SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 29 Januari 2009

Reintegrasi Intelektual Dayah dan Kampus(Apresiasi atas tulisan Muhammad Dayyan)

Reintegrasi Intelektual Dayah dan Kampus

(Apresiasi atas tulisan Muhammad Dayyan)

[ penulis: Tgk. Mahfudh Muhammad, S.Pd.I |Serambi Online ]

SECARA umum, agama masyarakat Aceh dikawal dua lembaga tinggi; Dayah (Pesantren) dan PTI (Perguruan Tinggi Islam) baik negeri maupun swasta. Santri (sebutan peserta ajar Dayah) atau mahasiswa (sebutan di PTI) adalah generasi intelektual Islam, dan tradisi intelektualisme mereka berpengaruh pada perkembangan sosial keagamaan masyarakatnya.

Semangat intelektual itu, terlihat ketika seorang santri menghabiskan waktunya bertahun tahun untuk menghafal berbagai kitab, seperti kitab Alfiah( kitab Nahwu berisi 1000 bait karangan Ibnu Malik, ulama Andalusia) atau kitab Matn Sullam (kitab Manthiq yang terkenal karangan Abdurrahman Al-akhdhari) dan kitab lainnya. Umumnya kitab-kitab seperti itu ditulis berbentuk nadham (sastra yang huruf akhirnya sama) agar mudah dihafal oleh penuntut ilmu. Mereka tidak akan berpindah dari satu kitab ke kitab lain bila belum yang menamatkannya secara tuntas. Hal itu mereka lakukan bukan tanpa landasan ilmiah, tetapi merupakan aplikasi sebuah konsep yang dikemukakan oleh seorang tokoh pendidikan klasik; Az Zarnuji (Ta‘limul Muta‘alim,h.15)

Di samping kitab kitab berbentuk nadham, santri Dayah juga menghafal ta‘rif ta‘rif (definisi dari suatu istilah), qa‘idah (undang undang umum) dari berbagai disiplin ilmu; fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits (yang dikenal dengan ilmu pokok; ushul fiqh, ’ulumul hadits, nahwu, sharf, manthiq, bayan, ma‘ani, badi‘(yang dimasyhurkan dengan ilmu alat). Ketika membaca sebuah permasalahan ilmiah dalam kitab fiqh misalnya, mereka dituntut bisa mengaplikasikan hasil hafalan dan pemahamannya dalam ilmu alat ke dalam sebuah paragraf kitab yang sedang dibahas. Bahkan tak jarang hanya dalam satu kalimat atau kata, mereka harus bisa menganalisanya dari berbagai sudut pandang ilmu yang telah mereka hafal. Hal itu mereka lakukan, hanya untuk mengambil satu kesimpulan atau shurah yang benar benar ilmiah dan argumentatif.

Praktis, pembahasannya mendalam dan sistematis. Biasanya, pendalaman (tahqiq) seperti itu, baru mereka lakukan setelah menempuh proses pendidikan yang sangat melelahkan minimal tujuh tahun, bahkan sampai 15 tahun lebih. Tentu tak sedikit yang drop out, karena tak sanggup menempuh sistem demikian. Paling kurang mereka akan menjadi santri yang berada di zona aman yang hanya nginap di dayah sekedar tidak meninggalkan shalat atau memahami dan mengamalkan hukum fardhu ’ain saja. Itulah sekilas tradisi intelektualitas dayah, yang sampai sekarang masih berlangsung. Efektifkah sistem demikian di era TI (Teknologi Informasi) yang semakin berkembang? Mampukah dayah menjawab permasalahan kontemporer yang semakin kompleks?

Sementara dalam system perguruan tinggi, seorang mahasiswa -seolah dikejar waktu- masuk perpustakaan, meminjam beberapa buku yang berkaitan dengan judul makalah yang diberikan oleh sang dosen, atau membaca, mencatat dan mengcopy hal hal penting, kemudian mereka pergi ke rental komputer mengetik sendiri atau menyewa jasa pengetik kemudian mengeluarkan beberapa lembar rupiah sebagai gantinya.

Mahasiswa dilatih untuk mencari, memilah dan memilih kemudian mengambil kesimpulan berdasarkan analisa hasil bacaan. Sampai pada waktu yang ditentukan, mereka mempresentasikan makalah setebal 10-15 halaman tentang tema yang telah ditentukan, Ushul Fiqh misalnya. Kemudian mahasiswa lainnya mengajukan beberapa pertanyaan, dan muncullah diskusi di antara mereka, yang diakhiri dengan kesimpulan yang dipaparkan oleh dosen. Dalam waktu sekitar 90 menit mereka selesai membedah satu tema keagamaan. Dalam waktu sesingkat itu mereka bisa mengkaji 15 halaman, suatu hal yang kalau di dayah memerlukan waktu satu minggu baru tuntas pembahasannya. Tradisi seperti itu kini sedang berlangsun. Kebanyakan mahasiswa di PTI berasal dari MAN dan SMU, sangat sedikit yang berasal dari Pesantren terpadu dan dayah, bagaimana mereka bisa memahami fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir dan ilmu keislaman lainnya secara tuntas hanya dalam waktu empat tahun dan tidak mempunyai basic ilmu alat yang kuat?

Dualisme sistem pengembangan intelektualitas (Dayah dan Kampus) adalah suatu realita. Ini kemudian kerap menimbulkan pro-kontra. Sebagian kalangan kampus mengkritik metode pembelajaran di dayah. Mereka berkata” Dunia semakin berkembang, tak mungkin kita mempertahankan sistem seperti di dayah. Kita dituntut oleh waktu untuk terus berkreasi dan melahirkan inovasi baru. Adalah satu hal yang mustahil memunculkan ide ide baru, bila sistemnya hanya menghafal teks teks klasik yang tidak up to date dengan perkembangan zaman, permasalahan kontemporer memerlukan analisa kritis dengan sudut pandang komprehensif dengan memadukan berbagai pendapat para ahli dari berbagai mazhab. Sangat naïf, kalau kita hanya berpegang pada satu mazhab saja dan mengabaikan mazhab lainnya dan untuk apa menghabiskan waktu puluhan tahun, kalau pemikirannya tidak berkembang dengan bukti rendahnya produktivitas mereka dalam menulis “.

Kalangan dayah -seolah ingin membela diri- berujar “Kreasi dan inovasi apa yang bisa dilahirkan oleh intelektual kampus, kalau mereka belajar fiqh dari buku buku terjemahan, tanpa mengaplikasikan ilmu ilmu alat dalam teks teks arab yang rumit dan sulit, sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang valid dan tahan uji? Kalaupun mereka bisa membaca teks arab, analisa mereka akan mirip dengan khayalan belaka karena mereka tidak menghafal dan mendalami ilmu manthiq, nahw, sharf, qa‘idah dan ta‘rif? Bagaimana mau mengadopsi mazhab lain, kalau belajarnya tidak tuntas dari A-Z dari suatu permasalahan?

Mengkompromikan sistem

Sungguh agama Islam ini luas, lues dan komplek. Tidak hanya mazhab Syafi‘i saja. Jadi, kita harus eksklusif terhadap perubahan dan perbedaan pendapat, kemudian menghasilkan intelektual kampus yang mampu melahirkan karya hasil pemikiran mereka yang beroirentasi pada kontekstualitas. Sebab bila ditelusuri, bahwa lembaga kampus menciptakan sebuah paradigma berfikir secara universal dan komprehensif. Sementara, lembaga dayah menumbuhkan satu dinamika berfikir yang radikal (mendalam) dan tuntas dari suatu masalah berdasarkan mazhab tertentu, sehingga melahirkan ulama ulama yang berkompeten dalam mempertahankan aqidah ahlussunnah wal jama‘ah dengan menolak syubhat dan bid‘ah dalam agama.

Maka sangat ironis, ketika dua kubu ini saling menyikat dan menyikut, saling mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar. Padahal, mereka memiliki misi yang sama, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan. Namun, perbedaan metode dan prinsip telah menimbulkan dikhotomi pemikiran dalam dunia pendidikan Islam di Aceh.

Bagaimana mendamaikan konflik intelektual itu? Mungkinkah proses reintegrasi bisa berlangsung? Mengadopsi teori Ushul fiqh ketika kontradiksi dua dalil. Cara penyelesaiannya yang paling utama adalah dengan Al Jam‘u wa al taufiq (mengkompromikan kedua dalil tersebut dengan menempatkannya pada posisi masing masing). Maka bukan suatu yang mustahil, seperti diharapkan oleh saudara Muhammad Dayyan dalam ungkapannya” Para dosen yang berkecimpung dalam perguruan tinggi Islam perlu mempelajari tradisi ilmiah klasik, tradisi ilmiah kontemporer dan mengkombinasikan hal hal positif dari keduanya dan memperbaiki hal hal negatif dari keduanya”. Agaknya, inilah yang dimaksud dalam suatu qa‘idah fiqh, dikatakan “Al Muhafazhah ’ala al qadim al shalih wa al akhzu bi al jadid al ashlah” melestarikan tradisi (media) lama yang bagus dan mengadopsi tradisi (media) baru yang lebih bagus.

Mudah mudahan di Aceh akan lahir intelektual kampus (dosen dan mahasiswa) yang bisa menghafal dan mendalami Alfiah, Matn Sullam, Qaidah, Ta‘rif dan ilmu alat lainnya. Sehingga analisa, observasi dan eksplorasi ilmiah mereka lebih mendalam dan terarah. Juga akan tumbuh intelektual dayah (guru dan santri) yang bisa mengembangkan pemikiran dan berusaha melakukan pengkajian masalah kontemporer yang semakin berkembang, kemudian menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah, sehingga muzakarah dan mubahatsah mereka yang mendalam tidak terbawa arus zaman yang terus berubah. Mungkin, Dayah Mudi Mesra Samalanga saat ini telah melakukan inovasi ke arah itu dengan mendirikan STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Al ’Aziziyah, yang berdiri megah di depan Dayah. Semoga berhasil.

*) Penulis adalah Dosen STAI Al ’Azizyah Samalanga, mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar Raniry.

1 komentar: