SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Sabtu, 30 Januari 2010

Kerangka dasar penyusunan laporan keuangan syariah



 
BAB I
Pendahuluan
Kerangka akuntansi konvensional yang didasarkan pada ide barat, tidak sesuai untuk diterapkan pada masyarakat islam. Ketidak sesuaian itu terlihat pada aspek-aspek seperti pengeliminasian nilai-nilai agama: penggunaan rasional sebagai dasar pengambilan keputusan dan penekanannya pada nilai pemilik modal pada suatu perushaan.
Akuntansi Modren sarat dengan nilai nilai kapitalisme, sedangkan kapitalisme banyak menggunakan konsep etika utilitarianisme. Etika ulititarianisme adalah konsep nilai dimana baik-buruk, benar-salah, dan adil-dhalim berdasarkan pada konsekuensi sebuah perbuatan yang diukur dengn utilitas (utility). Artinya, jika sebuah perbuatan menghasilkan utilitas, maka perbuatan tadi dikatakan etis. Tetapi sebaliknya jika perbuatan tadi menghasilkan disutilitas (disutility), maka perbuatan tadi adalah perbuatan yang tidak etis.
Masyarakat islam sesungguhnya memiliki alternatif atas akuntansi konvensional dan para srjana muslim mampu mengembangkan kerangka akuntansi yang sesuai dengannya dan didasarkan pada nilai-nilai agamanya.
Sementara itu, paradigma syariah menekankan pada aspek nilai hukum dan etika islam dalam sistm akuntansi. Aspek ini diusulkan menjadi kerangka yang sesuai dalam mengembangkan akuntansi syariah. Suatu hal yang sangat penting untuk diperkenalkan adalah bahwa penerapan akuntansi syariah berdasarkan paradigma syariah merupakan bagian yang sangat berhubungan dengan tauhid al-ibadah (mengakui ke-Esaan Allah sebagai pemilik alam semesta ini). Dengan demikian usaha yang berkelanjutan akan dilakukan oleh setiap orang islam untuk menjabarkan syariah dalam kehidupannya. Hal yang lebih penting adalah penjabaran tersebut diharapkan dapat diterima oleh semua golongan khususnya bagi kelompok non muslim.
Oleh karena itu, hal ini bukanlah tugas yang mudah, kecuali ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu keadaan yang islami, pada seluruh aspek kehidupan, mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial. Jika ini dapat diwujudkan maka usaha yang terus menerus itu dapat diterjemahkan dalam bidang bisnis, manajemen. Ini semua dilakukan dalam rangka untuk mengantarkan manusia mencapai tingkat falah (kebahagiaan dunia dan akhirat).
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa pada tatanan pragtis akuntansi syariah adalah akuntansi yang berorientasi sosial dan pertanggung jawaban. Sebab akuntansi syariah dapat menyajikan atau mengungkapkan dampak sosial perusahaan terhadap masyarakat dan sekaligus menyajikan laporan pertanggungjawaban yang bersifat humanis, emansipatonis, transendental dan teologikal. Oleh karena itu, konsep dasar akuntansi syariah berorientasi pada zakat dan amanah.
Perkembangan lebih lanjut akuntansi bukan sekedar dianggap sebagai sains dan teknologi universal yang bebas niai. Akan tetap, akuntansi adalah produk sejarah yang merefleksikan budaya di tempat akuntansi dilaksanakan. Dengan kata lain akuntansi syariah adalah ilmu dan teknologi universal yang tumuh dan berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan, baik sosial, politik, peraturan perundangan, kultur, persepsi, dan nilai (masyarakat) tempat akuntansi syariah diterapkan.
Akuntansi syariah adalah akuntansi yang dikembangkan bukan hanya dengan cara “tambal sulam” terhadap akuntansi konvensionala, akan tetapi merupakan pengembangan filosofis terhadap nilai-nilai Alqur’an yang diturunkan ke dalam pemikiran teoritis dan tekhnik akuntansi. Oleh karena itu, secara substansial akuntansi syariah bersifat humanis, emansipatoris, transedental, dan teologikal.

BAB II
Kerangka Dasar Penyusunan Dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah

A. Tujuan kerangka dasar
Kerangka dasar menurut PSAK menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunannya. Kerangka ini berlaku untuk semua jenis transaksi syariaah yang dilaaporkan oleh entitas syariah maupun entitas konvensionl baik sektor publik maupun sektor swasta. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi:
1. Penyusunan standart akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya
2. Penyusunan laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum diatur dalam standar akuntansi keuangan syariah.
3. Auditor, dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum.
4. Para pemakai laporan keuanga, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporaan keuangan yang dissusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah.

B. Paradigma Transaksi Syariah
Transaksi syariah didasarkan pada paradigma dasar bahwa alam semesta dan seisinnya diciptakan oleh Tuhan sebagai amanah (kepercayaan Ilahi) dan sarana kebahagiaan hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah). Substansinnya adalah bahwa setiap aktivitas umat manusia memiliki akuntabilitas dan nilai illahiah yang menempatkan perangkat syariah dan akhlak sebagaai parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktivitas usaha. Cara ini akan terbentuk integritas yang akhirnya membentuk karakter tata kelola yang baik (good govermance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik.

C. Asas Transaksi Syariah
Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1. Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian oranglain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saaling menjamin (takaful), saling besinergi dan saling berafiliasi (tahaluf).
2. Keadilan (‘adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan sesuai dengan realitas prinsip ini dalam bingkai aturan muamalah adalah melarang adannya unsur:
a. Riba/bunga dalam segala bentuk dan jenis, baik riba nasiah atau fadhl, Riba sendiri diterjemahkan sebagai tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi barang, termasuk penukaran yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yang tidak sejenis secara tidak tunai.
b. Kezaliman, baik terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Kezaliman diterjemahkan memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponnya mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai tempatnnya/posisinya.
c. Maisir/ judi atau bersikap spekulatif dan tidak berhubungan dengan produktivitasnnya.
d. Ghahar/unsur ketidakjelasan, manipulsidan eksploitasi informasi serta tidak adannya kepastian pelaksanaan akad, seperti: ketidakpastian penyerahan objek aqad, atau eksploitasi karena salah satu pihak tidak mengerti isi perjanjian.
e. Haram/segala unsur yang dilarang tegas dalam Al-qur’an dan As-sunah, baik dalam barang/jasa ataupun aktivitas operasional terkait.
Akuntansi syariah adalah teori yang menjelaskan bagaimana mengalokasikan sumber-sumber yang ada secara adil bukan pelajaran tentang bagaimana akuntansi itu ada. Sehubungan dengan ini Shahata menjelaskan kemungkinan keeradaan akuntansi syariah sebagai berikut:
Postulat, Standart, penjelasan dan prinsip akuntansi yang menggambarkan semua hal..... karenanya secara teoritis akuntansi memiliki konsep, prinsip dan tujuan islam dan semua hal ini serentak berjalan bersama bidang ekonomi, sosial, politik, ideologi, etika yang dimiliki islam, kehidupan islm dan keadilan, dan hukum islam. Dan islam adalah suatu program yang memiliki bidang ekonomi , sosial, politik, ideologi, manajmen, akuntansi, dan lain-lain. Semua hal ini adalah satu paket yang tak bisa dipisah.
3. Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, meterial dan spiritual, serta individual dan kelektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4. Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor rill, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5. Universalisme (syumuliah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan li alamin).
D. Tujuan laporan keuangan
Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi, menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi, Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan dari suatu entitas syariah. Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas entitas syariah yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusankeputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas syariah yang meliputi:
(a) aset;
(b) kewajiban;
(c) dana syirkah temporer;
(d) ekuitas;
(e) pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian;
(f) arus kas;
(g) dana zakat; dan
(h) dana kebajikan.

beberapa tujuan lainnya adalah:
1. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha.
2. Informasi kepatuhan entitas syariah tidak sesuai dengan prinsip syariah, serta informasi aset, kewajiban pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada dan bagaimana perolehan dan penggunaannya.
3. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tangung jawab entitas syariah terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikan pada tingkat keuntungan yang layak.
4. Informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana syirkah temporer; dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas syariah dengan menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan secara benar disertai pengungkapan yang diharuskan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar walaupun pengungkapkan tersebut tidak diharuskan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

Laporan keuangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bersama sebagai pengguna laporan keuangan, serta dapat digunakan sebagai bentuk laporan dan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dapat dipercayakan kepadannya.

E. Bentuk Laporan Keuangan
Laporan keuangan Entitas terdiri atas
Entitas syariah mengungkapkan hal-hal berikut di Neraca atau di Catatan atas Laporan Keuangan :
(a) untuk setiap jenis saham:
(b) jumlah saham modal dasar;
(c) jumlah saham yang diterbitkan dan disetor penuh;
(d) nilai nominal saham;
(e) ikhtisar perubahan jumlah saham beredar;
(f) hak, keistimewaan dan pembatasan yang melekat pada setiap jenis saham, termasuk pembatasan atas dividen dan pembayaran kembali atas modal;
(g) saham entitas syariah yang dikuasai oleh entitas syariah itu sendiri atau oleh anak entitas syariah atau entitas syariah asosiasi; dan
(h) saham yang dicadangkan untuk hak opsi dan kontrak penjualan, termasuk nilai dan persyaratannya;
(i) penjelasan mengenai sifat dan tujuan pos cadangan dalam ekuitas; dan
(j) penjelasan apakah dividen yang diusulkan tapi secara resmi belum disetujui untuk dibayarkan telah diakui atau tidak sebagai kewajiban.

1. Posisi keuangan entitas syariah, disajikan sebagai neraca. Laporan ini menyajiakn informasi tentang sumber daya yang dikendalikan. Likuiditas dan solvabilitas serta kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Laporan ini berguna untuk memprediksi kemampuan perusahaan dimasa yang akan datang
2. Informasi kinerja entitas syariah, yang dapat disusun berdasarkan definisi dana seperti seluruh sumber daya keuangan, modal kerja aset likuid atau kas. Kerangka ini tidak mendefinisikan dana secara spesifik. Akan tetapi, melaluii laporan ini dapat diketahui aktivitas investasi, pendanaan dan operasi selama periode pelaporan.
3. Informasi lain, seperti laporan penjelasa tentang pemenuhan fungsi sosial entitas syariah. Merupakan informasi yang tidak diatur secara khusus tatapi relevan bagi pengambilan keputusan sebagai besar pengguna laporan keuangan.
4. Catatan dan skedul tambahan, merupakan penampung dari informasi tambahan yang relevan termasuk pengungkapan tentang resiko dan ketidak pastian yang mempengeruhi entitas, informasi tentang segmen industri dan geografi serta pengaruh perubahan harga terhadap entitas juga dapat disajikan.
Unsur-unsur laporan keuangan bank syariah :
1. Laporan posisi keuangan( statement of financial position)
2. Laporan laba rugi (statement of income)
3. Laporan arus kas (statement of cashflows)
4. Laporan laba ditahan atau saldo laba (statement of retained earning)
5. Laporan perubahan dana investasi terikat (statement of change in restricted investment)
6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infaq, dan shadaqah (statement of source and use of fund in zakat and charity fund)
7. Laporan sumber dan penggunaan dana qadhuk hasan (statement of source of fund in qard fund)

Empat laporan pertamaa adalah unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga yang terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank syariah, dibandingkan bank konvensional.

F. Asumsi Dasar
1. Dasar Akrual (accrual basic)
Laporan keuangan disajikan atas dasar akrual, maksudnya bahwa pengaruh transaksi dan peistiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode bersangkutan.
Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai tidak hanya transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas dimasa depan serta sumber daya yang merepsesentasikan kas yang akan diterima di masa depan.
Namun, dalam penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha menggunakan dasar kas. Hal ini disebabkan bahwa prinsip pembagian hasil usaha berdasarkan bagi hasil, pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah keuntungan bruto (gross profit).

2. Kelangsungan Usaha (going consern)
Laporan keuangan biasannya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha entitas syariah yang akan melanjutkan usahannya di masa depan. Oleh karana itu, entitas syariah diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuiditas atau mgngurangi secara meterial skala usahannya. Jika maksud atau keinginan tersebut timbul, laporan keuangan mungkin harus disusun dengan dasar yang berbeda dan dasar yang digunakan harus diungkapkan.
Sedangkan menurut AAOIFI asumsi dasar akuntansi adalah :
1. Pengakuan Penghasilan (revenue)
2. Pengakuan biaya
3. Pengakuan laba dan rugi
4. Pengakuan laba dan rugi dari investasi terikat (bersyarat)
Sementara itu yang berkaitan dengan konsep pengukuran akuntansi, lembaga ini menjelaskan sikap tantang Konsep Matching dan Atribut Pengukuran.



Atribut yang diukur seperti:
1. Nilai kas dan setara kas yang akan direalisasi dan dibayar
2. Penilaian kembali aktiva, kewajiban dan investasi terikat
3. Penerapan penilaian kembali aktiva, kewajiban dan investasi terikat
4. Alternatif pengukuran lainnya terhadap kas dan setara kas.

G. Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan
1. Dapat dipahami
Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuanan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai. Untuk maksud ini, pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar. Namun demikian, informasi kompleks yaang seharusnya dimasukkan dalam laporan keuangan tidak dapat dikeluarkan hanya atas dasar pertimbangan bahwai informasi tersebut terlalu sulit untuk dapat dipahami oleh pemakai tertentu.
2. Relevan
Agar bermanfaat, informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan kalau dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kin atau masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu. Relevan berarti juga harus berguna untuk peramalan (predictive) dan penegasan (confirmatory) atas transaksi yang berkaitan satu sama lain.
Relevan juga dipengaruhi oleh hakikat dan tingkat meterialitasnya. Tingkat meterialitas ditentukan berdasarka pengaruh kelalaian (ambang batas) terhadap keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas dasar laporan keuangan. Oleh karena itu, meterialitas dipengaruhi oleh besarnya kesalahan dalam mencantumkan atau pencatatan.
Sementara itu, dasar penerapan dalaam bagi hasil harus mencerminkan jumlah yang sebenarnya tanpa mempertimbangkan konsep materialitas.



3. Keandalan
Andal, diartikan sebagai bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapar diandalkan sebagai penyajian yang jujur (faithful representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang diharapkan dapat disajikan.
Informasi mungkin relevan tetapi jika hakikat atau penyajian tidak dapat diandalkan maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan. Misalnya, jika keabsahan dan jumlah tuntunan atas kerugian dalam suatu tindakan hukum masih dipersengketakan, mungkin tidak tepat bagi entitas syariah untuk mengakui jumlah seluruh tuntunan tersebut dalam neraca, meskipun mungkin tepat untuk mengungkapkan jumlah serta keadaan dari tuntunan tersebut. Agar dapat diandalkan maka informasi harus memenuhi hal sebagai berikut.
a. Menggambarkan dengan jujur transaksi (penyajian jujur) serta peristiwa lainnya yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar dapaat diharapkan untuk disajikan. Misalnya, neraca harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya dalam bentuk aset, kewajiban, dana syirkah temporer, serta ekuitas entitas syariah pada tanggal pelaporan.
Penggambaran tersebut harus memenuhi kriteria pengakuan, walaupun terkadang mengalami kesulitan yang melekat untuk mengidentifikasikan transaksi baik disebabkan oleh kesuitan yang melekat pada transaksi atau oleh penerapan ukuran dan teknik penyajian yang sesuai dengan makna transaksi atau peristiwa tersebut.
b. Dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah dan bukan hanya bentuk hukumnya (substansi mengungguli bentuk).
c. Harus diarahkan untuk kebutuhan umum pemakai dan bukan pihak tertentu saja (netral).
d. Didasarkan atas pertimbangan yang sehat dalam hal menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu. Pertimbangan ini mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan perkiraan atas kepastian tersebut.
e. Lengkap dalam batasan materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan akan berakibat informasi menjadi tidak benar sehingga menjadi tidak dapat diandalkan dan tidak sempurna.

4. Dapat dibandingkan
Pamakai harus dapat membandingkan laporan keuangan entitas syariah agar periode untuk mengidentifikasikan kecenderungan (trend) posisi dan kinerja keuangan. Pemakai juga harus dapat membandingkan laporan keuangan agar entitas syariah untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan secara relatif. Oleh karena itu, pembandingan berupa pengukuran dan penyajian dampak keuangan dari transaksi dan peristiwa lain yang serupa harus dilakukan serta konsisten untuk entitas syariah yang bebbeda, maupun entitas lain.
Agar dapat dibandingkan, informasi tentang kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan dan perubahan kebijakan serta pengaruh perubahan tersebut juga harus diungkapkan termasuk ketaatan atas standart akuntansi yang berlaku. Bila pemakai ingin membandingkan posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan antar periode, maka entitas syariah syariah perlu menyajikan informasi periode sebelumnya dalaam laporan keuangan.

H. Unsur-unsur laporan keuangan
Sesuai karakterristik,laporan keuangan entitas syariah,antara lain meliputi:
1. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan komersial yang terdiri atas laporan keuangan,laporan laba rugi,laporan arus kas,serta laporan perubahan ekuitas
Posisi keuangan
Unsur yang berkaitan secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aset,kewajaban dana syirkah temporer dan ekuitas.pos-pos ini di definisikan sebagai berikut.
a. Aset adalah sumber daya yang di kuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan di harapkan akan di peroleh entitas syariah.
b. Kewajiban merupakan utang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu,penyelesaiannya di harapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas syariah yang mengandung manfaat ekonomi.
c. Dana syirkah temporer adalah dana yang di terima sebagai investasi dengan jangka waktu tertentu dari individu da pihak lainnya di mana entitas syariah mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana tersebut dengan pembagian hasil investasi berdasarkan kesepakatan.
Dana syirkah temporer tidak dapat digolongkan sebagai kewajiban, karena entitas syariah tidak berkewajiban untuk mengembalikan dana awal dari pemilik dana ketika mengalami kerugian kecuali akibat kelalaian atau wanprestasi entitas syariah.namun demikian,dia juga tidak dapat di golongkan sebagai ekuitas karena mempunyai waktu jatuh tempo dan tidak memiliki hak kepemilikan yang sama dengan pemegang saham.
4)ekuitas adalah hak residual atas aset entitas syariah setelah dikurangi semua kewajiban dan dana syirkah temporer.ekuitas dapat di subklasifikasikan menjadi setoran modal pemegang saham,saldo laba, penyisihan saldo laba dan penyisihan penyusuaian pemeliharaan modal.

Kinerja
Unsur yang langsung berkaitan dengan pengukuran penghasilan bersih( laba) adalah penghasilan dan beban.unsur penghasilan dan bebandi devinisikan sebagai berikut.
a. Penghasilan(income)adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal,penghasilan (income) meliputi pendapatan(revenues)maupun keuntungan(gain)
b. Beban(expenses)adalah penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau bekurang nya aset atau terjadi kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal ,termasuk di dalam nya beban untuk pelaksanaan aktivitas entitas syariah maupun kerugian yang timbul.

Hak pihak ketiga atas bagi hasil
Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah temporer adalah bagian bagi hasil pemilik dana atas keuntungan dana kerugian hasil investasi bersama entitas syariah dalam suatu periode laporan keuangan. Hak pihak ketiga atas bagi hasil tidak bisa dikelompokan sebagai beban (ketika untung)atau pendapatan(ketika rugi).namun,hak hak pihak ketiga atas bagi hasil merupakan alokasi keuntungan dan kerugian kepada pemilik dana atas investasi yang dilakukan bersama dengan entitas syariah.

2. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan sosial, meliputi laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan
3. Komponen laporan keuangan lainya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab khusus entitas syariah tersebut.

I. Pengukuran Unsur Laporan Keuangan
Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat dan kombinasi yang berbeda dalam lapoaran keuangan. Berbagai dasar pengukuran tesebut adalah sebagai berikut.
b. Biaya Historis (historical cost)
Aset dicatat sebesr pengeluaran kas (atau setara kas) yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) yang diberikan untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan.
Kewajiban dicatat sebesar jumlah yang diterima sebagai penukar dari kewajiban (obligation), atau dalam keadaan tertentu (misalnya, pajak dan penghasilan), dalam jumlah kas (atau setara kas), yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usah yang normal, dasar ini adalah dasar pengukuran yang lazim digunakan entitas syariah dalam penyusunan laporan keuangan.
c. Biaya kini (current cost).
Aset dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang seharusnya dibayar bila aset yang sama atau setara aset diperoleh sekarang.
Kewajiban dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas) yangtidak didiskontokan (undiscounted) yang mungkin atas dipelukan untuk menyelesaikan kewajiban (obligation) sekarang.
d. Nilai realisasi/penyelesaian (realizable/settlement value)
Aset dinyatakan dalam jumlah kas (atau setara kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan menjual aset dalam pelepasan normal (orderlydisposal).
Kewajiban dinyatakan sebesar nilai penyelesaian: yaitu, jumlah kas (atau setara kas) yang tidak didiskontokan yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan usaha normal. Dasar pengukuran ini walaupun dapat digunakan tetapi tidak mudah untuk diterapkan dalam kondisi saat ini. Mengingat manajemen harus menjamin informasi yang disajikan adalah andal serta dapat dibandingkan
.
J. Perdebatan Para Pemikir Akuntansi Mengenai Akuntansi
a. Konsep unit akuntansi
Konsep ini diartikan bahwa setiap perusahaan adalah suatu unit akuntansi yang terpisah dan harus dibedakan dengan pemiliknya atau dengan perusahaan lain (Belkout, 2000). Terdapat beberapa teori tentang kepemilikan di antaranya adalah sebagai berikut.
Proprietary Theory (Teori Pemilikan), dimana kepemilikan terhadap perusahaan tercermin pada akun ekuitas sehingga persamaannya Aset-Kewajiban=Ekuitas atau Aktiva- Kewajiban= Modal .
Entity Theory ( Teoti Kekayaan), dimana pemilik adalah hanya memiliki hak atas sebagian dari kepemilikan perusahaan, karena pemilik adalah hanya salah satu yang berhak atas perusahaan, sehingga persamaanya adalah Aset=Kewajiban+Ekuitas atau Aktiva=Ekuitas(modal) .
Para ulama fikih baik klasik maupun kontemporer serta para pemilik akuntansi islam, masih berbeda pandapat mengenai teori ini. Mereka yang mendukung diantarannya adalah Adnan dan Gaffikin(1997), Abdul Rahman (Napier, 2007), Attiah (1989). Konsep tersebut beralasan bahwa dalam islam ada juga konsep akuntansi yang harus terpisah daru unit akuntansi seperti Wakaf, Baitul Mall, Zakat, dan pemerintahan. Dasar yang digunakan oleh ulama fikih yang setuju dengan konsep ini adalah firma Allah dalam QS 4:29”..... Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”..... dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW: orang mukmin itu (dalam urusan mereka) menurut syarat yang telah mereka sepakati, kecuali satu syarat, yaitu, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Sedangkan mereka yang tidak setuju dengan konsep ini di antaranya: Gambling dan Karim (1991), Khan (Napier, 2007) beralasan bahwa perusahaan adalah suatu bentuk entitas hukum yang tidk dapat dipisahkan dengan pemiliknya terutama yang berkaitan dengan utang. AAOIFI menerima konsep ini dengan dasar saling mempercayai dan masjid telah menjadi contoh adanya konsep entitas unit akuntansi yang terpisah dalam masyarakat islam.

b. Kegiatan usaha yang berkelanjutan
Dalam penyusunan laporan keuangan, manajemen harus menilai (assessment) kemampuan kelangsungan usaha entitas syariah. Laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha, kecuali manajemen bermaksud untuk melikuidasi atau menjual, atau tidak mempunyai alternatif selain melakukan hal tersebut. Dalam penilaian kelangsungan usaha, ketidakpastian yang bersifat material yang terkait dengan kejadian atau kondisi yang bisa menyebabkan keraguan atas kelangsungan usaha harus diungkapkan. Apabila laporan keuangan tidak disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha, maka kenyataan tersebut harus diungkapkan bersama dengan dasar lain yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan serta alasan mengapa asumsi kelangsungan usaha entitas syariah tidak dapat digunakan.

Konsep berkelanjutan ini dijelaskan “Mengasumsikan bahwa perusahaan akan terus berlanjut dimasa yang akan datang”. Konsep ini memegang peranan yang besar dalam standart akuntansi serta penyusunan laporan keuangan, karena konsep ini akan berhubungan dengan konsep harga perolehan dan penilaian aset tetap.
Konsep ini juga banyak dikritisasi oleh pemikir akuntansi, termasuk pemikir akuntasi islam. Mereka yang menolak konsep ini (adnan dan Gaffakin 1997) beralasan bahwa semua makhluk adalah fana (tidak dapat hidup selamanya) dan hanya Allah yang akan terus hidup selamanya.
Pendapat ini ditolak oleh mereka yang mendukung dengan mengatakan bahwa islam sangat mendukng orang yang bekerja keras dan menabung untuk mengantisipasi hari dimasa depan sebagai mana dalam QS 57:7 dan Al Hadis: “Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkahkan secara sederhana serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari fakirnya”. (HR. Bukhari)
c. Satuan mata Uang
Konsep ini memiliki dua konsekuensi. Pertama, akuntan hanya akan memperhitungkan segalla sesuatu yang hanya dapat dinyatakan dengan mata uang serta mengabaikan informasi yang tidak dapat disajikan dalam satuan mata uang. Kedua, mengabaikan kenyataan bahwa daya beli mata uang tidak selamanya sama karena adanya inflasi. Perubahan harga akan menimbulkan dua masalah dalam akuntansi yaitu masalah penilaian dan masalah pengukuran.
Pemikir akuntasi dan ulama fikih berbeda pandapat tantang konsep ini, antara lain adalah Ahmed (Napier, 2007) yang menyatakan bahwa penggunaan uang sebagai alat perhitungan dalam lingkungan inflasi tinggi sangat dipertanyakan . penyebabnya adalah islam memerintahkan untuk berbuat adil seperti tercantum dalam QS 6:152, QS 7:85, serta QS 4:29. Inflasi menurunkan nilai sesungguhnya dari pinjaman dengan Qard Hasan karena pemberi pinjaman akan menerima nilai yang lebih kecil.
Untuk meminimalisir dampak inflasi, dapat dilakukan dengan penyesuaian atas indeks atau koreksi harga. Masalahnya adalah indeks tersebut tidak diterima oleh (empat) Imam Mazhab fikih. Sementara itu, penerapan nilai pengganti/replacement cost atau nilai wajar/fair value juga tidak sederhana, sehingga masih dianggap bukanlah solusi yang memadai, walaupun saat ini IFRS telah merekomendasikan penyajian aset tetap dengan menggunakan nilai wajar (current/fair value). Berdasarkan hal tersebut, Attiah (1989) mengusulkan penggunaan emas dan perak sebagai alat ukur karena kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang konsisten dan penentuan nisab zakat juga menggunakan komoditas tersebut.
AAOFI menerima konsep ini berdasarkan hasil pertemuan The Islamic Academy di Kuwait pada bulan Desember 1988 yang menyatakan bahwa utang seharusnya dinilai pada jumlah uang tanpa melihat perubahan nilai uangnya. Pemikir akuntansi yang menerima konsep ini, bersikap pragmatis karena belumada metode yang lebih baik lagi mengatasi masalah ini.




K. Trobosan Pemikiran Akuntansi Islam
a. Neraca yang menggunakan Nilai saat ini (current value balance sheet), untuk mengatasi kelemahan dari historical cost yang kurang cocok dengan pola perhitungan zakat yang mengharuskan perhitungan kekayaan dengan nilai sekarang. Alasan lain, adalah dengan menggunakan nilai sekarang akan mempermudah pengguna laporan keuangan untuk mengambil keputusan karena nilai yang disajikan lebih relevan dibandingkan nilai historical cost.
IFRS (International Financial Reporting Standard) juga telah merekomendasikan nilai saat ini (current value) untuk aset yang disajikan dalam laporan keuangan, dan negara-negara didunia sedang dalam proses untuk mengadopsi IFRS sebagai standar pelaporan dinegara masing-masing.
Walaupun penggunaan current value lebih relevan, tetapi pihak yang kurang setuju atas penerapan tersebut menganggaap penggunaan current value lebih besar nuansa judgement khususnya untuk aset yang tidak memiliki pasar sekaligus akan ada tambahan biaya bagi perusahaan dalam rangka melakukan appraisal atas aset yang mereka miliki agar dapat disjikan dengan current value.
b. Laporan Nilai Tambah (value added statement) sebagai pengganti laporan laba atau sebagai laporan tambbah atas neraca dan laporan laba rugi. Usulan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa unsur terpenting didalam akuntansi syariah bukanlah kinerja operasional (laba bersih), tetapi kinerja dari sisi pandang para stakeholders dan nilai sosial yang dapat didistribusikan secara adil kepada sekelompok yang terlibat dengan dengan perusahaan dalam menghasilkan nilai tambah.
Konsep nilai tambah pada awalnya dikembangkan dalam akuntansi sosial dan lingkungan (Mook, 2003), dan dianggap sebagai jawaban atas kelemahan akuntansi keuangan konvensional sehingga diusulkan sebagai laporan tambahan.
Selanjutnya Baydoun dan Willet (1994,2000)mengusulkan bentuk laporan nilai tambah syariah setelah melakukan rekonstruksi melalui telaah filosofis-teoritis akuntansi syariah. Format Value Statedment yang diusulkan oleh Baydoun dan Willet (1994, 2000) adalah:


Value Added Statement
For the period ended .....
Source:
- Revenues xxx
- Bough in items xxx
- Revaluation xxx
Sub Total Sources: xxx
Distributions:
- Beneficiaries xxx
- Govemment xxx
- Employess xxx
- Owners xxx
- Charities xxx
- Reinvested Fund xxx
- Profit Retained xxx
- Revaluation xxx
Sub total Distributions xxx

Dalam perkembangan selanjutya, syariah value added statement dianggap lebih sesuai dengan aktivitas ekonomi islam yang adil dan beretika, serta sejalan dengan tujuan akuntabilitas dari akuntansi syariah, khususnya pendapatan dan beben yang harus ditanggung oleh pulik. Pemikir akuntansi islam juga melakukan perubahan atas format value added statement dengan cara megeluarkann zakat yang awalnya dianggap bagian dari charity dan menyajikan secara khusus setelah Gross Value Added. Hal ini sesuai dengan makna zakat yang bukan hanya sekedar sumbangan tetapi juga memiliki nilai pembersihan serta merupakan hal yang wajib bagi muslim. Seperti yang diusulkan oleh Mulawarman et al (2006) adalah sebagai berikut
Value Added Statement
For the period ended .....

Source: xxx
- Revenues xxx
- Bought in items xxx
- Revaluation xxx
Gross Value Added Zakat:
- Tazkiah to 8 asnaf xxx
Net Value Added xxx
Distributions:
- Govemment xxx
- Employess xxx
- Owners xxx
- Infaq Shadaqah xxx
- Reinvested Fund xxx
- Profit Retained xxx
- Revaluation xxx
Sub Total Distributions xxx






Daftar Pustaka

Harahap Sofyan S, Teori Akuntansi (Rajawali Pers)
IAI, Penyajian Laporan Keuangan Syariah PSAK 101
Institute of Islamic Banking , Accounting Issues In Islamic Bankking, London,1994
Muhammad, Pengantar Akuntansi Syariah(Salemba Empat)
Nurhayati sri W, Akuntasi Syariah di Indonesia, Salemba Empat Jakarta
Shauqi Ismail Shahata, Financial Accounting from the islamic point,
Triyuwono Iwan, perspektif, metodelogi, dan teori akuntansi syariah, hal Iwan Triyuwono, perspektif, metodelogi, dan teori akuntansi syari

Teruskan Baca......

Sabtu, 16 Januari 2010

Perbedaan Asuransi Islami Dengan Asuransi Konvensional asuransi-syariah

.
 
Perbedaan Asuransi Islami Dengan Asuransi Konvensional
asuransi-syariah

Bahaya, kerusakan dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi manusia di dunia ini. Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan, khususnya kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja ini membutuhkan persiapan sejumlah dana tertentu sejak dini.

Oleh karena itu banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari resiko kerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan asuransi yang merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.

Sisem ini sudah berkembang luas dinegara Indonesia secara khusus dan dunia secara umumnya. Sehingga memerlukan penjelasan permasalahan ini dalam tinjauan syari’at islam.

Asuransi Secara Umum

Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebutAssurance. Sedangkan dalam bahasa arab disebut at-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran. [1]

Demikian juga telah didefinisikan dalam perundang-undangan negara Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. [2]

Sedangkan sebagian ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam, diantaranya:

1. Pendapat pertama, asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan. [3]

2. Pendapat kedua, asuransi adalah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal tersebut diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (pihak asuransi). [4]

3. Pendapat ketiga, asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya. [5]

Dari definisi yang beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal berikut ini:

* Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin) dan tertanggung (al-Mu’ammin Lahu).
* Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
* Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
* Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya. Inilah asuransi yang umumnya berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI). [6]

Demikian juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal lil Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396H. [7]

Kemudian para ulama memberikan solusi dalam masalah ini dengan merumuskan satu jenis asuransi syari’at yang didasarkan kepada akad tabarru’at [8] yang dinamakan at-Ta’mien at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.

Pengertian Asuransi Ta’awun (at-Ta’mien at-Ta’awuni)

Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni dengan beberapa definisi, diantaranya:

1. Pendapat pertama, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Hal itu dengan cara mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian diantara mereka. Apabila premi yang terkumpulkan tidak cukup untuk itu, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari ganti rugi tersebut maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota dari asuransi ini adalah penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya. Akan jelas gambaran jenis asuransi ini adalah seperti bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan mereka membaginya diantara mereka sesuai dengan tata cara yang dijelaskan. [9]

2. Pendapat kedua, asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah uang untuk kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya yang sudah ditetapkan. [10]

3. Pendapat ketiga, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu apabila tertimpa kerugian (bahaya) tertentu.

4. Pendapat keempat, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak mampuan tersebut. Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha merealisasikan keuntungan namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian mereka. [11]

Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan dan cari keuntungan. Sebagaimana juga akad ini tidak terkandung riba, spekulasi terlarang, gharar dan perjudian. (tentang gharar, baca juga artikel Mengenal Jual-Beli Gharar)

Gambaran paling gampangnya adalah misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq lalu mereka menyerahkan sejumlah uang yang nantinya dari kumpulan uang tersebut digunakan untuk ganti rugi kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya). Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka mereka menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah penunaian ganti rugi tersebut maka dikembalikan kepada mereka atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang. Hal ini mungkin dapat diperluas menjadi satu lembaga atau yayasan yang memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut serta mengeluarkannya. Lembaga ini boleh juga memiliki pengelola yang merencanakan rencana kerja dan managementnya. Semua pekerja dan petugas berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus dibangun untuk tidak cari keuntungan (bisnis) dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong menolong). [12]

Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:

* Tujuan dari asuransi ta’awun adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
* Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), dimana bila kurang mereka menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
* Dasar fikroh asuransi ta’awun ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang, dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka.
* Pada umumnya asuransi ta’awun ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
* Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan) asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. [13]

Perbedaan Antara Asuransi Ta’awun dan Konvensional. [14]

Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:

1. Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’). Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh al-Ihtimaliyah (bisnis oriented yang berspekulasi yang dalam bahasa Prancis contrats aleatoirs).

2. Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun diambil dari jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu tujuan akadnya adalah cari keuntungan, namun keuntungannya tidak bias untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut untung maka nasabah (tertanggung) merugi dan bila nasabah (tertanggung) untung maka perusahaan tersebut merugi. Dan ini merupakan memakan harta dengan batil karena berisi keuntungan satu pihak diatas kerugian pihak yang lainnya.

3. Dalam asuransi konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan yang ada dari peran para anggotanya.

4. Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki perusahaan.

5. Penanggung (al-Mu’ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin Lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu’ammin) adalah pihak luar.

6. Premi yang dibayarkan tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan keuntungannya semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan usaha asuransi tersenut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.

7. Asuransi ta’awun bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.

8. Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun ada pada asas berikut ini:

a. Pengelola perusahaan melaksanakan managemen operasional asuransi berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya dari pengelolaannya dengan mendapatkan gaji tertentu yang jelas. Itu karena mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah fee (gaji) tersebut.

b. Pengelola perusahaan melakukan pengembangan modal yang ada untuk mendapatkan izin membentuk perusahaan dan juga memiliki kebolehan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi sebagai mudhoorib (pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).

c. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk pengembangan modal perusahaan dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi murni milik nasabah (pembayar premi).

d. Pengelola perusahaan bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab al-Mudhooribdari aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan fee (gaji) pengelolaan yang menjadi hak mereka. [15]

Sedangkan hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam asuransi konvensional adalah semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.

1. Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengembangan modal mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali dari keuntungan pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.

2. Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.

Demikianlah beberapa perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan asuransi ta’awun ini. Wabillahittaufiq.

Referensi:

1. Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta)
2. Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA
3. al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA
4. Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi.
5. Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya atau www.saaid.net)

Footnotes:

[1] Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S Purwodarminto, cetakan ke-8 tahun 1984, Balai Pustaka, hal 63.
[2] Lihat Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian.
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel Menyoal Asuransi Dalam Islam
[4] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/36.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[6] Lihat al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 255.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[8] Akad Tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, lihat Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[11] Al-Ghoror wa Atsaruhu fi al-’Uquud, DR. al-Dhoriir, cetakan kedua dari Mathbu’aat Majmu’ah Dalah al-Barokah, hlm 638 dinukil dari Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya atau www.saaid.net )
[12] Lihat tentang hal ini dalam pembahasan at-Ta’mien at-Ta’awuni al-Murakkab dalam kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 291-311.
[13] Kelima karekteristik ini diambil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudulRu’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[15] Sebagaimana menjadi hasil keputusan dari Nadwah (Simposium) al-Barkah ke 12 untuk ekonomi islam, ketetapan dan anjuran Nadwah al-Barkah lil Iqtishad al-Islami hal. 212.

***

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel www.ekonomisyariat.com


Teruskan Baca......