SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Selasa, 15 Januari 2013

Ekonomi Islam (Teori dan Praktek) Muhammad Abdul Mannan (Resensi Buku)



Muhammad Abdul Mannan lahir di Bangladesh tahun 1938. Pada tahun 1960, ia mendapat gelar Master di bidangEkonomi dari Rajashi University dan bekerja di Pakistan. Tahun 1970, ia meneruskan belajar di Michigan State University dan mendapat gelar Doktor pada tahun 1973. Setelah mendapat gelar doctor, Mannan mengajar di Papua Nugini. Pada tahun 1978, ia ditunjuk sebagai Profesor di International Centre for Research in Islamic Economics di Jeddah.
Sebagian karya Abdul Mannan adalah Islamic Economics, Theory and Practice, Delhi, Sh. M. Ashraf, 1970. Buku ini oleh sebagian besar mahasiswa dan sarjana ekonomi Islam dijadikan sebagai buku teks pertama ekonomi Islam. Penulis memandang bahwa kesuksesan Mannan harus dilihat di dalam konteks dan periode penulisannya. Pada tahun 1970-an, ekonomi Islam baru sedang mencari formulanya, sementara itu Mannan berhasil mengurai lebih seksama mengenai kerangka dan ciri khusus ekonomi Islam. Harus diakui bahwa pada saat itu yang dimaksud ekonomi Islam adalah fikih muamalah.
Seiring dengan berlalunya waktu, ruang lingkup dan kedalaman pembahasan ekonomi Islam juga berkembang. Hal tersebut mendorong Abdul Mannan menerbitkan buku lagi pada tahun 1984 yakni The Making of Islamic Economiy. Buku tersebut menurut Mannan dapat dipandang sebagai upaya yang lebih serius dan terperinci dalam menjelaskan bukunya yang pertama.
Sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan pada beberapa sumber hukum, yaitu :
• Al Qur’an
• Sunnah Nabi
• Ijma’ dan atau Qiyas
• Sumber hukum Lainnya


Dari sumber-sumber Hukum Islam di atas, ia merumuskan Langkah-langkah operasional untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam yaitu:
1. Menentukan basic economic functions yang secara umum ada dalam semua sistem tanpa memperhatikan ideologi yang digunakan, seperti fungsi konsumsi, produksi dan distribusi.
2. Menetapkan beberapa prinsip dasar yang mengatur basic economic functions yang berdasarkan pada syariah dan tanpa batas waktu (timeless), misal sikap moderation dalam berkonsumsi.
3. Mengidentifikasi metode operasional berupa penyusunan konsep atau formulasi, karena pada tahap ini pengembangan teori dan disiplin ekonomi Islam mulai dibangun. Pada tahap ini mulai mendeskripsikan tentang apa (what), fungsi, perilaku, variable dan sebagainya.
4. Menentukan (prescribe) jumlah yang pasti akan kebutuhan barang dan jasa untuk mencapai tujuan (yaitu: moderation) pada tingkat individual atau aggregate.
5. Mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah keempat. Langkah ini dilakukan baik dengan pertukaran melalui mekanisme harga atau transfer payments.
6. Melakukan evaluasi atas tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau atas target bagaimana memaksimalkan kesejahteraan dalam seluruh kerangka yang ditetapkan pada langkah kedua maupun dalam dua pengertian pengembalian (return), yaitu pengembalian ekonomi dan non-ekonomi, membuat pertimbangan-pertimbangan positif dan normatif menjadi relatif tidak berbeda atau tidak penting.
7. Membandingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah dengan pencapaian yang diperoleh (perceived achievement). Pada tahap ini perlu melakukanreview atas prinsip yang ditetapkan pada langkah kedua dan merekonstruksi konsep-konsep yang dilakukan pada tahap ketiga, keempat dan kelima.
Tahapan-tahapan yang ditawarkan cukup konkrit dan realistik. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa dalam melihat ekonomi Islam tidak ada dikotomi antara aspek normatif dengan aspek positif. Tidak jarang para pemikir ekonomi Islam masih terjebak dalam dikotomi ini. Aliran normatif biasanya lebih mengedepankan pembahasan ekonomi Islam pada literatur historis dan terpaku pada literatur dan historis tersebut. Akibatnya ekonomi Islam seperti menjadi kumpulan teks yang mati dan tidak bisa mengikuti perkembangan serta tidak mampu menjawab berbagai problematika yang ada saat ini. Kalaupun dipaksakan menjawab tantangan zaman yang terus berkembang, solusinya cenderung kaku dan bahkan sering tidak solutif. Sementara itu, aliran positifisme lebih mengedepankan problem yang ada saat ini dengan penyelesaian ekonomi Islam yang kadang memaksakan ayat dan dalil yang tidak sesuai dengan solusi Islam itu sendiri. Akibatnya, banyak bermunculan transaksi-transaksi yang tidak sesuai dengan hukum syara’ yang dipaksakan untuk sesuai dengan hukum syara’ dengan cara dicarikan dalil dan pendekatan-pendekatan tertentu yang seakan-seakan sesuai dengan hukum syara.
Mannan secara jelas tidak terjebak dalam dua dikotomi tersebut. Secara jelas Mannan mengatakan, “ilmu ekonomi positif mempelajari masalah-masalah ekonomi sebagaimana adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa seharusnya (ought to be). Penelitian ilmiah ekonomi modern (Barat) biasanya membatasi diri pada masalah positif daripada normatif
Demikianlah fakta yang terjadi, beberapa ekonom muslim juga mencoba untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu positif dengan normatif, sehingga dengan cara demikian mereka membangun analisa ilmu ekonomi Islam dalam kerangkapemikiran Barat. Sedangkan ekonom yang lain mengatakan secara sederhana bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu normatif.
Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek positif dan normatif dari ilmu ekonomi Islam saling terkait sehingga segala upaya memisahkan kedua aspek ini akan menyesatkan dan menjadi counter productive.
Asumsi Dasar Ekonomi Islam
Beberapa asumsi dasar dalam ekonomi Islam, sebagai berikut:
 Pertama, Mannan tidak percaya kepada “harmony of interests” yang terbentuk oleh mekanisme pasar seperti teori Adam Smith. Sejatinya harmony of interests hanyalah angan-angan yang utopis karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai naluri untuk menguasai pada yang lain. Hawa nafsu ini jika tidak dikendalikan maka akan cenderung merugikan pada yang lain. Begitulah kehidupan kapitalistik yang saat ini tengah terjadi, di mana kepentingan pihak-pihak yang kuat secara faktor produksi dan juga kekuasaan mendominasi percaturan kehidupan. Oleh karena itu, Mannan menekankan pada perlunya beberapa jenis intervensi pasar. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia secara pribadi tidak bisa menciptakan keadilan yang sesungguhnya. Manusia cenderung menindas pada manusia yang lain. Oleh karena itu, ekonomi Islam diharapkan akan bekerja pada perpotongan antara mekanisme pasar dan perencanaan terpusat.
Kedua, penolakannya pada Marxis. Teori perubahan Marxis tidak akan mengarah pada perubahan yang lebih baik. Teori Marxis hanyalah reaksi dari kapitalisme yang jika ditarik garis merah tidak lebih dari solusi yang tidak tuntas. Bahkan, lebih jauh teori Marxis ini cenderung tidak manusiawi karena mengabaikan naluri manusia yang fitrah, di mana setiap manusia mempunyai kelebihan antara satu dan lainnya dan itu perlu mendapatkan reward yang berarti. Dia berpendapat, hanya ekonomi Islam yang dapat memberikan perubahan yang lebih baik. Alasan utama Mannan adalah karena ekonomi Islam memiliki nilai-nilai etika dan kemampuan motivasional. Tetapi, Mannan tidak menjelaskan perbedaan nilai etika Islam dan kemampuan motivasional tersebut dengan nilai-nilai Marxis beserta motivasinya.
Ketiga, Mannan menyebarkan gagasan perlunya melepaskan diri dari paradigma kaum neoklasik positivis, dengan menyatakan bahwa observasi harus ditujukan kepada data historis dan wahyu. Argumen ini sebenarnya bertolak belakang dari agumennya sendiri untuk meninggalkan paradigma kaum neoklasik yang mendasarkan pada historis. Hanya saja, Mannan lebih jauh menampilkan “wahyu” sebagai penunjukan dan pelengkap dalam arah observasi ekonomi. Jadi, rupanya Mannan sangat menaruh perhatian pada norma wahyu dalam setiap observasi ekonominya. Ini dapat dipahami bahwa ekonomi Islam dibangun dari pondasi utama yaitu dalil-dalil syara’ yang notabenenya sebagai wahyu. Oleh karena itu, semua observasi ekonomi yang meninggalkan wahyu akan kehilangan ruh dari ekonomi Islam tersebut.
Keempat, Mannan menolak gagasan kekuasaan produsen atau kekuasaan konsumen. Hal tersebut menurutnya akan memunculkan dominasi dan eksploitasi. Dalam kenyataan, sistem kapitalistik yang ada saat ini dikotomi kekuasaan produsen dan kekuasaan konsumen tak terhindarkan. Oleh karena itu, Mannan mengusulkan perlunya keseimbangan antara kontrol pemerintah dan persaingan dengan menjunjung nilai-nilai dan norma-normasepanjang diizinkan oleh syariah. Hanya saja, mekanisme kontrol dengan upaya menjunjung nilai-nilai dan norma yang sesuai dengan syariah belum dijabarkan dengan baik. Artinya, mekanisme ini akan sangat beragam sesuai dengan persepsi dan sistem kekuasaan yang ada di tiap-tiap negara.
Kelima, dalam hal pemilikan individu dan swasta, Mannan berpendapat bahwa Islam mengizinkan pemilikan swasta sepanjang tunduk pada kewajiban moral dan etik. Dia menambahkan bahwa semua bagian masyarakat harus memiliki hak untuk mendapatkan bagian dalam harta secara keseluruhan. Namun, setiap individu tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan yang dimilikinya dengan cara mengeksploitasi pihak lain. Pandangan Mannan ini masih bersifat normatif. Mannan dalam beberapa tulisannya belum menjelaskan secara gamblang cara, instrumen dan sistem yang dia pakai sehingga keharmonisan ekonomi Islam di masyarakat dapat terwujud. Misalnya, Mannan belum membedakan sifat dari kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara, serta hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan intervensi dari ketiganya. Hanya saja Mannan telah menjelaskan norma bahwa kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada tangan orang-orang kaya saja. Menurutnya, zakat dan shadaqah memegang peranan penting untuk memainkan peranan distributifnya, sehingga paham kapitalis yang mengarah pada individualisme tidak ada dalam ekonomi Islam.
Keenam, dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, langkah pertama Mannan adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi, yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Ada lima prinsip dasar yang berakar pada syariah untuk basic economic functions berupa fungsi konsumsi, yakni prinsip righteousness, cleanliness, moderation, beneficence dan morality. Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara umum adalah kebutuhan manusia yang terdiri dari necessities, comforts dan luxuries.
Pada setiap aktivitas ekonomi, aspek konsumsi selalu berkaitan erat dengan aspek produksi. Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan menyatakan bahwa sistem produksi dalam negara (Islam) harus berpijak pada kriteria obyektif dan subyektif. Kriteria obyektif dapat diukur dalam bentuk kesejahteraan materi, sedangkan kriteria subyektif terkait erat dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dicapai berdasarkan syariah Islam. Jadi, dalam sistem ekonomi kesejahteraan tidak semata-mata ditentukan berdasarkan materi saja, tetapi juga harus berorientasi pada etika Islam. Hal ini berbeda dengan pandangan kapitalistik yang berorientasi pada materi untuk mengukur kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam pendekatan kapitalistik, azas yang dipakai adalah pemenuhan kebutuhan materi secara melimpah dengan prinsip produk, to product and to product. Akibat dari azas dan prinsip ini, maka telah muncul masyarakat pembosan dan cenderung mencari materi secara terus menerus sehingga sering kali makna kebahagiaan dan kesejahteraan yang sesungguhnya menjadi kabur. Islam tidak menekankan yang demikian, namun, lebih menekankan pada keseimbangan antara pemenuhan materi dan senantiasa berorientasi pada prinsip dan etika Islam. Dalam Islam, halal dan haram menjadi standar utama dalam melakukan aktifitas ekonomi dan aktifitas lainnya.
Aspek penting lainnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan. Mannan mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok masyarakat saja melalui implementasi kewajibanyang dijustifikasi secara Islam dan distribusi yang dilakukan secara sukarela.
Kerangka Institusional Ekonomi Islam
Berdasarkan asumsi dasar di atas, Mannan membahas sifat, ciri dan kerangka institusinal ekonomi Islam, sebagai berikut:
Pertama, keterpaduan antara individu, masyarakat dan negara. Abdul Mannan menekankan bahwa ekonomi berpusat pada individu, karena menurutnya, masyrakat dan negara ada karena adanya individu. Oleh karena itu, ekonomi Islam harus digerakkan oleh individu yang patuh pada agama dan bertanggung jawab pada Allah swt dan masyarakat. Menurutnya, kebebasan individu dijamin oleh control social dan agama. Kebebasan individu adalah kemampuan untuk menjalankan semua kewajiban yang digariskan oleh syariah. Mannan menjamin tidak ada konflik antara individu, masyarakat dan negara, karena syariah telah meletakkan peranan dan posisi masing-masing dengan jelas. Bahkan, antara kebebasan individu dan kontrol masyarakat dan negara akan saling melengkapi, karena mempunyai tujuan dan maksud baik yang bersama-sama diupayakan dalam menjalankan sistem ekonomi Islam.
Kedua, mekanisme pasar dan peran negara. Dalam upaya pencapaian titik temu antara sistem harga dengan perencanaan negara, Mannan mengusulkan adanya bauran yang optimal antara persaingan, kontrol yang terencana dan kerjasama yang bersifat sukarela. Mannan tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana bauran ini dapat tercipta. Sekali lagi Mannan telah memunculkan pemikiran normatif elektis yang masih sangat membutuhkan tindakan kongkrit untuk merelaisasikan norma tersebut dengan teknik-teknik dan pendekatan tertentu. Tetapi yang jelas, Mannan tidak setuju dengan mekanisme pasar saja untuk menentukan harga dan output. Hal itu akan memunculkan ketidakadilan dan arogansi.
Lebih jauh, Mannan menegaskankan bahwa permintaan efektif yang mendasari mekanisme pasar dan ketidakmerataan pendapatan akan mengakibatkan gagalnya mekanisme pasar dalam penyediaan kebutuhan dasar untuk kepentingan permintaan kelompok kaya. Oleh karena itu, Mannan mengusulkan konsep kebutuhan efektif untuk menggantikan konsep permintaan efektif..
Ketiga, kepemilikan swasta yang bersifat relatif dan kondisional. Isu dasar dari setiap pembahasan ekonomi, termasuk juga ekonomi Islam adalah masalah kepemilikan. Dalam hal ini, Mannan mendukung pandangan yang menyatakan bahwa kepemilikan absolut terhadap segala sesuatu hanyalah pada Allah swt saja. Manusia dalam posisinya sebagai khalifah di muka bumi bertugas untuk menggunakan semua sumberdaya yang telah disediakan oleh-Nya untuk kebaikan dan kemaslahatannya.
Kepemilikan resmi diakui keberadaannya menurut Islam, namun legitimasi kepemilikan itu tidaklah mutlak. Dalam legitimasi kepemilikan tersebut terdapat kewajiban-kewajiban moral, agama dan kemasyarakatan dari individu yang bersangkutan.
Mannan mengusulkan pandangannya untuk mengatur kepemilikan oleh swasta antara lain; tidak boleh ada aset yang menganggur, pembayaran zakat, penggunaan yang menguntungkan, penggunaan yang tidak membahayakan, pemilikan kekayaan secara sah, penggunaan yang seimbang (tidak boros dan juga tidak kikir), distribusi returns yang tepat, tidak boleh terjadi konsentrasi kekayaan dan penerapan Hukum Islam tentang warisan. Sebagai konsekwensi dari tawaran Mannan ini, maka setiap pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut membuka peluang campur tangan negara. Namun, Mannan tidak menyebutkan secara detail apakah individu yang melanggar itu masih boleh memegang hak miliknya atau kehilangan haknya.
Keempat, implementasi zakat. Mannan memandang bahwa zakat merupakan sumber utama penerimaan negara, namun tidak dipandang sebagai pajak melainkan lebih sebagai kewajiban agama, yaitu sebagai salah satu rukun Islam. Karena itulah maka zakat merupakan poros keuangan negara Islam. Sungguhpun demikian, beberapa pengamat ekonomi Islam melakukan kritik terhadap zakat yang menyatakan bahwa sekalipun dalam konotasi agama, kaum muslimin berupaya menghindari pembayaran zakat itu.
Zakat bersifat tetap dan para penerimanya juga sudah ditentukan (asnaf delapan). Zakat tidak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motifasi kerja. Justru zakat menjadi pendorong kerja, karena tak seorangpun ingin menjadi penerima zakat sehingga ia rajin bekerja agar menjadi orang yang senantiasa membayar zakat. Selain itu, jika seseorang membiarkan hartanya menganggur, maka ia akan semakin kehilangan hartanya karena dikurangi dengan pengeluaran zakat tiap tahun. Oleh karena itu, ia harus bekerja dan hartanya harus produktif.
kedudukan zakat dalam kebijakan fiskal perlu dikaji lebih mendalam. Salah satunya dengan melakukan penelusuran sejarah masyarakat muslim sejak masa Rasulullah saw sampai sekarang. Hal itu penting karena zakat memiliki dua fungsi, yaitu fungsi spiritual dan fungsi sosial (fiskal). Fungsi spiritual merupakan tanggungjawab seorang hamba kepada Tuhannya yang mensyariatkan zakat. Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang dimainkan zakat untuk membiayai proyek-proyek sosial yang dapat juga diteruskan dalam kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara.
Kelima, pelarangan riba. Sistem ekonomi Islam melarang riba. Seperti juga ahli ekonomi yang lainnya, Mannan sangat menekankan penghapusan sistem bunga dalam sistem ekonomi Islam.
Sehubungan dengan permasalahan bunga ini, Mannan memberi aternatif dengan mengalihkan sistem bunga kepada sistem mudhrabah, yang menurutnya merupakan bagi laba (rugi) dan sekaligus partisipasi berkeadilan. Dengan mudhrabah, tidak saja semangat Qur’ani akan lebih terpenuhi, namun, pada saat yang sama penciptaan lapangan kerja dan pembangkitan kegiatan ekonomi akan lebih sejalan dengan norma kerja sama menurut Islam. Tentu saja tawaran Mannan tidak sebatas pada alternatif penggunaan akad mudhrabah saja, namun, disertai pula tawaran transaksi lainnya, mulai mushyrakah, ijarah, kafalah, wakalah, dan sebagainya.
Keadilan dalam Distribusi Sebagai Basis
Mannan memandang kepedulian Islam secara realistis kepada si miskin demikian besar sehingga Islam menekankan pada distribusi pendapatan secara merata dan merupakan pusat berputarnya pola produksi dalam suatu negara Islam. Mannan berpendapat bahwa distribusi merupakan basis fundamental bagi alokasi sumber daya.
Selanjutnya, Mannan menegaskan bahwa distribusi kekayaan muncul karena pemilikan orang pada faktor produksi dan pendapatan tidak sama. Oleh karena itu, sebagian orang memiliki lebih banyak harta daripada yang lain adalah hal yang wajar, asalkan keadilan manusia ditegakkan dengan prinsip kesempatan yang sama untuk mengakses faktor produksi bagi semua orang. Jadi, seseorang tetap dapat memperoleh surplus penerimaannya asal ia telah menunaikan semua kewajibannya. Lebih jauh, Mannan menyatakan bahwa dalam ekonomi Islam, inti masalah bukan terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar, melainkan terletak pada ketidakmerataan distribusi kekayaan.
Pembahasan tentang kepemilikan yang paling menonjol dibahas oleh Mannan adalah tentang kepemilikan tanah sebagai salah satu faktor produksi yang paling penting. Menurut Mannan, secara umum tanah dapat dimiliki melalui kerja seseorang. Mannan juga berpendapat bahwa seorang penggarap juga punya hak atas kepemilikan tanah. Implikasi dari pendapatnya itu, maka pemilik tanah diperbolehkan untuk menyewa maupun berbagi hasil tanaman, sekalipun ia lebih setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa tanah sebaiknya tidak disewakan dan lebih baik digarap dengan sistem bagi hasil.
Berkaitan dengan landlordism, Mannan memberikan kritikannya terhadap sewa tanah tersebut karena hal itu dapat mengarah kepada penciptaan kelas kapitalistik dan dapat menjadi ancaman bagi penciptaan masyarakat di negara Islam yang berkeadilan. Mannan menambahkan bahwa penciptaan kelas kapitalistik juga mengancam etika dan moral Islam. Namun demikian, Mannan memunculkan ambigu pada paparannya yang menyatakan bahwa “Islam tidak mengenal eksploitasi pekerja dengan modal, dan tidak pula Islam menyetujui penghapusan kelas kapitalis
Kritikan Mannan pada teori distribusi neoklasik lebih ditekankan pada perlakuan distribusi sebagai perluasan dari teori harga, terutama menyangkut masalah distribusi fungsional pendapatan. Namun, sekali lagi kritikan ini menimbulkan ambigu karena Mannan juga mengakui adanya empat faktor produksi serta menguraikan mengapa masing-masing faktor produksi layak mendapat imbalan. Mannan mengakui upah, sewa dan laba, namun, mengkritik bunga sebagai imbalan dari modal. Dia tidak menjelaskan lebih jauh mekanisme perolehan pendapatan dari imbalan faktor produksi modal tersebut dengan tidak merugikan pekerja.
Ada pertanyaan menarik kalau kita cermati pendapat Mannan dalam hal distribusi, yaitu jika ketidakmerataan diperbolehkan dan sifatnya alamiah, maka sampai batas mana ketidakmerataan tersebut dapat ditolelir ? Sehubungan dengan hal ini, Mannan hanya menjelaskan bahwa hal itu tergantung pada tahap dan tingkat perkembangan sosio ekonomi dan kondisi kehidupan nyata masyarakat. Dia menambahkan bahwa asalkan kebutuhan dasar sudah terjamin bagi semua orang, maka ketidakmerataan dapat ditolelir
Produksi sebagai Upaya Mensejahterakan Masyarakat
Mannan berpendapat bahwa produksi terkait dengan utility atau penciptaan nilai guna. Agar dapat dipandang sebagai utility dan mampu meningkatkan kesejahteraan, maka barang dan jasa yang diproduksi harus berupa hal-hal yang halal dan menguntungkan, yaitu hanya barang dan jasa yang sesuai aturan syariah. Menurut Mannan, konsep Islam mengenai kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui peningkatan produksi barang yang baik saja, melalui pemanfaatan sumber-sumber tenaga kerja dan modal serta alam secara maksimal maupun melalui partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses produksi
Pandangan Mannan yang menekankan pada kualitas, kuantitas dan maksimalisasi dan partisipasi dalam proses produksi, menjadikan rumah tangga produksi memiliki fungsi yang berbeda dalam ekonomi. Rumah tangga produksi atau firm bukan hanya sebagai pemasok komoditas, namun juga sebagai penjaga kebersamaan antara pemerintah bagi kesejahteraan ekonomi dan masyarakat.
Lebih jauh, pendapat Mannan ini akan berimplikasi pada tujuan rumah tangga produksi yang tidak saja hanya memaksimalkan laba, namun juga harus memperhatikan moral, sosial dan kendala-kendala institusional. Menurut Abdul Mannan, gabungan dari motif laba, kebersamaan dan tanggung jawab sosial, serta dorongan moral akan memacu proses produksi dan distribusi menjadi maksimal.
Dalam sistem ekonomi Islam, surplus produksi diperlukan sebagai persediaan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang cenderung rakus dengan konsentrasi kekayaan pada mereka yang mampu menguasai faktor produksi. Ekonomi Islam menekankan pada individu dan pemerintah untuk berperan banyak dalam kegiatan produksi.
Sementara itu, proses produksi menurut Mannan adalah usaha bersama antara anggota masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kesejahteraan ekonomi mereka. Kebersamaan anggota masyarakat jika diaplikasikan dalam lingkungan ekonomi akan menghasilkan lingkungan kerjasama dan perluasan sarana produksi, bukan konsentrasi dan eksploitasi sumber daya dan faktor produksi lainnya. Keadaan demikian akan menimbulkan efisiensi. Barang tidak akan dihasilkan dengan mempertimbangkan permintaan efektif, namun berdasarkan kebutuhan efektif, yaitu kebutuhan yang didefinisikan menurut rambu-rambu norma dan nilai-nilai Islam.
Tahap akhir dari pandangan Mannan tentang produksi adalah produksi sebagai suatu proses sosial. Mannan mengajukan gagasannya bahwa penawaran harus berdasarkan kapasitas potensial yang akan mengakomodasi pemberian kebutuhan dasar kepada semua anggota masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah (miskin). Berdasarkan asumsi ini maka produsen tidak hanya melakukan reaksi dari harga pasar, melainkan juga atas perencanaan nasional untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, pembagian kerja dan spesialisasi untuk berproduksi harus berjalan secara efisien dan adil serta secara konstan menekankan perlunya humanisasi proses produksi.





3 komentar:

  1. saya cari buku ini di berbagai tempat sudah tidak ada -_-

    BalasHapus
  2. Yg ada buku ini dimana yaa. Mohon infonya. Kalau ada mau saya beli.

    BalasHapus