SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Sabtu, 08 Oktober 2011

Qadariah dan Jabariah

A. Pendahuluan
            Ibarat sebuah pohon, i’tikad (keyakinan) yang mendalam merupakan akar pondasi yang menjadi dasar, sedangkan akidah merupakan satu batang penopang yang tegak tidak boleh menyimpang. Salah dalam I’tikad-akidah menyebabkan seseorang tersesat dan keluar dari Islam menjadi kafir.
            Sedangkan Fiqih merupakan dahan, ranting dan cabangnya. Dalam masalah Fiqih-amaliah yang ijtihadi sering terjadi perbedaan pendapat (khilafiah) diantara para imam mujtahid dan para ulama. Salah dalam ijtihad fiqih amaliah, tidak menyebabkan seorang muslim menjadi kafir, melainkan yang benar dapat dua pahala yang salah dapat satu pahala. Hadits Nabi yang menginformasikan akan adanya firqoh-firqoh Islam yang sesat dalam masalah Akidah (bukan masalah fiqih-amaliah Khilafiah) :

“Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuannya masuk neraka kecuali satu:.
Sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?”
Nabi Menjawab: “yang satu itu ialah orang yang berpegang(beri’tiqad) sebagai peganganku(I’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku[1]”(HR. Tirmidzi)

Bahwa 72 firqah yang sesat itu bertumpu pada 7 firqah yaitu[2] :
Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan. Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran. Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah. Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran. Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran. 6. Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
7. Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah
“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.[3]” (HR. Abu Dawud).

“Ada dua firqah dari umatku yang pada hakikatnya mereka tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, yaitu kaum Murji’ah dan kaum Qadariyah.” (HR Tarmidzi[4]).

“Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.” (HR Abu Dawud).

“Akan keluar suatu kaum di akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (ayat-ayat Allah). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama bagai meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa dengan kamu, lawanlah mereka.” (HR Bukhari)[5].

B. Pengertian

Qadariyah Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasar katanya adalah qadara yang memiliki arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah berdasarkan terminology adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan atau dengan kata lain tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan, bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
Jabariyah Jabariyah berasal dari kata yabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-Syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafy al-fi'l 'an al'abd haqiqah) dan menyan-darkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat "mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn Shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak, (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan ma­nusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu, perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy, seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, "Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.
Jadi nama Jabariah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa. Memang dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris, paham ini disebut fatalisme atau predistination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak semula oleh qada dan qadarTuhan.

C. Paham Jabariah
1. Sejarah Jabariah
Kaum Jabariyah diduga lebih dahulu muncul dibandingkan dengan kaum Qadariyah, karena Jabariyah nampaknya sudah dapat diketahui secara jelas ketika Mu’awiyah Ibn Ali Sofyan (621 H) menulis surat kepada al Mughirah ibn Syu’bah (salah seorang sahabat Nabi) tentang doa yang selalu dibaca Nabi, lalu Syu’bah menjawab bahwa doa yang selalu dibaca setiap selesai shalat adalah yang artinya sebagai berikut :
“Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu baginya, Ya Allah tidak ada sesuatu yang dapat menahan apa-apa yang Engkau telah berikan, tidak berguna kesungguhan semuanya bersumber dariMu ” (H.R Bukahri)
Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’ , artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalism atau predestination (segalanya ditentukan oleh Tuhan) Memang dalam aliran ini paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia sangat dominan, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh Tuhan.
Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran ini : Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.
Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang lain.
Perlu dicatat bahwa Jahm ibn Shafwan juga mempunyai hubungan kerja dengan al Harits ibn Suriah yakni sebagai sekretaris yang menentang kepemimpinan Bani Umayyah di Khurasan Perlawanan al Harits dapat dipatahkan, sehingga ia sendiri dijatuhi hukuman mati pada tahun 128 H/ 745 M. Sementara Jahm diperlakukan sebagai tawanan yang pada akhirnya juga dibunuh.
Pembunuhan pada dirinya bukan karena motif mengembangkan paham Jabariyah, tetapi karena keterikatannya dangan pemberontakan melawan pemerintahan Bani Umayyah bersama dengan al Harits, Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang lebih dua tahun setelah kematian al Harits yakni pada 747 M, yang pada saat itu pemerintah Bani Umayyah dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad (744 – 750 M).
2. Pokok- pokok paham Jabariyah
Paham Jabariyah(predestinarians) bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak memiliki daya dan upaya kehendak maupn pilihan dalam setiap tindakannya[6]. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah : Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya :
“Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan telah menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: "Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain." Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebabterjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah)
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia. Sungguh-pun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut ini:
Artinya: Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112).
Artinya: Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
Artinya: Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya, mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap terbelakang.   
D. Paham Qadariah
1. Sejarahnya
Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani Al Bisri  dan Ghailan al Dimasyqi, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M) kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’ ; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula (pembantu) Usman bin Affan. kelihatannya paham ini diambil dari seorang Kristen yang masuk islam di irak, dan ma’bad memasuki dunia politik  dan memihak Abd Al Asy’as, gubernur Sajistan[7].
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M).
Akar qadariah bersumber dari ketidak mampuan akal mereka dalam memahami qadar Allah, perintah dan larangannya, janji dan ancamannya, serta mereka mengira hal-hal seperti itu dilarang untuk difikirkan.[8]
Latar belakang timbulnya firqoh Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap kejam dan dzalim. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan ‘legitimasi’ kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi masalah takdir tersebut.
            Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebajikan. Manusia harus bebas memilih dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan takdir manusia dan memaksakan berlakunya, maka Allah itu zalim. Mengapa Allah menyiksa manusia karena sesuatu yang telah ditadirkan dan dipaksakan terjadi oleh Nya ? Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar bebas atas perbuatannya.
Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia hanyalah tergantung pada takdir Allah saja, selamat atau celaka sudah ditentukan oleh takdir Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah keliru menurut mereka. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapNya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan. Jadi firqoh Qadariyah menolak adanya takdir Allah dan berpendapat bahwa manusia bebas merdeka menentukan perbuatannya.

2. Pokok-pokok Paham Qadariyah
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, ia melakukan perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan itu adalah perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Aliran qadariah sering juga diidentikkan dengan aliran mu’tazila, aliran qadariah memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya (kholiqul af-al). mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia bebas untuk berbuat atau bertindak, sehingga manusia bertanggung jawab untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya.[9]
 Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala tingkah lakunya, berdasarkan kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang menentukan nasibnya, bukan Tuhan yang menentukan, pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat al Qur’an, antara lain QS. Al Ra’d ayat 11:
Artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka”
Qadariah terbagi menjadi tiga golongan[10]:
1. Golongan qadariah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya, dan kami tidak mengharamkan apapun.
2. Qadariah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaanNya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yang terjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala mereka berkata Allah juga tidak mengetahuinya.
3. Qadariah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua perkara(pahala dan dosa)
Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya(Ahlussunah wal jamaah).[11]Dalam sejarah teologi islam selanjutnya paham qadariah dianut oleh kaum mu’tazilah.

E. Kritikan Atas Paham Jabariah dan Qadariah
Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap, dalam paham jabariah adalah mereka mengi’tiqadkan bahwa tiada dosa kalau memperbuat kejahatan(dosa) karena yang memperbuat itu pada hakikatnya adalah tuhan, ditariknya lebih panjang bahwa kalau mereka mencuri maka tuhanlah yang mencuri, kalau berzina maka tuhanlah yang berzina, begitu juga sebaliknya kalau ia shalat maka tuhanlah yang shalat, sebahagian mereka menarik labih jauh lagi sehingga disatukan dirinya dengan tuhan, wujudnya dan wujud tuhannya satu, dari sinilah muncul paham wahdatul wujud, yakni paham bahwa yang ada hanya satu, yaitu DIA.[12] Adapun yang membedakan I’tiqad jabariah dengan ahlusunnah wal jama’ah adalah bahwa memang semua dijadikan oleh tuhan, tetapi tuhan pula yang menjadikan adanya ikhtiar dan kasab bagi manusia.
Jabariyah menyatakan bahwa iman cukup kalau sudah mengakui dalam hati saja, walaupun tidak diikrarkan dengan lisan, hal ini berbeda dengan allusunnah yang menyatakan iman tidak cukup hanya dengan ikrar dihati saja tetapi iman itu ialah membenarkan dalam hati dan mengakui dengan lidah.
Dalam masalah takdir ada dua golongan yang tersesat yaitu:[13]
1. Golongan jabariah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa atas perbuatannya, tidak punya iradah(kemauan) dan qudrah(kuasa).
2. Golongan qadariah yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya kehendak dan takdir Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Daya yang dimiliki manusia dalam kaitannya dengan perbuatannya mempunyai dua kemungkinan, yaitu daya itu efektif atau daya itu tidak efektif peran kekhalifahan dengan tegas dan amanat yang menyertainya berarti manusia berhadapan dengan suatu tantangan, disisi lain peran kekhalifahan tuhan dibumi adalah suatu pendelegasian wewenang, dengan kata lain hal itu merupakan pemberian otonomi kepada manusia.[14]

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi Balasan dengan apa yang diusahakannya. tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah Amat cepat hisabnya[15].

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia[16].
Sesuai dengan beberapa ayat diatas kirannya tidak meneyandarkan sesuatu yang buruk bagi tuhan, umpamanya dikatakannya” Tuhan Mencuri” walaupun pada hakikatnya semua yang terjadi di dunia adalah dijadikan Tuhan. Walaupun Tuhan yang menjadikan sesuatu, tetapi ia bukan ikut mengerjakan sesuatu,
Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri, berbeda dengan yang di I’tiqadkan ahlusunnah wal jama’ah yang menyatakan pekerjaan manusia pada lahirnya dikerjakan oleh manusia tetapi pada kahikatnya tuhanlah yang menjadikan dan manusia adalah perantara sebagai sebab terjadinnya(dengan ikhtiyar dan kasab)



Daftar Pustaka
Abbas Siradjuddin,  I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2005.
Abu Daud, Sunan (Kairo:Tijariah,1935)
Al Qur’an dan Terjemahannya.
Hadi A Muhammad, Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf, Jakarta:Gema Insani Press, 1994.

Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliraan Sejarah Analisa Perbanding, Jakarta:UI-Press, 1986.
Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar(Ba’Alawi), Bugyatul Mustarsyidin, Kairo: Mathba’ah Amin Abdul Majid Kairo, 1960.
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung:Pustaka Sedia, 1998.
Muhammad bin salah Al Ustsaimin, Syaikh, Prinsip Dasar Keimanan, Riyadh:Haiatul iqhatsan al islamiah, 2003.

Rahman Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1992.

Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Isla, Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoece, 2002).

Tirmidzi, Sahih, Kairo:Masriyah,1931.



[1]Sahih Tirmidzi, jilis 10, h. 109, sebagaimana dikutip oleh Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal jamaah(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 9.


[2]Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman, Bugyatul Mustarsyidin, (Kairo: Mathba’ah Amin Abdul Majid, 1331). h. 398. Sebagaimana dikutip Sirajuddin Abbas. h. 11-12.

[3]Sunan Abu Daud, Jilid 4, h. 201, sebagaimana dikutip oleh Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 7.


[4]Sahih Tarmidzi, Jilid 8, (Masriyah: Kairo 1931), h. 316 sebagaimana dikutip oleh Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah wal jamaah(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 7.


[5] bnu Hajar as Asqalani, Fathul Bari, Syarah Bukhari Jilid 15, h. 315.

[6]Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam(Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoece, 2002) h. 135.

[7]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliraan Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:UI-Press, 1986). h. 32.


[8]Muhammad A Hadi, Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah Menurut Paham Salaf(Jakarta:Gema Insani Press, 1994), h. 183-184.

[9] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam(Bandung:Pustaka Sedia,1998)h. 145.


[10] Ibid, hal. 187-189.

[11]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliraan Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta:UI-Press, 1986). h. 37.


[12]Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah(Jakarta:Pustaka Tarbiyah, 2005), h. 278-279.


[13]Syaikh Muhammad bin salah Al Ustsaimin, Prinsip dasar keimanan(Riyadh:Haiatul iqhatsan al islamiah, 2003)


[14]Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an(Jakarta:Pt. Bulan Bintang, 1992). h. 108.

[15]Al Mu’min 17.


[16]Ar Rum 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar