SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Minggu, 03 Juni 2012

Tafsir Al Baqarah 282 (Akuntansi Syariah)

Pendahuluan 

 Al quran merupakan petunjuk yang dimaksudkan untuk menuntun umat manusia, didalam Al quran terdapat perintah, larangan, serta anjuran, diantara anjuran tersebut adalah melakukan pencatatan terhadap transaksi yang dilakukan, dalam al quran anjuran mengenai pencatatan tersebut terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282, mengetahui tentang pencatatan yang dianjurkan penting agar kita mengetahui ketentuan islam mengenai ketentuan dan persyaratan-persyaratan dalam pencatatan tersebut. 

 Dalam sejarah pencatatan (Akuntansi) konvensional Lucas Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi modren, namun demikian sebelum Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi. Namun demikian pada tahun 622 M terbukti sebagai beberapa sistem pencatatan perdagangan telah berkembang di Madinah, dan pada zaman pemerintahan Abbasiyah 750 M telah dikembangkan lebih sempurna diantaranya Al Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran atau Expenditure Journal), Jaridah al-Mal(Jurnal penerimaan dana untuk Baitul Mal) dan lain-lain. Kalau kita kaji sejarah khususnya sejarah khususnya sejarah islam, sebenarnya pada awal pertumbuhannya mestinya sudah ada sistem akuntansi. Hal ini dapat kita tanya dari adanya kegiatan kafilah atau pedagang. 

Menurut sejarahnya, kegiatan perdagangan ini pun sudah ada pemisahan antara pemilik dengan pedagang (manajer) seperti kisah Muhammad (sebagai pedagang, agen) dengan Khadijah (sebagai pemilik). Kemudian, keberadaan ini dapat juga dilihat dari adanya perintah dalam Al quran yang terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282 yang mewajibkan dibuatnya pencatatan transaksi-transaksi yang belum tuntas seperti adanya utang piutang. Sayangnya literatur belum banyak menganalisa bagaimana bentuk eksistensi akuntansi pada zaman ini(lebih kurang 570 Masehi). Dalam literatur akuntansi, ternyata yang jadi asal mula akuntansi selalu disebut di Eropa. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai ketentuan Al quran dalam melakukan pencatatan dan ketentuan-ketentuan mengenai pencatat, dan saksi dalam pencatatan.

 Pembahasan 282. 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Asbabun Nuzul : Pada waktu rasulullah saw datang kemadinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua, atau tiga tahun. 

Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menyewakan (menghutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah swt menurunkan ayat ke 282. Sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun mu’amalah dalam waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinnya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang. (HR. Bukhari dari sofyan bin Uyainah dari Ibnu Abi Najih dari Abdillah bin katsir Abi Minhal dari Ibnu Abbas). Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. 

Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi. Ayat ini dikenal dengan nama Ayat al Mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfak (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba(ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar utangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu(ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis utang piutang setelah anjuran dan larangan diatas mengandung makna tersendiri. anjuran bersedekah dan melakukan infak di jalan Allah perupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, sehingga dengan perintah menulis utang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah dapat menimbulkan kesan bahwa al-quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini yang intinya memerintahkan untuk memelihara harta dengan menulis utang piutang, walau sedikit, serta mempersaksikannya. 

Seandainya kesan itu benar tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian terperinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan utang-piutang. Ayat 282 ini dimulai seruan Allah swt, kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Ini agar yang memberi piutang merasa tenang dengan penulisan itu. Karena, menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintannya. Kata (اينتم تد) tadayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata (دين) dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dal, ya’ dan nun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna utang, pembalasan, ketaatan, dan agama. 

Kesemuannya menggambarkan hubungan timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni utang-piutang. Penggalan ayat-ayat ini menasehati setiap orang yang melakukan transaksi utang-piutang dengan dua nasihat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berutang masa pelunasannya harus ditentukan. Bukan dengan berkata “saya bayar hutangnya ketika saya memperoleh rezeki”, atau kalimat lain yang serupa yang mengisyaratkan keadaan yang tidak pasti. Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri, karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berutang kecuali jika sangat terpaksa. “utang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari”. Demikian sabda Rasul saw. Seorang yang tidak resah karena memiliki utang atau tidak merasa risih karenanya. “penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah menulis utang-piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. 

 Demikian praktik para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang, sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang-piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka.namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis-menulis karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjaman dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata (اذا) idza/apabila pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu. Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, mereka hndaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Selanjutnya, Allah swt. Menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak merugikan salah satu pihak, dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian, dan kejujuran. Yang dimaksud dengan kemampuan menulis secara profesional adalah seorang akuntan yang bertugas mencatat segala transaksi yang terjadi disebuah perusahaan sesuai dengan PSAK (Pernyataan standart akuntansi keuangan), akuntan merupakan sarjana akuntansi yang telah memperoleh sertifikat profesi akuntansi. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dan diantara kamu daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini dikarenakan keadilan, disamping menuntut adanya pengetahan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tapi tidak adil, ketika itu, pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidak adilannya. Ia akan mencri celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan mengindari sanksi. Selanjutnya, kepada para penulis diingatkan agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. 

Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, ia akan menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu dan, pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan. Setelah menjelaskan hukum penulisan utang-piutang, penulis, kriteria dan tanggung jawabnya, dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firman Allah: Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan apa yng telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berutang, bukan yang memberi utang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi utang yang mengimlakan, bisa jadi suatu ketika yang berutang mengingkarinya. Dengan mengimlakakn utangnya sendiri, dan dihadapan pemberi hutang dan memberinya juga, tidak ada alasan untuk mengingkari, sambil mengimlakan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berutang agar hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. 

Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya, baik yang berkaitan dengan kadar utang, waktu, cara pembayaran, dan lain sebagainya seperti kesepakatan bersama. Bagaimana kalau yang berutang, karena suatu dan lain hal, tidak mampu mengimlakkanya? Lebih lanjut ayat tersebut menjelaskan, jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaanya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, karena bisu atau buta aksara, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. 

Setelah menjelaskan tentang penulisan, uraian selanjutnya akan membahas tentang persaksian, dalam hal tulis menulis ataupun lainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kamu. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah ( ين شهيد)syahidain bukan (هدين شا) syahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. 

Dua orang saksi dimaksud adalah saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada, demikian tim departemen agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan-menurur M. Quraish Shihab, yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui” . 

Kata saksi dalam bahasa Arab adalah شاهد atau شهيد yaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata jama‟nya ialah اشهاد dan شهود Kata شهيد jama‟nya ialah شهداء Masdarnya adalah الشهادة yang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Sedangkan kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan Pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain. 

 Yang patut dipertanyakan adalah mengapa dua wanita disetarakan dengan seorang laki-laki ? karena supaya jika salah seorang wanita saksi itu akan lupa maka seseorang lagi menjadi saksi bersamaan atau berlaku salah, disamping tidak mengingat peristiwa yang sebenarnya, maka dibutuhkan kedua orang wanita dalam kesaksian ini. Sebab, bila yang seorang lupa, maka yang lainnya bisa mengingatkannya, dan melengkapi kesaksiannya. Disamping itu, bagi qadhi, ketika mengintrogasi salah seorang dari keduannya, mereka harus disaksikan oleh lainnya, dan dianggap cukup sebagai kesaksiannya, dan sebagian lagi oleh sebagian lainnya, begitu seterusnya. Namun, banyak sekali kalangan qadhi yang tidak mengetahui cara sebenarnya dalam melaksanakan apa yang seharusnya ia perbuat. Akan halnya apabila saksi tersebut terdiri dari dua orang lelaki, maka kesaksian keduannya dipisahkan. Apabila yang seseorang kurang jelas dalam memberikan kesaksian maka kesaksiannya itu batal, dan tidak dianggap. Dan kesaksian seseorang lagi tidaklah cukup, dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan meski perkara yang benar dapat dijelaskan .kajian ini menjelaskan mengenai rahasia disyariatkannya berbilangnya jumlah saksi wanita dalam syariat agama. Sebab, menurut kebiasaan wanita, biasanya tidak melibatkan diri dalam urusan yang berkaitan dengan harta benda dan lainnya yang masuk dalam lingkup mu’amalah transaksi, sehingga ingatan mereka tampak lemah dalam menangani masalah ini. 

Berbeda halnya dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan urusan rumah tangga. Ingatan mereka terhada masalah terakhir ini boleh dibilang lebih kuat dibanding perhatian lelaki. Sebab, fitrah manusia akan selalu mengingat hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusannya, dan kesibukan wanita zaman sekarang bukan berarti merubah prinsip dari ketetapan hukum ini. Sebab, hukum ditentukan untuk umum dan mayoritas umat, jika ada, maka bilangannya sangat sedikit untuk setiap generasi . 

Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani: "Laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah, ia akan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil.

 Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang." Sebagaimana Allah berpesan kepada penulis, kepada para saksi pun Allah berpesan, “Janganlah saksi-saksi enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,“karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban . Hukum menjadi saksi adalah fardhu kifayah, atau tidak wajib dilaksanakan bagi yang bersangkutan, melainkan apabila tidak ada orang yang lain yang bisa menggantikan kedudukannya . Sejak dahulu hingga sekarang keengganan menjadi saksi setidaknya disebabkan oleh kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu, wajib hukumnya menegakkan keadilan dalam ayat berikutnya akan akan terdapat larangan disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian yang mengakibatkan kerugian pihak lain. 

Selanjutnya Allah mengingatkan agar tidak bosan untuk menulis transaksi yang jumlahnya kecil, janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai, yakni termasuk batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan utang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan daam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan diantara kamu. 

Petunjuka diatas merupakan ketentuan untuk utang piutang, tetapi, jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah ini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Salah satu bentuk kemudharatan yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah tersitannya waktu yang dapat dipergunakan untuk mencari rezeki, biaya transportasi, dan biaya administrasi, dan dibenarkan untuk memberi imbalan atas pengorbanan tersebut. 

Disisi lain para penulis hendaknya tidak merugikan yang bermuamalah, jika kamu wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakna terkelupasnya kulit sesuatu, kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt, atau dengan kata lain siapapun yang melakukan suatu yang mempersulit yang mengakibatkan kesulitan orang lain dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada Allah. Ayat ini diakhiri dengan dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi merupakan penutup yang amat tepat karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. 

Dari sini, peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat. Penutup Ayat ini merupakan dasar dari Akuntansi syariah, sangat dianjurkan untuk transaksi yang tidak secara tunai baik yang memiliki nilai besar, ataupun kecil hendaknya dicatat dalam sebuah pembukuan, menjadi saksi hukumnya fardhu kifayah, dan janganlah enggan menjadi saksi dengan alasan kemaslahatan pribadi, disisi lain hendaknya yang melaukuan muamalah tidak memberi mudharat kepada saksi dan pencatat transaksi, perintah bertakwa diakhir ayat dimaksudkan agar yang melakukan transaksi perdagangan tidak menggunakan pengetahuannya untuk menarik keuntungan yang berakibat kerugian dipihak lain. 

Daftar Pustaka 

A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al Quran. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002 
Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986 
 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Bahrun Abubakar. Semarang: Toha Putra Semarang, 1986 
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. Bahrun Abubakar . Semarang: Toha Putra Semarang, 1986 
Departeman Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, Surabaya:Cv. Aisyiah, 1998 
http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/tafsir-al-quran-surat-al-baqarah-ayat-282-286 (Diakses 03 Juli 2012) 
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/557-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-282.html (Diakses 03 Juli 2012) 
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Jilid 1. Jakarta : Lentera Hati, 2008 
Sofyan Syafri Harahap, Teori Akuntansi. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007 
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar