SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Rabu, 09 Januari 2013

HADIS DHAIF


Hadis Dhaif

1. Pendahuluan

Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat, Dhaif ada dua macam yaitu lahiriah dan maknawiyah, sedangkan yang dimaksud disini adalah dhaif maknawiyah. Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan. Senada dengan Mannan Al Qathan menurut T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy hadis dhaif adalah Hadis yang tidak terdapat sifat hadis shahih dan tidak pula terdapat sifat hadis hasan. Mengetahui kriteria suatu hadis diperlukan untuk menentukan suatu hadis dapat digunakan untuk dalil atau tidakoleh sebab itu dalam makalah kali ini akan dibahas tentang hadis dhaif meliputi, Kriteria dan Macam-macam Hadis Dhaif, Hadis-hadis daif ditinjau dari segi terputusnya sanad Hadis-hadis daif ditinjau dari segi cacat perawi, dan Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis dhaif

2. Kriteria dan Macam-macam 
Hadis Dhaif Sebab-sebab kedaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok yaitu: Ketidakmuttashilan sanad, dan Selain ketidakmuttashilan sanad seperti; cacatnya seorang atau beberapa rawi . Fatchur Rahman mengutip pendapat al-‘Iraqi, bahwa hadis adaif bisa dibagi menjadi 42 bagian dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis adaif terdiri atas 129 macam, bahkan bisa lebih dari itu. 

3. Hadis-hadis daif ditinjau dari segi terputusnya sanad 

a. Hadis Mursal Hadits mursal yaitu: hadits yang dimarfu’kan oleh seoarng tabi’iy kepada rasul SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, dengan tidak menyebutkan orang yang menceritakan kepadanya: contoh hadis berikut ini: Abdullah bin Abi Bakr pada hadis di atas merupakan seorang Tabi’i, sedangkan seorang tabi’I tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi Saw. Akan tetapi di tidak menyebutkan orang yang mengabarkan kepadanya sehingga dinamakan mursal 

b. Hadis Munqathi’ Hadits munqathi yaitu dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja, kalu hadis mursal gugurnya perawi dibatasi oelh tingkatan sahabat, sementara dalam hadits munqathi seperti itu. 

Jadi setiap hadits yang sanadnya gugur satu orang perawi baik awal, ditengah ataupun diakhir- disebut munqathi. Dari Abdur Razzaq: dari At Tsauri: dari Abu Ishaq: dari Zaid bin Yatsi’: dari Hudzaifah, secara marfu’: ‘Kalau kalian menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, sungguh dia itu kuat dan terpercaya Dalam hadits terputus sanadnya pada 2 tempat. Pertama, Abdur Razzaq tidak mendengar dari At Tsauri. Yang benar, Abdur Razzaq meriwayatkan dari Nu’man bin Abi Syaibah Al Janadi dari Ats Tauri. Kedua, Ats Tsauri tidak mendengar dari Abu Ishaq. Yang benar, Ats Tsauri mendengar dari Syuraik dari Abu Ishaq 

 c. Hadis Mu’dhal Yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturutturut. hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi. Sama dari segi keburukan kualitasnya, اخبرنا سعيد بن سالم عن ابن جريج ان رسول الله عليه وسلم كان اذا رأى البيت رفع يديه (الشافعي Imam syafi’I berkata, telah menceritakan kepada kami, said ibn salam, dari ibn juraij bahwa nabi Muhammad apabila melihat baitullah beliu mengangkat kedua tangannya . Ibnu Juraij dalam sanad diatas adalah tidak sezaman dengan nabi, bahkan masanya itu dibawah tabi’in, sehingga ia disebut tabi’it tabi’in, yakni pengikut tabi’in. jadi antara juraij dengan rasulullah SAW ada dua perantara yaitu shahabat dan tabi’in. karena kedua orang ini( sahabat dan tabi’in ) tidak disebutkan ditengah sanad ini maka periwayatan hadits diatas disebut mu’dhal.

 d. Hadis Mudallas Kata Muddalas adalah isim maf’ul dari tadlis, yang secara etimologi berarti “Menyembunyikan” Tadlis dalam jual-beli berarti menyembunyikan aib barang adri pembelinya. Dari sinilah disinilah diambil dalam pengertian dalam sanad. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkan. روى النعمان بن راشد عن الزهزي عن عروة عن عائشة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يضرب امرأة قط ولا خادما الا يجاهد فى سبيل الله Diriwayatkan oleh nu’man ibn rasyid, dari zuhri dari urwah dari aisyah, bahwasannya rasulullah SAW bersabda tidak pernah sekalikali memukul seorang perempuan dan juga tidak seorang pelayan, melainkan jika ia berjihad dijalan Allah Imam Abu Khatim berkata bahwa: Zuhri tidak pernah mendengar hadis ini dari Urwah, ini berarti ada seorang yang tidak disebutkan oleh zuhri. Sehingga menjadi samar. Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu tadlis al- Isnad dan tadlis asy-syuyukh. (1). Tadlis al- isnad yaitu seseorang perawi (mengatakan) meriwiyatkan sesuatu dari sesamanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau pernah bertemu tetapi diriwiyatkannya itu tidak didengar dari orang tersebut, dengan cara menimbulkan dugaan mendengar langsung. قال رسول الله صلعم إذا نعس أحدكم فى مجلسه يوم الجمعة فليتحول إلا غيره (رواه أبوداود) Rasulullah SAW bersabda:”bila salah seorang mengantuk di tempat duduknya pada hari jumat, hendaklah ia bergeser ke tempat lain.”(H.R. Abu Dawud) Dalam sanad hadits Ibnu ‘Umar tersebut, terdapat seorang rawi bernama Muhammadbin Ishaq yaitu seorang mudallis dan ia telah membuat ‘an ‘anah (meriwayatkan dengan ‘an). (2). Tadlis asy- syuyukh jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad. Karena perawi tidak sengaja mengugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya, yang memberi tahu. atau mensifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak/ belum dikenal oleh orang banyak. Misalnya seperti kata Abu Bakar bin Mujahid Al-Muqry: حدثنا عبد الله بن أبي عبيد الله “Telah bercerita kepadaku ‘Abdullah bin Abi ‘Ubaidillah.” Yang dimaksudkan dengan Abdullah ini ialah Abu Bakar bin Abi Dawud As-Sijistani.

 e. Hadis Mu’alallaq Mu’allaq secara etimologis merupakan bentuk isim maf’ul dari kata ‘alaqa (عَلَقَ) yang berarti menggantungkan. Kemudian dari kata at-ta’lliq (التَّعْلِقُ), kata at-ta’lliq diambil dari ungkapan seperti: ta’liqul jidar (تَعْلِيْقُ الْجِدَار) atau ta’liquth thalaq (تَعْلِيْقُ الطَّلَاقِ) dan lain sebagainya ketika semuanya berserikat untuk memutuskan hubungan. Sedangkan secara terminologis hadits mu’allaq adalah hadits yang pada bagian awal sanadnya, terdapat seorang rawi atau lebih yang dihilangkan. قَالَ أَبُو عِيسَى وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ عِشْرِينَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ Abu Isa (Tirmidzi) berkata; "Diriwayatkan dari 'Aisyah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa shalat dua puluh rakaat setelah maghrib, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga." 

 4. Hadis-hadis daif ditinjau dari segi cacat perawi 


a. Hadis Mudhtharib Hadis Mudltharib, yakni hadis yang diriwayatkan dengan berbagai jalan yang saling bertentangan, sementara kedudukan dan nilai para periwayatnya, atau sanadnya relatif sama, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan naskh maupun tarjih. Hadis Mudhtharib dibagi menjadi dua yaitu • Hadis Mudhtharib Sanad Diriwayatkan oleh Abu Bakar, ia berkata, ”Wahai Rasulullah, aku melihat rambutmu beruban”. Maka beliau bersabda: ”Yang telah membuat rambutku beruban adalah Hud dan saudara-saudaranya”. (HR. Tirmidzi) Imam Daruquthni berkata, ”Hadits ini adalah Hadits Mudhtharib, karena hadits ini tidak diriwayatkan kecuali dari satu jalan, yaitu dari Abu Ishaq”. Periwayatan dari Abu Ishaq diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits : • Hadis Mudhtharib Matan Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dari Syuraik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya’bi, dari Fathimah binti Qais, ia berkata, ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang zakat”. Maka beliau bersabda: ”Sesungguhnya dalam harta ada kewajiban yang lain selain kewajiban zakat”. Sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari jalur sanad yang sama dengan menggunakan ungkapan : ”Tidak ada kewajiban dalam harta selain kewajiban zakat” Imam Al-‘Iraqi berkata, ”Ketidaktetapan (Al-Idhthirab) yang ada pada hadits di atas tidak memungkinkan untuk ditakwilkan”. 

 b. Hadis Maqlub Hadis Maqlub, yakni hadis yang di dalamnya terdapat pergantian, baik periwayat, sanad, maupun matannya, yang dilakukan oleh seorang periwayat, baik dilakukannya dengan sengaja maupun tidak Maqlub Sanad Maqlub Sanad adalah hadits yang terjadi penggantian pada sanadnya. Maqlub sanad mempunyai dua bentuk : 1. Seorang rawi mendahulukan dan mengakhirkan nama salah seorang rawi dan nama bapaknya. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah kemudian ada yang meriwayatkan dari Murrah bin Ka’ab. 2. Seorang rawi mengganti salah seorang rawi hadits dengan rawi yang lain dengan tujuan ighrab (menjadikannya gharib, asing). Seperti hadits yang masyhur dari Salim, kemudian ada yang menjadikan hadits tersebut dari Nafi’. Diantara rawi yang melakukan hal itu adalah Hammad bin Amr An-Nashibi. 

Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hammad An-Nashibi dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah) : إذا لقيتم المشركين في طريق فلا تبدءوهم بالسلام “Kalau kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di jalan, maka janganlah kamu mendahului memberi salam” Hadits ini adalah hadits Maqlub yang diriwayatkan secara maqlub oleh Hammad. Dia menjadikan hadits tersebut dari jalan A’masy, padahal yang terkenal bahwa hadits itu adalah dari Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah, seperti yang dikeluarkan oleh Imam Muslim. Maqlub Matan Maqlub Matan adalah hadits yang terjadi penggantian pada matannya. Jenis ini juga mempunyai dua bentuk : 1. Seorang rawi mendahulukan dan mengakhirkan pada sebagian matan hadits. Contohnya adalah hadits Abu Hurairah pada riwayat Muslim tentang tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah di hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya. Dalam hadits tersebut ada : وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ “Dan seseorang yang bershodaqoh dengan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai tangan kanannya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kirinya” Hadits ini adalah terbalik yang terjadi di sebagian rawi hadits, karena yang benar adalah : وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ “Dan seseorang yang bershodaqoh dengan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kananya” 2. Seorang rawi menjadikan salah satu matan hadits untuk sanad yang lain dan menjadikan sanad suatu hadits untuk matan hadits yang lain (membolak-balikkan antara matan dan sanad hadits). Ini dilakukan untuk menguji. Ini seperti yang dilakukan oleh penduduk Baghdad kepada Imam Bukhari, dimana mereka membolak-balikkan 100 hadits kemudian ditanyakan kepada Imam Bukhari tentangnya untuk menguji hafalan beliau. Imam Bukharipun mampu mengembalikan semua hadits ke tempat semula (sebelum dibolak-balikkan) tanpa ada kesalahan sedikitpun.

 c. Hadis Syadz Imam Syafi’ilah yang mula-mula memperkenalkan hadis syadz ini menurutnya bila diantara perawi tziqat ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelahnya sepakat bahwa hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya. Hadis Syadz dapat terjadi pada Sanad dan Matan Hadis Syadz pada Sanad Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah; dari jalur Ibnu ‘Uyainah dari Amr bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu ‘Abbas,“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meninggal di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ia tidak meninggalkan ahli waris kecuali bekas budaknya yang ia merdekakan. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan semua harta warisannya kepada bekas budaknya”. Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad mereka dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ausajah, dari Ibnu ‘Abbas,“Sesungguhnya seorang laki-laki meninggal…………”. Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah, karena ia meriwayatkan hadits tersebut dari ‘Amr bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu ‘Abbas. Masing-masing dari Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Hammad bin Yazid adalah perawi yang terpercaya. Namun Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah dan Ibnu Juraij, karena ia meriwayatkan hadits di atas secara mursal (tanpa menyebutkan shahabat Ibnu ‘Abbas). Sedangkan keduanya meriwayatkannya secara bersambung dengan menyebutkan perawi shahabat. Oleh karena keduanya lebih banyak jumlahnya, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu ‘Uyainah dinamakan Hadits Mahfudh. Sedangkan hadits Hammad bin Yazid dinamakan Hadits Syadz. Hadis Syadz pada Matan Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi; dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika salah seorang di antara kalian selesai shalat sunnah fajar, maka hendaklah ia berbaring di atas badannya yang kanan”. 

 d. Hadis Munkar Hadis Munkar, 

yakni hadis yang tidak ada periwayat lain meriwayatkannya, sedangkan periwayat tersebut sangat jauh dari kriteria kedlabithan. Atau dengan kata lain ada yang mendefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang jelas-jelas fasiq, baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan juga kedlabithannya sangat rendah disebabkan salah dan lupanya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari jalur Habib bin Habib Az-Zyyat- tidak tsiqah-dari abu ishaq dan Aizar bin Haris, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw bersabda: Barang siapa mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, berpuasa dan menghormati tamu, maka dia masuk surga Abu hatim berkata. Hadis ini munkar” karena perawi yang tsiqah selain (Habib Az-Zayyat) meriwayatkannya dari Abu Ishaq hanya sampai kepada sahabat (mauquf), dan riwayat inilah yang dikenal . 

 e. Hadis Matruk Hadis matruk ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh berdusta dalam hadis nabawiy, atau sering bersdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya. Atau yang sering sekali salah dan lupa. Misalnya hadis-hadis Amr ibn Syamr dari Jabir al-Ja’fiy. Hadits ‘Amru bin Syamr Al-Ju’fi Al-Kufi Asy-Syi’i dari Jabir, dari Abu Thufail, dari ‘Ali dan ‘Ammar, keduanya berkata,”Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut pada shalat fajar, dan bertakbir pada hari Arafah dalam shalat Dhuhur dan memotong shalat ‘ashar pada akhir hari tasyriq“. Imam An-Nasa’i dan Ad-Daruquthni dan ulama lainnya berkata tentang ‘Amru bin Syamr,”Haditsnya matruk“. 

 f. Hadis Mu’allal Hadis Mu'allal, yakni hadis yang di dalamnya terdapat cacat tersembunyi yang secara sepintas tidak cacat. Cacat tersebut bisa berada di dalam sanad maupun di matan. Memang untuk mengetahui cacat tersebut sangat sulit dan dibutuhkan kecermatan, dengan cara mengumpulkan seluruh hadis yang ada untuk kemudian dilakukan pengkajian terhadap keseluruhan hadis tersebut. عَنْ سُفْيَانْ الثوري عن عمرو بن دينار عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا. “dari Sofyan Ats-Tsaury dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu ‘ Umar dari Nabi saw, ujarnya: Sipenjual dan sipembeli boleh memilih selama belum berpisah”. Illat hadits ini terletak pada ‘Amr bin Dinar, sebab mestinya bukan dia yang meriwayatkan, melainkan ‘Abdullah bin Dinar. Hal itu dapat diketahui berdasarkan riwayat-riwayat lain, yang juga melalui sanad tersebut. 

 g. Hadis Mudraj Hadis Mudraj,

 yakni hadis yang didalamnya terdapat tambahan, baik dalam sanad maupun dalam matannya, yang sesungguhnya bukan termasuk hadis, tetapi dapat menyebabkan orang mengira bahwa hal tersebut termasuk di dalam hadis.Hadis mudraj dibagi menjadi Mudraj Sanad dan Mudraaj Matan. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari jalan Ibnu Mahdi dari ast-Tsauri dari Wasil al Ahdab dari Mansur al a’masy dari Abu Wa’il dari Amer bin Syurahbil dari Ibnu mas’ud r.a, katanya aku telah bertanya kepada Rasulullah tentang dosa yang paling besar, kataku: “mana dosa yang paling besar?”. Nabi menjawab:”engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakan engkau”, aku bertanya: “kemudian apa?”. Nabi menjawab “engkau membunuh anak engkau karena khawatir akan makan dia bersama engkau”. Aku bertanya pula: “kemudian apa?”. Nabi menjawab: :engkau menzinai istri tetangga engkau”. Dalam sanad ini terdapat sanad yang disisipkan yaitu Amer bin Syurahbil, sebenarnya Abi Wail menerima langsung dari Ibnu Mas’ud r.a dengan tidak memakai perantara Amer ibn Syurahbil. Diriwayatkan oleh Khatib Al Baghdadi, Riwayat Abu Qathan dan Syababah dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah berkata Rasululllah saw. Telah bersabda sempurnakanlah wudhumu, neraka wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak membasuh dengan sempurna ketika berwudhu)". Kata-kata أسبغوا الوضوء "Sempunakanlah wudhumu" pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dan kata-kata tersebut oleh penerima riwayat dikira bagian dari matan hadis Nabi h. Hadis Mushahhaf Yakni hadis yang diriwayatkan secara berbeda disebabkan adanya pergantian atau perubahan satu huruf atau lebih, baik dalam pengucapan (bentuk hurufnya) maupun dalam syakalnya, baik terjadi di dalam sanad maupun matan. Jika ditinjau dari tempat terjadinya kesalahan, maka hadits mushahhaf dibagi menjadi dua : Tashhif dalam sanad Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Syu’bah, dari Awwam bin Murajim Al-Qaisi, dari Abu ‘Utsman An-Nahdi. Namun Yahya bin Ma’in melakukan kesalahan dalam menyebut nama ayah dari Al-Awwam. Beliau mengatakan dengan : “..dari Al-Awwam bin Muzahim”; dengan menggunakan huruf ﺯ dan ﺡ yang dikasrah. 

Tashhif dalam matan Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat kamar di dalam masjid. Namun Ibnu lahi’ah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits di atas dengan menggunakan kalimat : “Sesungguhnya Rasulullah melakukan berkam di dalam masjid Bila ditinjau dari sebab terjadinya kesalahan, maka hadits mushahhaf dibagi menjadi dua : Tashhif Bashar (Penglihatan) Tashhif bashar ini adalah sebab kesalahan yang sering terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan tashhif bashar adalah ketidakjelasan tulisan suatu hadits bagi yang membacanya. Hal ini disebabkan karena tulisannya yang jelek atau huruf-hurufnya yang tidak bertitik. Contohnya adalah hadits yang berbunyi : Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadhan kemudian diikuti 6 hari di bulan Syawal Disebabkan karena ketidakjelasan tulisan maka seorang perawi meriwayatkan hadits tersebut dengan menggunakan kata syaian sebagai ganti kata yang seharusnya, yaitu sittan Tashhif Sama’ (Pendengaran) Tashhif ini terjadi disebabkan karena pendengaran yang lemah, jarak antara pendengar dan yang ia dengarkan sangat jauh, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan sebagian kata menjadi tidak jelas bagi seorang perawi karena sebagian kata tersebut terbentuk dari pola yang sama. Contohnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Ashim bin Al-Ahwal. Namun sebagian perawi hadits tersebut meriwayatkan dari Washil bin Al-Ahdab.

 Ditinjau dari segi kata atau maknanya, maka hadits mushahhaf terbagi menjadi 2 bagian : Tashhif dalam Lafal Tashhif inilah yang banyak terjadi seperti pada contoh-contoh di atas. Tashhif dalam Makna Yang dimaksudkan dengan Tashhif ini adalah : Seorang perawi mushahhif (yang melakukan kesalahan) meriwayatkan sebuah hadits dengan menggunakan kaliamt-kalimat sesuai dengan aslinya, namun ia memberikan makna yang menunjukkan bahwa ia memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hadits tersebut. Contohnya adalah apa yang diucapkan oleh Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsanna Al-‘Anzi, seorang laki-laki dari kabilah ‘Anazah. Ia berkata,”Kami adalah Kabilah ‘Anazah. Kami adalah suatu kamu yang mempunyai kemuliaan sebaba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap ke arah kami”. Makna tersebut ia pahami dari sebuah hadits yang berbunyi,“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap ke ‘Anazah”. Maka ia memahaminya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap ke arah mereka. Padahal kata ‘Anazah (huruf ‘Ain dan Nun difathah) berarti tombak kecil yang bermata dua, bentuknya persis seperti ‘Ukazah. Dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menancapkannya di hadapan beliau sebagai pembatas (sutrah) ketika beliau shalat di tanah lapang. Al-Hafidh Ibnu Hajar membagi hadits mushahhaf menjadi dua bagian : Bagian pertama beliau namakan dengan sebutan Tashhif; yaitu jika perubahannya adalah merubah titik-titik yang ada pada satu atau beberapa huruf, sedangkan bentuk katanya masih berupa bentuk yang semula. Bagian kedua beliau namakan dengan Tahrif. Sebutan ini beliau berikan pada perubahan yang terjadi pada bentuk kata. Ini adalah pembagian yang baru. Jika seorang perawi sering melakukan Tashhif (kesalahan), maka hal ini dapat mengurangi kekuatan hafalannya. Namun apabila kadang-kadang saja ia melakukannya, maka (dimaafkan karena) mustahil orang selamat dari kesalahan. 5. Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis dhaif عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ إِنِّي لَا أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا يُحَدِّثُ فُلَانٌ وَفُلَانٌ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أُفَارِقْهُ وَلَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ : مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata : Aku berkata kepada Zubair(bapaknya), Aku tidak mendengarkan engkau menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang (banyak) disampaikan oleh si fulan dan si fulan’. Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku ini tidak pernah berpisah dengan beliau akan tetapi aku telah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka” Terkait dengan pengamalan hadis daif, terdapat beberapa pendapat Pertama, 

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengemukakan bahwa ada tiga pendapat mengenai pengamalan hadis daif, yaitu : 
a. Hadis daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadail al-‘amal maupun dalam menetapkan hukum; 
b. Hadis daif bisa diamalkan secara mutlak, karena hadis daif lebih kuat daripada ra’y (pendapat) perseorangan; 
c. Hadis daif bisa diamalkan dalam masalah fadail al-‘amal bila memenuhi syarat. Ibn Hajar mengemukakan syarat-syarat tersebut, yaitu : 1. Ke-daif-annya tidak terlalu lemah. Misalnya tidak terdapat periwayat pendusta atau tertuduh berdusta serta tidak terlalu sering melakukan kesalahan; 2. Hadis daif itu masuk dalam cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan; 3. Ketika mengamalkannya tidak diyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati. 

Penutup 

Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan, Kedaifan suatu hadis terjadi ketika Ketidakmuttashilan sanad, dan Selain ketidakmuttashilan sanad seperti; cacatnya seorang atau beberapa rawi Hadis-hadis daif ditinjau dari segi terputusnya sanad • Hadis Mursal • Hadis Munqathi’ • Hadis Mu’dhal • Hadis Mudallas • Hadis Mu’alallaq Hadis-hadis daif ditinjau dari segi cacat perawi • Hadis Mudhtharib • Hadis Maqlub • Hadis Syadz • Hadis Munkar • Hadis Matruk • Hadis Mu’allal • Hadis Mudraj • Hadis Mushahhaf Pendapat menganai Pengamalan Hadis Dhaif: • Hadis daif tidak bisa diamalkan secara mutlak • Hadis daif bisa diamalkan secara mutlak • Hadis daif bisa diamalkan dalam masalah fadail al-‘amal bila memenuhi syarat 

 Daftar Pustaka 

A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadits. cet. III; Bandung: CV. Diponegoro, 1987 
Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis, diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul al- Hadis cet.I; Jakarta : Gaya Media, 1998. 
 Fathur Rahman, Ikhstisar Mushthalahul Hadits. cet.VIII; Bandung : PT.Almaarif, 1995. Mahmud Tohan. Taisir Mustholah al Hadits. Surabaya : Al Hidayah, 1985. 
Manna al qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2004 Subhis-Shaleh, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta. Pustaka Firdaus, 1997. 
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet.VII; Jakarta : Bulan Bintang, 1987. Totok jumantoro, Kamus Ilmu Hadits. Jakarta: Bumi Aksara,2002. 
Yulem, Nawir, 9 (Sembilan) Kitab Induk Hadis, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006. 
 Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, Cetakan Pertama, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar