SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Rabu, 23 November 2011

HARUN NASUTION 
(Ajaran Dasar dan Non Dasar, Paham Rasional)

Oleh : La Jamaa



Abstract

This writing will explain the idea of Harun Nasution about the problems of basic and non basic doctrine, rational concept and education. The basic doctrine came from Al-Qur’an and Hadist directly, so the value of the truth are absolute, universal and used it in any period of time, condition and places, so that it cannot influence by interpretation and Ijtihad. Beside that, the non basic doctrine came from interpretation and ijtihad so its value of the truth is relative and can accept any different of interpretation because of the changes of period, condition, and place. Harun Nasution Idea focus on the thinking of human ratio. It said that men must use their mind as Khalifah in the earth. According to Harun Nasution, Islamic education must have the objectives to develop human sources that have good relation with God or berakhlakul Karimah. For that the system of education must be as the religion education not the religion teaching.



A. Pendahuluan

Islam sebagai agama sering salah dipahami, baik penganut-nya sendiri maupun umat lain. Hal ini muncul dari asumsi bahwa semua ajaran Islam bersifat absolut sehingga tidak ada kemung-kinan untuk diinterpretasi lain yang berbeda dengan interpretasi ulama klasik. Kecenderungan umum di kalangan umat Islam me-nunjukkan, bahwa pemahaman yang kaku terhadap ajaran Islam, sehingga menyebabkan bias antara ajaran Islam pada satu sisi dengan pelaksanaan ajaran agama Islam dalam kehidupan sosial masyarakat pada sisi lain.

Dalam realitas kehidupan umat Islam telah terjadi benturan antara pendukung normativis-tekstualis yang absolutis dengan pen-dukung historisitas-relativis dalam pemahaman ajaran Islam. Pen-dukung pemahaman keagamaan yang pertama cenderung meng-absolutkan teks keagamaan tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang lahirnya teks itu (asbab al-wurud).[1] Padahal terhadap ajaran non dasar tidak di-benarkan adanya absolutisme, sebab setiap bentuk-bentuk absolu-tisme akan menyebabkan sistem pemikiran menjadi tertutup, dan ketertutupan itu akan menjadi sumber keabsolutannya. Sesuatu kreasi pemikiran manusia jika diabsolutkan akan secepatnya akan menjadi tertutup[2] dari kemungkinan penafsiran yang berbeda.

Bertolak dari realitas keberagamaan umat Islam umumnya, dan Indonesia khususnya, mendorong pemikir muslim Indonesia untuk melontarkan gagasan baru dalam memaknai ajaran Islam secara utuh dan komprehensif. Salah satu gagasan tersebut adalah bahwa ajaran Islam yang sebenarnya terbagi dua kategori, yakni ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar inilah yang memi-liki kebenaran absolut, sehingga tidak dapat berubah dengan ter-jadinya perubahan zaman, tempat dan keadaan. Namun demikian di samping ajaran dasar, ada ajaran non dasar yang nilai kebenarannya tidak mutlak (tidak absolut) sehingga terbuka kemungkinan untuk berubah.

Di samping itu, pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan keberagamaan umat Islam (dalam realitas sosial) menunjukkan bahwa ajaran Islam lebih cenderung dimaknai secara normatif atau doktrin dan kurang menampilkan fungsinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Jelasnya, bahwa umat Islam lebih condong mem-perhatikan pelaksanaan ajaran Islam dari segi formalitasnya sedangkan fungsional ajaran Islam itu dalam kehidupan kurang tampak. Dengan demikian terjadi gap antara pelaksanaan ajaran Islam (khususnya yang berkaitan dengan ibadah) dengan fungsinya dalam kehidupan.

Dari uraian di atas muncul pertanyaan, bahwa apakah ke-timpangan antara pelaksanaan ajaran Islam – yang berkaitan dengan ibadah itu – dengan fungsinya dalam kehidupan sosial, disebabkan oleh sistem pendidikan agama Islam selama ini yang lebih menitik-beratkan pada “pengajaran agama Islam” ketimbang “pendidikan agama Islam.” Sehingga siswa dan mahasiswa hanya menguasai seperangkat pengetahuan agama Islam, akan tetapi kurang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan keberagamaannya.

B. Biografi Singkat Harun Nasution

Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1919. Beliau adalah putera keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama serta pedagang, menjadi qadhi dan penghulu di Pematang Siantar. Ibunya adalah keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan.

Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, Holland-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1934, ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamietiesche Kweekcshool (MIK) di Bukittinggi dan tamat pada tahun 1937. Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir dan memperoleh Ahliyah, pada tahun 1940 dan Candidat dari Fakultas Ushuluddin pada tahun 1942. Di Mesir ia juga memasuki Universitas Amerika, Kairo dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam Studi Sosial pada tahun 1952.[3]

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1953, Harun Nasution bertugas di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah. Selama tiga tahun, sejak tahun 1955 bertugas di Kedutaan Republik Indonesia di Brussel dan banyak mewakili berbagai per-temuan, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris. Harun Nasution ke Mesir melanjutkan studinya di al-Dirasah al-Islamiyyah namun terhambat biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya ia menerima beasiswa dari Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada. Sehing-ga pada tahun 1962 ia melanjutkan studi di Universitas McGill, Montreal Kanada.

Pada tahun 1965, Harun Nasution memperoleh gelar Magister of Art (MA) dalam Studi Islam dengan judul tesisnya The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Move-ment for Its Creation and The Theory of The Masjumi pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan almamater yang sama dengan disertasi yang berjudul The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.[4]

Pada tahun 1969, Harun Nasution kembali ke tanah air serta berkiprah dalam bidang akademis sebagai dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Di samping itu Harun Nasution menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta (sejak 1970), Universitas Nasional Jakarta (sejak 1970) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (sejak 1975). Kegiatan akademis ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), menjadi Ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1982.[5]

Harun Nasution dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang se-luas-luasnya, tidak hanya terbatas pada bidang pemikiran saja se-perti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqh), akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum muslimin. Harun Nasution berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam tak ter-kecuali di Indonesia adalah disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy’ariyah. Hal itu menurut-nya harus diubah dengan pandangan rasional, yang sebenarnya telah dikembangkan teologi Mu’tazilah. Karena itu reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.

C. Ajaran Dasar dan Non Dasar

Harun Nasution mengemukakan bahwa apa yang terkan-dung dalam pengertian Islam dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok ajaran dan kelompok non ajaran. Dalam kelompok non ajaran dapat dimasukkan sejarah, kebudayaan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang datang ke dalam Islam sebagai hasil dari perkembangan Islam ke dalam sejarah.

Kelompok ajaran selanjutnya dapat dibagi ke dalam ajaran dasar sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, serta ajaran bukan dasar (non dasar) yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi para ulama dan ahli Islam terhadap ajaran-ajaran dasar tersebut.[6]

Menurut Harun Nasution, sebagai agama universal, Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat univer-sal, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah, jumlahnya menurut para ulama hanya kurang lebih 500 ayat atau kurang lebih 14 % dari seluruh ayat Al-Qur’an.[7]

Ajaran dasar yang bersifat universal dan tetap itu biasanya dikenal dengan ajaran yang pasti (qat’iy). Ajaran ini mencakup tiga bentuk ajaran, yakni (1) ajaran qat’iy al- wurud, yaitu ajaran yang pasti sumber kedatangannya, baik dari Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an maupun dari Nabi berupa hadis mutawatir, (2) qat’i al- dalalah, yaitu ajaran yang pasti maknanya karena suatu teks (nash) hanya memiliki satu arti, baik dari ayat Al-Qur’an maupun dari hadis mutawatir, ajaran dalam bentuk ini sangatlah sedikit dan bia-sanya mengenai kata yang menunjuk kepada bilangan, dan (3) qat’i al-tanfiz,yaitu ajaran yang mesti diberlakukan dan bila tidak di-laksanakan, maka seseorang tergolong melakukan pelanggaran, seperti aqimu al-salah wa atu al-zakah.[8] Setiap muslim harus menunaikan apa yang dimaksud ayat ini.

Perincian tentang maksud dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat dan zaman tertentu (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal).[9] Dengan kata lain, perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar melahirkan ajaran non dasar.

Ajaran non dasar adalah ajaran yang nisbi, relatif, tidak tetap, boleh berubah, dan tidak mengikat. Ajaran ini biasanya di-kenal sebagai kelompok ajaran yang zanni. Ajaran ini meliputi tiga bentuk ajaran, yaitu (1) zanni al- wurud, yakni semua ajaran selain ayat Al-Qur’an dan hadis mutawatir disebut ajaran yang tidak di-pastikan kedatangannya, ketidakpastian ajaran ini terjadi karena hanya dikemukakan oleh orang perorangan atau pendapat dan ijti-had pribadi, termasuk dalam ajaran ini semua hadis ahad (yang di-riwayatkan orang perorangan), pendapat ulama dan penafsiran-nya terhadap Al-Qur’an), (2) zanni al-dalalah, yakni ajaran yang tidak pasti maknanya karena makna yang dikandung suatu teks (nash) lebih dari pada satu arti, baik dari Al-Qur’an maupun hadis muta-watir, (3) zanni al-tanfiz, yakni ajaran yang tidak mesti diberla-kukan, misalnya soal waris, sekalipun ayat yang memuat tentang waris termasuk pasti maknanya (qat’i al-dalalah) tetapi pember-lakuannya tidaklah mesti. Artinya, seseorang tidak dianggap ber-dosa bila tidak membagi warisnya satu banding satu seperti tertera dalam ayat, tetapi ia boleh saja melakukan perdamaian dengan membagi satu banding satu dengan saudara wanitanya.[10] Dengan kata lain, yang menjadi ajaran dasar, hanyalah Al-Qur’an dan hadis.[11]

Asumsi di atas berlaku pula dalam hukum Islam, yang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni (1) Hukum Islam yang telah di-tegaskan secara langsung oleh nash/teks Al-Qur’an atau hadis yang tidak mengandung penafsiran dan penakwilan, (2) Hukum Islam yang belum/tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an atau hadis, dimana ia baru diketahui setelah digali melalui lembaga ijti-had.[12] Hukum Islam kategori pertama disebut syariah, sedang-kan hukum Islam kategori kedua disebut fiqh. Syariah itulah statusnya qat’i, ia harus diikuti apa adanya, tidak boleh di-tambah dan di-kurangi, berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman, dalam segala kondisi dan situasi serta tidak perlu diijtihadkan lagi. Sedangkan fiqh statusnya zanni dan penerapan-nya harus sesuai dengan kondisi dan situasi sejalan dengan perubahan zaman[13]

Asumsinya, adalah karena semuanya adalah penafsiran dan penjabaran dari ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an, maka semuanya ber-ada dalam kebenaran.[14] Dalam hal ini, kebudayaan setempat memi-liki pengaruh besar pada penafsiran dan cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal. Sehingga terjadinya perbedaan dalam interpretasi dan pelaksanaan ajaran dasar, bukanlah suatu ke-salahan, tetapi justru menunjukkan sifat ajaran dasar yang uni-versal itu sendiri.

C. Paham Rasional

Keadaan umat Islam, sebagaimana tampak dalam sejarah sepanjang 700 tahun, terutama 300 tahun terakhir, terkesan tidak adanya dinamika Islam, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat berkembang dan masa depan umat banyak tergantung pada nasib. Dengan kata lain, setelah abad ketiga belas Masehi, muncul kesan bahwa ajaran Islam mengantarkan umat kepada sikap pasif dan tidak dapat memainkan peranan dalam menentukan ke-adaannya di masa kini maupun di masa depan.

Bertolak dari realitas tersebut, bagaimana sebenarnya pan-dangan Islam tentang manusia? Apakah manusia dipandang lemah dan karena itu mempunyai sikap pasif, ataukah ia mempunyai kekuasaan sehingga mempunyai dinamika?

Dalam pandangan Harun Nasution, bahwa menurut keyaki-nan Islam, manusia adalah makhluk Tuhan. Ketinggian, keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lain terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akallah yang menyebabkan ma-nusia memiliki kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Akal manu-sialah yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengantar manusia dapat mengubah dan mengatur alam di sekitar-nya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya, baik pada masa kini maupun pada masa mendatang. Memang akallah yang menyebab-kan manusia berbeda dengan hewan dan karena itu pula dalam filsafat, manusia disebut sebagai hayawan al-natiq, binatang ber-bicara atau berpikir.[15]

Kalau begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia, maka perlu dipahami kedudukan akal dalam ajaran Islam. Apakah kedudukannya rendah sehingga menyebabkan umat Islam berada dalam kondisi yang memprihatinkan itu?

Kalau menelaah Al-Qur’an dan hadis, sebagai sumber asli dan utama dari ajaran-ajaran Islam, kita akan sampai pada kesim-pulan sebaliknya. Karena akal, di samping wahyu, memiliki pera-nan penting dalam Islam. Wahyu membawa ajaran-ajaran dasar yang selain jumlahnya tidak banyak, juga hanya memberi keten-tuan-ketentuan dalam garis besar (global). Penafsiran dan cara pe-laksanaan serta perincian-perincian ajaran dasar itu diserahkan ke-pada akal manusia untuk menentukannya. Mengenai masalah-masalah kehidupan yang tidak disebut dalam Al-Qur’an dan hadis itu diserahkan pula kepada akal manusia untuk menyelesaikannya sesuai dengan jiwa ajaran-ajaran dasar tersebut.[16]

Karena begitu besar perhatian umat Islam pada abad-abad pertama terhadap kedudukan akal, sehingga tidak mengherankan mereka berbeda dengan umat Islam pada zaman sesudahnya hingga saat ini. Dengan dijiwai oleh penghargaan terhadap akal yang di-anugerahkan Tuhan kepada manusia dan didorong oleh keinginan untuk mencari ilmu pengetahuan telah mengantarkan mereka men-jadi generasi yang memperoleh kemajuan dan kejayaan Islam di masanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Akal adalah lambang kekuatan manusia. Karena dalam Islam, akal diberi kedudukan yang tinggi dan dengan demikian akal mempunyai daya yang kuat, maka manusia bukanlah makhluk yang lemah. Ia mempunyai kemampuan untuk mempertimbangkan baik buruknya perbuatan, dapat menentukan kehendaknya sendiri serta dapat mewujudkan apa yang dikehendakinya, dengan berpatokan pada prinsip-prinsip sunnatullah.[17] Dengan demikian, Islam adalah agama yang rasional.[18]

Dari uraian di atas, jelas bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an dan hadis, yang melahirkan teologi rasional dalam Islam, teologi yang berpengaruh di kalangan ulama Islam di zaman klasik. Teologi rasional ini mengandung ajaran bahwa akal manusia mempunyai kemampuan yang tinggi, bahwa manusia diberi kebebasan oleh Tuhan dalam melakukan perbuatan dan kemauan serta dengan demikian bersikap dinamis, dan bahwa Tuhan mengatur alam ini melalui sunnatullah atau hukum alam ciptaan-Nya.[19]

Kedudukan akal yang tinggi dalam Al-Qur’an dan hadis, serta teologi rasional itulah yang menyebabkan munculnya pemiki-ran rasional yang pada gilirannya melahirkan ilmu pengetahuan di zaman Islam klasik yang telah berpengaruh besar lahirnya Renaisans di Eropa pada abad pertengahan serta berkembangnya peradaban Eropa modern yang ada sekarang ini.[20] Karena itu pula secara faktual, umat Islam dapat menggeser dominasi kekuatan emperium Persia dan Romawi, yang kekuatannya saat itu barang-kali mirip kekuatan Barat saat ini.[21]

Namun demikian paham rasional yang dikembangkan Harun Nasution tidak dapat disamakan dengan rasionalisme. Sebab rasionalisme adalah sikap yang hanya mau menerima kebenaran yang jika seluruhnya dapat dimengerti oleh akal. Sedangkan sikap rasional tidak menuntut agar semua sikap harus dibuktikan secara ilmiah. Sikap rasional justru menerima keterbatasan seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah.[22]

Dengan demikian manusia bersifat dinamis lagi aktif. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan sikap mental tradisional yang pasrah pada nasib menjadi sikap mental rasional yang dinamis.

D. Pendidikan

Konsep pendidikan menurut Harun Nasution harus disesu-aikan dengan konsep manusia menurut Al-Qur’an dan hadis.

Konsep manusia menurut ajaran Islam, bukan hanya terdiri dari tubuh, seperti yang terdapat dalam filsafat materialisme,[23] tetapi tersusun dari unsur jasmani dan ruhani. Dalam pada itu unsur ruhani bukan pula terdiri hanya dari daya intelek seperti yang terdapat dalam filsafat Barat, tetapi daya berpikir yang disebut akal dan daya merasa yang disebut kalbu.

Dengan demikian manusia tersusun dari dua unsur, unsur materi (jasmani atau tubuh) dan unsur immateri (ruh). Tubuh manusia berasal dari tanah di bumi, sedangkan ruh manusia berasal dari substansi immateri di alam gaib. Tubuh mempunyai daya-daya fisik atau jasmani, seperti mendengar, melihat, merasa, mencium, dan daya gerak seperti menggerakkan tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Sedangkan ruh yang juga disebut al-nafs mempunyai dua daya, yakni daya berpikir yang disebut akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang disebut kalbu yang berpusat di dada.[24]

Akal dikembangkan melalui pendidikan sains dan daya rasa melalui pendidikan agama. Dalam sistem pendidikan semacam ini pendidikan agama mempunyai kedudukan yang pentingnya sama dengan pendidikan sains. Keduanya merupakan bagian yang esen-sial dan integral dari sistem pendidikan umat. Tidak tepat jika di dalam pendidikan agama menomorduakan pendidikan sains dan tidak tepat pula jika pendidikan sains dianakemaskan dan pendidi-kan agama dianaktirikan. Keduanya harus dipandang sebagai anak emas. Pandangan ini mirip dengan pandangan Fazlur Rahman ten-tang sistem pendidikan.[25] Karena memang pendidikan dalam pan-dangan Islam adalah mencetak manusia yang saleh.[26]

Khusus mengenai pendidikan agama, baik di lembaga pen-didikan umum maupun agama, Harun Nasution menjelaskan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan agama dan bukan pengajaran agama. Yang dipraktekkan pada umumnya di perguruan-perguruan kita, baik umum maupun agama selama ini adalah “pengajaran agama” dan bukan “pendidikan agama.” Yang dimaksud dengan “pengajaran agama” ialah pengajaran tentang pengetahuan keaga-maan kepada siswa dan mahasiswa kita, seperti pengetahuan ten-tang tauhid atau ketuhanan, pengetahuan tentang fiqh, tafsir, hadis dan sebagainya. Di antara pengetahuan-pengetahuan yang biasanya dipentingkan adalah fiqh dan itu pun pada umumnya hanya ber-kisar di sekitar ibadah terutama shalat, puasa, zakat dan haji.

Dengan demikian apa yang disebut pendidikan agama dalam sistem pendidikan di perguruan kita, bukan bertujuan meng-hasilkan siswa dan mahasiswa yang berjiwa agama, tetapi maha-siswa yang berpengetahuan agama. Padahal berbeda antara yang berpengetahuan agama dengan orang yang berjiwa agama. Keliha-tannya di sinilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kemerosotan akhlak yang terjadi sekarang ini dalam masyarakat kita.[27]

Padahal inti ajaran Islam adalah moral atau akhlak yang mulia. Ibadah-ibadah mahdah yang diajarkan Islam pun pada da-sarnya merupakan pendidikan akhlak yang mulia pula.[28] Bahkan Muhammad saw diutus ke dunia dalam rangka memperbaiki akhlak yang mulia ini.

Dengan demikian, bahan pendidikan agama di sekolah umum sebaiknya didasarkan pada tujuan moral, spiritual, dan inte-lektual. Sebaliknya tujuan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan agama seharusnya bukan lagi hanya menghasilkan aga-mawan dan ulama tanpa predikat tertentu, tetapi ulama yang ber-pikiran luas, rasional, filosofis, dan ilmiah, serta teologi rasional-nya, sebagai ganti dari ulama yang berpikiran tradisional yang pada umumnya dihasilkan lembaga-lembaga pendidikan Islam selama ini. Untuk menghasilkan ulama yang berpengetahuan luas, rasional, filosofis dan ilmiah itu, maka kurikulum mulai madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi agama, harus disusuri atas mata pelajaran yang dapat mencapai tujuan itu.

Dalam kaitan ini menurut Harun Nasution, pendidikan tra-disional harus diubah, dengan memasukkan mata pelajaran-mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern (sains) ke dalam kuri-kulum madrasah. Juga mendirikan sekolah-sekolah modern di sam-ping madrasah-madrasah yang telah ada, sehingga dapat mem-pro-duk ahli-ahli Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekno-logi.[29]

Untuk mewujudkan gagasannya itu, pada tahun 70-an dan 80-an, Harun Nasution mengadakan reformasi fundamental ter-hadap IAIN. Menurutnya, sesuai dengan hakekat penciptaan manu-sia, maka sarjana muslim atau ulama yang harus dihasilkan oleh IAIN adalah sarjana muslim atau ulama yang berkembang akal dan daya pikirnya serta halus kalbu dan daya batinnya. Dengan kata lain, sarjana atau ulama yang dihasilkan IAIN harus-lah sarjana muslim dan ulama pengetahuannya bukan hanya terbatas pada pengetahuan agama saja, tetapi juga mencakup apa yang lazim di-sebut pengetahuan umum, serta akhlak dan budi pekerti yang luhur.[30]

Karena itulah dosen-dosen IAIN tidak dikirim ke Mesir me-lainkan ke dunia Barat untuk mempelajari Islam dari segi metodo-loginya serta cara berpikir rasional, sehingga mereka akan dapat menjadi ulama yang berpikir rasional.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pemikiran Harun Nasution tentang pendidikan merupakan usaha beliau me-wujudkan tujuan pendidikan Islam agar dapat mewarnai keber-agamaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula pandangannya tentang ajaran dasar dan non dasar, bukanlah untuk membingungkan umat Islam Indonesia, namun justru mengantar-kan umat kepada pemahaman terhadap ajaran Islam secara utuh serta mengeleminir terjadinya konflik akibat klaim kebenaran setiap kelompok dalam masyarakat Islam. Paham rasional Harun Nasution tidak identik dengan rasionalisme dalam filsafat Barat, namun beliau ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ajaran Islam itu rasional dan sekali lagi beliau tidak bermaksud merasionalisme-kan ajaran Islam.

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Ajaran Islam terdiri dari ajaran dasar dan ajaran non dasar. Ajaran dasar karena bersumber langsung dari Al-Qur’an dan hadis, maka nilai kebenarannya bersifat mutlak (absolut) dan bersifat universal, berlaku dalam segala zaman dan tempat serta kondisi, sehingga tidak menerima kemungkinan interpretasi atau ijtihad. Karena itu pula ajaran dasar bersifat qat’i dan ber-sifat mengikat. Sedangkan ajaran non dasar karena merupakan interpretasi dari ajaran dasar, maka nilai kebenarannya bersifat relatif dan menerima kemungkinan terjadinya perbedaan inter-pretasi akibat perubahan zaman, tempat dan kondisi.

2. Paham rasional yang dikembangkan Harun Nasution bertumpu pada pemahaman bahwa manusia harus mendayagunakan akal-nya sehingga mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Dalam kerangka ini pula maka harus dikembangkan sikap hidup yang dinamis untuk menggantikan sikap hidup statis dan pasrah pada nasib.

3. Dalam pandangan Harun Nasution, pendidikan Islam harus di-arahkan untuk perwujudan tujuan pendidikan itu sendiri, yakni mencetak manusia yang bertakwa atau manusia yang berakhla-kul karimah. Sebab itu sistem pendidikan yang dilaksanakan bukanlah “pengajaran agama,” melainkan “pendidikan agama.” Di samping itu, khusus untuk IAIN beliau mengharapkan agar alumninya tidak saja ahli di bidang agama, namun juga memiliki pengetahuan umum dan akhlak.



Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Cet. III, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002.

A. Kadir, Muslim. Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama Islam Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Departemen Agama R.I. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: CV Anda Utama, 1993

Kartanegara, Mulyadhi .“Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif Historis.” Dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, 2000.

Madjid, Nurcholish et al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani. (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000.

Munif Suratmaputra, Ahmad. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali Masalah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Mubarok, Achmad. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa Dalam Al-Qur’an. Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000.

Mousa, Ibrahim. “Kata Pengantar.” Dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan Dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam. Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Nasution, Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986

——-. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, dan II. Cet. V, Jakarta: UI Press, 1985

——-. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Cet. VI, Bandung: Mizan, 2000.

——-. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Cet. II, Jakarta: UI Press, 1986.

——-. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Noer, Deliar. “Harun Nasution Dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia.” Dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution. Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989..

Panitia Penyusun Biografi Ibrahim Hossen, Ibrahim Hossen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Cet. I, Jakarta: CV Putra Harapan, 1990



Rusell, Bertrand. History of Western Phiolosophy and its Connection with Political and Sosial Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk dengan judul Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Syarifuddin, Amir. Usul Fiqh, Jilid I. Cet. I, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya. Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Al-Syahrastaniy, Abu al- Fath Muhammad bin ‘Abd al- Karim. Al- Milal wa al- Nihal, Juz I Cet. II, Bayrut: Dar al- Kutub al- Ilmiyyah, 1413 H/1992 M.

Suseno SJ, Franz Magnis.“Sumbangan Filsafat Agama di Indonesia,” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution. Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989.

Syah, Ismail Muhammad. Filsafah Hukum Islam. Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Uchrowi, Zaim dan Ahmadie Thaha. “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah.” Dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution. Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989.

Watt, W. Montgomery. The Influence of Islam on Medieval Europe. Diterjemahkan oleh Hendro Prasetyo dengan judul Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Cet. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah,. Cet. X, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.




[1]M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Cet. III, Yogya-karta: Pustaka pelajar, 2002), h. vi.

[2]M. Nurcholish Madjid, at al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000), h. 306.

[3]Lihat Departemen Agama R.I, Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: CV Anda Utama, 1993), h. 348. Lihat pula Riwayat Hidup Harun Nasution dalam Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986), h. 157. Lihat pula Zaim Uchrowi dan Ahmadie Thaha, “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah,” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution (Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989), h. 3-22.

[4]Ibid.

[5]Lihat Departemen Agama R.I, op. cit., h. 349.

[6]Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1985), h. 113.

[7]Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet. VI, Bandung: Mizan, 2000), h. 33.

[8]Lihat Harun Nasution, Akal dan wahyu Dalam Islam (Cet. II, Jakarta: UI Press, 1986), h. 34. Lihat pula dengan Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, Jilid I (Cet. I, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 102. Lihat pula Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 79-80.

[9]Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Cet. X, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 183.

[10]Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, op.cit., h. 81-82.

[11]Lihat Deliar Noer, “Harun Nasution Dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia,” dalam Refleksi Pembaharuan, h. 83.

[12]Panitia Penyusun Biografi Ibrahim Hossen, Ibrahim Hossen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I, Jakarta: CV Putra Harapan, 1990), h. 118-119.

[13]Lihat Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al Ghazali Masalah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam (Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 17-18.

[14]Harun Nasution, Islam Rasional, …op. cit.,h. 33.

[15]Ibid., h. 139.

[16]Ibid., h. 139-140.

[17]Ibid., h. 142,146.

[18]Harun Nasution, Akal…op. cit., h. 98.

[19]Harun Nasution, Islam Rasional…op. cit., h. 303. Bandingkan dengan Abu al- Fath Muhammad bin ‘Abd al- Karim al- Syahrastaniy, Al- Milal wa al- Nihal, Juz I (Cet. II, Bayrut: Dar al- Kutub al- Ilmiyyah, 1992/1413H), h. 81.

[20]Lihat W. Montgomery Watt, The Influence of Islam on Medieval Europe, diter-jemahkan oleh Hendro Prasetyo dengan judul Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan (Cet. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 1-2. Lihat pula Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1985), h. 74-75.

[21]Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13.

[22]Franz Magnis-Suseno SJ, “Sumbangan Filsafat Agama di Indonesia,” dalam Refleksi, h. 183.

[23]Lihat Bertrand Rusell, History of Western Phiolosophy and its Connection with Political and Sosial Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, diter-jemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk dengan judul Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 1020.

[24]Harun Nasution, Islam Rasional, h. 400. Bandingkan dengan Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa Dalam Al Qur’an (Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000), h. 1x.

[25]Ibrahim Mousa, “Kata Pengantar,” dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan Dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam (Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 30.

[26]Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama Islam (Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 171.

[27]Harun Nasution, Islam Rasional…op. cit.,, h. 385.

[28]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Lihat pula Ismail Muhammad Syah, Filsafah Hukum Islam (Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 113-121.

[29]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam…op. cit., h. 208.

[30]Mulyadhi Kartanegara, “Membangun Kerangka Ilmu: Perspektif Historis,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, 2000), h. 246.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar