SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Minggu, 03 Juni 2012

Asbabun Nuzul dan Munasabah Al Quran

A. Pendahuluan 

Al qur’an merupakan petunjuk bagi umat islam yang memuat berbagai macam pesan, untuk memahami pesan dalam al quran tersebut merupakan suatu hal yang penting adalah mengetahui latar belakang turunnya, hal ini penting agar pesan tersebut dapat ditangkap dengan tepat. Sebagian ayat al qur’an yang diturunkan merupakan reaksi setelah terjadi suatu peristiwa, interaksi diantara manusia dimasa rasullullah Saw, inilah yang didalam kajian ulumul qur’an disebut dengan Asbabun Nuzul (Latar belakang turunnya ayat Al qur’an). Begitu pentingnya asbabun nuzul maka bisa kita katakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau diambil hukum darinya, sebelum mengetahui secara pasti tentang asbabun nuzul-nya. Pada kesempatan ini pemakalah akan membahas beberapa hal mengenai asbabun nuzul dimulai dari pengertian asbab al nuzul dan cara mengetahuinya, faedah mengetahui asbab al-nuzul, ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus, beberapa riwayat mengenai asbab al-nuzul pengertian munasabah dan macam-macam munasabah, metode munasabah dan peranan munasabah dalam tafsir. 

B. Pembahasan 

1. Pengertian asbab al nuzul dan cara mengetahuinya 

Kata “Asbab” atau “sebab”, yang secara kebahasaan bermakna: “segala sesuatu yang dijadikan jalan yang dapat menghubungkan atau menyampaikan kepada sesuatu lainnya”. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 166:
Artinya: (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali (Al-Baqarah, ayat 166) 

Sedangkan kata “nuzul”, menurut bahasa setidaknya memilik dua pengertian, yaitu: (1) “Gerakan menurun dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah” (al-inhidar aw al-inhithath min ‘uluwwin ila safalin), seperti ungkapan “نزل فلان من الجبل”, Si A turun dari atas gunung; dan (2) “Mendiami, menempati, atau mampir pada suatu tempat” (al-hulul), sebagaimana dalam ungkapan “نزل فلان في المدينة”, Si A tinggal di kota. Dan sebelum diuraikan tentang pengertian “asbab al-Nuzul” lebih lanjut, maka perlu untuk diperhatikan bahwa istilah “sebab” di sini, tidak sama dengan istilah “sebab” yang dikenal dalam hukum sebab-akibat. Istilah “sebab” dalam hukum sebab-akibat mengandung pengertian keharusan adanya “sebab” untuk menimbulkan adanya “akibat”; dan suatu “akibat” tidak akan pernah terjadi tanpa ada “sebab” yang mendahului. Dan bagi al-Qur’an, meski diantara ayatnya yang turun didahului oleh sebab tertentu, namun keberadaan sebab itu tidak mutlak adanya walaupun secara realita telah terjadi peristiwanya. 

Adanya sebab bagi turunnya al-Qur’an tak lain merupakan bentuk wujud nyata kebijaksanaan Allah SWT dalam memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Dengan adanya sebab yang mendahului, maka akan lebih tampak dan terasa kebenaran al-Qur’an selaku petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia . 

 Adapun M. Quraish Shihab memperjelas pengertian “asbab nuzul al-Qur’an” dengan cara memilah peristiwanya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “asbab nuzul al-Qur’an” adalah: (1) Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat, di mana ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya; (2) peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunnya suatu ayat, di mana peristiwa tersebut dicakup pengertiannya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi . 

Untuk mengetahui asbab an nuzul dapat diketahui dengan periwayatan yang diakui keabsahan, dan berasal dari sumber yang dapat dipercaya, hal ini disebabkan karena asbab an nuzu terjadi di masa rasulullah Saw dan hal ini membutuhkan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berhubungan dengan asbab an nuzul, hal ini menunjukkan kesulitan dalam menentukan asbab an nuzul suatu ayat sehingga tidak jarang terjadi perbedaan riwayat mengenai asbab an nuzul suatu ayat. Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat “asbab al-Nuzul”, yaitu: (a) Adakalanya kalangan sahabat atau tabi‘in mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan “asbab al-Nuzul”. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut; (b) Adakalanya kalangan sahabat dan tabi‘in mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat: نزلت في كذا ...; seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut. 

Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari Nabi Saw tentang ayat yang dikemukakan tadi . Al wahidi berkata “ tidak boleh berbicara tentang sebab turunnya ayat al qur’an, kecuali dengan periwayatan yang di nukil dari mereka yang menyaksikan saat turunnya ayat, mengetahui sebab turunnya, dan meneliti ilmunya. Al-Wahidi misalanya, dengan tegas menyatakan: لا يحل القول في أسباب نزول الكتاب إلا بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل, ووقفوا على الأسباب وبحثوا عن علمها وجدوا في الطلب. Artinya: “Tidak dibenarkan mengemukakan pandangan terkait dengan Asbab Nuzul al-Qur’an, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi yang didengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan secara langsung peristiwa turunnya ayat, mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Terlihat dengan jelas bahwa begitu pentingnya asbabun nuzul, namun demikian dalam memutuskan sebuah riwayat merupakan sebuah asbabun nuzul dari sebuah ayat juga merupakan hal yang sulit dan harus sangat berhati-hati dalam menentukan asbabun nuzul, didalam penjelasan selanjutnya akan dipaparkan faedah mengetahui asbabun nuzul yang akan menunjukkan pentingnya asbabun nuzul, dan sebelum itu akan dipaparkan beberapa pandangan yang menanggap tidak pentingnya asbabun nuzul.

 2. Faedah mengetahui asbab al-nuzul 

Dalam menilai faedah mengetahui asbab al nuzul terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, diantara mereka terdapat kalangan ulama yang berpendapat bahwa mengetahui asbab al nuzul tidak penting dalam memahami al qur’an, hal ini dikarenakan asbab al nuzul merupakan sejarah awal yang hanya berlaku pada saat turunnya ayat tersebut, mereka tidak memandang bahwa asbab an nuzul dapat memudahkan dalam memahami ayat-ayat al qur’an, mereka perpendapat meletakkan kedalam lingkaran historis akan membatasi pesan-pesan yang terkandung di dalam ayat-ayat al qur’an. Diantara ulama yang ditengarai menganggap tidak terlalu penting pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad ‘Abduh. Penilaian ini didasarkan atas pandangan Muhammad ‘Abduh yang tidak menyinggung keberadaan “asbab al-Nuzul” dalam prinsip-prinsip pokok penafsirannya, Diantara tokoh yang dinilai tegas dalam memandang tidak pentingnya pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad Husein al-Thabathaba’i. Dalam kitab “al-Qur’an fi al-Islam”, al-Thabathaba’i mengajukan tiga alasan untuk menunjukkan bukti kuat atas penilaiaannya ini, yaitu: Pertama, Hadits-hadits yang berkaitan dengan “asbab al-Nuzul” tidak shahih, karena tidak ada yang mempunyai sanad; Kedua, Periwayatan hadits-hadits tersebut tidak dilakukan secara berhadapan muka antara pemberi dan penerima riwayat, dan tidak juga dengan cara tahamul dan hapalan. Para perawi hanya mengaitkan suatu ayat dengan kisah-kisah tertentu. Jadi, pada hakikatnya “asbab al-Nuzul” hanyalah sebuah hasil ijtihad semata. Karenanya, banyak riwayat yang saling bertentangan; dan Ketiga, Sampai akhir abad I Hijriyah, penulisan hadits masih tetap dilarang oleh Nabi Saw. Ketika itu orang-orang yang mengemukakan catatan hadits, segera dibakar catatannya. Akhirnya, periwayatan hadits tentang “asbab al-Nuzul” termasuk hanya dalam bentuk makna saja.

 Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan hadits itu sendiri. Dan diantara tokoh yang akhir-akhir ini memandang pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” tidak ada urgensitasnya dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad Syahrur. Dalam buku “Nahwa Ushul Jadidah”, Syahrur dengan gamblang menyatakan bahwa penafsiran saat ini tidak memerlukan asbâb al-Nuzûl. Sebab menurutnya, hal itu hanyalah bentuk sejarah penafsiran awal yang hanya berlaku pada saat turunnya al-Qur'an (abad ke-VII M), dan tidak berlaku untuk waktu dimana kita berada saat ini (abad ke-XXI) . Namun demikian mayoritas ulama menganggap penting mengetahui asbab al nuzul ketika mempelajari al qur’an, beberapa pendapat yang menganggap begitu pentingnya mengetahui asbab al nuzul adalah: Al – Wahidi berkata , “ Tidak mungkin dapat mengetahui tafsir sebuah ayat tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.” . Ibn Taimiyah berkata, “Pengetahuan tentang sebab turunnya ayat membantu memahami kandungan ayat tersebut, karena dengan mengetahui sebab turunnya ayat, seseorang dapat mengetahui akibat dari buah dari sebab tersebut, beberapa orang dari kalangan salaf tidak jarang mengalami kesulitan dalam memahami makna ayat-ayat Al qur’an. Namu ketika mereka mengetahui sebabturunnya ayat tersebut, sirnalah kesulitan yang menghalangi pemahami mereka.” Menurut al –Ahabuni dalam kitabnya al-Tibyan Fi Ulum Al Qurran, faedah mengetahui asbab al-nuzul adalah: 1. Mengetahui hikmah yang ditegakkan atas disyariatkannya hukum. 2. Mengkhususkan hukum sebab yang terjadi (bagi yang berpendapat bahwa penetapan hukum itu dengan sebab yang khusus) 3. Mengehindarkan dugaan adanya hasr (batasan tertentu) karena zahir ayat memang menunjukkan hasr. 4. Megetahui orang yang menjadi sebab diturunkannya ayat dan menghilangkan keraguan atasnya 3. Ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tetang ayat yang turunnya berdasarkan adanya suatu kasus atau pertanyaan, perbedaan pendapat mereka terletak pada pengertian ketentuan dalam ayat, jika ketentuan ayat itu menggunakan lafal yang lebih umum dari kasus atau pertanyaan yang diajukan, apakah ketentuan itu dipandang dari umumnya lafal atau kususnya sebab? maksudnya jika turun ayat berkaitan dengan suatu kasus atau sebagai jawaban atas suatu pertanyaan itu saja atau apakah ketentuan dalam ayat itu bisa diperlakukan secara umum. Sebagian ulama ushul fiqh masih berselisih pendapat tentang istilah “asbab al-nuzul yang bersifat khusus dengan ayat yang turun berbentuk umum,” mana yang dapat dijadikan pegangan: apakah ayat yang umum atau sebab yang khusus? Di sini akan penulis kemukakan kedua pendapat tersebut, yakni: Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadikan pegangan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampau sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenaan dengan tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istriya telah berzina dengan Syuraik bin Sahma yang menyebabkan turunnya ayat ke-6 sampai ke 9 dari surah An-Nuur. Jadi hukum yang diambil dari lafadz umum ayat ini (“Dan orang-orang yang menuduh istrinya”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Kedua, Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab, bukan lafadz yang umum. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. 

Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya Abd al-Mun’im al-Namir berkesimpulan bahwa perbedaan antara keduanya hanya rsekedar khilaf syakli (perbedaan formal) bukan perbedaan hakiki. Masing-masing mempunyai jalan pikirannya, tetapi tidak mempengaruhi sedikitpun kepada penerapan ayat tersebut secara umum. Ibn Taimiah memberikan komentar yang sejalan dengan ini : “Para ulama, meski mereka berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran suatu sebab:apakah khusus bagi sebab itu, namun tak seorang pun (dari mereka) yang mengatakan bahwa keumuman-keumuman Al-Qur’an dan sunnah khusus bagi orang tertentu. Hanya saja, paling jauh dapat dikatakan bahwa keumuman-keumuman itu tertentu pada orang yang semacam itu:maka meliputi pula akan orang yang menyerupainya dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, sekalipun ayat itu berupa perintah dan larangan, maka ayat tersebut mencakup orang itu dan orang lain yang sama kedudukannya”. 

4. Beberapa riwayat mengenai asbab al-nuzul 

Beberapa ketentuan yang digunakan oleh ahli tafsir ketika terdapat beberapa riwayat tentang sebab turunnya suatu ayat : a. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti contohnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” atau seperti : “Aku mengira ayat ini turun mengenai perkara ini” , maka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab yang dimaksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya dan bukan menyebabkan Asbab Nuzul. Terkecuali ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjukkan bahwa itu adalah Asbab Nuzul. b. Jika salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” sedang riwayat lain menyebutkan Asbab Nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab Nuzul secara tegas itu. Dan riwayat yang tidak tegas dipandang termasuk ke dalam penjelas. c. Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan Asbab Nuzul, salah satu diantaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shahih. d. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. e. Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berdekatan. f. Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berjauhan . 

5. Pengertian munasabah dan macam-macam munasabah 

Kata Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan . Dalam pengertian ini As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarah artinya kedekatan dan keserupaan . Sedangkan munasabah dalam bahasa inggris secara leksikal diartikan suitability, adaquacy, correlation, analogy, dan relationship, Sedangkan pengertian munasabah menurut istilah bisa dipahami dari pendapat al-Syaikh Wali al-Din al-Malawi yang mengatakan bahwa di antara I’jaz al qur’an adalah uslub-nya yang tinggi dan susunannya yang indah. Yang pertama kali perlu dicari dalam ayat-ayat Al qur’an adalah ayat yang menyempurnakan ayat sebelumnya atau ayat yang berdiri sendiri (mustaqillat), yang mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya. Demikianlah juga pada surat-surat al qur’an dicari hubungan suatu surat dengan surat sebelumnya. Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. 

Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul. Dan kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Sebagai contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah ayat 17-20 : Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan. Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bum yang luas. Sedangkan model yang kedua, adalah tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawi. Dalam hal ini ada 3 (tiga) jenis : Tanzhir atau hubungan mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan pertentangan, Istithrad atau hubungan yang mencerminkan kaitan suatu persoalan dengan persoalan lain. Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas. 2. Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan filosofis.

 6. Macam- macam Munasabah 

a. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya didalam surah Al-Fatihah ayat 6 disebutkan: a. “Tunjukilah Kami jalan yang lurus !”. b. Lalu dijelaskan dalam surah Al-Baqarah : 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” b. Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah, misalnya surah An-Nisa’ (perempuan) karena didalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan. c. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya surah al-Mu’minuun dimulai dengan: a. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1), Kemudian diakhiri dengan ayat, b. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 117) d. Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. e. Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surah al-Fatihah ayat 1 : “Segala Puji Bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”. f. Hubungan antara penutup ayat (fashilah) dengan isi ayat. Misalnya didalam surat al-Ahzab ayat 25 disebutkan: “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan“ dan “Dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa”. g. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya penutup surat al-Waqi’ah: ”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” Lalu surah berikutnya, yaitu surah al-Hadiid ayat 1 : “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 

7. Metode mencari munasabah Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah untuk mencari munasabah, berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk mencari munasabah yaitu: a. Mengetahui susunan kalimat dan ma’nanya b. Mengetahui asbabun nuzul. c. Mengetahui tema yang dibicarakan d. Ketika menarik kesimpulan harus memperhatikan ungkapan bahasanya yang benar dan tidak berlebihan. 

 8. Peranan munasabah dalam tafsir Diantara para mufassir ada yang mengawali penafsirannya dengan terlebih dahulu menampilkan asbab al-nuzul ayat atau surah yang akan ditafsirkan. Tetapi sebagian dari mereka ada juga yang bertanya-tanya,manakah yang seharusnya didahulukan, menguraikan sabab nuzul atau memulai penafsiran dengan mengemukakan munasabah ayat-ayat, ataukah sebaliknya mengakhirkannya setelah dilakukan penafsiran secara terperinci. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaian yang serasi. Perlu diketahui bahwa, secara garis besar ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan al- Qur’an. Pertama, dari sisi balaghah, korelasi (tanasub) antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan, dari keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan ragamnya jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik di bagian awal maupun di bagian akhirnya Ketiga, sebagai ilmu kritis ilmu munasabah akan sangat membantu seseorang (mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah hubungan antara ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan dengan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya. 

C. Penutup 

Asbabun nuzul merupakan cabang dari ulumul qur’an yang begitu penting untuk dipelajari untuk dapat memahami al qur’an, asbab al nuzul merupakan salah satu ilmu yang penting dipelajari oleh seorang mufasir dalam melakukan pentafsiran terhadap ayat-ayat al qur’an, asbabun nuzul dapat diketahui dari periwayatan yang diakui keabsahan, dan berasal dari sumber yang dapat dipercaya, faedah mengetahui asbab al-nuzul adalah untuk mempermudah memahami makna yang tersurat dan tersirat dari ayat al qur’an. Perbedaan pendapat mengenai ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus menurut Abd al-Munim al-Namir merupakan sekedar perbedaan yang tidak hakiki, munasabah merupakan langkah analisa al qur’an dengan jalan musyakalah (mencari persamaan) dan mencari kedekatan makna dalam ayat al qur’an. 

Daftar Pustaka

 Abu Maryam Abdusshomad, Beberapa Riwayat Mengenai Asbab Nuzul, 
http://alsofwah.or.id. 
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh :Mansyurat al-‘Ashar al- Hadist Jalal al-Din al-suyuti, al itqan fi ulum Al qur’an(beirut:Maktabah al-‘Asriah,1987),juz I, 
Jalaluddin As Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al qur’an (Jakarta:Gema Insani, 2008), 
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an, Daar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid I.
 Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (terj. Mabahis Fi ‘Ulumil Qur’an oleh Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009 
 Muhammad Ali al-Shabui, Al- Tibyan Fi Ulum Al Qur;An(Damsyiq:maktabah al –Ghazali, 
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010 Pusat Studi Al Qur’an, Pengertian Asbab an Nuzul, 
www.psq.or.id (diakses 09 Maret 2012, 11:31) 
 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada ,1993)
 Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) 
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002) 
 Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al Qur’an,( UIN Malang Press, 2008)

Teruskan Baca......

Tafsir Al Baqarah 282 (Akuntansi Syariah)

Pendahuluan 

 Al quran merupakan petunjuk yang dimaksudkan untuk menuntun umat manusia, didalam Al quran terdapat perintah, larangan, serta anjuran, diantara anjuran tersebut adalah melakukan pencatatan terhadap transaksi yang dilakukan, dalam al quran anjuran mengenai pencatatan tersebut terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282, mengetahui tentang pencatatan yang dianjurkan penting agar kita mengetahui ketentuan islam mengenai ketentuan dan persyaratan-persyaratan dalam pencatatan tersebut. 

 Dalam sejarah pencatatan (Akuntansi) konvensional Lucas Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi modren, namun demikian sebelum Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi. Namun demikian pada tahun 622 M terbukti sebagai beberapa sistem pencatatan perdagangan telah berkembang di Madinah, dan pada zaman pemerintahan Abbasiyah 750 M telah dikembangkan lebih sempurna diantaranya Al Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran atau Expenditure Journal), Jaridah al-Mal(Jurnal penerimaan dana untuk Baitul Mal) dan lain-lain. Kalau kita kaji sejarah khususnya sejarah khususnya sejarah islam, sebenarnya pada awal pertumbuhannya mestinya sudah ada sistem akuntansi. Hal ini dapat kita tanya dari adanya kegiatan kafilah atau pedagang. 

Menurut sejarahnya, kegiatan perdagangan ini pun sudah ada pemisahan antara pemilik dengan pedagang (manajer) seperti kisah Muhammad (sebagai pedagang, agen) dengan Khadijah (sebagai pemilik). Kemudian, keberadaan ini dapat juga dilihat dari adanya perintah dalam Al quran yang terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282 yang mewajibkan dibuatnya pencatatan transaksi-transaksi yang belum tuntas seperti adanya utang piutang. Sayangnya literatur belum banyak menganalisa bagaimana bentuk eksistensi akuntansi pada zaman ini(lebih kurang 570 Masehi). Dalam literatur akuntansi, ternyata yang jadi asal mula akuntansi selalu disebut di Eropa. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai ketentuan Al quran dalam melakukan pencatatan dan ketentuan-ketentuan mengenai pencatat, dan saksi dalam pencatatan.

 Pembahasan 282. 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Asbabun Nuzul : Pada waktu rasulullah saw datang kemadinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua, atau tiga tahun. 

Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menyewakan (menghutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah swt menurunkan ayat ke 282. Sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun mu’amalah dalam waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinnya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang. (HR. Bukhari dari sofyan bin Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Abdillah bin katsir Abi Minhal dari Ibnu Abbas). Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. 

Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi. Ayat ini dikenal dengan nama Ayat al Mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfak (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba(ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar utangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu(ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis utang piutang setelah anjuran dan larangan diatas mengandung makna tersendiri. anjuran bersedekah dan melakukan infak di jalan Allah perupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, sehingga dengan perintah menulis utang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah dapat menimbulkan kesan bahwa al-quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini yang intinya memerintahkan untuk memelihara harta dengan menulis utang piutang, walau sedikit, serta mempersaksikannya. 

Seandainya kesan itu benar tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian terperinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan utang-piutang. Ayat 282 ini dimulai seruan Allah swt, kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Ini agar yang memberi piutang merasa tenang dengan penulisan itu. Karena, menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintannya. Kata (اينتم تد) tadayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata (دين) dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dal, ya’ dan nun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna utang, pembalasan, ketaatan, dan agama. 

Kesemuannya menggambarkan hubungan timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni utang-piutang. Penggalan ayat-ayat ini menasehati setiap orang yang melakukan transaksi utang-piutang dengan dua nasihat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berutang masa pelunasannya harus ditentukan. Bukan dengan berkata “saya bayar hutangnya ketika saya memperoleh rezeki”, atau kalimat lain yang serupa yang mengisyaratkan keadaan yang tidak pasti. Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri, karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berutang kecuali jika sangat terpaksa. “utang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari”. Demikian sabda Rasul saw. Seorang yang tidak resah karena memiliki utang atau tidak merasa risih karenanya. “penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah menulis utang-piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. 

 Demikian praktik para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang, sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang-piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka.namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis-menulis karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjaman dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata (اذا) idza/apabila pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu. Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, mereka hndaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Selanjutnya, Allah swt. Menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak merugikan salah satu pihak, dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian, dan kejujuran. Yang dimaksud dengan kemampuan menulis secara profesional adalah seorang akuntan yang bertugas mencatat segala transaksi yang terjadi disebuah perusahaan sesuai dengan PSAK (Pernyataan standart akuntansi keuangan), akuntan merupakan sarjana akuntansi yang telah memperoleh sertifikat profesi akuntansi. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dan diantara kamu daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini dikarenakan keadilan, disamping menuntut adanya pengetahan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tapi tidak adil, ketika itu, pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidak adilannya. Ia akan mencri celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan mengindari sanksi. Selanjutnya, kepada para penulis diingatkan agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. 

Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, ia akan menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu dan, pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan. Setelah menjelaskan hukum penulisan utang-piutang, penulis, kriteria dan tanggung jawabnya, dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firman Allah: Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan apa yng telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berutang, bukan yang memberi utang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi utang yang mengimlakan, bisa jadi suatu ketika yang berutang mengingkarinya. Dengan mengimlakakn utangnya sendiri, dan dihadapan pemberi hutang dan memberinya juga, tidak ada alasan untuk mengingkari, sambil mengimlakan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berutang agar hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. 

Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya, baik yang berkaitan dengan kadar utang, waktu, cara pembayaran, dan lain sebagainya seperti kesepakatan bersama. Bagaimana kalau yang berutang, karena suatu dan lain hal, tidak mampu mengimlakkanya? Lebih lanjut ayat tersebut menjelaskan, jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaanya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, karena bisu atau buta aksara, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. 

Setelah menjelaskan tentang penulisan, uraian selanjutnya akan membahas tentang persaksian, dalam hal tulis menulis ataupun lainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kamu. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah ( ين شهيد)syahidain bukan (هدين شا) syahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. 

Dua orang saksi dimaksud adalah saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada, demikian tim departemen agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan-menurur M. Quraish Shihab, yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui” . 

Kata saksi dalam bahasa Arab adalah شاهد atau شهيد yaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata jama‟nya ialah اشهاد dan شهود Kata شهيد jama‟nya ialah شهداء Masdarnya adalah الشهادة yang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Sedangkan kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan Pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain. 

 Yang patut dipertanyakan adalah mengapa dua wanita disetarakan dengan seorang laki-laki ? karena supaya jika salah seorang wanita saksi itu akan lupa maka seseorang lagi menjadi saksi bersamaan atau berlaku salah, disamping tidak mengingat peristiwa yang sebenarnya, maka dibutuhkan kedua orang wanita dalam kesaksian ini. Sebab, bila yang seorang lupa, maka yang lainnya bisa mengingatkannya, dan melengkapi kesaksiannya. Disamping itu, bagi qadhi, ketika mengintrogasi salah seorang dari keduannya, mereka harus disaksikan oleh lainnya, dan dianggap cukup sebagai kesaksiannya, dan sebagian lagi oleh sebagian lainnya, begitu seterusnya. Namun, banyak sekali kalangan qadhi yang tidak mengetahui cara sebenarnya dalam melaksanakan apa yang seharusnya ia perbuat. Akan halnya apabila saksi tersebut terdiri dari dua orang lelaki, maka kesaksian keduannya dipisahkan. Apabila yang seseorang kurang jelas dalam memberikan kesaksian maka kesaksiannya itu batal, dan tidak dianggap. Dan kesaksian seseorang lagi tidaklah cukup, dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan meski perkara yang benar dapat dijelaskan .kajian ini menjelaskan mengenai rahasia disyariatkannya berbilangnya jumlah saksi wanita dalam syariat agama. Sebab, menurut kebiasaan wanita, biasanya tidak melibatkan diri dalam urusan yang berkaitan dengan harta benda dan lainnya yang masuk dalam lingkup mu’amalah transaksi, sehingga ingatan mereka tampak lemah dalam menangani masalah ini. 

Berbeda halnya dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan urusan rumah tangga. Ingatan mereka terhada masalah terakhir ini boleh dibilang lebih kuat dibanding perhatian lelaki. Sebab, fitrah manusia akan selalu mengingat hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusannya, dan kesibukan wanita zaman sekarang bukan berarti merubah prinsip dari ketetapan hukum ini. Sebab, hukum ditentukan untuk umum dan mayoritas umat, jika ada, maka bilangannya sangat sedikit untuk setiap generasi . 

Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani: "Laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah, ia akan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil.

 Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang." Sebagaimana Allah berpesan kepada penulis, kepada para saksi pun Allah berpesan, “Janganlah saksi-saksi enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,“karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban . Hukum menjadi saksi adalah fardhu kifayah, atau tidak wajib dilaksanakan bagi yang bersangkutan, melainkan apabila tidak ada orang yang lain yang bisa menggantikan kedudukannya . Sejak dahulu hingga sekarang keengganan menjadi saksi setidaknya disebabkan oleh kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu, wajib hukumnya menegakkan keadilan dalam ayat berikutnya akan akan terdapat larangan disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian yang mengakibatkan kerugian pihak lain. 

Selanjutnya Allah mengingatkan agar tidak bosan untuk menulis transaksi yang jumlahnya kecil, janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai, yakni termasuk batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan utang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan daam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan diantara kamu. 

Petunjuka diatas merupakan ketentuan untuk utang piutang, tetapi, jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah ini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Salah satu bentuk kemudharatan yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah tersitannya waktu yang dapat dipergunakan untuk mencari rezeki, biaya transportasi, dan biaya administrasi, dan dibenarkan untuk memberi imbalan atas pengorbanan tersebut. 

Disisi lain para penulis hendaknya tidak merugikan yang bermuamalah, jika kamu wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakna terkelupasnya kulit sesuatu, kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt, atau dengan kata lain siapapun yang melakukan suatu yang mempersulit yang mengakibatkan kesulitan orang lain dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada Allah. Ayat ini diakhiri dengan dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi merupakan penutup yang amat tepat karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. 

Dari sini, peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat. Penutup Ayat ini merupakan dasar dari Akuntansi syariah, sangat dianjurkan untuk transaksi yang tidak secara tunai baik yang memiliki nilai besar, ataupun kecil hendaknya dicatat dalam sebuah pembukuan, menjadi saksi hukumnya fardhu kifayah, dan janganlah enggan menjadi saksi dengan alasan kemaslahatan pribadi, disisi lain hendaknya yang melaukuan muamalah tidak memberi mudharat kepada saksi dan pencatat transaksi, perintah bertakwa diakhir ayat dimaksudkan agar yang melakukan transaksi perdagangan tidak menggunakan pengetahuannya untuk menarik keuntungan yang berakibat kerugian dipihak lain. 

Daftar Pustaka 

A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Quran. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002 
Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986 
 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Bahrun Abubakar. Semarang: Toha Putra Semarang, 1986 
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Bahrun Abubakar . Semarang: Toha Putra Semarang, 1986 
Departeman Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, Surabaya:Cv. Aisyiah, 1998 
http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/tafsir-al-quran-surat-al-baqarah-ayat-282-286 (Diakses 03 Juli 2012) 
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/557-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-282.html (Diakses 03 Juli 2012) 
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Jilid 1. Jakarta : Lentera Hati, 2008 
Sofyan Syafri Harahap, Teori Akuntansi. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007 
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Teruskan Baca......