SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Minggu, 03 Juni 2012

Asbabun Nuzul dan Munasabah Al Quran

A. Pendahuluan 

Al qur’an merupakan petunjuk bagi umat islam yang memuat berbagai macam pesan, untuk memahami pesan dalam al quran tersebut merupakan suatu hal yang penting adalah mengetahui latar belakang turunnya, hal ini penting agar pesan tersebut dapat ditangkap dengan tepat. Sebagian ayat al qur’an yang diturunkan merupakan reaksi setelah terjadi suatu peristiwa, interaksi diantara manusia dimasa rasullullah Saw, inilah yang didalam kajian ulumul qur’an disebut dengan Asbabun Nuzul (Latar belakang turunnya ayat Al qur’an). Begitu pentingnya asbabun nuzul maka bisa kita katakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau diambil hukum darinya, sebelum mengetahui secara pasti tentang asbabun nuzul-nya. Pada kesempatan ini pemakalah akan membahas beberapa hal mengenai asbabun nuzul dimulai dari pengertian asbab al nuzul dan cara mengetahuinya, faedah mengetahui asbab al-nuzul, ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus, beberapa riwayat mengenai asbab al-nuzul pengertian munasabah dan macam-macam munasabah, metode munasabah dan peranan munasabah dalam tafsir. 

B. Pembahasan 

1. Pengertian asbab al nuzul dan cara mengetahuinya 

Kata “Asbab” atau “sebab”, yang secara kebahasaan bermakna: “segala sesuatu yang dijadikan jalan yang dapat menghubungkan atau menyampaikan kepada sesuatu lainnya”. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 166:
Artinya: (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali (Al-Baqarah, ayat 166) 

Sedangkan kata “nuzul”, menurut bahasa setidaknya memilik dua pengertian, yaitu: (1) “Gerakan menurun dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah” (al-inhidar aw al-inhithath min ‘uluwwin ila safalin), seperti ungkapan “نزل فلان من الجبل”, Si A turun dari atas gunung; dan (2) “Mendiami, menempati, atau mampir pada suatu tempat” (al-hulul), sebagaimana dalam ungkapan “نزل فلان في المدينة”, Si A tinggal di kota. Dan sebelum diuraikan tentang pengertian “asbab al-Nuzul” lebih lanjut, maka perlu untuk diperhatikan bahwa istilah “sebab” di sini, tidak sama dengan istilah “sebab” yang dikenal dalam hukum sebab-akibat. Istilah “sebab” dalam hukum sebab-akibat mengandung pengertian keharusan adanya “sebab” untuk menimbulkan adanya “akibat”; dan suatu “akibat” tidak akan pernah terjadi tanpa ada “sebab” yang mendahului. Dan bagi al-Qur’an, meski diantara ayatnya yang turun didahului oleh sebab tertentu, namun keberadaan sebab itu tidak mutlak adanya walaupun secara realita telah terjadi peristiwanya. 

Adanya sebab bagi turunnya al-Qur’an tak lain merupakan bentuk wujud nyata kebijaksanaan Allah SWT dalam memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Dengan adanya sebab yang mendahului, maka akan lebih tampak dan terasa kebenaran al-Qur’an selaku petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia . 

 Adapun M. Quraish Shihab memperjelas pengertian “asbab nuzul al-Qur’an” dengan cara memilah peristiwanya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “asbab nuzul al-Qur’an” adalah: (1) Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat, di mana ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya; (2) peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunnya suatu ayat, di mana peristiwa tersebut dicakup pengertiannya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi . 

Untuk mengetahui asbab an nuzul dapat diketahui dengan periwayatan yang diakui keabsahan, dan berasal dari sumber yang dapat dipercaya, hal ini disebabkan karena asbab an nuzu terjadi di masa rasulullah Saw dan hal ini membutuhkan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berhubungan dengan asbab an nuzul, hal ini menunjukkan kesulitan dalam menentukan asbab an nuzul suatu ayat sehingga tidak jarang terjadi perbedaan riwayat mengenai asbab an nuzul suatu ayat. Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat “asbab al-Nuzul”, yaitu: (a) Adakalanya kalangan sahabat atau tabi‘in mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan “asbab al-Nuzul”. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut; (b) Adakalanya kalangan sahabat dan tabi‘in mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat: نزلت في كذا ...; seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut. 

Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari Nabi Saw tentang ayat yang dikemukakan tadi . Al wahidi berkata “ tidak boleh berbicara tentang sebab turunnya ayat al qur’an, kecuali dengan periwayatan yang di nukil dari mereka yang menyaksikan saat turunnya ayat, mengetahui sebab turunnya, dan meneliti ilmunya. Al-Wahidi misalanya, dengan tegas menyatakan: لا يحل القول في أسباب نزول الكتاب إلا بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل, ووقفوا على الأسباب وبحثوا عن علمها وجدوا في الطلب. Artinya: “Tidak dibenarkan mengemukakan pandangan terkait dengan Asbab Nuzul al-Qur’an, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi yang didengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan secara langsung peristiwa turunnya ayat, mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Terlihat dengan jelas bahwa begitu pentingnya asbabun nuzul, namun demikian dalam memutuskan sebuah riwayat merupakan sebuah asbabun nuzul dari sebuah ayat juga merupakan hal yang sulit dan harus sangat berhati-hati dalam menentukan asbabun nuzul, didalam penjelasan selanjutnya akan dipaparkan faedah mengetahui asbabun nuzul yang akan menunjukkan pentingnya asbabun nuzul, dan sebelum itu akan dipaparkan beberapa pandangan yang menanggap tidak pentingnya asbabun nuzul.

 2. Faedah mengetahui asbab al-nuzul 

Dalam menilai faedah mengetahui asbab al nuzul terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, diantara mereka terdapat kalangan ulama yang berpendapat bahwa mengetahui asbab al nuzul tidak penting dalam memahami al qur’an, hal ini dikarenakan asbab al nuzul merupakan sejarah awal yang hanya berlaku pada saat turunnya ayat tersebut, mereka tidak memandang bahwa asbab an nuzul dapat memudahkan dalam memahami ayat-ayat al qur’an, mereka perpendapat meletakkan kedalam lingkaran historis akan membatasi pesan-pesan yang terkandung di dalam ayat-ayat al qur’an. Diantara ulama yang ditengarai menganggap tidak terlalu penting pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad ‘Abduh. Penilaian ini didasarkan atas pandangan Muhammad ‘Abduh yang tidak menyinggung keberadaan “asbab al-Nuzul” dalam prinsip-prinsip pokok penafsirannya, Diantara tokoh yang dinilai tegas dalam memandang tidak pentingnya pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad Husein al-Thabathaba’i. Dalam kitab “al-Qur’an fi al-Islam”, al-Thabathaba’i mengajukan tiga alasan untuk menunjukkan bukti kuat atas penilaiaannya ini, yaitu: Pertama, Hadits-hadits yang berkaitan dengan “asbab al-Nuzul” tidak shahih, karena tidak ada yang mempunyai sanad; Kedua, Periwayatan hadits-hadits tersebut tidak dilakukan secara berhadapan muka antara pemberi dan penerima riwayat, dan tidak juga dengan cara tahamul dan hapalan. Para perawi hanya mengaitkan suatu ayat dengan kisah-kisah tertentu. Jadi, pada hakikatnya “asbab al-Nuzul” hanyalah sebuah hasil ijtihad semata. Karenanya, banyak riwayat yang saling bertentangan; dan Ketiga, Sampai akhir abad I Hijriyah, penulisan hadits masih tetap dilarang oleh Nabi Saw. Ketika itu orang-orang yang mengemukakan catatan hadits, segera dibakar catatannya. Akhirnya, periwayatan hadits tentang “asbab al-Nuzul” termasuk hanya dalam bentuk makna saja.

 Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan hadits itu sendiri. Dan diantara tokoh yang akhir-akhir ini memandang pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” tidak ada urgensitasnya dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad Syahrur. Dalam buku “Nahwa Ushul Jadidah”, Syahrur dengan gamblang menyatakan bahwa penafsiran saat ini tidak memerlukan asbâb al-Nuzûl. Sebab menurutnya, hal itu hanyalah bentuk sejarah penafsiran awal yang hanya berlaku pada saat turunnya al-Qur'an (abad ke-VII M), dan tidak berlaku untuk waktu dimana kita berada saat ini (abad ke-XXI) . Namun demikian mayoritas ulama menganggap penting mengetahui asbab al nuzul ketika mempelajari al qur’an, beberapa pendapat yang menganggap begitu pentingnya mengetahui asbab al nuzul adalah: Al – Wahidi berkata , “ Tidak mungkin dapat mengetahui tafsir sebuah ayat tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.” . Ibn Taimiyah berkata, “Pengetahuan tentang sebab turunnya ayat membantu memahami kandungan ayat tersebut, karena dengan mengetahui sebab turunnya ayat, seseorang dapat mengetahui akibat dari buah dari sebab tersebut, beberapa orang dari kalangan salaf tidak jarang mengalami kesulitan dalam memahami makna ayat-ayat Al qur’an. Namu ketika mereka mengetahui sebabturunnya ayat tersebut, sirnalah kesulitan yang menghalangi pemahami mereka.” Menurut al –Ahabuni dalam kitabnya al-Tibyan Fi Ulum Al Qurran, faedah mengetahui asbab al-nuzul adalah: 1. Mengetahui hikmah yang ditegakkan atas disyariatkannya hukum. 2. Mengkhususkan hukum sebab yang terjadi (bagi yang berpendapat bahwa penetapan hukum itu dengan sebab yang khusus) 3. Mengehindarkan dugaan adanya hasr (batasan tertentu) karena zahir ayat memang menunjukkan hasr. 4. Megetahui orang yang menjadi sebab diturunkannya ayat dan menghilangkan keraguan atasnya 3. Ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tetang ayat yang turunnya berdasarkan adanya suatu kasus atau pertanyaan, perbedaan pendapat mereka terletak pada pengertian ketentuan dalam ayat, jika ketentuan ayat itu menggunakan lafal yang lebih umum dari kasus atau pertanyaan yang diajukan, apakah ketentuan itu dipandang dari umumnya lafal atau kususnya sebab? maksudnya jika turun ayat berkaitan dengan suatu kasus atau sebagai jawaban atas suatu pertanyaan itu saja atau apakah ketentuan dalam ayat itu bisa diperlakukan secara umum. Sebagian ulama ushul fiqh masih berselisih pendapat tentang istilah “asbab al-nuzul yang bersifat khusus dengan ayat yang turun berbentuk umum,” mana yang dapat dijadikan pegangan: apakah ayat yang umum atau sebab yang khusus? Di sini akan penulis kemukakan kedua pendapat tersebut, yakni: Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadikan pegangan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampau sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenaan dengan tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istriya telah berzina dengan Syuraik bin Sahma yang menyebabkan turunnya ayat ke-6 sampai ke 9 dari surah An-Nuur. Jadi hukum yang diambil dari lafadz umum ayat ini (“Dan orang-orang yang menuduh istrinya”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Kedua, Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab, bukan lafadz yang umum. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. 

Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya Abd al-Mun’im al-Namir berkesimpulan bahwa perbedaan antara keduanya hanya rsekedar khilaf syakli (perbedaan formal) bukan perbedaan hakiki. Masing-masing mempunyai jalan pikirannya, tetapi tidak mempengaruhi sedikitpun kepada penerapan ayat tersebut secara umum. Ibn Taimiah memberikan komentar yang sejalan dengan ini : “Para ulama, meski mereka berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran suatu sebab:apakah khusus bagi sebab itu, namun tak seorang pun (dari mereka) yang mengatakan bahwa keumuman-keumuman Al-Qur’an dan sunnah khusus bagi orang tertentu. Hanya saja, paling jauh dapat dikatakan bahwa keumuman-keumuman itu tertentu pada orang yang semacam itu:maka meliputi pula akan orang yang menyerupainya dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, sekalipun ayat itu berupa perintah dan larangan, maka ayat tersebut mencakup orang itu dan orang lain yang sama kedudukannya”. 

4. Beberapa riwayat mengenai asbab al-nuzul 

Beberapa ketentuan yang digunakan oleh ahli tafsir ketika terdapat beberapa riwayat tentang sebab turunnya suatu ayat : a. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti contohnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” atau seperti : “Aku mengira ayat ini turun mengenai perkara ini” , maka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab yang dimaksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya dan bukan menyebabkan Asbab Nuzul. Terkecuali ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjukkan bahwa itu adalah Asbab Nuzul. b. Jika salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” sedang riwayat lain menyebutkan Asbab Nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab Nuzul secara tegas itu. Dan riwayat yang tidak tegas dipandang termasuk ke dalam penjelas. c. Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan Asbab Nuzul, salah satu diantaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shahih. d. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. e. Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berdekatan. f. Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berjauhan . 

5. Pengertian munasabah dan macam-macam munasabah 

Kata Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan . Dalam pengertian ini As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarah artinya kedekatan dan keserupaan . Sedangkan munasabah dalam bahasa inggris secara leksikal diartikan suitability, adaquacy, correlation, analogy, dan relationship, Sedangkan pengertian munasabah menurut istilah bisa dipahami dari pendapat al-Syaikh Wali al-Din al-Malawi yang mengatakan bahwa di antara I’jaz al qur’an adalah uslub-nya yang tinggi dan susunannya yang indah. Yang pertama kali perlu dicari dalam ayat-ayat Al qur’an adalah ayat yang menyempurnakan ayat sebelumnya atau ayat yang berdiri sendiri (mustaqillat), yang mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya. Demikianlah juga pada surat-surat al qur’an dicari hubungan suatu surat dengan surat sebelumnya. Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. 

Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul. Dan kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Sebagai contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah ayat 17-20 : Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan. Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bum yang luas. Sedangkan model yang kedua, adalah tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawi. Dalam hal ini ada 3 (tiga) jenis : Tanzhir atau hubungan mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan pertentangan, Istithrad atau hubungan yang mencerminkan kaitan suatu persoalan dengan persoalan lain. Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas. 2. Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan filosofis.

 6. Macam- macam Munasabah 

a. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya didalam surah Al-Fatihah ayat 6 disebutkan: a. “Tunjukilah Kami jalan yang lurus !”. b. Lalu dijelaskan dalam surah Al-Baqarah : 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” b. Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah, misalnya surah An-Nisa’ (perempuan) karena didalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan. c. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya surah al-Mu’minuun dimulai dengan: a. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1), Kemudian diakhiri dengan ayat, b. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 117) d. Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. e. Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surah al-Fatihah ayat 1 : “Segala Puji Bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”. f. Hubungan antara penutup ayat (fashilah) dengan isi ayat. Misalnya didalam surat al-Ahzab ayat 25 disebutkan: “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan“ dan “Dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa”. g. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya penutup surat al-Waqi’ah: ”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” Lalu surah berikutnya, yaitu surah al-Hadiid ayat 1 : “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 

7. Metode mencari munasabah Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah untuk mencari munasabah, berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk mencari munasabah yaitu: a. Mengetahui susunan kalimat dan ma’nanya b. Mengetahui asbabun nuzul. c. Mengetahui tema yang dibicarakan d. Ketika menarik kesimpulan harus memperhatikan ungkapan bahasanya yang benar dan tidak berlebihan. 

 8. Peranan munasabah dalam tafsir Diantara para mufassir ada yang mengawali penafsirannya dengan terlebih dahulu menampilkan asbab al-nuzul ayat atau surah yang akan ditafsirkan. Tetapi sebagian dari mereka ada juga yang bertanya-tanya,manakah yang seharusnya didahulukan, menguraikan sabab nuzul atau memulai penafsiran dengan mengemukakan munasabah ayat-ayat, ataukah sebaliknya mengakhirkannya setelah dilakukan penafsiran secara terperinci. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaian yang serasi. Perlu diketahui bahwa, secara garis besar ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan al- Qur’an. Pertama, dari sisi balaghah, korelasi (tanasub) antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan, dari keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan ragamnya jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik di bagian awal maupun di bagian akhirnya Ketiga, sebagai ilmu kritis ilmu munasabah akan sangat membantu seseorang (mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah hubungan antara ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan dengan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya. 

C. Penutup 

Asbabun nuzul merupakan cabang dari ulumul qur’an yang begitu penting untuk dipelajari untuk dapat memahami al qur’an, asbab al nuzul merupakan salah satu ilmu yang penting dipelajari oleh seorang mufasir dalam melakukan pentafsiran terhadap ayat-ayat al qur’an, asbabun nuzul dapat diketahui dari periwayatan yang diakui keabsahan, dan berasal dari sumber yang dapat dipercaya, faedah mengetahui asbab al-nuzul adalah untuk mempermudah memahami makna yang tersurat dan tersirat dari ayat al qur’an. Perbedaan pendapat mengenai ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus menurut Abd al-Munim al-Namir merupakan sekedar perbedaan yang tidak hakiki, munasabah merupakan langkah analisa al qur’an dengan jalan musyakalah (mencari persamaan) dan mencari kedekatan makna dalam ayat al qur’an. 

Daftar Pustaka

 Abu Maryam Abdusshomad, Beberapa Riwayat Mengenai Asbab Nuzul, 
http://alsofwah.or.id. 
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh :Mansyurat al-‘Ashar al- Hadist Jalal al-Din al-suyuti, al itqan fi ulum Al qur’an(beirut:Maktabah al-‘Asriah,1987),juz I, 
Jalaluddin As Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al qur’an (Jakarta:Gema Insani, 2008), 
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an, Daar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid I.
 Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (terj. Mabahis Fi ‘Ulumil Qur’an oleh Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009 
 Muhammad Ali al-Shabui, Al- Tibyan Fi Ulum Al Qur;An(Damsyiq:maktabah al –Ghazali, 
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010 Pusat Studi Al Qur’an, Pengertian Asbab an Nuzul, 
www.psq.or.id (diakses 09 Maret 2012, 11:31) 
 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada ,1993)
 Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) 
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002) 
 Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al Qur’an,( UIN Malang Press, 2008)

Teruskan Baca......

Tafsir Al Baqarah 282 (Akuntansi Syariah)

Pendahuluan 

 Al quran merupakan petunjuk yang dimaksudkan untuk menuntun umat manusia, didalam Al quran terdapat perintah, larangan, serta anjuran, diantara anjuran tersebut adalah melakukan pencatatan terhadap transaksi yang dilakukan, dalam al quran anjuran mengenai pencatatan tersebut terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282, mengetahui tentang pencatatan yang dianjurkan penting agar kita mengetahui ketentuan islam mengenai ketentuan dan persyaratan-persyaratan dalam pencatatan tersebut. 

 Dalam sejarah pencatatan (Akuntansi) konvensional Lucas Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi modren, namun demikian sebelum Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi. Namun demikian pada tahun 622 M terbukti sebagai beberapa sistem pencatatan perdagangan telah berkembang di Madinah, dan pada zaman pemerintahan Abbasiyah 750 M telah dikembangkan lebih sempurna diantaranya Al Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran atau Expenditure Journal), Jaridah al-Mal(Jurnal penerimaan dana untuk Baitul Mal) dan lain-lain. Kalau kita kaji sejarah khususnya sejarah khususnya sejarah islam, sebenarnya pada awal pertumbuhannya mestinya sudah ada sistem akuntansi. Hal ini dapat kita tanya dari adanya kegiatan kafilah atau pedagang. 

Menurut sejarahnya, kegiatan perdagangan ini pun sudah ada pemisahan antara pemilik dengan pedagang (manajer) seperti kisah Muhammad (sebagai pedagang, agen) dengan Khadijah (sebagai pemilik). Kemudian, keberadaan ini dapat juga dilihat dari adanya perintah dalam Al quran yang terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282 yang mewajibkan dibuatnya pencatatan transaksi-transaksi yang belum tuntas seperti adanya utang piutang. Sayangnya literatur belum banyak menganalisa bagaimana bentuk eksistensi akuntansi pada zaman ini(lebih kurang 570 Masehi). Dalam literatur akuntansi, ternyata yang jadi asal mula akuntansi selalu disebut di Eropa. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai ketentuan Al quran dalam melakukan pencatatan dan ketentuan-ketentuan mengenai pencatat, dan saksi dalam pencatatan.

 Pembahasan 282. 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Asbabun Nuzul : Pada waktu rasulullah saw datang kemadinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua, atau tiga tahun. 

Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menyewakan (menghutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah swt menurunkan ayat ke 282. Sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun mu’amalah dalam waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinnya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang. (HR. Bukhari dari sofyan bin Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Abdillah bin katsir Abi Minhal dari Ibnu Abbas). Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. 

Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi. Ayat ini dikenal dengan nama Ayat al Mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfak (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba(ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar utangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu(ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis utang piutang setelah anjuran dan larangan diatas mengandung makna tersendiri. anjuran bersedekah dan melakukan infak di jalan Allah perupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, sehingga dengan perintah menulis utang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah dapat menimbulkan kesan bahwa al-quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini yang intinya memerintahkan untuk memelihara harta dengan menulis utang piutang, walau sedikit, serta mempersaksikannya. 

Seandainya kesan itu benar tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian terperinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan utang-piutang. Ayat 282 ini dimulai seruan Allah swt, kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Ini agar yang memberi piutang merasa tenang dengan penulisan itu. Karena, menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintannya. Kata (اينتم تد) tadayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata (دين) dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dal, ya’ dan nun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna utang, pembalasan, ketaatan, dan agama. 

Kesemuannya menggambarkan hubungan timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni utang-piutang. Penggalan ayat-ayat ini menasehati setiap orang yang melakukan transaksi utang-piutang dengan dua nasihat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berutang masa pelunasannya harus ditentukan. Bukan dengan berkata “saya bayar hutangnya ketika saya memperoleh rezeki”, atau kalimat lain yang serupa yang mengisyaratkan keadaan yang tidak pasti. Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri, karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berutang kecuali jika sangat terpaksa. “utang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari”. Demikian sabda Rasul saw. Seorang yang tidak resah karena memiliki utang atau tidak merasa risih karenanya. “penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah menulis utang-piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. 

 Demikian praktik para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang, sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang-piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka.namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis-menulis karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjaman dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata (اذا) idza/apabila pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu. Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, mereka hndaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Selanjutnya, Allah swt. Menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak merugikan salah satu pihak, dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian, dan kejujuran. Yang dimaksud dengan kemampuan menulis secara profesional adalah seorang akuntan yang bertugas mencatat segala transaksi yang terjadi disebuah perusahaan sesuai dengan PSAK (Pernyataan standart akuntansi keuangan), akuntan merupakan sarjana akuntansi yang telah memperoleh sertifikat profesi akuntansi. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dan diantara kamu daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini dikarenakan keadilan, disamping menuntut adanya pengetahan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tapi tidak adil, ketika itu, pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidak adilannya. Ia akan mencri celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan mengindari sanksi. Selanjutnya, kepada para penulis diingatkan agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. 

Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, ia akan menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu dan, pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan. Setelah menjelaskan hukum penulisan utang-piutang, penulis, kriteria dan tanggung jawabnya, dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firman Allah: Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan apa yng telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berutang, bukan yang memberi utang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi utang yang mengimlakan, bisa jadi suatu ketika yang berutang mengingkarinya. Dengan mengimlakakn utangnya sendiri, dan dihadapan pemberi hutang dan memberinya juga, tidak ada alasan untuk mengingkari, sambil mengimlakan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berutang agar hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. 

Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya, baik yang berkaitan dengan kadar utang, waktu, cara pembayaran, dan lain sebagainya seperti kesepakatan bersama. Bagaimana kalau yang berutang, karena suatu dan lain hal, tidak mampu mengimlakkanya? Lebih lanjut ayat tersebut menjelaskan, jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaanya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, karena bisu atau buta aksara, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. 

Setelah menjelaskan tentang penulisan, uraian selanjutnya akan membahas tentang persaksian, dalam hal tulis menulis ataupun lainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kamu. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah ( ين شهيد)syahidain bukan (هدين شا) syahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. 

Dua orang saksi dimaksud adalah saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada, demikian tim departemen agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan-menurur M. Quraish Shihab, yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui” . 

Kata saksi dalam bahasa Arab adalah شاهد atau شهيد yaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata jama‟nya ialah اشهاد dan شهود Kata شهيد jama‟nya ialah شهداء Masdarnya adalah الشهادة yang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Sedangkan kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan Pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain. 

 Yang patut dipertanyakan adalah mengapa dua wanita disetarakan dengan seorang laki-laki ? karena supaya jika salah seorang wanita saksi itu akan lupa maka seseorang lagi menjadi saksi bersamaan atau berlaku salah, disamping tidak mengingat peristiwa yang sebenarnya, maka dibutuhkan kedua orang wanita dalam kesaksian ini. Sebab, bila yang seorang lupa, maka yang lainnya bisa mengingatkannya, dan melengkapi kesaksiannya. Disamping itu, bagi qadhi, ketika mengintrogasi salah seorang dari keduannya, mereka harus disaksikan oleh lainnya, dan dianggap cukup sebagai kesaksiannya, dan sebagian lagi oleh sebagian lainnya, begitu seterusnya. Namun, banyak sekali kalangan qadhi yang tidak mengetahui cara sebenarnya dalam melaksanakan apa yang seharusnya ia perbuat. Akan halnya apabila saksi tersebut terdiri dari dua orang lelaki, maka kesaksian keduannya dipisahkan. Apabila yang seseorang kurang jelas dalam memberikan kesaksian maka kesaksiannya itu batal, dan tidak dianggap. Dan kesaksian seseorang lagi tidaklah cukup, dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan meski perkara yang benar dapat dijelaskan .kajian ini menjelaskan mengenai rahasia disyariatkannya berbilangnya jumlah saksi wanita dalam syariat agama. Sebab, menurut kebiasaan wanita, biasanya tidak melibatkan diri dalam urusan yang berkaitan dengan harta benda dan lainnya yang masuk dalam lingkup mu’amalah transaksi, sehingga ingatan mereka tampak lemah dalam menangani masalah ini. 

Berbeda halnya dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan urusan rumah tangga. Ingatan mereka terhada masalah terakhir ini boleh dibilang lebih kuat dibanding perhatian lelaki. Sebab, fitrah manusia akan selalu mengingat hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusannya, dan kesibukan wanita zaman sekarang bukan berarti merubah prinsip dari ketetapan hukum ini. Sebab, hukum ditentukan untuk umum dan mayoritas umat, jika ada, maka bilangannya sangat sedikit untuk setiap generasi . 

Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani: "Laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah, ia akan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil.

 Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang." Sebagaimana Allah berpesan kepada penulis, kepada para saksi pun Allah berpesan, “Janganlah saksi-saksi enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,“karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban . Hukum menjadi saksi adalah fardhu kifayah, atau tidak wajib dilaksanakan bagi yang bersangkutan, melainkan apabila tidak ada orang yang lain yang bisa menggantikan kedudukannya . Sejak dahulu hingga sekarang keengganan menjadi saksi setidaknya disebabkan oleh kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu, wajib hukumnya menegakkan keadilan dalam ayat berikutnya akan akan terdapat larangan disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian yang mengakibatkan kerugian pihak lain. 

Selanjutnya Allah mengingatkan agar tidak bosan untuk menulis transaksi yang jumlahnya kecil, janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai, yakni termasuk batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan utang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan daam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan diantara kamu. 

Petunjuka diatas merupakan ketentuan untuk utang piutang, tetapi, jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah ini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Salah satu bentuk kemudharatan yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah tersitannya waktu yang dapat dipergunakan untuk mencari rezeki, biaya transportasi, dan biaya administrasi, dan dibenarkan untuk memberi imbalan atas pengorbanan tersebut. 

Disisi lain para penulis hendaknya tidak merugikan yang bermuamalah, jika kamu wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakna terkelupasnya kulit sesuatu, kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt, atau dengan kata lain siapapun yang melakukan suatu yang mempersulit yang mengakibatkan kesulitan orang lain dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada Allah. Ayat ini diakhiri dengan dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi merupakan penutup yang amat tepat karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. 

Dari sini, peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat. Penutup Ayat ini merupakan dasar dari Akuntansi syariah, sangat dianjurkan untuk transaksi yang tidak secara tunai baik yang memiliki nilai besar, ataupun kecil hendaknya dicatat dalam sebuah pembukuan, menjadi saksi hukumnya fardhu kifayah, dan janganlah enggan menjadi saksi dengan alasan kemaslahatan pribadi, disisi lain hendaknya yang melaukuan muamalah tidak memberi mudharat kepada saksi dan pencatat transaksi, perintah bertakwa diakhir ayat dimaksudkan agar yang melakukan transaksi perdagangan tidak menggunakan pengetahuannya untuk menarik keuntungan yang berakibat kerugian dipihak lain. 

Daftar Pustaka 

A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Quran. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002 
Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986 
 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Bahrun Abubakar. Semarang: Toha Putra Semarang, 1986 
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Bahrun Abubakar . Semarang: Toha Putra Semarang, 1986 
Departeman Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, Surabaya:Cv. Aisyiah, 1998 
http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/tafsir-al-quran-surat-al-baqarah-ayat-282-286 (Diakses 03 Juli 2012) 
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/557-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-282.html (Diakses 03 Juli 2012) 
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Jilid 1. Jakarta : Lentera Hati, 2008 
Sofyan Syafri Harahap, Teori Akuntansi. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007 
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Teruskan Baca......

Kamis, 31 Mei 2012

Iran dan Ekonomi Politik Islam: Bagian Pertama


Oleh: Purkon Hidayat "Tugas ilmu membuat ilmu, tugas ilmuwan menemukannya."Karl Popper Revolusi Islam dan Ilmu Sosial Tiga puluh tiga tahun yang lalu sebuah revolusi berbasis agama meletus di kawasan Timur Tengah. Para ilmuwan sosial terperangah. Heran. Tidak percaya. Terlalu sulit memercayai adanya seorang sosok ulama tua memimpin gerakan rakyat menggulingkan sebuah rezim kuat dukungan Barat. Ketika itu, bahkan hingga kini, teramat sedikit pemikir sosial yang percaya bahwa kekuatan sosial berbasis agama bisa menumbangkan kekuasaan monarki berusia ribuan tahun. Dari yang sedikit itu, Foucault tampil nyaring berbicara berbeda dari mainstream pemikir sosial era itu. Pemikir Perancis ini menyinggung adanya sebuah sistem sosial baru yang mampu resisten menghadapi derasnya modernisme Iran yang digagas secara belum tuntas oleh Reza Shah. Tokoh posmoderisme ini, memotret kedekatan erat antara rakyat dan seorang agamawan kharismatik sebagai bangunan ikatan sosial model baru di Iran pasca Revolusi Islam. "Keperibadian Khomeini mampu meruntuhkan legenda Dinasti Pahlevi. Tidak ada pemimpin negara dan politik, meski mereka mendapat dukungan penuh media, yang berani mengklaim bahwa rakyatnya memiliki hubungan emosional yang begitu tinggi seperti ikatan yang terjalin antara Khomeini dengan rakyat Iran," tutur Foucault lebih dari tiga dekade silam. Kini, setelah berlalu lebih dari tiga dekade, ilmu sosial mainstream tetap saja masih begitu sulit menerima eksistensi sistem sosial baru yang berjalan dan diterapkan di Iran selama ini. Tampaknya, ilmu sosial mainstream masih gamang mengakui Islam sebagai sistem alternatif. Misalnya, dalam disiplin ilmu ekonomi, para pemikir masih saja meletakkan frame dualisme Kapitalisme-Sosialisme ketika membaca sistem ekonomi politik sebuah negara Islam semacam Iran. Mereka melihat model perekonomian Islam di Iran sebagai penerapan sistem ekonomi campuran antara dua mainstream besar dunia itu. "Sebuah kombinasi antara sistem Kapitalisme (Liberalisme ekonomi) dan Sosialisme yang mencoba diharmoniskan dengan aturan syariah Islam," tutur seorang alumnus sebuah universitas terkemuka di negara Barat, yang saya temui di Tehran. Quo Vadis Ilmu Sosial Modern Lalu mengapa bisa terjadi demikian. Pertama, keberadaan Iran sebagai negara berbasis agama masih belum bisa diterima sebagai sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual. Kedua, minimnya literatur yang menjelaskan masalah yang terjadi di Iran dari pendekatan ilmu sosial modern. Ketiga, adanya vested interest yang sangat besar di dalam ilmu sosial sendiri. Benar kata Foucault, kekuasaan dan pengetahuan itu seperti dua gambar dalam sebuah mata uang. Selalu ada efek kuasa dan pengetahuan. Dan begitu sebaliknya. Teori sosial yang berlawanan dengan arus besar sulit untuk bisa berkembang dan mengemuka. Tampaknya, terjadi apa yang disebut oleh Foucault sebagai klaim kebenaran pengetahuan, yang tidak memberikan ruang bagi yang lain. Mazhab ekonomi politik mainstream, terutama Merkantilisme dan Liberalisme ekonomi di ranah filsafat pengetahuan merupakan bagian dari era modern yang mendorong munculnya peradababan baru dengan dua basis; rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme Rene Descartes dan Empirisisme Francois Bacon menjadi landasan ide yang berkembang pada masa renaisance, dan inilah pendorong munculnya peradababan baru bernama modernisme. Bagi Foucault, pengetahuan moderen telah menciptakan kebenaran melalui produksi pengetahuan ilmiah yang disebarkan melalui institusi-institusi seperti Universitas, angkatan bersenjata, dan media. Faktanya, di level disiplin ilmu ekonomi politik (dan ekonomi politik Internasional) hanya berpijak pada tiga pendekatan utama yaitu: Markantilisme, Liberalisme dan Sosialisme. Padahal dalam kasus Iran, (dan mungkin juga negara lain) ketiga pendekatan itu tidak memadai untuk menjelaskan basis ekonomi politik Republik Islam itu. Di level teori sosial terjadi terjadi reduksi metodologis terhadap realitas sosial, jika memaksakan harus menjelaskan fenomena sistem ekonomi politik Iran dengan tiga pendekatan itu. Menggunakan salah satu atau campuran dari tiga pendekatan itu jelas akan mereduksi sistem ekonomi politik Islam yang diterapkan di Iran. Sebab, Merkantilisme, Liberalisme ekonomi, dan Marxisme tidak memberikan ruang bagi kebijakan ekonomi politik sebuah negara yang mengambil prinsip nilai-nilai yang yang dianut bangsa Iran, termasuk nilai-nilai agama. Dalam konsepsi filsafat sosial, ekonomi politik Merkantilisme dan Liberalisme yang dijadikan pijakan hingga saat ini mengadopsi prinsip Unilitarianisme yang menilai manusia ditimbang berdasarkan ukuran kebahagiaan yang diperolehnya. Sebuah tindakan seseorang dikatakan baik, jika mampu meningkatkan kepuasan bagi dirinya. Namun jika tidak, maka harus ditinggalkan. Berdasarkan pandangan ini, kepuasaan berbanding lurus dengan utilitas yang diperolehnya. Pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Tidak seperti Merkantilisme, ekonomi politik Islam menilai kekayaan alam seperti logam mulia, minyak hanyalah alat, dan bukan ukuran kesejahteraan maupun kekuasaan sebuah negara tersebut. Mazhab ekonomi politik Islam juga tidak sependapat dengan Merkantilisme yang memandang perekonomian internasional sebagai ajang konflik dari pada kerjasama yang saling menguntungkan. Menurut Jackson dan Sorensen, dalam bukunya Introduction to International Relations: Theories And Approaches,(2005: 232)Merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena zero-sum game. Keuntungan sebuah negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lainnya. Teori ini tidak berlaku dalam kebijakan negara yang mengadopsi nilai-nilai Islam seperti Iran. Sebab, keuntungan selain punya sisi nilai kuantitatif, juga mengandung aspek kualitatif. Kedua, keuntungan di satu pihak bisa jadi keuntungan di pihak lain. Ketiga, di sini terjadi pembatasan pada definisi keuatungan hanya pada material saja. Ketika Benign Mercantilism atau Merkantilisme ramah memandang negara berupaya untuk memelihara kepentingan nasional yang dianggap sebagai unsur penting bagi keamanan dan ketahanan negara. Mazhab ekonomi politik Islam memasukan kepentingan universal kemanusiaan yang berdampingan dengan kepentingan nasional. Ada kepentingan religiusitas maupun keumatan, selain kepentingan nasional belaka. Bantuan luar negeri Iran terhadap gerakan perlawanan Islam Palestina semacam Hamas dalam kacamata Merkantilisme sebagai upaya Iran meningkatkan pengaruhnya di Palestina. Tentu saja penjelasan dengan kacamata Merkantilisme Ramah itu jelas tidak memadai. Karena ada faktor lain dari tujuan Iran membantu Palestina yaitu dimensi religiusitas dan kemanusian. Bagi Republik Islam membantu Palestina merupakan kepentingan nasional mendukungan terhadap bangsa yang tertindas di dunia yang dijiwai spirit religiusitas. Merkantilisme yang menggunakan pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Maka, pembangunan ekonomi dijadikan acuan bagi seluruh bidang lainnya. Melampaui pandangan utilitarianisme, manusia menurut Imam Khomeini adalah makhluk yang memiliki dua dimensi. Di satu sisi, sebagai materi yang memiliki karakter hewani. Sedangkan di lain sisi, merupakan dimensi non materi, spiritual, rasional dan ilahi. Kedua dimensi ini bergradasi; bisa terus tumbuh dan berkembang atau mengalami penurunan. Bersambung (IRIB Indonesia/PH)

Teruskan Baca......

Pendekatan Utama di dalam Ekonomi Politik Internasional


Citra Adelia – 070912037 (Tugas EPI: 2) Pendekatan Utama di dalam Ekonomi Politik Internasional Merkantilisme, liberalisme ekonomi, dan marxisme, merupakan tiga pendekatan yang dianggap sebagai pendekatan utama di dalam ekonomi politik internasional oleh sebagian besar penstudi hubungan internasional. Jika pada studi hubungan internasional isu-isu yang dibahas terdahulu adalah mengenai perang dan damai atau konflik dan kerjasama, maka dengan kemunculan ekonomi politik internasional, isu bahasan bergeser ke dalam ranah isu kekayaan dan kemiskinan, mengenai aapa yang di dapatkan di dalam sistem internasional oleh para aktor. Merkantilisme, merupakan sebuah pendekatan yang memandang bahwa elit-elit politik merupakan aktor utama dalam pembangunan negara modern. Pandangan utama dalam pendekatan merkantilisme adalah ekonomi merupakan alat politik yang digunakan sebagai dasar kekuasaan politik. Sehingga para penganut merkantilisme beranggapan bahwa kegiatan ekonomi harus tunduk pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat, hal ini tentu tidak terlepas dari asumsi bahwa ekonomu merupakan alat politik bagi sebuah negara (Sorensen, 1999: 232). Merkantilisme memandang perekonomian internasional sebagai ajang konflik karena di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang bertentangan dibandingkan sebagai arena kerjasama yang menguntungkan. Dengan kata lain, merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena zero-sum game dimana keuntungan negara dianggap sebagai kerugian bagi negara lainnya. Selain itu, merkantilisme berasumsi bahwa kekayaan material negara perlu dikhawatirkan, sebab melalui keuntungan ekonomi relatif yang dimiliki negara, maka negara tersebut akan mampu memperkuat kekuatan politik dan militer untuk melawan negara lain (Sorensen, 2005: 232). Merkantilisme melihat terdapat dua bentuk persaingan ekonomi antarnegara, yaitu benign mercantilism atau merkantilisme ramah, dimana negara berupaya untuk memelihara kepentingan nasionalnya karena hal ini dianggap sebagai unsur penting bagi keamanan dan ketahanan negara. Merkantilisme ramah bersifat bertahan. Jenis kedua adalah malevolent mercantilism atau merkantilisme jahat. berpandangan bahwa ekonomi internasional merupakan arena imperialis, eksploitasi, serta perluasan nasional. Maka dari itu disebut dengan merkantilisme yang bersifat agresif atau jahat (Gilpin, 1987: 234). Dalam pendekatan merkantilisme ini negara dipandang sebagai aktor utama yang berperan dengan tujuan utama meningkatkan kekuatan negara. Ekonomi dan politik, yaitu kekayaan dan kekuasaan dinilai saling melengkapi satu sama lain. Melalui kekayaan ekonomi, negara akan mampu meningkatkan power di dalam bidang politik dan militer, begitu pula sebaliknya, melalui keuataan politik dan militer, negara akan dengan mudah mendapatkan keuntungan ekonomi. Pendekatan utama lain adalah liberalisme ekonomi. Liberalisme ekonomi muncul sebagai kritik terhadap pendekatan Merkantilisme yang melihat ekonomi sebagai alat politik negara untuk meningkatkan powernya. Pada pendekatan liberalisme ekonomi, ekonomi dan politik cenderung menjadi dua komponen yang terpisahkan. Meskipun para kaum liberalis beranggapan bahwa pasar tidak boleh mengikutkan campur tangan pemerintah, namun hubungan antar ekonomi dan politik ini tergambar secara implisit. Pasar dianggap muncul dan mengalami perluasan secara spontan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Adam Smith menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pasar, uang, serta institusi ekonomi tercipta. Pemikiran dasar mengenai sistem pasar sendiri ditujukan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi guna mensejahterakan manusia (Gilpin, 1987: 28). Adam Smith sebagai bapak ekonomi liberal berpandangan bahwa ekonomi pasar adalah sumber utama kemajuan, kerjasama, dan kesejahteraan. MEskipun tidak secara eksplisit menjelaskan hubungan ekonomi dan politik, namun pernyataan dan asumsi-asumsi dari leiberalis ekonomi ini sendiri cukup menggambarkan adanya keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam cakupan interrnasional. Smith melihat bahwa campur tangan politik melalui peraturan negara akan menyebabkan konflik dan kemunduran (Sorense, 2005: 235). Jika pada pendekatan merkantilisme negara dianggap sebagai aktor utama yang berperan dalam ekonomi politik internasional, pada pendekatan liebralisme ekonomi, individu sebagai konsumen dan produsen menjadi aktor utama. Peran negara di dalamnya hanya berfungsi untuk mencegah kegagalan pasar atau sebagai penyedia barang publik saja. Kegiatan ekonominya bersifat positive sum game, seiring perkembangannya, pasar merupakan arena kerjasama yang dapat meberi keuntungan timbal balik bagi negara yang berpartisipasi di dalamnya. Pendekatan ketiga adalah pendekatan marxisme. Jika liberalisme ekonomi melihat perekonomian sebagai arena yang saling menguntungkan, berbeda dengan mrxisme yang berpandangan bahwa perekonomian adalah arena eksploitasi manusia dan perbedaan kelas. Hampir sama dengan merkantilisme yang memandang perekonomian sebagai zero sum game, marxisme menggunakannya pada hubungan antar kelas selain hubungan antar negara. Jika merkantilisme menempatkan ekonomi sebagai alat politik, yang berarti poltiik memiliki posisi di atas ekonomi, marxisme adalah kebalikannya. Marxisme menempatkan ekonomi di atas politik. Di dalam perekonomian kapitlais, marxis melihat adanya du akelas yang tercipta, yaitu borjuis dan proletar (Sorensen, 2005: 235-236). Kapitalisme dianggap oleh kaum marxisme sebagaisebuah langkah kemajuan, dimana buruh dapat menjual tenaganya dan memperoleh imbalan, selain itu kapitalisme juga dipandang membuka jalan bagi revolusi sosial. Dominasi kaum borjuis dalam perekonomian kapitalis ini dipandang juga memiliki kecenderungan untuk mendominasi sektor politik. Jika pada merkantilisme negara sebagai aktor utamanya dan pada liberalisme ekonomi individu merupakan aktornya, pada marxisme negara dianggap tidak otonom, kegiatan ekonomi dan politik digerakkan oleh kepentigan kelas-kelas penguasa. Selain itu kapitalisme dianggap bersifat ekspansif, perluasan inilah menjadi salah satu bentuk globalisasi ekonomi, dimana banyak perusahaan transnasional raksasa yang berkuasa (Sorensen, 2005: 240). Pada intinya, pendekatan marxisme beranggapan bahwa aktor utama adalah kelas-kelas. Bahwasanya kelas-kelas penguasa yang mendominasi salah satu sektor juga akan mendominasi sektor lainnya. Dominasi kelas ekonomi akan juga mendominasi sektor politik, dan fokus bahasan pada pendekatan marxisme ini adalah seputar pembangunan kapitalis global yang menyebabkan krisis antar negara dan juga antar kelas. Ketiga pendekatan yang disebutkan di atas merupakan tiga pendekatan utama dalam pembahasan ekonomi politik internasional. Ketiganya muncul sebagai reaksi atas pendekatan lainnya. Merkantilisme melihat bahwa negara akan menggunakan ekonomi sebagai alat poltiik yang mampu meningkatkan power bagi negara. Liberalisme ekonomi berpandangan bahwa negara tidak seharusnya memberi campur tangan pada perekonomian. Dan marxisme mngkritisi pandangan liberalisme ekonomi yang melihat pasar sebagai arena kerjasama, marxisme lebih melihat pasar sebagai arena eksploitasi kelas. Meskipun saling mengkritisi satu sama lain, ketiga pendekatan ini memberikan alternatif-alternatif pandangan yang variatif dalam melihat hubungan antar aekonomi dan politik internasional. Referensi: Gilpin, Robert. 1987. “Three Ideologies of Political Economy”, dalam The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princetin University Press, pp.25-64. Jackson, Robert & Sorensen, Goerg. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Oxford University Press.

Teruskan Baca......

Minggu, 22 Januari 2012

Krisis Ekonomi dan Pudarnya Keutuhan Uni Eropa

(Irib.ir)2012, tampaknya akan menjadi tahun sulit bagi negara-negara Uni Eropa terutama Zona Euro yang sedang dilanda krisis ekonomi. Belum genap sebulan, pada pertengahan Januari ini, lembaga pemeringkat dunia menurunkan ranking kredit sejumlah negara Eropa. Pasalnya, baru-baru ini lembaga Standard and Poor's (S&P) menurunkan peringkat kredit sembilan negara zona euro. Perancis dan Austria harus turun dari triple A. Sementara peringkat kredit Jerman tidak berubah.

S&P dalam siaran persnya menyatakan bahwa penurunan rating ini terutama didorong oleh penilaian mengenai inisiatif kebijakan yang telah diambil oleh pembuat kebijakan Eropa dalam beberapa pekan terakhir yang tidak cukup untuk sepenuhnya mengatasi tekanan sistemik yang sedang berlangsung di zona euro.
Lembaga pemeringkat ini menurunkan rating utang jangka panjang untuk Siprus, Italia, Portugal dan Spanyol sebesar dua level, dan memangkas rating Austria, Perancis, Malta, Slowakia dan Slovenia sebesar satu level.

Krisis utang terburuk di Zona Euro telah memaksa pemerintah Eropa mengadopsi langkah-langkah penghematan ketat dan reformasi ekonomi. Kini muncul kekhawatiran bahwa penundaan lebih lanjut dalam mengatasi krisis utang zona euro bisa menyeret terjadinya resesi ekonomi yang melanda tidak hanya Eropa, tetapi juga seluruh dunia.

Sebelumnya, S&P dan Moody's and Fitch dalam berbagai laporannya di penghujung tahun 2011 menyinggung anjloknya rating kredit negara-negara Zona Euro. Pada Rabu, (22/12) rating kredit Hongaria diturunkan oleh Standar & Poor ke tingkat "sampah". S & P menyebut tingkat utang Hongaria merupakan yang tertinggi di Uni Eropa. Pertumbuhan ekonomi yang rendah dianggap sebagai alasan untuk jangka panjang dan jangka pendek termasuk rendahnya nilai mata uang negara itu membuat mereka terjungkal di peringkat BB+.

Kementerian Ekonomi Hongaria menyesalkan downgrade peringkat rating yang dialami negaranya. Mereka menyebut Hongaria telah menjadi kambing hitam dari krisis euro dan menjadi korban tidak langsung dari "serangan keuangan" kepada Uni Eropa. Dalam pernyataannya kepada media, kementerian itu mengatakan downgrade itu tidak didasarkan pada analisis keadaan ekonomi dan keuangan terkini Hungaria. Tapi, dipaksa oleh tekanan dari pelaku pasar yang kepentingannya adalah menguatkan dolar dan melemahkan euro.

Kini setiap negara di zona Euro mulai saling menyalahkan antarsesama mereka.
Lembaga pemeringkat Fitch Rating mengumumkan bahwa perekonomian
bermasalah Italia menimbulkan ancaman terbesar bagi krisis keuangan Eropa. Menurut David Riley, analis utama Fitch Rating untuk Amerika Serikat mengatakan, Italia berada di urutan terdepan krisis utang Eropa, mengingat program pinjaman raksasa negara itu dapat menyebabkan situasi berbahaya.

Lembaga pemeringkat ini juga menyatakan rating kredit Italia mungkin akan menurun pada akhir Januari. Negara ekonomi zona euro terbesar ketiga itu mungkin harus meninggalkan blok euro tahun ini. Riley juga memperingatkan bahwa 17 negara zona euro harus meningkatkan pendapatannya sebesar 2 triliun euro pada tahun 2012 demi mengatasi krisis ekonomi mereka masing-masing.

Naiknya Yield obligasi menjadi momok yang menakutkan. Menjelang akhir tahun 2011, Imbal hasil obligasi negara Eropa kembali melonjak sebagai efek dari peringatan lembaga pemeringkat rating S&P. Rating kredit 15 negara divonis dalam pengamatan negatif. Hanya dua negara yang steril dari observasi S&P, yakni Siprus dan Yunani. Kedua negara sudah berada dalam daftar rekomendasi negatif, sedangkan Yunani bahkan telah menerima predikat rating CC atau berisiko tinggi default.

Sementara itu, Perdana Menteri Italia Mario Monti memperingatkan bahwa negara itu bisa ambruk seperti Yunani tanpa langkah-langkah penghematan baru. Dikatakannya, paket pengetatan yang disahkan oleh Senat akan membantu memecahkan krisis utang zona euro. Utang Italia yang diumumkan sekitar 1,9 triliun euro, setara dengan 120 persen dari Produk Domestik Bruto negara itu. Pemerintah Roma menyatakan akan memenuhi target penyeimbangan anggaran hingga tahun 2013, tetapi memperingatkan perekonomian Italia akan tergelincir kembali ke dalam resesi tahun 2012.

Sementara itu Jerman dan Perancis berusaha keras mencari solusi menangani krisis Euro. Kanselir Jerman Angela Merkel menyerukan pembentukan kesatuan fiskal Eropa, dan mengatakan tidak ada cara lain untuk menyelesaikan krisis utang Zona Euro. Ia menandaskan,"Krisis utang Eropa tidak akan berakhir dalam tabuhan gendang. Itu butuh proses dan proses ini akan memakan waktu bertahun-tahun." Merkel telah mencoba membujuk Uni Eropa dan mitra Zona Euro untuk menegosiasikan perubahan perjanjian Uni Eropa guna menegakkan disiplin anggaran dan kontrol utang di Zona Euro. Menurutnya, masa depan Euro tidak dapat dipisahkan dari kesatuan Eropa.

Pemerintah Jerman menegaskan perubahan untuk membangun kekuatan guna memveto anggaran nasional di Zona Euro yang melanggar aturan bersama dan menghukum negara pelanggar aturan itu. Dia menolak tuduhan bahwa Jerman sedang mencari mitra untuk mendominasi Eropa dan menilainya sebagai tudingan yang aneh. Ditambahkannya, kesatuan fiskal Eropa dan sanksi otomatis diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan di pasar.
musik

Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Mario Draghi dalam laporannya kepada anggota parlemen Eropa memperingatkan kebangkrutan bank-bank besar Eropa di tahun 2012. Draghi menyebut stabilitas ekonomi Zona Euro dalam bahaya yang mengancam kelanggengan ekonomi Zona Euro yang semakin memburuk.

Tanpa tedeng aling-aling, Draghi memperingatkan terjadinya perpecahan di tubuh zona Eropa. Dalam sebuah wawancaranya sejak menjabat sebagai gubernur ECB pada 1 November 2011, Draghi mengatakan bahwa negara-negara yang sedang berjuang mengatasi krisis utangnya dengan menghentikan keanggotaannya di Uni Eropa akan menghadap masalah yang lebih besar. Sementara untuk negara-negara anggota yang masih bertahan, tutur Draghi, peraturan Uni Eropa mungkin telah dilanggar. Gubernur ECB itu menegaskan, negara-negara yang telah meninggalkan keanggotaannya dan melakukan devaluasi mata uang mereka akan menimbulkan inflasi yang tinggi dan gagal untuk lari dari reformasi struktural yang mungkin masih akan diterapkan.


Zona Euro semakin ditinggalkan anggota Uni Eropa. Dua anggota Uni Eropa Republik Ceko dan Hungaria tidak berencana untuk mengadopsi euro dalam waktu dekat. Padahal Republik Ceko punya kemampuan meraih dana dari pasar dan sektor perbankannyapun bermodal kuat dan dilindungi oleh simpanan domestik yang besar.

Ketika dahulu negara-negara Eropa berbondong-bondong minta diakui sebagai bagian dari zona euro, kini para anggotanya pun berpikir untuk meninggalkan euro dan kembali memperkokoh mata uangnya sendiri. Seperti kata Perdana Menteri Republik Ceko, Petr Nečas, "Kami setuju bergabung dengan zona euro, tapi bukan persatuan utang." Dan memburuk perekonomian Zona euro meruntuhkan solidaritas Uni Eropa yang pernah digadang-gadang sebagai blok ekonomi dan politik terkuat di dunia. Pekik yang kini bergema di Eropa adalah menyelamatkan perekonomian negara masing-masing.(IRIB Indonesia/PH)

Teruskan Baca......

Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Pertama, Kedua, dan Ketiga)

(Irib.ir)Pandangan yang saat ini mengemuka di dunia dan getol dikampanyekan oleh Barat tak pernah menyentuh soal keadilan kala membicarkan kemajuan. Bahkan sejumlah ekonom kapitalis menyatakan bahwa kemajuan ekonomi dan keadilan tak mungkin bisa didapatkan secara bersamaan. Kesenjangan ekonomi dalam skala luas, menurut mereka, adalah sebuah keniscayaan paling penting dalam mewujudkan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Karena itu, mereka tidak menganjurkan kebijakan pembagian yang adil sebelum kemajuan dicapai dalam bentuknya yang sangat pesat. Sementara, dalam sistem ekonomi Islam kemajuan minus keadilan tidak bernilai sama sekali.




Atas dasar itu, Ayatollah al-Udzma Khamenei menekankan kemajuan yang berjalan seiring dengan keadilan. Penekanan itu didasarkan pada pandangan dan ajaran Islam. Dari sisi lain, keadilan akan terwujud ketika seluruh anggota masyarakat memperoleh kesempatan yang memadai untuk memiliki pekerjaan yang layak, keamanan berinvestasi, pendidikan yang sesuai, serta kesehatan dan kesejahteraan yang memadai. Dalam sistem ekonomi Islam, ada serangkaian mekanisme yang memungkinkan untuk menegakkan keadilan ekonomi yang sejalan dengan kemajuan dan pembangunan.

Sejak awal diciptakan, manusia sudah mengenal keadilan. Tak heran jika manusia sepanjang sejarah mendambakan tegaknya keadilan di tengah masyarakat. Semua pemikir dan para tokoh agama ilahi khususnya Islam menekankan soal keadilan yang mesti ditegakkan. Plato dan Aristoteles adalah contoh pemikir besar dalam sejarah yang banyak menyinggung soal keadilan dalam karya-karya pemikiran mereka. Dalam ajaran agama Ilahi, keadilan merupakan tujuan utama yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Kata keadilan sangat erat hubungannya dengan hak manusia dan seluruh makhluk di alam semesta. Keadilan dalam maknanya yang benar adalah memberikan kepada setiap sesuatu apa yang sesuai dengannya.

Imam Ali (as) dalam menafsirkan makna keadilan mengatakan, "Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya." (Nahjul Balaghah hikmah nomer 437). Dari penjelasan itu dapat difahami bahwa keadilan akan terwujud ketika setiap yang memiliki hak memperoleh haknya. Sejatinya, alam semesta diciptakan di atas landasan keadilan, dan kelestariannya juga bergantung pada tegaknya keadilan. Karenanya, penistaan terhadap keadilan dengan segala bentuknya berarti penistaan terhadap aturan alam semesta yang tentunya akan menimbulkan dampak yang sangat buruk.

Sebagai makhluk yang diberi ikhtiyar dan hak memilih, manusia berpotensi dan bisa untuk keluar dari garis keadilan yang dampaknya akan terjelma dalam bentuk kezaliman. Karena itu, agama Ilahi menyeru manusia untuk tetap berada di jalan keadilan dan menghindari kezaliman. Akal dan naluri manusia juga menolak ketidak adilan. Namun sayangnya, terkadang manusia mencampakkan seruan akal dan wahyu dan lebih tertarik untuk menuruti bisikan hawa nasfu untuk berbuat zalim dan keluar dari jalur keadilan. Hal inilah yang membuat manusia selalu memerlukan bimbingan dan arahan supaya tetap menjaga keadilan dan memperbaiki setiap penyimpangan yang mungkin terjadi. Allah Swt tidak membiarkan manusia dengan kondisinya seperti itu, sehingga Dia mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa syariat Ilahi untuk menunjukkan kepada umat manusia jalan keadilan.

Ibnu Sina mengenai pengutusan para Nabi berkata, "Manusia adalah makhluk yang hidup bermasyarakat. Namun ia tak mampu membuat undang-undang yang bisa mengatur kehidupan sosial dan bahkan individunya berdasarkan keadilan yang bisa membawanya kepada kesejahteraan yang sesungguhnya. Karena itu, Allah dengan kebijaksanaanNya membimbing manusia ke arah itu." (Al-Syifa': 557)


Masalah keadilan dan membelanya adalah satu prinsip dasar yang sangat penting dan merupakan salah satu tujuan diutusnya para nabi dan turunnya kitab-kitab Ilahi. Keadilan adalah salah satu asas yang terpenting dalam agama Islam. Perspektif Islam dan al-Qur'an berkenaan dengan masalah ini menunjukkan kepedulian agama dan kitab suci ini yang sangat besar pada masalah keadilan. Ayat 25 surat al-Hadid menegaskan;

"Sesungguhnya Kami telah mengutus para nabi dengan dalil yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan Mizan supaya mereka menegakkan keadilan."

Berdasarkan ayat suci ini, tujuan dari diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah untuk mengajak manusia kepada keadilan. Di ayat ini, Allah Swt menyinggung tentang mizan atau neraca. Sebab bergerak di jalur keadilan memerlukan neraca yang menjadi tolok ukur kebenaran dalam masalah politik, budaya, sosial dan ekonomi. Poin penting yang disinggung ayat suci tadi adalah gerakan umat manusia dalam menegakkan keadilan. Untuk mewujudkannya umat memerlukan ajaran dan bimbingan para nabi yang mendidik mereka dengan benar untuk menjadi eksekutor penegakan keadilan di muka bumi.

Tidak ada seorang muslimpun yang menolak dan tak peduli dengan keadilan sebagai prinsip utama dan cita-cita agung Qur'ani. Salah satu ranah penegakan keadilan adalah bidang ekonomi dan hubungan ekonomi. Ada banyak definisi yang dipaparkan oleh para pemikir Muslim dalam menjelaskan keadilan menurut pandangan Islam. Namun secara garis besar, keadilan ekonomi dalam Islam bermakna terciptanya kesejahteraan umum, terbukanya kesempatan yang sama dan keseimbangan dalam pembagian kekayaan dan pendapatan. Dengan makna ini, dari satu sisi Islam menekankan prinsip memerangi penimbunan harta dan memberantas kemiskinan, dan di sisi lain menegaskan soal pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Islam menentang penimbunan dan menafikan ketidakmerataan dalam kesempatan berkiprah di bidang ekonomi. Semua itu digariskan Islam dalam bentuk kewajiban yang dipikulkan di pundak setiap Muslim. Jelas bahwa program memerangi kerakusan dan memberantas kemiksinan akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat dan menjaga kelestarian agama.

Menilik kondisi berbagai masyarakat di dunia saat ini menyadarkan kita akan adanya ketidakadilan yang luas di sejumlah masyarakat yang cukup maju dan berkembang secara ekonomi. Menurut para pakar dan pemerhati ekonomi, kesenjangan di tengah umat manusia, kemiskinan dan ketidakadilan yang nampak nyata ini disebabkan oleh sistem yang kejam dan zalim dalam hubungan antara komponen-komponen pelaku ekonomi, khususnya antara pekerjaan dan modal. Misalnya banyak ekonom yang meyakini bahwa pembagian kekayaan secara tidak adil, seperti distribusi tanah, modal, dan sarana produksi serta adanya kebebasan ekonomi yang tidak seimbang adalah faktor ketidakadilan dalam pendapatan. Padahal dalam sistem ekonomi Islam, seiring dengan pemanfaatan seluruh potensi pada diri manusia dan alam untuk mencapai kemajuan secara materi, ajaran Ilahi dan norma insani juga mesti ditegakkan dengan menyertakan penyusunan undang-undang dan aturan ekonomi yang bisa mengikis kesenjangan sosial dan memperluas kesejahteraan umum.

Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan ekonomi bisa diwujudkan melalui dua cara. Pertama dengan memberi hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk memiliki kehidupan insani yang layak dan terhormat, dan kedua menerapkan aturan yang menyeimbangkan kekayaan dan pendapatan.(IRIB Indonesia)

Bagian Kedua

Sebagai tuntutan utama dalam kehidupan manusia, keadilan dipandang sangat penting dalam ajaran Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, masalah keadilan menjadi acuan penyusunan aturan, undang-undang dan kebijakan. Berdasarkan definisi keadilan yang dijelaskan oleh Imam Ali bahwa keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dapat dikatakan bahwa keadilan ekonomi adalah mengantarkan semua anggota masyarakat kepada hak-hak ekonomi mereka masing-masing.

Keadilan ekonomi dalam ajaran Islam dapat dipaparkan dalam beberapa hal. Pertama, seluruh anggota masyarakat mesti memperoleh kesejahteraan yang memadai. Kedua, perbedaan dalam hal pendapatan hendaknya bukan terjadi akibat praktik diskriminasi dalam undang-undang dan kesempatan memperoleh fasilitas dan kesempatan. Selain itu, kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan kewajibannya terkait hak kaum miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kemajuan jangan sampai berakibat buruk pada pendistribusian kekayaan secara adil. Sebab kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tak lain adalah sarana untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan ekonomi. Imam Ali (as) berkata, "Tak ada sesuatu yang berkesan dalam memakmurkan negeri lebih dari keadilan." (Al-Hayat: juz: 6 hal: 407). Ungkapan ini menjelaskan bahwa dalam Islam keadilan adalah syarat yang mesti dipenuhi untuk meraih kekayaan dan kemakmuran.

Salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus. Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam ajaran Islam yang melarang penimbunan harta dan perintah mengeluarkan khumus, zakat dan sedekah. Dalam pandangan Islam, orang yang bahagia adalah orang yang melangkah di jalan kesempurnaan maknawi dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah.

Kesejahteraan materi dipandang sebagai wasilah atau sarana untuk mengantarkannya kepada kesempurnaan itu. Karena itu, keadilan ekonomi menjadi bernilai jika membuka kesempatan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan ruhani dan maknawi. Pelaksanaan keadilan juga didasari oleh keyakinan dan keimanan. Dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, jaminan pelaksanaannya akan semakin bisa diharapkan.

Dalam hal keadilan dan distribusi kekayaan ada satu pertanyaan yang mengemuka. Yaitu, sejauh manakah perbedaan dalam pendapatan di antara anggota masyarakat bisa diterima dan apakah hal itu bertentangan dengan keadilan? Perbedaan dalam memperoleh pendapatan kembali kepada perbedaan dalam kemampuan, potensi, bakat dan fasilitas yang ada. Dan terkadang pula perbedaan itu muncul akibat dari praktik diskriminasi dan ketidakadilan hukum dan kebijakan pemerintah dalam memberi peluang kepada anggota masyarakat. Islam menentang perbedaan pendapatan yang terjadi karena diskriminasi dan ketidakadilan. Namun Islam menerima perbedaan pendapatan yang disebabkan oleh potensi, bakat dan kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Dalam perspektif Islam, keadilan tidak berarti kesamaan dalam pendapatan. Surat al-Zukhruf ayat 32 menegaskan, "Kami telah menentukan kehidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat supaya sebagian mereka dapat menggunakan sebagian yang lain.Dan Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."

Ketidaksamaan orang dalam memperoleh harta adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Sebab, masing-masing orang memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda karena faktor fisik, kejiwaan atau kreativitas dalam bekerja. Perbedaan ini juga kembali kepada kebijaksanaan Allah dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali (as) dijelaskan bahwa beliau berkata, "Dengan hikmah dan kebijaksanaanNya, Allah Swt menciptakan perbedaan pada diri manusia dalam kemauan kehendak dan keadaan mereka. Perbedaan ini telah ditentukan sebagai sarana untuk membangun kehidupan umat manusia." (Wasail al-Syiah juz 13 hal: 224)

Poin penting yang perlu disinggung di sini adalah bahwa meski mengakui adanya perbedaan ini di tengah masyarakat, namun Islam tetap menggariskan untuk tidak membiarkan terjadinya kesenjangan sosial yang ekstrim dalam memperoleh kesejahteraan materi. Karena itulah Islam mementingkan satu asas yaitu keseimbangan di tengah masyarakat dan pemerataan kekayaan. Sebab, terkumpulnya kekayaan di tangan sekelompok orang akan menciptakan kecongkakan pada diri mereka dan membuat kaum fakir tenggelam dalam pekerjaan yang hina dan tidak semestinya.

Salah satu masalah penting yang berhubungan dengan penafian monopoli kekayaan oleh sekelompok orang tertentu adalah masalah kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi menurut kacamata Islam berbeda dengan definisi yang dikenal luas dalam sistem ekonomi dunia yang lain. Dalam sistem ekonomi Islam, tidak ada penafian mutlak kepemilikan pribadi seperti yang ada dalam ideologi sosialisme dan tidak pula sejalan dengan ideologi kapitalisme yang mengakui kepemilikan tanpa batas. Islam mengambil jalan tengah yang netral dan logis. Di satu sisi Islam mengakui kepemilikan pribadi namun di sisi lain, sistem ini menetapkan batasan-batasan tertentu untuk mencegah terjadinya penimbunan harta di tangan kalangan tertentu. Islam menghormati kepemilikan pribadi sebagai hak insani dan setiap orang berhak memiliki apa yang didapatkannya lewat kerja keras dan usahanya. Hak memiliki ini berdasarkan pada fitrah, akal dan aturan kehidupan sosial.

Meski demikian, dasar fitrah dan logika tidak selalunya menjadi pijakan bagi kebebasan kepemilikan pribadi. Sebab, dalam banyak kasus sering terjadi hak-hak umum dan keadilan sosial dan ekonomi justeru dikorbankan demi kepentingan dan kecenderungan pribadi. Salah satu contoh pembatasan yang diterapkan Islam terkait kepemilikan pribadi adalah larangan israf, menghambur-hamburkan harta, atau penimbunan kekayaan. Selain itu, Islam juga menetapkan aturan untuk memperoleh kekayaan. Agama Ilahi ini melarang orang mencari kekayaan lewat cara-cara yang ilegal dan haram. Artinya, dalam Islam tidak semua cara diperbolehkan untuk mencari kekayaan. Dalam menggunakan kekayaan kita juga diingatkan pada satu hal, yaitu bahwa kita bertanggung jawab di hadapan Allah dalam membelanjakan harta. Sebab, kekayaan yang ada di tangan kita sebenarnya adalah milik Allah. Kekayaan itu diberikan kepada kita sebagai amanat supaya kita menggunakannya sesuai aturan yang telah Allah tentukan. Jika pemikiran ini menjadi keyakinan dan memasyarakat, perilaku ekonomi akan terkendali dan setiap orang yang memiliki harta akan bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jafar Shadiq (as) berkata, "Apakah orang mengira bahwa Allah memberikan sesuatu kepada seseorang karena kemuliaan orang itu atau tidak memberinya karena kehinaannya? Tidak demikian. Kekayaan adalah milik Allah yang diamanatkan kepada sekelompok manusia. Mereka diberi hak untuk memanfaatkannya dengan secukupnya untuk makan, minum dan membiayai pernikahannya sementara sisanya harus diberikan kepada mereka yang memerlukan." (Mustadrak al-Wasail juz: 13 hal: 52)

Hadis ini dengan jelas menerangkan bahwa harta kekayaan adalah milik Allah yang diberikan kepada hambaNya sebagai amanat. Dia tidak berhak israf dan menyia-nyiakannya. Seorang hamba yang memperoleh amanat ini wajib melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya terkait harta itu. Jika dilaksanakan ia akan memperoleh keridhaan Allah.

Mufassir besar Allamah Thabathabai terkait kepemilikan individu mengatakan, Islam mengakui kepemilikan individu. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda "Semua orang berhak atas harta yang dimilikinya." Atas dasar ini, setiap orang berhak untuk menggunakan hartanya baik untuk disimpan maupun untuk dibelanjakan, bahkan untuk diberikan sebagai sedekah, membantu kaum fakir atau menggunakannya untuk hal-hal yang dibenarkan dalam syariat. Namun dia tidak diperkenankan menggunakan hartanya dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Orang tidak berhak menggunakan hartanya untuk hal-hal yang merugikan Islam dan kaum muslimin. Dia juga tidak boleh israf atau menyia-nyiakan harta atau menimbunnya sebagai harta karun."

Dengan penjelasan tadi dapat difahami bahwa kepemilikan individu dalam Islam diatur sedemikian rupa sehingga keadilan ekonomi bisa terwujud. Insya Allah pada bagian berikutnya kami akan menjelaskan lebih jauh tentang masalah ini.(IRIB Indonesia)

Bagian Ketiga

Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan adalah poros dan landasan bagi kebijakan eksekutif. Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelum ini, salah satu masalah terpenting terkait keadilan ekonomi adalah mekanisme kepemilikan harta dan kekayaan. Atas dasar ini, kepemilikan pribadi dalam Islam berbeda dengan aturan kepemilikan pribadi dalam sistem ekonomi yang lain. Islam memiliki aturan yang jelas dan khas terkait cara mendapat kekayaan dan menggunakannya. Aturan ini mengizinkan setiap orang untuk memiliki dan memanfaatkan hasil kerja kerasnya namun juga mewajibkannya untuk memerhatikan beberapa aturan. Hukum dan aturan Islam ini menjamin terwujudnya keadilan ekonomi. Di antara aturan itu adalah bahwa dalam Islam, seseorang tidak diperkenankan meraih kekayaan dengan segala cara. Artinya tidak semua cara bisa dilakukan untuk mengeruk kekayaan. Setelah memperoleh harta, orang juga tidak diizinkan menggunakan kekayaan semaunya. Islam melarang israf, pemubadziran dan penyia-nyiaan harta dan tidak pula mengizinkan penimbunan kekayaan yang berarti memisahkan harta dari perputaran ekonomi.

Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Pembagian kekayaan ini dilakukan dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula kekayaan milik umum seperti hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi tidak berada dalam kepemilikan negara. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur pemanfaatannya, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kekayaan ini tidak jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu.

Distribusi dan pembagian kesempatan berproduksi di tengah masyarakat adalah salah satu masalah inti dalam setiap sistem ekonomi. Sistem yang berdiri di atas landasan pembagian yang benar adalah sistem ekonomi yang bisa memberi kesempatan dan membagi kekayaan secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, selain mencegah penistaan hak oleh sebagian pihak, sistem ini juga mempertahankan hak-hak generasi mendatang akan kekayaan negeri. Untuk menegakkan keadilan pada tahap ini negara harus membuka peluang bagi kalangan masyarakat lemah untuk bisa memperoleh fasilitas yang layak di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan semisalnya. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pendapatan yang lebih besar.

Jika di suatu masyarakat hanya segelintir orang yang mendapat kesempatan beraktivitas di bidang ekonomi, berarti ada masalah yang serius yang berpangkal pada pembagian yang tidak adil. Dalam hal ini, pemerintahan Islam memegang peran yang sangat penting untuk mengawasi pembagian kesempatan dan kekayaan. Negara mesti berusaha keras supaya kekayaan bisa tersalurkan secara merata ke tengah masyarakat seperti aliran darah segar yang mengalir ke seluruh bagian tubuh. Jika negara sudah melakukan tindakan yang tepat, saat itulah mereka yang punya kemampuan dan potensi lebih akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mendapat penghasilan yang lebih yang tentunya hal itu bermanfaat bagi diri mereka dan masyarakat. Jika kebijakan yang dijalankan negara tidak tepat maka yang terjadi adalah jatuhnya semua kesempatan ke tangan sekelompok orang tertentu, yang dampaknya adalah munculnya masalah kemiskinan.

Allah Swt di surat al-Hasyr ayat 7 berfirman; "Supaya (kekayaan besar) ini tidak berputar di antara orang-orang kaya di antara kalian…"

Ayat ini menegaskan, jangan sampai kekayaan tertumpuk dan berputar hanya di tangan segelintir orang kaya. Dalam kebanyakan kasus, kekayaan yang hanya dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu akan menciptakan satu kutub kekuatan tersendiri di tengah masyarakat. Orang-orang yang memperoleh kekayaan berlimpah lewat cara-cara yang tidak benar akan menguasai masyarakat yang miskin. Kondisi seperti ini bertolak belakang dengan ajaran Islam. Karena itu, dalam sistem pemerintahan Islam, negara harus turun tangan dengan membuka pintu bagi masyarakat untuk bisa terlibat dalam proses produksi.

Kewenangan negara di bidang ekonomi berguna untuk mengatur aktivitas ekonomi di sektor swasta. Untuk mewujudkan keadilan, negara melakukan tiga hal, membuat undang-undang, serta bertindak dalam kapasitas pelaksana dan pengawasan. Islam tidak mengizinkan perolehan kekayaan dengan segala cara. Terkait pemerataan pendapatan, negara menerapkan aturan yang mengatur berdasarkan kelayakan. Negara memegang tugas dalam hal pemberian gaji secara adil, pengawasan terhadap pendapatan dari aktivitas ekonomi dan pencegahan terhadap aktivitas ekonomi yang merusak yang bisa mendatangkan kekayaan berlimpah yang tidak masuk akal.

Tahap ketiga dari penegakan keadilan dalam sistem ekonomi Islam berhubungan dengan fase pasca produksi dan jasa. Sistem perpajakan dalam Islam memiliki peran penting dalam hal ini. Secara umum, ada dua macam pajak yang diatur oleh sistem ekonomi Islam. Pertama adalah pajak dalam bentuk khumus dan zakat, dan kedua adalah pajak yang kebijakannya ditentukan oleh pemerintahan Islam sesuai dengan situasi dan kondisi. Khumus adalah kewajiban yang mesti dibayarkan sebesar 20 persen dari hasil usaha selama satu tahun, pertambangan, ghanimah perang, dan penemuan harta karun. Sedangkan zakat adalah kewajiban yang harus dibayarkan dari beberapa item kekayaan seperti emas, perak, ternak, gandum dan lainnya yang sudah diatur dalam ketentuan fikih. Khumus dan zakat ibarat pajak harta yang harus dibayar oleh setiap muslim. Dengan membayarnya, orang yang memiliki kelebihan harta bisa menyantuni kelompok masyarakat yang kurang mampu. Hal itu juga menjadi salah satu cara untuk mencegah terkumpulnya harta di tangan segelintir orang.

Jenis pajak kedua yang ditetapkan dalam Islam adalah pajak yang ditentukan oleh pemerintahan Islam. Negara memerlukan pendanaan untuk membiayai sektor investasi, manajemen dan membangun sistem ekonomi yang sehat. Sementara, dana yang didapat dari zakat dan khumus tidak mencukupi. Pajak ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan dana bagi negara. Suntikan dana ini berarti distribusi kekayaan dan pendapatan di tengah masyarakat dengan cara yang lebih adil yang diawasi dan dikelola oleh negara.

Salah satu bagian terpenting dalam hal ini adalah dana kesejahteraan sosial. Dalam rangka menegakkan keadilan, negara berkewajiban melindungi masyarakat kelas bawah dan mengatasi kesulitan hidup warga yang tidak bisa bekerja dan tidak memiliki pendapatan. Perlindungan itu diwujudkan lewat sebuah lembaga jaminan sosial.

Selain pajak, ada sejumlah aliran dana lainnya dalam bentuk infak, pinjaman utang, wakaf, kaffarah, nadzar dan lain-lain yang membantu pemerataan kekayaan masyarakat yang kesemuanya disertai dengan unsur maknawiyah dan niat mendekatkan diri kepada Allah. Al-Qur'an mendorong kaum muslimin untuk beramal seperti ini dan menyebutnya sebagai transaksi mereka dengan Allah untuk menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.(IRIB Indonesia)

Teruskan Baca......