SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Selasa, 15 Januari 2013

Golongan Syi’ah



BAB I
PENDAHULUAN

Syi’ah adalah nama golongan yang fanatik terhadap keluarga  keturunan Nabi yang muncul pertama kali di Mesir pada akhir khalifah ketiga (‘Ustman) kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib[1]. Ketika ‘Ali wafat pemikiran kesyi’ahan pun berkembang menjadi mazhab-mazhab atau aliran-aliran dengan bermacam-macam tujuan, cara dan aqidahnya antara lain; aliran Saba’iyah, Ghurabiyah, Kisaniyah, Zaidiyah, Itsna ‘Asyariyah, Isma’iliyah, Hakimiyah, Druz dan Nashiriyah, al-Mughiriyah, al-Bayaniyah, an-Nawusiyah, al-Kharmaniyah dan Tawabin.
Namun diantara semua aliran atau sekte ini, terdapat tiga sekte yang besar dan berpengaruh dalam golongan Syi’ah hingga sekarang, yaitu Zaidiyah, Isma’iliyah dan Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah). Pengangkatan Musa Al-Khazim, setelah itu ‘Ali al-Ridha, disambung Muhammad al-Taqi, lalu diteruskan ‘Ali al-Hadi, selanjutnya Hasan al-‘Askari, kemudian Muhammad al-Mahdi, kelompok inilah yang kemudian hari disebut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (syi’ah dua belas). Dalam pembahasan makalah pada kesempatan kali ini akan dibahas lebih mendalam tentang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (syi’ah dua belas).





BAB II
Syi’ah Itsna Asyari’ah Dan Perkembangan Hukum Islam

A.       Fiqh Syi’ah Dua Belas Dan Perkembangan Metodologinya
Menurut Ensiklopedia Britannica[2], pada umumnya Syi’ah yang ada sekarang di dunia Islam seperti di Iran, Irak, Suria, Libanon, Pakistan dan negara-negara lain adalah aliran Syi’ah Istna ‘Asariyah. Bahkan H. Munawir Sjadzali, MA memprediksikan “bahwa kelompok Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang paling besar pengikutnya” sehingga sejak awal abad XVI Masehi, sewaktu Ismail Shafawi berkuasa di Iran, Islam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dijadikan agama resmi negara. Mereka disebut Imamiyah karena masalah imamah ini bagian dari rukun Islam mereka, sedangkan disebut dengan Itsna ‘Asyariyah karena mereka mengakui adanya 12 imam yang disebut mereka (Ahlu Bait) yaitu; ‘Ali, Hasan, Husein, ‘Ali Zainal ‘Abidin, Muhammad al-Baqir, Abdullah Ja’far al-Shidiq, Musa al-Kazhim, ‘Ali al-Ridha, Muhammad al-Taqi (Muhammad al-jawwad)[3], ‘Ali al-Hadi, Hasan al-Askari dan Muhammad al-Mahdi (kemudian dikenal dengan sebutan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar) yang memimpin mereka.[4]
Secara umum Syi’ah ‘Asyariyah disebut Syi’ah Imamiyah dan secara khusus Syi’ah Itsna ‘Asyariyah juga disebut Syi’ah Ja’fariyah karena ja’far dianggap sebagai unsur yang terpenting dalam sekte ini, sehingga mereka dalam perkara agama selalu merujuk kepada kitab fiqh Ja’far Ash Shidiq (yang secara urutan nasab dari pihak ayahnya adalah keturunan Nabi dan dari pihak ibunya merupakan keturunan Abu Bakar), Ja’far Ash Shidiq adalah seorang yang banyak ilmu dalam masalah agama, bijaksana, taqwa, zuhud dan kental menolak ghaibah (bersembunyi), ra’jah (bangkit kembali), tanasukh (inkarnasi) dan juga tidak memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin. Oleh karena itu aliran ini adalah aliran Syi’ah yang dapat hidup berdampingan dengan para penganut Sunni.[5]

1.   Kitab-Kitab Fiqh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
Kitab fiqh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah salah satunya adalah kitab Man La Yahdarul Fiqh (Man Laa Yahdhuruhul Faqiih)[6] yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein yang akrab dipanggil dengan sebutan Ash Shaduq[7]. Ia adalah seorang guru yang mengajar ribuan murid di Mesjid Nabawi, banyak pernyataan-pernyataan imam Ja’far yang penuh hikmah yang disusun dengan indah. Salah satunya adalah pernyatannya “Nabi menyampaikan apa yang diamanatkan Allah sedangkan imam menyampaikan apa yang diajarkan Nabi”.
Namun pada perkembangannya, fiqh utama Syi’ah itsna ‘Asyariyah di atas di kembangkan oleh generasi-generasi berikutnya, seperti Mirza Husain bin Muhammad Taqiy Annuri Ath Thabrasi (ulama besar Nejef) di akhir abad ketigabelas menyusun kitab Fashlul Khithab Fi Itsbat Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Karena dihujani oleh kritikan maka kemudian disempurnakannya kembali dengan judul Radd Ba’dhusy an Fashlil Khithab fi Itsbat Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Begitu juga Ayatullah al-Mamqani dengan kitabnya Miftahul Janaan. Kemudian Ayatullah Khomeini dengan kitabnya Kasyful Asraar dan Tahrir al-Wasilah. Begitu juga Dr Musa Al-Musawi (mujtahid Syi’ah mutakhir Iran) dengan bukunya At-Tashhih. Seperti layaknya manusia biasa, sehingga dalam tataran perkembangan ini ada yang sesuai namun tak sedikit pula yang melenceng dari yang sebenarnya.


2.   Sistematika Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dalam Merumuskan Hukum
Diantara imam dua belas di atas, yang sangat mahir dan ahli hukum (Fiqh) bahkan dijuluki dengan bapak fiqh Syi’ah adalah imam keenam yaitu Ja’far al-Shiddiq (guru imam Abu Hanafiah & Imam Malik) dan penganut-penganutnya masih terdapat di Persia Utara, India dan pakistan. Adapun sumber Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dalam merumuskan hukum sebagai berikut :[8]
a.    Menggunakan al-qur’an.
b.   Menggunakan Hadits, namun mereka hanya menganggap benar untuk dipakai adalah khusus riwayat Saidina ‘Ali. Sedangkan hadits yang diriwayatkan khalifah-khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar , Utsman) ditolak tanpa alasan. Dengan demikian termasuk juga Abu Hurairah, hadits-hadits kitab al-Muwaththa’ (karya Imam Malik), Musnad imam Ahmad, Shahih Bukhari, Muslim[9] dan lain-lain.
c.    Menggunakan Ijma’, bahkan sangat diutamakan teristimewa untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dan Sabda Rasul (hadist) yang disesuaikan dengan faham mereka (lebih jelasnya Ijma’ atau kesepakatan ulama Islam baru dapat dianggap sebagai salah satu dasar hukum Islam kalau direstui oleh imam)[10].
d.   Pada masa ghaib shugra mereka menolak ijtihad, dengan alasan imam adalah maksum maka sangat tidak memungkinkan untuk ijtihad rasional. Namun pada masa ghaib kubrah dan terputusnya hubungan mereka dengan imam yang kedua belas ditambah lagi dengan munculnya peristiwa-peristiwa baru yang menuntut Ijtihad[11] maka sebagian mereka menggunakan Ijtihad dalam “bidang-bidang tertentu” di luar bidang-bidang yang sepenuhnya dalam wewenang khusus imam yang menghilang seperti hak mendirikan shalat jum’at, pelaksanaan pidana atau hukuman dan mengumumkan jihad.
Untuk menggunakan ijtihad mereka memberikan wilayah (kekuasaan) yang dipercayakan kepada seorang alim, untuk dibenarkan memberikan fatwa dan petunjuk atas nama imam selama imam itu belum kembali. Yang dikenal dengan istilah Wilayah al-Faqih (Kekuasaan Ilmuwan Agama). Mereka Wilayah al-Faqih berwenang hanya pada bidang-bidang tertentu seperti;
·         penanganan kepentingan anak yatim piatu, benda-benda temuan, para janda dan fakir miskin
·         Pengelolaan urusan perwakafan, lembaga-lembaga pendidikan agama termasuk madrasah dan tempat-tempat suci.
·         Penanganan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, pengawasan terhadap para penguasa dalam pelaksanaan amar makruf nahi mungkar, pemberian pelajaran kepada para pelanggar susila, dan nasehat kepada para penguasa.
Namun pada perkembangannya, sebagian mereka berpendapat bahwa Wilayah al-Faqih (Mujtahid) dapat (berwenang) bahkan harus melaksanakan hukuman sesuai dengan syari’at. Selanjutnya para ulama yang di bawah pimpinan Khumaini [Ayatullah Khomaini), mereka memadukan konsep imamiyah dengan modern, lalu kemudian mereka menyatakan bahwa Wilayah al-Faqih berwenang mengelolah negara dan politik, sebagaimana termaktub dalam pasal 5 dari Undang-Undang Dasar Negara Iran antara lain dinyatakan “selama imam Mahdi masih ghaib, kewenangan ada di tangan ilmuwan agama (faqih) yang adil dan takwa, atau sejumlah ilmuwan agama (fuqaha)”. Dengan demikian di Iran sekarang ini terdapat Presiden / Kepala negara dan Kabinet, lembaga-lembaga eksekutif, legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan sebagainya, layaknya negara-negara lain. Namun di atas semua lembaga itu terdapat seorang ilmuwan agama yang memiliki kewenangan paling tinggi, sehingga bila perlu dapat menolak untuk menyetujui keputusan atau kebijaksanaan yang diambil oleh lembaga-lembaga tersebut.[12] Sampai sekarang mereka masih menggunakan ijtihad, karena mereka menganggap pintu ijtihad mesti dibuka.[13]
e.    Menolak Qiyas, menurut mereka sama sekali tidak boleh dipergunakan untuk mengikuti pendapat pemimpin mereka yang mengatakan “bahwa melakukan qiyas akan merusak agama”.
Namun, pada suatu riwayat yang lain[14] disebutkan bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyariyah tidak mengambil hukum dari Ra’yu (Ijma’, Qiyas dan Ijtihad), oleh karena itu Ijma’ dan Qiyas menurut mereka tidak termasuk ushul fiqh. Namun mereka memperoleh hukum lewat imam yang maksum, mereka juga meyakini bahwa selain imam tidak boleh mengambil ra’yu.
Dari perbedaan riwayat di atas penulis melihat bahwa Qiyas (ra’yu) dikalangan Syi’ah ‘Asyariyah memang tidak termasuk ushul fiqh, namun bila yang melakukannya adalah imam yang maksum (ahlul bait). Maka ra’yu tersebut akan mereka anggap menjadi hukum. Namun pada perkembangannya. Mereka menggunakan ra’yu atau ijtihad dalam merumuskan hukum.
Perlu juga difahami bahwa perbedaan-perbedaan dalam masalah peribadatan atau masalah fiqh lainnya yang terjadi di tubuh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah tidak jauh beda dengan  perbedaan yang terjadi di kalangan ahlus sunnah, seperti antara pengikut Abu Hanifah dengan Syafi’i, atau antara imam Malik dengan Ibn Hanbal.


3.   Metodologi Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dalam Merumuskan Imamah
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah menganggap bahwa imamah adalah rukun yang keenam, namun bagi yang tidak meyakininya tidaklah menyebabkannya keluar Islam hanya saja berbeda derajatnya di akhirat kelak. mereka akan menempati tempat tertinggi derajatnya dan kemudian barulah ummat Islam yang bukan firqah mereka. Menurut mereka imam adalah kehendak Allah sebagaimana ia telah menetapkan Nabi, oleh karena itu tidak ada hak seorangpun untuk mempersoalkan penunjukkan imam meskipun wujud atau tersembunyi.
Sebagian mereka berpendapat bahwa kedudukan Ali satu tingkat lebih tinggi dari pada manusia, dan dia merupakan perantara antara manusia dan Tuhan, bahkan lebih lanjut mereka menegaskan bahwa kedudukan imam sejajar dengan Nabi, sehingga menurut mereka “apa yang diperintahkan imam adalah perintah Allah, dan apa yang mereka larang adalah larangan Allah, taat kepada mereka berarti taat kepada Allah dan sebaliknya menentang mereka berarti menentang Allah”[15]. Namun dalam aspek keyakinan para imam bukanlah Nabi atau Rasul, bahkan menurut mereka orang yang menganggap masih ada Nabi setelah Nabi Muhammad dengan langsung mereka memberikan status kafir padanya[16].
Seorang imam menurut mereka haruslah ma’sum, yakni terpeliharanya imam dari perbuatan dosa dan kesalahan, baik yang besar atau kecil. Bahkan menurut mereka seorang imam tidak hanya mengatur masyarakat dengan adil, tetapi juga harus mampu menafsirkan rahasia-rahasia al-Qur’an dan syari’at dengan pengertian yang tersirat. Oleh karena itu menurut mereka imam harus ditunjuk dari langit berdasarkan ketetapan nash yang berupa wasiat Nabi.
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah meyakini doktrin kegaiban imam (bersembunyi), mereka meyakini bahwa imam mereka yang gaib (Mustatir) adalah imam kedua belas, yaitu imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar (yang bersembunyi) di gua Samarra, kota Samira[17], Irak pada tahun 873 Masehi / 260 Hijriyah[18] ketika masih berumur 5 tahun. Dan ada juga yang menegaskan bahwa Muhammad al-Mahdi disembunyikan oleh Allah SWT[19]. Menurut mereka dari persembunyiannya inilah Muhammad al-Mahdi membimbing / menuntun kaum Syi’ah lewat wakil-wakilnya.
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah membagi kegaiban imam Muhammad al-Mahdi kepada dua kategori yaitu : priode Pertama, disebut ghaib shugrah (kegaiban kecil) yang terjadi pada priode 874-939 M, pada masa ini  Muhammad al-Mahdi masih memperlihatkan dirinya berkomunikasi dengan beberapa orang yaitu para sahabat tertentu (teman yang istimewah) dan para naib (wakil)nya, yang menyampaikan kepada mereka keputusan dan fatwa imam. Dalam satu riwayat[20] disebutkan bahwa yang dimaksudkan wakil tersebut dalam priode ini adalah: (1) Utsman bin Said al-Umri; (2) Abu Ja’far Muhammad bin Utsman bin Said al-Umri; (3) Abu Qasim al-Husein bin Ruh al-Khullani; (4) Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Samiri (wakil yang keempat ini meninggal pada tahun 329 Hijriyah). Dan priode kedua, disebut ghaib kubra (kegaiban besar) yang terjadi setelah tahun 939 M, imam Muhammad al-Mahdi tidak lagi memperlihatkan dirinya kepada para wakilnya, namun tetap membimbing kaum Syi’ah secara rohaniah hingga akhir zaman. Barulah pada akhir zaman nanti imam Muhammad al-Mahdi kembali ke bumi untuk menegakkan kebenaran, persamaan dan keadilan. Mereka juga berkeyakinan bahwa Muhammad al-Mahdi kembali untuk melawan dajjal dan membangun pemerintahan Islam bersama Nabi Isa a.s[21]. Inilah yang tetap dinanti-nantikan kaum Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Doktrin inilah pula yang disebut mereka intizhar.[22] Bahkan sebagian dari mereka berpendapat bahwa semua imam yang dua belas itu akan dibangkitkan kembali ke dunia di akhir zaman nanti sebagai kompensasi terhadap hak kepemimpinan mereka yang ‘terenggut’ dari tangan mereka.[23]
Dalam perkembangan modren, doktrin intizhar diberi penafsiran baru yang lebih “hidup” oleh Ali Syari’ati. Menurutnya, intizhar bukanlah sebuah konsep yang mengharuskan pengikut Syi’ah bersikap pasif terhadap penguasa yang zalim sambil menunggu datangnya Muhammad al-Mahdi yang akan membebaskan mereka, maksudnya pengikut Syi’ah harus bersikap aktif menentang dengan berbagai cara setiap bentuk kezaliman penguasa. Disini terlihat intizhar berarti penolak kejahatan, penindasan, ketidakadilan. Dan intizhar diuraikannya dalam bentuk perjuangan secara terus menerus menuntut kebebasan dan keadilan. Penafsiran Ali Syari’ati inilah yang manjadi semangat keberhasilan Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1979. Kemudian Ayatullah Khomeini berusaha menjembatani konsep imamah dengan mengemukakan konsep wilayah al-Faqih. Yaitu selama menunggu kedatangan imam yang gaib (Muhammad al-Mahdi), kepemimpinan pengikut Syi’ah berada di tangan seorang faqih, yaitu Ayatullah Khomeini sendiri.[24]
Terlepas dari pembahasan di atas, yakni masalah imam Muhammad al-Mahdi ternyata menurut sebahagian kalangan Syi’ah masih dalam tataran kontroversial, salah satunya kalangan Alawiyyin[25] (yang membukukan semua keturunan Syi’ah) mereka menemukan fakta bahwa imam Hasan al-Askari (ayahnya Muhammad al-Mahdi) tidak mempunyai keturunan. Maka bila keterangan itu benar, berarti sosok sang imam keduabelas yang dilangsir para ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah dusta atau angan-angan yang tak lebih sekedar ungkapan untuk menghibur diri dari kekalahan-kekalahan mereka dari masa ke masa.

4.   Beberapa Pendapat Syi’ah ‘Asyariyah
Untuk mengenal lebih jauh lagi tentang fiqh (paham) Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, penulis menguraikan beberapa pendapat mereka seputar hukum dan beberapa pendapat yang cukup kontroversial sebagai berikut :[26]
·         Shalat Jum’at. Menurut sebagian pengikut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah meniadakan shalat jum’at selama imam masih ghaib.
·         Shalat Id. Menurut sebagian dari mereka menganggapnya fardhu.
·         Kawin Mut’ah. Mereka masih mempertahankan tradisi kawin mut’ah, karena menurut mereka banyak sahabat dan tabi’in yang berfatwa membolehkan kawin mut’ah, diantaranya ialah Abdullah Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah al-Ashari, Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab dan Imran bin Hushain. Mereka beranggapan bahwa seorang yang berpergian dalam waktu yang panjang diperbolehkan melakukan perkawinan mut’ah, karena sifatnya darurat untuk menjaga dari kemaksiatan. Mereka menegaskan andai saja praktek kawin mut’ah dilaksanakan dengan cara yang benar dan sesuai dengan aturan-aturannya (kitab-kitab fiqh mereka), seperti peraturan tentang akadnya, iddahnya (isteri menjalankan iddahnya sesuai dengan waktunya yang menurut mereka hanya dua kali haid) dan pemeliharaan keturunan dari perkawinan tersebut. Antara lain memperhatikan hak anak yang dilahirkan dari kawin mut’ah dan menasabkan anak itu kepada bapaknya. pastilah perzinaan atau prostitusi akan hilang.
·         Perceraian. Menurut mereka perceraian harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil, tanpa adanya kedua orang saksi yang adil itu maka perceraian tidak sah. Ini dimaksudkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga dengan harapan adanya kedua saksi tersebut dapat memperbaiki keretakan hubungan suami isteri, sehingga pasangan itu dapat rujuk kembali. Mereka juga berpendapat bahwa thalak tiga yang diucapkan sekaligus dianggap hanya jatuh satu thalak dan masih boleh rujuk kembali. Bahkan sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa thalak tiga yang diucapkan dalam satu kalimat tidak jatuh thalaknya, dengan alasan bahwa yang demikian itu tidak disyari’atkan.
·         Taqiyyah maksudnya menampilkan kebalikan dari yang disembunyikan atau berpura-pura. Kebanyakan mereka membolehkan untuk menjaga jiwa, harta, kehormatan, agama, aqidah, seperti berpura-pura menampakkan sebuah aqidah yang sebenarnya ia sendiri tidak mengimaninya. Ayatullah Khomeini [ulama Syi’ah abad ini] menegaskan bahwa taqiyyah merupakan bagian dari aqidah mereka terlebih bagi para imam karena mereka lebih mengetahui yang maslahat bagi pengikutnya. Hal ini dikritik oleh Dr Musa Al-Musawi [juga ulama mujtahid Syi’ah mutakhir Iran] dalam bukunya At-Tashhih, ia mengatakan, “sebenarnya taqiyyah tidak boleh dilakukan seorang mukmin, kecuali dalam satu keadaan seperti menjaga tertumpahnya darah. Jadi apabila terlindung darahnya, maka tidak boleh melakukan taqiyyah”.
Dalam bagian akhir bukunya, Dr Musa al-Musawi menyatakan bahwa  pernyataan “taqiyyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku” yang dinisbahkan kepada imam Ja’far Ash Shadiq adalah dusta atau kebohongan yang dibuat-buat.
·         Kewarisan. Menurut mereka anak perempuan bisa menghijab saudara pewaris (paman/bibinya). Karena mereka menafsirkan kata “walad” pada surah An-Nisa ayat 76 adalah anak laki-laki dan anak perempuan.[27]
·         Ziarah kubur. Menurut mereka siapa saja yang menziarahi atau ikut andil membangun kuburan imam, maka ia akan mendapat pahala yang tidak berhenti sepanjang masa dan mendapatkan syafaat Rasulullah. Para penziarah tersebut mendapat pahala bagaikan pahala mengerjakan 70 kali haji yang menghapuskan semua dosa. Hal ini yang di uraikan Ayatullah Khomeini dalam kitabnya Kasyful Asraar halaman 8 yang menurutnya pendapat-pendapatnya itu bersumber dari Ja’far Ash Shadiq. Tak hanya sampai di situ, Ayatullah Khomeini mempunyai pandangan tersendiri, dalam kitabnya Tahrir al-Wasilah , di juz I halaman 141 menyatakan bahwa “kuburan Husain bin Ali bin Abi Thalib mempunyai kekhususan melebihi kuburan Rasulullah”.[28] Dan yang lebih hironis dari itu, Ayatullah Khomeini berpendapat bahwa “Sesungguhnya pahala yang akan diperoleh adalah pahala seribu nabi atau syahid”.[29]
·         Zakat. Mereka meyakini bahwa zakat itu adalah hak yang wajib diberikan kepada keluarga Nabi sebagai pengganti zakat yang telah diharamkan-Nya bagi Rasulullah. Menurut mereka besarnya zakat yang harus di keluarkan adalah seperlima dari pendapatan. Kemudian zakat ini dibagi menjadi enam bagian: tiga bagian diberikan ke imam jika sang imam ada diantara mereka, atau kepada wakilnya [yaitu seorang mujtahid yang adil] jika sang imam masih bersembunyi. Sedangkan yang tiga bagian lagi dibagikan kepada fuqaha dan masakin serta keturunan Bani Hasyim yang memerlukannya.
·         Kutukan Terhadap Para Sahabat dan Isteri Rasulullah.  Sebagian mereka mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman (menantu Nabi), termasuklah Ayatullah al-Mamqani dalam kitabnya Miftahul Janaan menjuluki Abu Bakar Ash Shiddiq (mertua Nabi) dengan ‘aljibtu’ (berhala) dan menyebut Umar bin Khaththab (mertua Nabi) dengan julukan ‘thaghut’ (berhala). Mereka juga mengutuk anak-anak keduanya yaitu Aisyah dan Hafsah  (ummahat mu’minin). Pendapat ini tidak jauh beda dengan pendapat Ayatullah Khomeini.
Namun, sebagian mereka tidak mempunyai pemikiran seperti itu, termasuk Syaikh Husain Kasyif al-Ghithoa, Syaikh Muhammad Jawad Mughniyyah dan Syaikh Musa Shadar. Lebih dari itu Dr Musa al-Musawi menilai bahwa inilah faktor utama penyebab perselisihan yang dahsyat antara Syi’ah dan Ahlu Sunnah. Dengan alasan bahwa Ali bin Abi Thalib menghormati mereka (Abu Bakar, Umar dan Utsman), bahkan ketika wafatnya Abu Bakar Ali bin Thalib menyampaikan (penghormatannya) dengan tulus sehingga ia meneteskan air mata, mengapa kemudian orang yang mengikutinya mencela Abu Bakar![30]

B.        Pengikut Syi’ah di Irak, Iran, Mesir dan Indonesia
Perkembangan Syi’ah di Irak disebabkan ‘Ali ibni Abi Thalib menjadikan Irak sebagai kediamannya pada masa kekhalifaannya, di sana ia dipandang sebagai orang yang banyak kelebihan dan dihormati, saat ini hampir setengah dari jumlah penganut syi’ah berada di Irak.
Perkembangan Syi’ah di Persia (sekarang dikenal dengan Iran) dipengaruhi oleh budaya mendewa-dewakan raja dan menganggapnya sebagai orang suci, masih sangat kuat berakar di kalangan bangsa persia. Dengan latar belakang budaya tersebut mereka memperlakukan Nabi Muhammad dan keluarganya sama dengan pelakuan mereka terhadap Kisra (raja) dan keluarganya dahulu. Dan sebagaimana pola dan tradisi mereka kenal ini sehingga mereka berpendirian bahwa sepeninggal Nabi maka penggantinya harus keturunan atau keluarga Nabi.[31] Selanjutnya didukung pula oleh perkawinan Husain bin ‘Ali Radhiallahu ‘Anhuma dengan Syaharbanu (Salafah)[32] putri dari Yazdajurd (raja Iran dari turunan Sasanid) yang dianggap suci oleh masyarakat Iran ketika itu. Dari perkawinan mereka lahirlah Zainul Abidin yang diyakini masyarakat Iran bahwa mengalir darah Iran pada dirinya. Yahudi Iran yang dendam terhadap Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang telah berhasil menaklukkan Iran, memperluas daerah penaklukan yang islamiah dan memadamkan api sesembahan orang-orang Majusi. Nah, ini salah satu yang dimanfaatkan oleh yahudi Iran tanpa sepengetahuan ‘Ali dan izinnya untuk mengadu domba Amirul Mukminin Ali dan khalifah kaum muslimin Utsman bin Affan. Dengan menyebarkan dusta-dusta (fitnah) bahwa yang berhak menjadi penguasa dan khalifah adalah ‘Ali dan anak-anaknya. Oleh karena ajaran seperti inilah banyak masyarakat Iran (termasuk yahudi dan Majusi) akhirnya masuk golongan Syi’ah, membentuk kesatuan dan menyusun teknik permusuhan dengan warna keagamaan dan warna kemazhaban untuk melampiaskan kebencian dan cacian mereka terhadap para sahabat, lebih-lebih terhadap Umar dan Utsman.[33]
Perkembangan Syi’ah di Mesir sangat terlihat ketika Daulah Fatimiyah berkuasa pada tahun 296 -555 H / 908-1160 M, aliran Syi’ah mencapai puncak kejayaannya, karena aliran Syi’ah menjadi mazhab resmi dari Daulah Fatimiyah. Di Mesir tercatat bahwa salah satu jasa Syi’ah dalam menyumbangkan moril dan materil dalam dunia pendidikan Islam ialah mendirikan Azhar University, yang sampai saat ini masih dapat kita rasakan.[34]
Sedangkan di Indonesia, Syi’ah berjasa dalam penyiaran Islam yang pertama kali di kawasan Nusantara, hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut :[35]
1.      Sultan Aceh yang merupakan kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah menganut faham Syi’ah.
2.      Faham Mistik (Kebathinan) yang dianut oleh sebagian orang Islam di Indonesia, adalah berasal dari ajaran Syi’ah.
Karena ada kemungkinan penyebaran-penyabaran Islam pertama kali di Indonesia adalah faham Syi’ah, maka orieantalist berpendapat bahwa Syi’ah yang dimaksud adalah Syi’ah yang berasal dari Gujarat. Namun hal ini dibantah oleh pendapat mutakhir, bahwa Islam di Indonesia asalnya Arab langsung.
Selain di negara-negara yang telah diuraikan di atas. Menurut  Warld Factbook (2008) bahwa pengikut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah telah tersebar di belaan dunia termasuk negara-negara seperti: Lebanon, India, Azerbaijan, Kuwait, Bahrain, Arab Saudi, Qatif, Madinah, Al-Hasa’, Muskat, Oman, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Kirgizstan, Kazakhsan, Rusia, Asia tengah dan lain-lain[36].






















BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad telah mendomonasi dalam percaturan politik Islam. Mereka menganggap bahwa yang berhak memegang kekuasaan politik setelah Nabi wafat adalah ‘Ali ibn Abi Thalib dan keturunannya. Inilah yang mereka perjuangkan baik sewaktu ‘Ali masih hidup maupun setelah meninggal dunia, mereka pun menuduh bahwa Abu Bakar dan ‘Umar telah merampas hak kekhalifaan dari tangan ‘Ali. Jadi penulis melihat bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyariyah tidak seutuhnya (Murni) di bangun atas dasar mazhab tapi banyak yang mencampurinya dengan politik.
Sumber Syi’ah ‘Asyariyah dalam merumuskan hukum adalah Al-Qur’an, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali, ra’yu imam-imam yang maksum (ahlul bait) sedangkan ra’yu yang berasal dari orang-orang selain imam-imam yang maksum menurut mereka tertolak, karena mereka meyakini bahwa selain imam yang maksum tidak boleh mengambil hukum dari ra’yu. Namun pada perkembangannya yang dipengaruh oleh beberapa faktor mereka pun mulai memakai ra’yu termasuk ijtihad.

2.      Saran
·         Janganlah melihat islam dari orangnya tapi lihat islam dari doktrin ajaran yang sebenarnya(islam murni)
·         Jadikanlah semua sejarah dan doktrin yang telah dibangun oleh generasi klasik sebagai dasar atau motif awal untuk dikembangkan dan didesain lebih indah dan modren, yakni tidak menghapus, melainkan mengembangkan kearah yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad,  Islam Tidak Bermazhab, penerj. A. M. Basalamah, cet ke-2, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Abu Zahrah, Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, peny. Hery Noer Aly, Jakarta: Logos, 1996.

Anynom, “Imam Dua Belas”, http://id.wikipedia.org, 21 September 2011.

Bik, Hudhari, Terjemahan Tarikh al-Tasyri’ al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, penerjemah Muhammad Zuhri, Semarang: Rajamurah-Alqona’ah, 1980.

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, editor Muchith A. Karim, Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin Politik Islam, cet ke-2 Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Noor, M. dan Matsdawam, Tinjauan Ringkas Beberapa Aspek Hukum Islam dan Problematikanya di Indonesia, Yogyakarta: Kota Kembang, 1977.

Reza Modarresee, Muhammad, Syi’ah Dalam Sunah: Mencari Titik Temu Yang Terabaikan, Peny. Salman Parisi, T.k, Citra, 2005.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet ke-5, Jakarta: UI Press, 1993.

Sirep, Awi, “Imam Ahlu Bait 12http://alpanarku.wordpress.com, 10 November 2010.


[1] ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah dan juga menantu Rasulullah karena ‘Ali ibn Abi Thalib adalah suami dari Fathimah binti Rasulullah
[2]Anynom, “Imam Dua Belas”, http://id.wikipedia.org ( 21 September 2011).

[3]Imam Muhammad Abu Zahrah,  Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, peny. Hery Noer Aly (Jakarta: Logos, 1996), h. 52.

[4]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin Politik Islam, cet ke-2 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 114.
[5]Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, h. 36, 50-56.

[6]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab, penerj. A. M. Basalamah, cet ke-2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 167.

[7]Awi Sirep, “Imam Ahlu Bait 12http://alpanarku.wordpress.com (10 November 2010), th.
[8]M. Noor dan Matsdawam, Tinjauan Ringkas Beberapa Aspek Hukum Islam dan Problematikanya di Indonesia (Yogyakarta: Kota Kembang, 1977) h. 65.

[9]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab, h. 158.

[10]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 214.

[11]Ibid., h. 215.
[12]Ibid., h. 216.

[13]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab, h. 158.

[14]Hudhari Bik, Terjemahan Tarikh al-Tasyri’ al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, penerjemah Muhammad Zuhri, (Semarang: Rajamurah-Alqona’ah, 1980), h. 447.
[15]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 215.

[16]Anynom, “Imam Dua Belas”, http://id.wikipedia.org.
[17]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab, h. 169.

[18]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 213.

[19]Anynom, “Imam Dua Belas”, http://id.wikipedia.org.

[20]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 214.

[21]Ibid.
[22]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin Politik Islam, cet ke-2 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 116-118.

[23]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab, penerj. A. M. Basalamah, h. 167.

[24]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin Politik Islam, h. 119.

[25]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab, h. 169.
[26]Ibid., h. 158-180.
[27]Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, editor Muchith A. Karim (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 69-70.
[28]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab,  h. 171.

[29]Ibid.,
[30]Ibid., h. 178-179.

[31]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 211-212
.
[32]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah,  Islam Tidak Bermazhab, h. 136.
[33]Ikhsan Ilahi Zhahiri, Asy-Syi’ah Was Sunnah: Syi’ah dan Sunnah, Penerjemah. Bey Arifin (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), h. 73-74.

[34]M. Noor dan Matsdawam, Tinjauan Ringkas Beberapa Aspek Hukum Islam dan Problematikanya di Indonesia, h. 64.

[35]Ibid.
[36]Anynom, “Imam Dua Belas”, http://id.wikipedia.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar