dalam rangka memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak dan juga mekanisme penetapam pajak jiz’ah.
Pembayaran jiz’ah oleh non-muslim, bukanlah sebagai hukuman atas ketidakpercayaan mereka terhadap Islam, sebab hal iti bertentangan dengan al-Qur’an (2): 256 ; tidak ada paksaan dalam agama. Jiz’ah tidak diberlakukan bagi perempuan, anak-anak, orang miskin dan kalangan tidak mampu. Bagi yang tidak mampu membayar, mereka juga wajib dilindungi dan disantuni.
Berkaitan dengan jiz’ah ini, Abu Yusuf secara khusus membahasnya yang ditujukan kepada Harun al-Rasyid. Beliau mengatakan “siapa saja yang memaksa warga yang bukan muslim, atau meminta pajak kepada mereka di luar kemampuannya, maka aku termasuk golongannya. Jiz’ah, jika dihadapkan pada konteks realitas social ekonomi masyarakat, maka pertimbangan persentase berdasarkan pendapat Abu Yusuf di atas kiranya lebih mengarah pada tingkat keseimbangan dan nilai-nilai keadilan yang manusiawi,. Hal ini dilakukan sebagai ukuran material dan kemampuan masyarakat dalam menunaikan kewajibannya sebagai warga Negara. Pemahaman fleksibilitas yang dibangun Abu yusuf juga terlihat dari sikapnya yang toleran pada non-Muslim dalam memberi izin melakukan transaksi perdagangan di wilayah kekuasaan Islam. Hal lain, yang dilakukan Abu Yusuf adalah menolak pendapat yang melarang pedagang Islam untuk berdagang di wilayah Dar al_harbi. Hal ini dilakukan guna membuka peluang untuk kontribusi bagi pembangunan dan penyebaran tekhik perdagangan ke seluruh dunia, seperti Cina, Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara dan Turki. Dari sikap Abu Yusuf di atas, terlihat bahwa ia memperhatikan hubungan baik antar Negara, pengembangan ekonomi perdagangan, serta
upaya mensikapi perekonomian masyarakat sebagai antisipasi jika terjadi krisis
kebutuhan pokok[20].



  1. Membangun system politik dan ekonomi yang transparan.

Menurut Abu Yusuf pembangunan system ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi[21].

  1. Menciptakan system ekonomi yang otonom

Abu Yusuf menciptakan system ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah). Perwujudannya nampak dalam pengaturan harga yang bertentangan dengan
hukum supply and demand.
Selain itu semua Abu Yusuf juga memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk jangka panjang, seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil. Ketika berbicara tentang pengadaan fasilitas infrasstruktur, Abu Yusuf menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek Publik. Selain di biadang keuangan Publik, abu Yusuf juga memberikan pandangannya tentang mekanisme pasar dan harga[22], seperti yang dijelaskan pada paragraph sebelumnya .



Sistem Ekonomi Abu Yusuf

Sistem ekonomi yang dikehendaki oleh Abu yusuf adalah satu upaya untuk mencapai kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ini didasarkan pada al-Qur’an, al- Hadits, maupun landasan-landasan lainnya. Hal inilah yang nampak dalam pembahasannya kitab al-Kharaj. Kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Yusuf adalah, yang dalam termiologi fiqh disebut dengan Maslahah/ kesejahteraan, baik sifatnya individu (mikro) maupun (makro) kelompok. Secara mikro juga diharapkan bahwa manusia dapat menikmati hidup dalam kedamaian dan ketenangan dalam hubungan interaksi sosial antar sesama, dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ukuran maslahah, menurut Abu Yusuf dapat diukur dari beberapa aspek, yaitu keseimbangan, (tawazun), kehendak bebas (al-Ikhtiar), tanggung jawab/keadilan (al-‘adalah/accountability), dan berbuat baik (al-Ikhsan). Jika konsepsi maslahah yang dipakai oleh Abu yusuf adalah konsepsi As-Syatibi, maka teori analalisis ekonominya dikategorikan sebagai bentuk dari al_maslahah al-Mu’tabarah[23].
Selain itu Konsep maslahah ummat seperti ini jika dikembangkan dalam wacana ekonomi masa sekarang dan mendatang adalah sangat memungkinkan. Hal ini nampak, selain dari struktur bangunan pemikirannya yang berangkat pada pengembangan moral etis agamis, juga terlihat dari filterisasi at-Tawazun, alikhtiyar, al-‘adalah, al-Ikhsan, yang memungkinkan etika ekonomi bergerak lebih leluasa dan ideal dalam dinamika sosio cultural masyarakat tanpa harus meninggalkan bagian normatifitas transendental ajaran agama[24].
Dalam hal yang berhubungan pemerintahan Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu Tasrruf al-Imam `ala Ra`iyyah Manutun bi al-Mashlaha (setiap tindakan pemerintah yang bertkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan kemaslahatan mereka).ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggungjawab[25].
Dengan melihat dari bagaimana kebijakan Abu yusuf dalam hal ekonomi, menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran ekonomi dalam islam telah memberikan suatu pencerahan. Melihat dari bagaimana pendapat Abu yusuf tentang fluktuasi harga memberikan kesimpulan bahwa system ekonomi yang ada belum tentu bias diterima, tergantung pada keadaan dan situasi yang terjadi pada suatu tenpat.
Dengan pemikiran ekonomi Abu Yusuf  ini hendaklah dapat mendorong kita untuk menjadi umat yang menghubungkan antara agama dan ekonomi, karena hal yang berhubungan dengan kegiatan manusia tersebut telah di jelaskan hukumnya didalam Al-Qur`an dan Hadis. Selain mendapat kesejahteraan di dunia, kita juga akan mendapat kesejahteraan di akhirat juga. Kesejahteraan (mashlahah itu terbagi dalm dua komponen yaitu; manfaat dan berkah. Yang mana berkah tersebut dapat diperoleh dengan menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiataan ekonominya.











BAB III
Kesimpulan

Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) merupakan seorang fukaha yang sesunggunya lahir di masa Ummayyah, namun mulai berkarya dengan kualitas yang diakui di masa abassiyah. Adapun nama panjang dari Abu yusuf adalah Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-anshari al-jalbi al-Kufi al-Baghdadi.
Pemikiran ekonomi Abu Yusuf tertuang pada karangan terbesarnya yakni kitab al-Kharaj. Al-Kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-pos pengeluaran berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul saw. Dalam kitab ini dijelaskan bagaimana seharusnya sikap penguasa dalam menghimpun pemasukan dari rakyat sehingga diharapkan paling tidak dalam proses penghimpunan pemasukan bebas dari kecacatan sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga Negara.
Kitab al-Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain :
·         Tentang pemerintahan
·         Tentang keuangan
·         Tentang pertanahan
·         Tentang
·         Tentang peradilan
Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Faktor ekstern, adanya system pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat.  
Adapun yang menjadi kekuatan utama pemikiran abu yusuf adalah dalam masalah keuangan publik.
Abu Yusuf dalam membenahi system perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin.

Sistem ekonomi yang dikehendaki oleh Abu yusuf adalah satu upaya untuk mencapai kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ini didasarkan pada al-Qur’an, al- Hadits, maupun landasan-landasan lainnya. Hal inilah yang nampak dalam pembahasannya kitab al-Kharaj. Kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Yusuf adalah, yang dalam termiologi fiqh disebut dengan Maslahah/ kesejahteraan, baik sifatnya individu (mikro) maupun (makro) kelompok
Tujuan kebijakan ekonomi Abu Yusuf adalah untuk mencapai maslahah ‘ammah. Maslahah adalah kesejahteraan yang sifatnya individu (mikro) maupun golongan (makro).
Model pemikiran Abu Yusuf adalah berbentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiskal, yang berkenaan dengan pendapatan negara.













Daftar Pustaka

Al-Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam. Jakarta : Rabbani Press, 1997.

Al-Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian. Jakarta : Rabbani Press, 1997.

Azhari Akmal Tarigan dkk.,Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung: Cipta Pustaka Media, 2007.

Azhari Akmal Tarigan dkk., Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Bandung: Cipta Pustaka Media, 2006.

http://www.hermaninbissmillah.blogspot .com/2009/11/pemikiran ekonomi abu yusuf. Html.



Karim, Adiwarman Azhar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed. Ke-2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.


Mustafa Edwin dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Pendana Media Group, 2007.

Naili Rahmawati, pemikiran ekonomi islami abu yusuf, makalah disajikan pada situs pemikiran ekonomi abu yusuf, 03 rabiul awal 1431 H, mataram.

P3EI UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.





[1] Mustafa Edwin, pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007), h. 185

[2]  http://www.islamic economic abu yusuf, business, and finance.com (23 februari 2010), h.1

[3]  http://www.hermaninbissmillah.blogspot .com/2009/11/pemikiran ekonomi abu yusuf. html
[4]  Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta: Rabbani press: 1997), h. 431
[5]  Akmal Azhar, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam (Bandung: Cipta Pustaka Media: 2006), h. 223
[6]  Naili Rahmawati, pemikiran ekonomi islami abu yusuf, makalah disajikan pada situs pemikiran ekonomi abu yusuf, 03 rabiul awal 1431 H, mataram, h. 1-2


[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RGP: 2004), h.14-15
[8]  Yusuf al-Qardhawi, Karakteristik Islam (Jakarta: Rabbani press: tthn), h. 296

[9] http://www.islamic-world.net/economics/al_kharaj.htm


[10]  P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam (Jakarta, Rajagrafindo Persada: 2008), h.107
[11]  Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RGP: 2004), h.245
[12]  http://www.hermaninbissmillah.blogspot .com/2009/11/pemikiran ekonomi abu yusuf. html
[13]  http://www.islamic-world.net/economics/al_kharaj.htm
[14]  Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RGP: 2004), h.15
[15] Mustafa Edwin, pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007), h. 186
[16] http://www.hermaninbissmillah.blogspot .com/2009/11/pemikiran ekonomi abu yusuf. html
[17]  Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RGP: 2004), h.15

[18]  ibid
[19]  Naili Rahmawati, pemikiran ekonomi islami abu yusuf, makalah disajikan pada situs pemikiran ekonomi abu yusuf, 03 rabiul awal 1431 H, mataram, h. 15
[20]  ibid, h. 6-7
[21]  ibid
[22]  Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RGP: 2004), ed 3, h.235-236

[23]  Naili Rahmawati, pemikiran ekonomi islami abu yusuf, makalah disajikan pada situs pemikiran ekonomi abu yusuf, 03 rabiul awal 1431 H, mataram, h. 2-3
[24]  Ibid
[25] P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam (Jakarta, Rajagrafindo Persada: 2008), h.107

Teruskan Baca......