SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Sabtu, 26 Januari 2013

Kepemilikan Swasta Dalam Islam Menurut Perspektif Rahbar

Kebebasan Ekonomi Dalam Islam

Aktivitas perekonomian di tengah masyarakat Islam adalah kegiatan yang bebas. Tapi kebebasan ini tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Pada prinsipnya, batasan selalu ada bagi setiap perbuatan dan aktivitas. Hanya saja, batasan-batasan ini dalam ajaran Islam memiliki ciri khas sendiri. Masyarakat sosialis juga menerapkan pembatasan untuk kepemilikan harta benda dan kekayaan. Tapi pembatasannya berbeda dengan pembatasan dalam Islam. Dalam masalah kebebasan aktivitas perekonomian, boleh dikata bahwa perbedaan Islam dengan komunisme dan Marxisme sama tajamnya dengan perbedaan Islam dengan paham kapitalisme yang dianut dan diterapkan di Barat. Kapitalisme dalam pengertiannya yang berlaku di Barat sama sekali tidak dibenarkan oleh Islam. Dalam banyak hukumnya, Islam bahkan resisten terhadap kapitalisme.
Ekonomi Islam sama sekali tidak mengadopsi sistem kapitalisme Barat dan dunia secara umum. Pada masyarakat Islam, batasan untuk setiap kebebasan beraktivitas adalah ketentuan haram oleh hukum fikih bagi sejumlah tindakan dan kegiatan. Contohnya adalah praktik riba, transaksi berbau manipulasi, kejahilan, dan penipuan, transaksi produk ilegal, dan praktik penimbunan. Dalam Islam ada sebagian barang haram diperjual-belikan. Contohnya ialah minuman keras dan barang-barang najis selain pada kasus-kasus tertentu. Islam juga mengharamkan tindakan pribadi ataupun swasta memperjual belikan barang-barang milik negara, kecuali pada kasus-kasus tertentu. Ada banyak lagi kegiatan yang hukumnya sudah jelas dalam fikih Islam. Kegiatan itu sendiri bebas tapi syariat Islam menentukan batasan dan hukumnya walaupun dalam banyak hal tidak terjangkau oleh kontrol pemerintah.
Kebebasan ekonomi dalam masyarakat Islam pengertiannya ialah bahwa pemerintahan (hukumah) atau pemerintah (daulah) Islam harus mengambil kebijakan dan menetapkan UU yang memberi peluang dan kemampuan kepada semua orang untuk melakukan aktivitas perekonomian secara bebas dan menikmati hasilnya. Ini menjadi salah satu ciri khas yang membedakan sistem perekenomian Islam dengan sistem yang berlaku di Barat. Pada maknanya yang sejati, perekonomian bebas mengharuskan pencegahan praktik monopoli kapitalis. Di tengah masyarakat harus tercipta kondisi dimana semua orang yang mampu bekerja dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata;

مَا رَأَيْتُ نِعْمَتاً مَوْفُوْرَتاً اِلاَّ وَ فِى جَانِبِهَا حَقٌّ مُضَيَّعٌ

Aku tidak pernah melihat kenikmatan melimpah kecuali di sisinya ada hak yang terabaikan."

Kata-kata dari sosok figur suci ini secara implisit mengandung makna yang sangat dalam dan substansial. Sepintas lalu orang akan mengira makna kalimat Imam Ali as ini ialah bahwa setiap kenikmatan yang melimpah tidak akan lepas dari hasil curian atau jarahan. Dengan asumsi demikian, orang tentu akan menyangkal kata-kata Amirul Mukminin tersebut dengan alasan bahwa tidak sedikit kekayaan diperoleh tidak melalui pencurian, penjarahan, korupsi, dan berbagai praktik ilegal lainnya, melainkan murni melalui kerja keras dan jerih payah sendiri.
Namun, makna kata-kata tersebut sebenarnya bukan demikian. Maksud kata-kata itu ialah bahwa ketika ada kenikmatan, harta, dan fasilitas, sesungguhnya kenikmatan besar itu sendiri telah memberi pemiliknya kesempatan lebih banyak untuk meraih pendapatan sehingga kesempatan sebanyak yang didapat oleh pemilik kekayaan tersebut tersisih dari orang lain. Dengan kata lain, pemilik kekayaan itulah orang yang menguasai modal besar untuk menghasilkan keuntungan serta memanfaatkan apa yang sesungguhnya lebih layak dimanfaatkan masyarakat jelata. Dengan demikian, orang kaya selalu saja lebih menguasai kesempatan dan fasilitas daripada orang biasa. Lahan bisnis selalu ada di tangannya. Hukum dan UU di sebagian besar negara bahkan lebih berpihak kepada para pemodal sehingga peluang bagi masyarakat kebanyakan menciut.
Atas dasar itu, makna kata-kata tersebut, entah itu dari Imam Ali as atau dari siapa saja, tetap benar. Makna kalimat tersebut menuntut kesadaran bahwa sistem perekomian bebas dalam masyarakat Islam bukan berarti bahwa kebebasan hanya ada di tangan para pelaku bisnis, melainkan juga harus dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Aktivitas perekonomian masyarakat banyak juga harus diberdayakan. Tatanan, UU, dan dinamika masyarakat harus dikondisikan sedemikian rupa agar seluruh anggota masyarakat yang masih produktif bisa ikut andil dan turut menikmati kegiatan ekonomi bebas.
Batas-Batas Kepemilikan Swasta Dalam Islam
Kepemilikan swasta dihargai dalam Islam, tetapi di saat yang sama Islam menentukan batasan baginya. Batasannya bukan dengan menentukan kepemilikan swasta dengan riyal, dolar, dinar, ataupun dirham. Kadar dan ukurannya tidak selalu sama. Kepemilikan swasta hanya dilimitasi oleh batasan yang bersifat situasional. Yaitu bahwa swasta boleh memiliki kekayaan sebanyak apapun selagi tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Sesuai kaidah لَاضَرَرَ وَلَا ضِرَار (tidak menimbulkan segala bentuk kerugian), kepemilikan swasta akan diperkarakan jika sampai menimbulkan kerugian kolektif bagi masyarakat Islam. Kepemilikan swasta akan dihormati selagi tidak menimbulkan implikasi berupa, misalnya, penimbunan, gaya hidup berlebihan, eksploitasi, diskriminasi, penodaan harkat dan martabat manusia, dan antagonisme orang-orang kaya. Yang buruk bukanlah kepemilikan swasta, melainkan eksploitasi, antagonisme, glamorisme, dan elitisme. Kepemilikan swasta akan menjadi fenomena buruk jika berdampak pada perilaku-perilaku negatif tersebut. Inilah batasan kepemilikan swasta. Islam memerangi perilaku tersebut. Islam tidak menghendaki adanya manusia-manusia berperilaku glamor dan elitis. Karena itu, Islam memperkenankan pemerintah Islam melakukan upaya pencegahan glamorisme, elitisme, eksploitasi, diskriminasi, antagonisme, penimbunan, dan seterusnya. Islam memberi mandat kepada pemerintah Islam untuk menerapkan hukum yang tegas guna mencegah perilaku-perilaku negatif dan merugikan.
Pemerintahan Islam mengakui hak kepemilikan swasta sebagaimana ia menerima kegiatan bisnis setiap warganya. Namun, dinamika masyarakat harus mengarah kepada kesejahteraan umum dan terpenuhinya semua kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Di saat yang sama, sesuai tuntutan ekonomi bebas Islam, tanggungjawab urusan ekonomi masyarakat juga terpikul di pundak masyarakat sendiri.
Infak Dalam Sistem Perekonomian Islam
Dalam tatanan Islam, setiap warga tanpa harus menjadi pejabat pemerintah berhak melakukan kegiatan ekonomi bebas. Setiap warga diperkenankan bekerja dan berusaha untuk memperoleh pendapatannya sendiri. Di saat yang sama, kevakuman finansial dan perekonomian di tengah masyarakat harus diisi oleh anggota masyarakat sendiri. Inilah makna infak yang tertera dalam kitab suci al-Quran. Infak adalah implikasi dari kegiatan perekonomian bebas yang ada di tengah masyarakat. Warga yang berkemampuan menghasilkan pendapatan harus memikirkan kebutuhan-kebutuhan yang ada di tengah masyarakat. Celah-celah kosong harus diisi. Infak sendiri menyiratkan makna mengisi celah-celah kosong tersebut.
Infak adalah satu masalah prinsipal dalam Islam. Infak, memberikan sebagian harta, penanganan masalah kebutuhan ekonomi, dan mengisi celah-celah perekonomian terpikul langsung di pundak rakyat dan setiap warga yang memiliki kegiatan perekonomian bebas. Dalam masyarakat Islam, jika suatu musibah terjadi dan pemerintah memerlukan dana, maka rakyat harus membantu pemerintah. Contohnya adalah jika terjadi perang besar, wabah penyakit, dan kejadian luar biasa lainnya, Islam berpandangan bahwa rakyat harus turut mengisi segala kekurangan yang ada sesuai kemampuan masing-masing. Karena kemampuan rakyat berbeda-beda, maka pihak yang lebih mampu lebih dituntut untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Mengumpulkan harta tanpa disertai infak dipandang Islam sebagai sikap asusila, dosa, dan bahkan bisa jadi dosa besar. Boleh mengumpulkan harta dengan modal yang sah dan mubah bukan berarti menghalalkan seseorang menyimpan hartanya tanpa disertai kepedulian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kepada bantuannya. Sebaliknya, dia berkewajiban menggunakan hartanya untuk kepentingan umum dan di jalan Allah Swt.
Sekali lagi, infak adalah masalah yang prinsipal dalam Islam. Orang kaya harus menyisihkan sebagian hartanya di jalan Allah Swt. Islam tidak melarang seseorang berbisnis dan meraih pendapatan maksimal, tapi harta yang diraih juga harus digunakan di jalan Ilahi. Islam menyerukan kepada manusia untuk membiasakan diri dengan konsumsi sesuai kebutuhan rata-rata. Manusia boleh hidup nyaman dan mapan, tetapi jika ada kelebihan harta maka harus disumbangkan untuk kepentingan masyarakat umum. Islam mencela orang kaya yang bergaya hidup glamor, hedonis, bermewah-mewahan, entah itu dalam cara berpakaian, mengkonsumsi makanan, ataupun berkendara. Islam mencemooh orang yang gemar menimbun harta tanpa dibarengi dengan infak. Sikap demikian bahkan haram di mata Islam.

Allah Swt berfirman dalam al-Quran;

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ، الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ

"Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir." (QS. 57.23-24)


Orang yang kikir akan memotivasi orang lain untuk bersikap kikir dan enggan berinfak di jalan Allah. Dia sendiri juga enggan menyumbangkan hartanya di jalan Allah. Kekikiran ini bukan hanya berarti keengganan memenuhi kewajiban syariat, tetapi juga keengganan memenuhi kewajiban sosial, yaitu keengganan seseorang membantu memenuhi kebutuhan masyarakat meskipun harta yang dimilikinya jauh melebihi kadar kebutuhannya. Yang lebih celaka lagi adalah keengganan seseorang membantu kebutuhan masyarakat padahal dia bisa kaya adalah karena memanfaatkan fasilitas umum masyarakat. Islam tidak menghendaki sikap-sikap demikian.
Dalam ayat suci al-Quran lainnya disebutkan;

 وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

" Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, siksa yang pedih." (QS. 9.34)

Ayat ini berkenaan bukan hanya dengan emas dan perak, melainkan untuk segala bentuk barang dan harta benda semisal uang dan modal. Orang yang menyimpan harta benda dalam bentuk apapun hanya untuk kenikmatannya sendiri tanpa disertai kepedulian untuk mengatasi kebutuhan masyarakat kepada bantuannnya atau dia enggan menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah maka dia tergolong ke dalam "orang-orang yang menyimpan emas dan perak". Ancaman Allah Swt kepada mereka berupa "siksa yang pedih" menunjukkan bahwa kekikiran adalah satu dosa besar. Tidak mungkin sebuah perbuatan dan sikap akan mendapat azab yang pedih kalau bukan merupakan dosa besar. Azab yang pedih itu bisa jadi menimpa bukan hanya di akhirat, tetapi juga di dunia ini. Hanya saja, azab di dunia biasanya terjadi sebagai akibat alamiah dari perbuatan si kikir sehingga pedihnya juga dirasakan oleh orang-orang lain. Dengan demikian, infak adalah satu kewajiban yang harus ditunaikan. (IRIB Indonesia / Khamenei / SL)

Pemanfaatan Sektor Swasta di Bidang Kerja dan Produksi

Sektor swasta harus dimotivasi untuk terjun ke medan kerja dan produksi. Persentase pusat-pusat produksi negara yang dikuasai pemerintah sangat tinggi. Kapasitasnya sudah ditentukan oleh UUD, tapi kenyataannya masih lebih rendah dari yang seharusnya. Salah urus dan kebijakan seringkali menjadi sebab tumpang tindihnya sektor-sektor pemerintah. Karena itu, di luar bidang-bidang yang sudah ditegaskan UUD sebagai milik pemerintah dan harus dikelola oleh pemerintah, sektor swasta harus dilibatkan di gelanggang kerja dan produksi. Namun, swastanisasi di sini bukan berarti bahwa unit-unit pemerintah akan diserahkan kepada swasta dengan mutu, harga, dan kebijakan apapun tanpa mengindahkan masalah penghematan bagi negara. Sebaliknya, makna swastanisasi hanya sebatas bahwa pemilik modal harus dimotivasi sedemikian rupa yang sekiranya dapat terlibat tanpa mengusik kepentingan negara. Proses ini harus dilakukan secara selektif dan penuh pertimbangan apakah pihak-pihak yang akan dilibatkan memang kompeten dan kompetitif dalam berproduksi. Jika sudah dinilai kompeten, maka mereka harus diberi fasilitas. Dengan demikian, pilihan harus didasarkan pada kelayakan, bukan nepotisme. Jika standar kelayakan diperhatikan baik-baik, sektor swasta akan termotivasi untuk menggarap lahan yang tersedia.
Pengendalian Kebebasan Ekonomi

Segala bentuk kebebasan di tengah masyarakat harus dikontrol, diarahkan, dan diawasi oleh pemerintah Islam. Pengendalian sedemikian rupa harus dilakukan supaya kebebasan tidak menjurus kepada kebobrokan dan supaya tidak terjadi kebebasan yang saling melanggar, termasuk dalam kebebasan berekspresi, berpolitik, dan berbudaya. Islam sama sekali tidak membenarkan kebebasan aktivitas ekonomi yang diartikan sebagai kebebasan setiap pihak kuat untuk menentukan produksi, kualitas, kuantitas, waktu, dan lain sebagainya sekehendak hatinya. Dalam perspektif Islam, mengakui kebebasan ekonomi dan kepemilikan swasta tidak menegasikan urgensi pengawasan pemerintah terhadap semua kebebasan tersebut. Pengawasan harus dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Dalam pola konsumsi pun juga harus ada pembatasan agar tidak terjadi pemborosan. Pada batas tertentu, pemborosan merupakan satu dosa pribadi. Mengkonsumsi sesuatu di dalam rumah sendiri secara berlebihan adalah tindakan haram dan dosa pribadi. Namun, jika tindakan haram itu dilakukan hingga ke tingkat yang mengancam tatanan ekonomi masyarakat, menyebabkan eskalasi kemiskinan, menimbulkan monopoli produk yang dibutuhkan dan apalagi produk yang juga diproduksi oleh masyarakat umum, maka ini merupakan tindak kriminal yang harus ditindak tegas oleh pemerintahan Islam.
Pandangan Islam ini tidak hanya dalam konteks internal masyarakat Muslim, melainkan juga dalam konteks global. Dewasa ini negara-negara dunia mengalami kesenjangan dalam mengkonsumsi bahan pangan. Sebagian negara kaya dan maju di dunia mengkonsumsi hampir 70 persen persedian bahan pangan dunia, padahal jumlah mereka hanya sekitar 35-36 persen total penduduk dunia. Orang mengharapkan tatanan ekonomi yang adil berlaku di dunia, lembaga-lembaga internasional menegakkan tatanan adil, badan-badan serta pemerintah negara-negara dunia mengikuti hati nuraninya untuk berusaha mensejahterakan semua manusia, misalnya dengan menghapus larangan penanaman ribuan hektar tanah setiap tahun di AS supaya harga tidak anjlok. Di AS larangan itu diberlakukan padahal di dunia terdapat ribuan balita meninggal dunia perhari akibat kelaparan dan kekurangan gizi, 10 hingga 15 persen penduduk dunia hidup di bawah ancaman kelaparan, dan banyak warga dunia yang hidup dalam kondisi kekurangan bahan pangan. Hati nurani manusia menuntut pencegahan aksi pasar bersama Eropa beberapa tahun lalu yang membuang produk bahan pangannya ke laut hanya demi mencegah terpuruknya harga produk dan mengantisipasi kekacauan harga komoditas di pasar-pasar internasional. Dengan demikian, pemberantasan praktik pemborosan di mata Islam tak ubahnya dengan perang melawan penghamburan harta kekayaan serta perang melawan kesewenang-wenangan dalam sistem perekonomian internasional.
Atas dasar ini, terbukanya kran ekonomi bebas dan kepemilikan swasta dalam Islam tidak lantas membiarkan siapa saja mengkonsumsi barang kebutuhan sehendak hatinya di saat ada orang-orang lain yang kelaparan, kekurangan, dan terkena wabah penyakit. Islam melarang keras tindakan naif tersebut.

Ekonomi Bebas dan Kondisi Politik Masyarakat

Islam tidak memperkenankan kegiatan ekonomi bebas melancangi tatanan dan konstalasi politik masyarakat. Kapitalisme yang mengkristal kuat di negara-negara Barat telah menempatkan para pemilik modal sebagai pemegang tongkat kendali tatanan politik. Sebagian dari mereka resmi menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Di tubuh pemerintahan negara-negara besar semisal AS dan para anteknya terdapat raja-raja kapitalis pemegang saham di perusahaan-perusahaan raksasa migas dan non migas. Ada pula yang tidak menduduki pos pemerintahan, tetapi berperan besar di balik layar pemilu. Mereka memainkan peranan kunci dalam menentukan siapa akan menjadi presiden. Mereka memegang kendali pergantian pemimpin demi pemimpin politik, termasuk di Senat dan DPR sehingga UU selalu berpihak kepada interes mereka. Dunia Barat identik dengan dunia kapitalisme. Kapitalisme, paham yang berorientasikan modal, yang telah mengagungkan kedudukan para pengusaha besar dan orang-orang berduit telah menjadi citra dan ikon dunia Barat. Citra ini tidak dapat diterima oleh ajaran Islam. Islam memerintahkan upaya membendung segala fenomena yang mengarah kepada terbentuknya citra seperti itu.

Pengertian Kapitalisme di Mata Dunia

Kapitalisme ialah paham yang mengukuhkan penggunaan modal yang tersedia dengan cara mengeksploitasi masyarakat. Kapitalisme adalah instrumen eksploitasi. Bagi pemiliknya, modal bukanlah alat yang dapat melahirkan pekerjaan bagi pemiliknya, melainkan lebih merupakan alat bagi pemiliknya untuk mengeksploitasi orang lain. Eksploitasi adalah perbuatan zalim, dan kezaliman hukumnya haram. Dengan demikian, dalam kamus Islam tidak ada sistem yang berorientasikan modal seperti yang kini dianut oleh masyarakat dunia.
Dalam pada itu, dengan asumsi bahwa kepemilikan swasta bisa menjadi sumber kebobrokan, kezaliman, dan diskriminasi, kepemilikan negara juga bisa jadi demikian. Deretan fenomena naif terlihat jelas di negara-negara yang menganut sistem kepemilikan negara, tapi dengan format lain dan mewarnai lapisan-lapisan masyarakat lainnya.

Ekonomi Bebas Dalam Sistem Kapitalisme Barat

Di tingkat klaim dan pada tataran hukum perundang-perundangan maupun konstitusi, sistem yang dianut dunia Barat menyatakan rakyat bebas melakukan aktivitas perekonomian. Tapi pada hakikatnya kebebasan itu ternyata bukan milik semua orang. Semua kekayaan sumber daya alam beserta segala fasilitas yang tersedia untuk mengelolanya bisa diakses, dikelola, dan dimanfaatkan bukan oleh setiap orang. Pihak-pihak yang bisa mengaksesnya hanyalah orang-orang kaya bermodal besar dan orang-orang yang memegang kunci dinamika ekonomi dan bahkan politik dan sosial masyarakat. Merekalah yang sesungguhnya berkuasa atas sumber-sumber kekayaan, dan mereka pula yang menyempitkan ruang gerak masyarakat umum.
Sebab itu, dalam tubuh masyarakat kapitalis, baik yang maju maupun yang masih terbelakang, kebanyakan penduduknya masih menderita kemiskinan persis seperti yang dialami oleh penduduk negara-negara Dunia Ketiga. Di saat mayoritas penduduk tercekik kemiskinan, pengangguran, tunawisma, dan lain sebagainya, ternyata ada segelintir orang yang bebas dan leluasa menggalang dan menjalankan usaha, mengeruk kekayaan, menguasai pertambangan, membangun pabrik demi pabrik, membuka lahan demi lahan, dan seterusnya. Sedangkan yang lain, terutama kaum buruh di pertambangan, pertanian, dan pabrik-pabrik selalu diperlakukan sebagai sapi perahan. Masyarakat lapisan bawah ini hanya memperoleh bagian paling remeh dari harta yang dimiliki oleh segelintir orang tersebut. Masyarakat kecil tidak bisa menikmati peluang usaha, kesempatan berproduksi, fasilitas beraktivitas, dan lahan untuk membangun kesejahteraan hidupnya. Mereka tidak menikmati kebebasan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.
Ekonomi di Negara-Negara Sosialis

Paham sosialisme dan paham-paham sejenisnya yang terinspirasi dari pemikiran Marxisme menerapkan limitasi untuk kepemilikan swasta. Namun, limitasi itu berbeda dengan limitasi yang ada dalam Islam. Paham-paham itu misalnya melarang kepemilikan swasta dijadikan sebagai sarana produksi. Siapapun tidak diperbolehkan memiliki segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana produksi, termasuk tanah dan pabrik. Paham Marxisme dan sistem ekonomi sosialis menolak kegiatan transaksi, bisnis, dan jual beli. Para penganut paham-paham ini menganggapnya sebagai tindakan tak etis. Mereka melarang jual beli untuk keuntungan dirinya sendiri atau untuk keuntungan orang yang bermodal, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Dalam paham Marxisme, berbisnis adalah satu bentuk kegiatan spekulasi yang naif dan aib.
Di negara-negara sosialis dan tatanan yang serba berorientasikan negara - dimana pemerintah dipandang sebagai pelaku produksi kekayaan dan pemilik lahan-lahan kerja sedangkan rakyatnya dipandang sebagai ‘pegawai pemerintah'- masyarakatnya tidak mungkin bisa diharapkan bekerja secara efiesen dan kompetitif. Jika terjadi bencana semisal perang, gempa bumi, dan wabah penyakit pegawai pemerintah tidak akan bisa diharapkan berbuat apapun kecuali datang dengan perilaku yang lebih cenderung konsumtif. (IRIB Indonesia / Khamenei / SL)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar