SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 29 Januari 2009

Mendobrak Tradisi Fikih 1

Mendobrak Tradisi Fikih

[ penulis: Khairizzaman | Serambi Online ]

ANDIL keterbelakangan umat Islam, disinyalir akibat terpengaruh dengan teologi kadariah, terpengaruh dengan tradisi fikih yang diasumsikan mapan dan juga menganggap yang berasal dari negara-negara Barat semua haram. Tulisan ini hanya difokuskan pada ketergantungan tingkat tinggi kaum santri kepada tradisi fikih yang sudah ada, tanpa ada keberanian untuk mempertanyakan, mengkritisi, mendobrak apalagi membongkarnya. Padahal fikih merupakan produk material yang ditinggalkan generasi terdahulu kepada generasi sesudahnya.

Sebagai hasil ciptaan dan produk kreatifitas sadar manusia dalam episode sejarah yang silih berganti. Fikih bukanlah aksioma mapan yang harus selalu dipegang, tetapi lebih sebagai sesuatu yang dapat didiskusikan, direvisi dan diperdebatkan sepanjang waktu.

Sebagian umat Islam menganggap fikih sebagai sesuatu yang suci dan tidak boleh dilangkahi. Menepisnya dalam konteks tertentu justru dianggap tabu dan melampaui pewaris. Kecenderungan pemahaman seperti ini terekam dari diskusi panjang saya dengan santri dayah salafi yang tergabung dalam beberapa angkatan Program Studi Purna Ulama (SPU) dan magang santri ke pulau Jawa tahun 2007/2008, sebuah program investasi berharga bagi kelompok santri dari BRR di bawah Kedeputian Agama, Sosial dan Budaya. Mengapa para santri dayah salafi di Aceh tidak punya keberanian mendobrak tradisi fikih itu? Inilah pertanyaan utama yang hendak diulas dalam kajian ini.

Orientasi fikih dayah salafi

Dalam sejarah Aceh, dayah salafi sebagai lembaga pendidikan non formal telah mampu mewariskan proses transmisi, internalisasi dan tradisi keilmuan fikih yang sangat tinggi dibandingkan disiplin ilmu lain. Ilmu fikih terutama yang bermazhab Asy-Syafiì rata-rata dikuasai secara mendalam dan sangat menonjol dalam proses transformasi pengetahuan. Penguasaan santri terhadap tradisi fikih itu tidak perlu diragukan lagi, sehingga mereka menjadi tempat bertanya bagi masyarakat yang mempunyai problema dalam kehidupan sehari-hari.

Pola pengajaran fikih di dayah salafi pada umumnya dialihkan para guru kepada muridnya dengan gaya dogmatis yang sangat sedikit mempertanyakan alasan keberadaan sebuah pendapat, apalagi mengaitkan dengan realitas sosial kelahiran sebuah pendapat. Asbabun nuzul yang melatari turunnya ayat, asbabul wurud sebuah hadits, latar belakang lahirnya sebuah pendapat, sejarah sosial fikih sangat sedikit diapresiasikan dengan baik sehingga cenderung teks (pendapat) dilepaskan dengan konteks. Bukankah sebuah teks juga tidak lahir begitu saja tanpa konteks?

Bagaimanapun teks tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Teks terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis.

Dalam sejarah peradaban Aceh, santri dayah salafi diyakini sangat mengapresiasi fikih klasik yang terfragmentasi dalam berbagai lembaran kitab kuning. Khazanah itu dijadikan rujukan utama dalam menjawab semua persoalan, sehingga tidak jarang terkondisikan oleh realitas masa lalu secara apa adanya. Fenomena ini disadari atau tidak telah mempengaruhi pembentukan struktur kesadaran seseorang, sehingga pola pikir dogmatis juga melekat dan mengental pada kelompok santri salafi.

Kecenderungan itui bahkan diyakini telah merambah secara fundamental dalam pembentukan karakter, nalar dan prilaku sehari-hari masyarakat Aceh, apapun persoalan yang dihadapinya. Solusinya adalah kembali kepada fikih-fikih klasik, sehingga pola pikir sebagian masyarakat-pun terlihat sangat fikih oriented. Dampak sakralisasi fikih klasik sangat dominan dalam frame pemikiran kaum santri dan ini akan sangat berbahaya bagi upaya pengembangan fikih modern yang harus selalu mengartikulasikan konteks supaya hukum Islam terhindar dari kevakuman.

Kalau ditelaah realitas proses belajar mengajar kelompok santri, setidaknya ada beberapa alasan utama mengapa fikih klasik itu diadopsi penuh oleh kalangan santri. Pertama, fikih klasik itu dianggap sesuatu yang mapan, establish, tidak perlu ada pemaknaan dan pengkajian kembali sehingga santri dayah salafi melegitimasi fikih sebagai kebenaran ekslusif. Paradigma ini akan mengantarkan santri pada cara berfikir kebenaran hakiki hadir dalam persepsi manusia, bukan pada Tuhan

Kedua, belum terbedakan dengan jelas karakteristik syari’at dan fikih.Ini sangat penting dipahami secara proporsional agar tidak menimbulkan kerancuan terhadap fikih itu sendiri. Syari’ah adalah wahyu dan merupakan sumber ajaran paling fundamental, khitab Allah yang hakiki dan bersifat abadi, universal serta memiliki kebenaran mutlak. Sedangkan fikih adalah formula hasil kajian para fuqaha dalam usahanya menemukan hukum Tuhan. Karenanya kebenaran fikih ádalah relatif. Karakter fikih sangat varian, berwatak liberal dan mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu. Menyamakan syari’ah dan fikih berarti menganggap keduanya bersifat universal, absolut dan abadi. Sungguh ini suatu kekeliruan yang harus diperbaiki dalam pemikiran fikih kaum santri di Aceh.

Ketiga, menganggap ijtihad sesuatu yang telah tertutup rapat. Padahal ijtihad untuk menggali hukum-hukum Islam justru terbuka lebar bagi kelompok ulama yang mempunyai kapasitas berijtihad. Hal ini dibutuhkan karena banyak sekali persoalan yang dihadapi kaum muslimin tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah saw, apalagi era global ini yang mempunyai semangat zaman berbeda dengan masa Rasul dan tidak pernah ada apresiasinya dalam fikih klasik. Inilah celah kita mengembangkan pemikiran fikih apalagi setelah melihat fakta perbedaan kaídah yang digunakan imam mazhab sehingga melahirkan produk hukum fikih yang berbeda pula.

Fikih klasik sebagai ilmu praktis yang ditransformasikan oleh pembawa Islam terdahulu tetap saja dijadikan acuan membedah hukum generasi sekarang ini, tetapi tidak secara totalitas tanpa ada gugatan historisitas sedikitpun. Apalagi social setting dan waktu yang dihadapi sangat berbeda. Menerimanya secara utuh dan terlepas dari konteks sejarah kapan dan dimana ia lahir justru akan membuat kita terperangkap kepada bahaya terbesar yang menurut istilah Peter Drucker masuk kategori turbulensi. Yang berbahaya bukanlah turbulensi itu sendiri melainkan “cara berpikir kemarin” yang dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.

Suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa fikih itu ditulis para ulama terdahulu pada abad III dan IV H. Karena itu pasti butuh pemahaman yang lebih konstekstual agar tidak kehilangan perannya menjadi rambu bagi kehidupan masyarakat, menjadi tugas penting dan mendesak yang tidak bisa dihindari dan dielak. Karena itu diperlukan adanya keberanian untuk mendobrak sekurang-kurangnya mereformasi hukum Islam dan tidak mentolerir adanya kevakuman hukum dengan dalih ulama terdahulu tidak membicarakannya.

Dalam sejarah kelahirannya, bangunan fikih sering muncul ketika persoalan kemanusiaan di masyarakat mengemuka dan perlu direspons. Inilah yang membuat fikih disebut sumber dinamisme, dimana produk ijtihad juris Islam selalu dikreasikan sepanjang zaman. Sebagai sebuah kreasi (ijtihad), fikih tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah kapan dan dimana ia lahir. Dengan dasar pijakan ini, fikih tidak semata berupa teks tetapi juga realitas masyarakat fikih itu sendiri sebagai objeknya.

Paradigma alternatif

Di abad modern ini, umat Islam dihadapkan pada aneka masalah kontemporer yang sangat komplek seiring dengan perubahan zaman yang drastis, karena itu umat Islam mesti mendobrak tradisi fikih klasik dan tidak perlu ragu berijtihad menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan semangat zamannya. Kondisi ini sangat dipegaruhi oleh iklim proses belajar mengajar baru yang tidak dogmatis, bersifat mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali. Umat Islam perlu mendesign paradigma alternatif yang tidak “mengekor” pada masa sebelumnya, meski tidak berarti meninggalkannya secara totalitas.

Paradigma alternatif yang mungkin ditempuh adalah menghidupkan kembali tradisi berfikir manhaji (metodologis) dengan mengakomodasikan berbagai metode yang telah dirumuskan para ulama mazhab sunni terdahulu seperti qiyas, istihsan, maslahat mursalah, sadd zariàh dan lain-lain secara simultan. Artinya, nalar fikih yang dikembangkan ulama terdahulu harus dikembangkan kelompok santri salafi, sebab ia selalu mampu didialogkan kembali dengan setting social dan kultur baru setiap zaman. Jika ini dapat dipahami dengan baik maka klaim dan lebel jumud (stagnan) pada fikih menjadi kehilangan relevansinya.

Fikih harus diapresiasi dalam kerangka hukum produk setting dan budaya lokal, bukan internasional, produk hukum sezaman bukan setiap zaman, meskipun masih banyak fatwa-fatwa fikih yang masih relevan dengan situasi dan kondisi kekinian. Nalar fikih sesunguhnya sudah ada dan nyata dalam semangat ijtihad dan fatwa para ulama terdahulu. Sebagian nalar itu sudah terakomodir dalam kaídah-kaidah ushuliyyah dan fikhiyyah.

Para fuqaha telah mewariskan semangat dan nalar yang begitu berharga bagi generasi berikutnya yang harus diapresiasi dengan baik. Para santri harus memiliki “simbiosis-mutualisme” terhadap realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kepekaan yang kuat, pengamatan yang tajam dan daya analisis yang memadai harus ditunjukkan para santri dalam merespons fenemona-fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya. Dengan metode alternatif ini, para santri dayah salafi di Aceh diyakini akan terselamatkan kesadarannya dari ketersisihan dinamika sejarah dan keterkungkungan dalam benteng masa lampau. Perlu kita ingat bahwa masa lampau betapapun gemilang, indah dan megah, namun tetaplah telah berakhir dan terlewatkan.

*) Penulis adalah staf Dinas Syari’at Islam Kabupaten Pidie, Peneliti Pada PKPM Propinsi NAD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar