SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 29 Januari 2009

Mendobrak Kegamangan Fikih

Mendobrak Kegamangan Fikih

(Tanggapan atas tulisan Khairizzaman)

[ penulis: Tgk. Mahfudh Muhammad, S.PdI | Serambi Online ]

MENARIK untuk dianalisis tulisan saudara Khairizzaman (Kz) berjudul “mendobrak tradisi fikih” (opini Serambi Indonesia, 6/12/2008). Kz mengilustrasikan santri dayah Aceh ibarat seorang “terdakwa” dengan melakukan tujuh “dosa besar”. Namun, menurut saya, tudingan itu terkesan juz‘i (parsial) dan cenderung digeneralisasi (kulli) secara paksa.

Ada tujuh “dosa besar” santri Dayah Salafi yang saya simpulkan berdasarkan “tudingan” saudara Kz dalam tulisannya. Pertama, pola pengajaran fikih di dayah salafi bersifat dogmatis, sangat sedikit mempertanyakan alasan keberadaan sebuah pendapat. Sehingga pola pikir dogmatis juga melekat dan mengental pada kelompok santri salafi.

Kedua, kaum santri sangat sedikit mengaitkan sebuah pendapat dengan realitas sosial kelahiran sebuah pendapat, asbabunnuzul yang melatari turunnya ayat serta asbabulwurud sebuah hadits, sehingga teks cenderung dilepaskan dari konteks.

Ketiga, pemikiran fikih kaum santri sangat berbahaya bagi upaya pengembangan fikih modern yang harus selalu mengartikulasi konteks supaya hukum Islam terhindar dari kevakuman. Keempat, paradigma berfikir fikih kaum santri akan mengantarkan mereka pada cara berfikir kebenaran hakiki hadir dalam persepsi manusia, bukan pada Tuhan.

Kelima, kaum santri cenderung menyamakan antara syari‘at dengan fikih. Mereka menganggap keduanya bersifat universal, absolut dan abadi. Keenam, kaum santri menganggap ijtihad sesuatu yang telah tertutup rapat. Ketujuh, kaum santri sudah terjebak dalam bahaya penggunaan “cara berfikir kemarin” untuk memecahkan masalah sekarang.

Itulah tujuh “dosa besar” kaum santri dayah menurut “fatwa” Kz dalam tulisannya. Benarkah begitu? Apakah bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah? Bagaimana metodologi Kz hingga menyimpulkan analisisnya? Saya menilai Kz hanya mengambil sampel dari sebagian santri yang mengikuti SPU program BRR. Itu tidak cukup untuk mewakili jumlah santri dayah salafi di seluruh Aceh. Metode seperti ini sangat tidak bisa menggambarkan realitas sebenarnya.

Secara metodoli, Kz harus mengambil sampel, jika respondennya lebih dari 100, maka sampelnya berkisar 20 sampai 25 persen. Artinya, bila jumlah santri dayah di Aceh mencapai puluhan ribu, maka Kz harus mengambil sampelnya paling kurang 10 persen, bukan hanya belasan santri. Agaknya Kz mengabaikan hal ini sehingga analisisnya mirip dengan “khayalan” dan cenderung mendistorsi fakta.

Saya menggunakan dua pendekatan untuk membedah analisis Kz, yaitu teoritis dan empiris. Secara teoritis, tak satupun dari kitab kitab yang dipelajari di dayah menyodorkan sebuah teori atau konsep yang menganjurkan para santri untuk mengamalkan tujuh “dosa besar” yang disebutkan Kz. Tapi yang kita dapatkan justru sebaliknya, banyak teks teks kitab kuning menganjurkan untuk; muzakarah dan mubahatsah (sebuah konsep yang memustahilkan kedogmatisan berfikir) dengan guru dan para ulama yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang argumentatif (Ta‘limul Muta‘allim: 30).

Kita tidak boleh menelan mentah mentah pendapat ulama. Tapi harus dinilai rajih (kuat) tidaknya ditinjau dari faktor internal; matan/teks harus berdasarkan dalil yang shahih dan faktor eksternal; kondisi ulama, kecerdasannya, ketakwaanya dan kewaraannya (Majmu‘ah Sab‘ah Kutub: 44). Dan juga tinjaun adat (kondisi sosial) masyarakat, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh “al `adah muhakkamah” adat kebiasaan dapat menjadi landasan hukum (Al Asybah wan Nadhair: 63).

Penuntut ilmu harus berusaha sekuat tenaga keluar dari belenggu taklid. Bahkan apabila ia mampu berijtihad, maka haram baginya untuk taklid (Waraqat: 23). Kita harus mengecek ulang status hukum suatu peristiwa, karena bisa jadi ’illat yang ada pada hukum itu sudah hilang, maka dengan sendirinya hukum itu tidak berlaku lagi. Sesuai dengan qa‘idah fiqh “al hukmu yaduru ma‘al ’illat wujudan wa ’adaman” hukum itu berorientasi pada ’illat, ada dan tiadanya (Tuhfatul Muhtaj, vol 4:113) Inilah sekilas konsep yang difahami dan diamalkan oleh santri dayah. Jadi, mengapa saudara Kz menuduh pemikiran fikih santri dayah bersifat dogmatis, statis dan jumud, padahal konsep yang mereka pelajari sangat ilmiah dan otentik?

Materi fikih itu sangat luas, mencakup ibadah, mu‘amalah, munakahah dan jinayah. Itupun dibagi lagi menjadi qath‘i dan dhanni. Demikian juga ada materi fikih yang ta‘abbudi (tidak bisa dilogikakan) dan ta‘aqquli (bisa dilogikakan) dan ada hukum yang ditetapkan berdasarkan adat. Kategori mana yang dimaksud oleh Kz harus berubah karena faktor sosial? Kalau Kz menjawab sebagian kategori dhanniyah yang bersifat ta‘aqquli atau sebagian hukum mu‘amalah yang bersifat dhanni dan dipengaruhi oleh adat dan ’illat, maka santri dayah sudah puluhan tahun memahami dan mengamalkannya.

Apa landasan Kz mengklaim santri dayah tidak berani mendobrak tradisi fikih? Pendobrakan fikih bukan seperti mendobrak “gerobak”. Perubahan hukum bukan laksana berubahnya “bunglon” karena beradaptasi dengan tempat. Tapi harus dilakukan oleh para ahli yang telah mendalami ratusan bahkan ribuan konsep “ilmu alat” yang sudah dibangun oleh Imam mujtahid zaman dahulu. Demikian halnya pintu ijtihad, tidak tertutup sampai akhir zaman. Tapi realitasnya “tidak ada” bukan “tidak boleh”. Siapapun yang memenuhi syarat untuk itu, maka “pintu” terbuka lebar baginya.

Masalahnya adalah, Kz terlalu menyederhanakan masalah (over simplication). Ungkapan Kz menyiratkan seolah fikih itu bisa berubah “semau gue” seperti yang dilakonkan oleh kaum liberalis ala JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla. Dan semua orang yang berfatwa tentang hukum suatu peristiwa baru di zaman modern langsung dikatakan “mujtahid”. Padahal mereka cuma menganalisis dengan memakai metode yang telah dibangun oleh imam mujtahid, bukan metode baru yang mereka temukan sendiri. Kalau begini realitasnya, santri dayah juga sudah melakukannya sedari dulu. Mereka sudah menganalisis berbagai persoalan kontemporer dengan menggunakan metode para imam mujtahid. Tapi mereka tidak menggambar-gemborkan bahwa itu adalah ijtihad. Mereka lebih layak disebut mufti, bukan mujtahid.

Yang mengherankan lagi, Kz menuduh santri dayah terjebak dalam bahaya penggunaan “cara berfikir kemarin” untuk memecahkan masalah sekarang. Padahal Kz menganjurkan penggunaan metodologi qiyas, istihsan, maslahah mursalah, sadduzzari‘ah yang notabenenya merupakan “cara berfikir kemarin” yang diproduk pada tahun II dan III H. Kz melarang sesuatu yang justru ia sendiri memerintahkannya. Nampaknya Kz terjebak dalam “perangkap” yang dibuatnya sendiri. Seorang Profesor fikih pada program Pascasarjana IAIN Arraniry berkata; “fikih yang dibangun oleh Imam mujtahid zaman dahulu adalah ibarat gedung megah bertingkat, sedangkan fikih modern yang muncul sekarang ini ibarat dekorasi dan perlengkapan tambahan sebuah gedung”. Jadi, apa dalil Kz menuduh pemikiran fikih santri dayah membahayakan fikih modern, kalau kenyataanya fikih modern justru terbina diatas fondasi fikih klasik?

Saya melihat santri Dayah adalah kaum yang sangat terbuka. Muzakarah (berdiskusi dan berdebat demi kebenaran) menjadi “makanan” mereka. Mereka tak segan segan mendobrak kesimpulan kawan dan lawan, bahkan sang guru tak luput dari debatan. Mereka berdebat untuk mencari kebenaran yang argumentatif. Biasanya, hanya santri “setengah matang”-kalau tidak dikatakan bodoh- yang terdogma mentah mentah oleh pemikiran guru. Tapi santri yang mempunyai daya nalar tinggi, ia akan terus mencari, menelaah dengan ilmu ilmu alat yang sudah mapan dibinanya selama puluhan tahun. Sehingga tak heran, ketika sebagian mereka belajar di kampus, gaya berdebat ala dayah kerap “merepotkan” sang dosen. Ini bukan berarti santri dayah sudah “maha sempurna”. Di antara kekurangan mereka yang harus diperbaiki -menurut saya- adalah sangat minimnya himmah dalam mengahafal Al Qur‘an sampai 30 juz dan kurangnya produktivitas mereka dalam menulis, sesuatu yang sangat kontras dengan dunia Islam lainnya.

Nampaknya, fenomena “mengkambinghitamkan” dayah bukan hanya hasil “ijtihad” Kz semata, tetapi lebih merupakan “ijtihad kolektif” sebagian “intelektual” yang melihat dan menilai dayah seperti orang buta yang memegang gajah. Ketika yang terpegang belalai gajah, ia bersikeras mengatakan gajah itu adalah bulat, panjang dan mengecil keujung. Ketika dikoreksi dan dijelaskan realitas gajah yang sebenarnya, ia akan menolak dan memberi argumen bantahan. Dinamika santri dan dayah ibarat seorang muslim dan agama Islam. Ketika ada sebagian orang Islam tidak shalat, suka berdusta dan tidak disiplin, apakah kita akan menyalahkan ajaran Islam yang begitu agung? Demikan juga, ketika ada sebagian santri “setengah matang” yang menampakkan ketidakilmiahannya dalam berfikir, apakah kita akan mengklaim dayah sebagai biang keladinya? Inilah “kegamangan” pola fikir sebagian “intelektual” terhadap tradisi fikih yang harus berani kita dobrak. Wallahu a‘lam bissawab.

*) Penulis adalah Dosen STAI Al ’Aziziyah, Samalanga, mahasiswa Pascasarjana IAIN Arraniry

1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar