SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Senin, 10 Oktober 2011

MEMAHAMI KEBIJAKAN EKONOMI POLITIK TIGA KHALIFAH (Eksplorasi Pemikiran Ekonomi Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, dan Ghazan Khan : Sebagai Dasar Perkembangan Ekonomi Islam)

I. Pendahuluan
Peradaban suatu bangsa pasti tak akan pernah terlepas dari kebijakan yang ada pada bangsa itu sendiri. Kerapkali kemunduran bahkan kehancuran suatu bangsa bermula dari salah kaprahnya kebijakan yang diterapkan. Namun tak jarang juga, arus kemajuan dan kejayaan suatu bangsa bermuara dari kebijakan. Kebijakan sangat menentukan haluan suatu bangsa, kemana nohkoda bangsa hendak berlayar. Oleh karena itu, kebijakan merupakan hal yang sangat esensial dalam menentukan pengembangan sebuah bangsa dalam rangka membangun satu peradaban dan menorehkan kemajuan. Pendek kata, maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung pada kebijakan yang diterapkan.
Sebagai terminal akhir suatu kebijakan, maka kemampuan seorang pemimpin sangat menentukan. Tercatat dalam lembaran sejarah, Islam pernah memiliki pemimpin-pemimpin (khalifah) yang namanya masih acapkali dibicarakan, baik di kalangan akademisi maupun non-akademisi, bahkan menjadi rujukan dalam memformulasikan suatu tindakan berupa kebijakan yang menyentuh wilayah politik, sosial, dan ekonomi.
Di tangan merekalah kejayaan Islam pernah diraih. Kala itu, kemajuan Islam sungguh berada pada puncaknya, baik dari aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya. Kemajuan di bidang politik dibuktikan dengan meluasnya ekspansi Islam ke berbagai negara sekitarnya. Kekuatan politik menyumbang dampak positif tehadap kesejahteraan sosial masyarakat, dengan diterapkannya berbagai kebijakan berdasarkan dengan tuntutan realitas dan kesejahteraan dan berlandaskan perintah yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Berkaitan dengan itu, Umar bin Khattab adalah salah satu khalifah yang pernah menorehkan tinta emas pada lembaran sejarah peradaban umat Islam. Pada masanya, pemerintahan Islam semakin kuat, yang didukung dengan  formulasi kebijakan yang sangat fenomenal. Banyak perubahan yang dilakukan, bukan saja di ranah ritual keagamaan, tetapi juga meliputi aspek sosial budaya, terutama pada ranah kebijakan ekonomi.
Selain itu, pada masa Dinasti Umayyah, tampuk kejayaan seringkali dinisbatkan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masanya, urusan dalam negeri sangatlah diprioritaskan, terutama  menjamin keamanan rakyat dan mengkomodir semua aspirasi golongan.[1] Pada masanya juga, pertumbuhan perekonomian negara sangat meningkat, bahkan mampu menapal defisit anggaran APBN yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya. Hal demikian, tentu saja selain faktor keamanan, juga banyak faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan ekonomi tersebut, termasuk ranah kebijakan yang diterapkan.
Enam ratus-an tahun berlalu setelah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, muncullah pemimpin muslim berdarah Mongol yang bernama Ghazan Khan (1295-1304). Semenjak dibawah kepemimpinannya, walaupun relatif singkat hanya sembilan tahun berkuasa, Dinasti Ilkhan mencapai kemajuan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kepala negara yang berdatangan ke istananya di Tabriz.[2] Pada masanya, pertumbuhan ekonomi sangat signifikan, terutama perekonomian rakyat kecil dan menengah, sehingga membuahkan hasil kesejahteraan yang patut untuk diteladani.
Tiga pemimpim (khalifah) di atas telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, melalui kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan pada masing-masing masanya, khususnya kebijakan di bidang ekonomi politik, sehingga pada gilirannya mampu melahirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.
Dari sini, penulis bermaksud untuk menggali lebih dalam dasar pemikiran-pemikiran tersebut dan berupaya mempertemukan titik benang merahnya, dengan harapan bisa menjadi acuan ataupun kaca perbandingan terhadap perkembangan ekonomi Islam saat ini.

II.   Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab
Agenda pertama setelah Umar memegang amanah jabatan sebagai Khalifah adalah ekspansi wilayah Islam sebagai kelanjutan dari kebijakan Khalifah Abu Bakar.[3] Dengan demikian, pada masa kepemimpinannya, daerah taklukan Islam meluas hingga Jazirah Arabia, Palestina, Syria, Mesir, dan sebagian besar wilayah Persia.[4] Meluasnya ekspansi yang tengah dilakukan, mau tidak mau menuntut Umar untuk mengatur administrasi negara yang terencana.[5]
Di samping itu, ekspansi wilayah menyebabkan pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat berarti. Dalam rangka mengelola pendapatan tersebut, setelah bermusyawarah dengan sahabat lain, maka Umar mengeluarkan kebijakan agar pendapatan yang menjadi kas negara tersebut dikelola dengan terencana dan terarah.[6] Lembaga Baitul Mal yang telah dicetuskan pada masa Rasulullah, menjadi institusi yang memiliki peran penting pada masanya dalam rangka mengelola tata kelola keuangan negara.[7]
Sebagai khalifah, Umar bin Khattab sangat memperhatikan kemaslahatan bersama secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan berbagai rumusan kebijakan yang penuh dengan pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Sehingga zamannya dikenal dengan zaman yang sarat dengan perubahan, dan tak jarang bertolak belakang dengan apa yang pernah Rasulullah kerjakan.
Kebijakan yang paling fenomenal adalah kebijakan fiskal di sektor perpajakan tentang pertanahan dan pertahanan, atau sering kali juga dikenal dengan kebijakan Umar di sawad (tanah subur). Umar memutuskan untuk tidak mengambil alih tanah taklukan, namun justru diberikan pengelolaan sepenuhnya kepada pemiliknya, namun diwajibkan membayar pajak (kharaj) sebesar 50 persen dari hasil panen.[8]
Ada beberapa alasan kebijakan ini lebih disukai oleh Umar, antara lain : andaikata tanah taklukan itu diambil alih oleh negara, maka secara otomatis para pasukan (tentara) Islam yang akan mengelolanya, padahal menurut Umar, para tentara bukanlah ahli bercocok tanam, selain kualitas pertanian akan menurun, juga akan berdampak pada rendahnya produktivitas. Selain itu, pendapatan  negara melalui pajak akan jauh menurun, mengingat pajak (kharaj) bagi non-musim sebesar 50% dan pajak (ushr) bagi bagi muslim hanya 10 % saja. Di samping itu, hal yang sangat dipertimbangkan oleh Umar adalah kekhawatiran akan adanya gelombang pemberontakan,[9] sebagai dampak pengangguran dan kemiskinan. Sehingga pada gilirannya  akan memberikan angin negatif tersendiri bagi keamanan dan keutuhan negara.
Dan untuk menanggung nasib para tentara, maka pada zaman Umarlah awal mula ditetapkan gaji tetap bagi para tentara, selain sebagai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga agar terjaga motivasi para tentara dalam membela negara.[10]
Selain itu, ketika Umar melihat kebijakan bea cukai yang merugikan pihak satu pihak,[11] terutama negara Islam, maka Umar pun menerapkan wajib pajak bagi siapa saja dari warga asing non-muslim yang hendak memasuki wilayah teritorial Islam untuk berdagang sebesar 10% dari barang yang dijual, sementara bagi dzimmi yang berada dalam kekuasaan Islam dikenakan sebesar 5%, dan muslim 2,5% dari harga barang dagangan.[12]
Hal lain dari kebijakan ekonomi Umar yang menarik untuk dikaji adalah tentang perpajakan Kuda. Pada masa pemerintahan Umar, bisnis perdagangan kuda semakin merebak, bahkan pernah diriwayatkan pernah ada seekor kuda Arab Taghlabi yang diperkirakan bernilai 20.000 dirham.[13] Sehingga melihat keadaan demikian, maka Umar menarik zakat dari bisnis perdagangan kuda tersebut dan membagikannya  kepada orang-orang miskin dan para budak.[14]
Berkaitan dengan segelintir kebijakan ekonomi Umar sebagaimana dijelaskan di atas, ada satu hal yang mesti digarisbawahi, yaitu mengenai pendistribusian kas Baitul Mal sebagai tunjangan sosial kepada kerabat Rasulullah dan orang-orang yang berjasa dalam membela Islam.[15] Karena dibalik niat yang mulia itu ternyata menuai kritikan dari salah seorang sahabat, Hakim bin Hizam. Menurutnya, hal demikian akan mendongkrak mereka dengan sifat malas, dan akan menjadi fatal ketika pemerintah sudah tidak lagi menerapkan kebijakan tersebut. [16] Khalifah menyadari bahwa kebijakan tersebut mengandung kekeliruan dan berimbas negatif terhadap strata sosial masyarakat dan berniat untuk memperbaikinya. Namun Umar wafat  sebelum terealisasikan rencananya.[17]
Dari berbagai kebijakan ekonomi Umar bin Khattab tersebut, nampak tidak terlalu memprioritaskan kaum miskin ataupun kaum kaya, tetapi Umar lebih mengedepankan kemaslahatan bersama. Setiap kebijakan selalu berupaya untuk menjawab keadaan realitas dengan tidak memberatkan dalam implemenatasinya. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan fleksibelitas menjadi karakteristik perekonomian di Masa Umar bin Khattab. Kebijakan ekonomi yang kaku sangat dihindari oleh Umar, karena akan berdampak negatif terhadap bangunan kemaslahatan yang ingin dicapai.[18] Kemaslahatan menjadi dasar ataupun landasan bagi Umar dalam menjalankan roda perekonomian, sebagai sebuah pengejewantahan dari perintah yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Demikianlah Umar bin Khattab yang terkadang melakukan ta’lil (mencari alasan rasional dari suatu hukum). Karena dalam urusan muamalah yang menjadi pertimbangan utama adalah asas manfaat bagi masyarakat. Inilah konsep rahmatan lil ‘alamin membawa rahmat bagi semesta alam.

III.  Kebijakan Ekonomi Umar bin Abdul Aziz
Di persimpangan catatan sejarah Dinasti Ummayah yang menampilkan ketidakberesan dalam segala aspek politik, sosial, dan ekonomi,  sebagai dampak dari pola hidup kaum feodal istana yang serakah, terpilihlah Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Keadaan ini dapat dilukiskan dengan ucapannya, “innalillahi wa inna ilaihi roji’un”,[19] yang seolah menggambarkan betapa beratnya keadaan yang harus diubah sebagai tanggung jawab seorang khalifah. [20] Namun, sebagai bukti awal dan tekad yang bulat untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat yang dirampas oleh kaum feodal, maka seluruh hartanya, ia kembalikan ke kas negara.[21]
Untuk mengawali pembangunan kembali pondasi negara, maka penjabat-penjabat pemerintah yang menjadi biang keladi pengembosan lumbung kekuatan negara diamankan setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan. Pada masanya keadilan benar-benar ditegakkan, para penjabat yang korup dan mengabaikan hak-hak rakyat, dipecat tanpa kompromi. Gerakan “Sapu bersih” di lingkungan pemerintahan ini menjadi basis awal pembangunan fundamental ekonomi negara yang sustainable. Faktor inilah, menurut Umar penyebab instabilitas perekonomian negara yang harus dihilangkan. Andaikata kebijakan tersebut tidak langsung diterapkan segera, mungkin Umar bin Abdul Aziz merupakan khalifah yang terakhir Dinasti Ummayah, mengingat kesejahteraan sudah tidak lagi dirasakan oleh rakyat dan suburnya gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah. Oleh kerana itu, pada masanya, urusan dalam negeri sangatlah diprioritaskan, terutama  menjamin keamanan rakyat dan mengkomodir semua aspirasi golongan.
Menyadari akan ketidakadilan kaum feodal istana terhadap kehidupan rakyat kecil, terutama dengan kepincangan masalah perpajakan, yang mana pada waktu itu banyak para pejabat yang tidak membayar pajak, akan tetapi rakyat kecil lah yang dikenai pajak yang melampui batas. Maka Umar mereformasi sistem perpajakan agar menjadi adil dalam pemasukan anggaran negara.[22]
Dalam rangka pemulihan dari terpaan badai krisis ekonomi yang melanda negeri kala itu, sebagai imbas dari sistem yang tidak berkeadilan dari para penjabat pendahulunya, maka langkah  yang diambil Umar adalah berupa bentuk penghematan anggaran dalam pemberian fasilitas pejabat negara dan juga penghematan dalam perayaan peringatan hari besar keagamaan dan kenegaraan.[23] Umar menyadari bahwa kebijakan pengelolaan anggaran merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang terpenting selain pajak.
Penyusunan anggaran yang efesien sangat penting karena keterkaitannya dengan berbagai sektor perekonomian. Kontribusinya yang besar tidak hanya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam pengurangan penduduk miskin dan menciptakan stabilitas ekonomi serta meningkatkan pendapatan per kapita.[24] Dengan kata lain, tujuan dari adanya penghematan di dalam pengelolaan anggaran adalah menopang tujuan pokok dari setiap pemerintahan Islam berupa kesejehateraan bagi seluruh warga negera.
Kesejahteraan umat menjadi kata kunci dalam penentuan kebijakan ekonomi Umar, sehingga dalam mengatasi berbagai persoalan dalam bidang ekonomi, kesejahteraan menjadi tujuan.[25] Dengan demikian, kebijakan ekonomi Umar terlihat tidak terlalu kaku dan tekstual, tapi justru berupaya untuk mengejewantahkan nilai-nilai islami dalam menghadapi  realitas dan kenyataan.
Fleksibelitas kebijakan ekonomi Umar bin Abdul Aziz sangat terlihat  ketika mencabut kewajiban kharaj dan jizyah bagi orang-orang non-muslim, menurutnya bahwa nabi diutus ke dunia bukan untuk mencari harta dan mencari pajak, namun justru mengislamkannya.[26] Tetapi kemudian setelah melihat realita, bahwa terjadi tekanan ekonomi yang sangat serius, maka Umar mengeluarkan dekrit untuk kembali ke kebijakan lama, yaitu kebijakan yang dikeluarkan oleh Umar ibn Khattab, “Kebijakan ekonomi di Sawad’, dengan memberlakukan kembali penerapan jizyah dan kharaj bagi dzimmi petani dan tuan tanah untuk keselamatan jiwa dan tanah mereka.[27]
Akan tetapi setelah kemudian hari banyak dzimmi yang masuk Islam hanya karena menghindari kharaj. Akibatnya, negara mengalami instabilitas ekonomi yang kuat. Dalam rangka menanggulangi masalah tersebut, setelah bermusyawarah dengan para ekonom dan ulama, maka Umar mengeluarkan dekrit, bahwa orang muslim selama ini  yang menikamati tanah kharaj membayar pajak sebagai tanah ushur, mulai pada 100 H, dilarang jual beli tanah. Dengan demikian, keputusan ini membawa arti bahwa apabila seorang muslim betul-betul masuk Islam, ia harus tinggalkan sawahnya dan digarap petani tetangga yang non-Islam, dia diberi gaji pensiun tiap bulan oleh negara atau ia boleh menggarap sawah sendiri, tapi ia harus bayar kharaj. [28]
Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, dan penghematan anggaran belanja negara. Maka, dengan cara begitu Umar dapat memaksimalkan sumber-sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.
Pengalokasian subsidi ke masyarakat yang berdaya beli rendah sebagai tujuan distribusi zakat, terus ditingkatkan pada masanya. Umar menyadari bahwa zakat merupakan sebuah instrumen pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan (growth dan equity).[29] Dari sinilah terlihat konsep demokrasi ekonomi Umar  yang tidak harus diartikan sebagai berlakunya prinsip equal treatment (perlakuan sama), tetapi ada orang yang tidak berpunya perlu memperoleh pemihakan dan bantuan yang berbeda (partial treatment). [30] Sehingga bantuan kepada masyarakat miskin dan jaminan hidup layak yang berkecukupan kepada mereka, sangat diprioritaskan.[31]
Begitulah Umar bin Abdul Aziz menerapkan semua kebijakan ekonomi dalam waktu yang relatif singkat, hanya membutuhkan waktu dua tahun setengah, namun Sejarah telah mencatatnya sebagai orang brilian yang mampu mengubah keadaan terpuruk menjadi haluan berperadaban.

IV. Kebijakan Ekonomi Ghazan Khan
Banyak dari kalangan sejarawan mengatakan bahwa masa awal Ghazan Khan naik tahta adalah masa yang sangat memprihatinkan, baik di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Hal ini digambarkan secara gamblang oleh Spuler yang dikutip oleh Karim sebagai berikut :[32]
When Ghazan Khan ascended the thorne, the treasures of his predecessor had been spent. The treasures that Hulagu Khan had collected from Baghdad, the provinces of the heretics (the assasins) from Syria and from other places, anf had stored in the castle..had gradually been stolen by the guards…The rest of spent by Ahmad (Tagudar)…Arghun Khan piled up many treasures. Gaikhatu did not collect any treasure, and he gave to his people what was left of the treasures of Arghun, so that Ghazan nothing.
Warisan pemerintahan sebelumnya, benar-benar menghantarkan negara ( Dinasti Ilkhan) pada gerbang kehancuran. Ketika itu tidak ada laporan secara detail tentang pemasukan dan pengeluaran negara, sehingga menjadi ladang para penjabat berlomba-lomba untuk memperkaya diri sendiri. Buruknya manajemen finansial ini menyebabkan kas negara hampir kosong dan pembayaran gaji tetap para pegawai dan tentara tidak tepat waktu, bahkan sampai berbulan-bulan lamanya.[33]
Selain itu, masalah pemerasan pajak yang berlebihan oleh dinas pajak masih mengancam kesejahteraan rakyat kecil, terutama para petani. Oleh karena itu, banyak dari kalangan petani mengurungkan niatnya untuk kembali bertani lantaran takut ditimpa pajak yang berlebihan. Sehingga pada gilirannya menciptakan roda perekonomian negara lumpuh total.
Setelah memahami akar persoalan di atas, maka sebagai seorang pemimpin, langkah awal dalam mengatasinya adalah dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi siapa saja dari setiap penjabat yang menyalahgunakan tugas dan wewenang. Hasil dari penerapan langkah ini, kesejahteraan rakyat sedikit demi sedikit dapat teratasi dengan baik, begitu juga dengan masalah kas negara, malah menjadi surplus, karena semakin derasnya pemasukan dari berbagai propinsi. Umar menyadari bahwa kesinambungan antara keadilan sosial dan distribusi sosial tidak akan terwujud tanpa ditopang dengan gerakan individu-individu yang bermoral tinggi.
Pada masa pemerintahannya, Ghazan mewajibkan semua gubernur dan pemungut pajak tani untuk membantu petani kecil yang tidak mampu membeli benih-benih, keperluan pertanian, dan makanan bagi ternaknya. Untuk menunjang keberhasilan pertanian, maka dibangunlah semacam lembaga informasi terpadu di berbagai provinsi mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah pertanian, sehingga mudah diakses dari berbagai kalangan, terutama oleh petani itu sendiri.[34] Semenjak itu, produktivitas pertanian meningkat tajam, dan menjadikan hidup para petani makmur dan sejahtera.
Konsep kebijakan ekonomi yang dibangun Ghazan sangat fleksibel, tidak memudharatkan dan sangat berpihak pada rakyat. Sehingga, pada masanya, Dinasti Ilkhan menorehkan kemajuan yang luar biasa, terutama pada sektor pertanian yang mampu mewujudkan  swasembada beras, sehingga dalam sejarah bangsa Mongol, khususnya Dinsati Ilkhan merupakan satu-satunya yang mampu menjadi negara pengeskpor beras ke manca negara.[35]
Sebagai tambahan bukti kebijakan ekonomi Ghazan yang berkarakteristik sosial, dia melarang praktek pinjam-meminjam yang mengandung bunga, karena menurutnya, inilah salah satu penyebab kesengsaraan rakyat kecil, karena praktek ini diizinkan sebelumnya sehingga menjadikan yang kaya tambah kaya, dan yang miskin pun menjadi kian melarat. Sehingga terciptalah great gap starat sosial di lingkungan masyarakat.
Pada rezimnya juga, para tentara semakin diperhatikan. Sistem yang diterapkan bukan berupa kebijakan yang mengikuti kebijakan yang diterapkan oleh Rasulullah, dan bukan pula dengan sistem yang dijalankan oleh Umar ibn Khattab, tetapi justru menggabungkan keduanya, yaitu dengan memberikan hak tanah untuk dihidupkan (iqta’)  bagi tentara, tetapi masih  tetap mendapatkan gaji tetap dari pemerintah. Alasan yang mendorong Ghazan untuk mengeluarkan dekrit ini karena adanya keinginan sendiri dari kalangan tentara, sehingga dengan cara ini pikir Ghazan, mereka dapat menyediakan keperluan mereka sendiri kaitannya dengan kemiliteran , seperti penanggung kuda  dan hewan-hewan lainnya. Selain itu, pada masanya, ekspansi wilayah tidak terlalu diprioritaskan.
Sebuah reformasi ekonomi politik telah terjadi di Dinasti Ilkhan dibawah komando makhluk yang bernama Ghazan Khan, yang membawa Dinasti Ilkhan bergerak menuju kesejahteraan rakyat dan mewujudkan kembali kejayaan. Keamanan negara sangat terjamin, bahkan digambarkan layaknya rusa merasa aman ketika satu tepi bersama harimau. Sepeniggalnnya, pemimpin yang sangat dicintai oleh rakyat ini mewarisi kondisi keuangan negara sangat surplus, dan perkonomian yang sangat stabil.
Demikianlah beberapa kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Ghazan Khan. Dia berhasil membalik keadaan negara, yang awalnya negara sangat defisit anggaran, namun semenjak dia naik tahta, negara pun mengalami surplus anggaran, sehingga memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya.

V.  Korelasi Pemikiran dan Relevansinya dengan Kekinian
Sebagaimana penjelasan di atas, nampak jelas, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Umar ibn Khattab, Umar ibn Abdul Aziz, dan Ghazan Khan mempunyai karakter yang fleksibel dan tidak kaku. Artinya  apapun caranya, asal bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan selama tidak bertentang dengan al-Qur’an dan sunnah, maka kebijakan itulah yang diterapkan. Hal ini terlihat jelas ketika beberapa kebijakan mereka tak selalu sama dengan kebijakan pada masa Rasulullah, bahkan saling berbeda satu sama lain, namun justru di dalam perbedaan itulah dunia telah mencatat mereka sebagai decision maker yang brilian.
Selain itu, kebijakan ekonomi mereka sangat berdimenasi sosial yang berkeadilan, yang sama-sama menyisihkan ruang khusus (Partial treatment) untuk pertolongan bagi komunitas yang kerapkali dinomorduakan, terutama kaum-kaum yang tergolong miskin dan tak punya kemampuan. Ruang khusus ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan di kalangan pelaku aktivitas ekonomi, sehingga pembangunan di segala aspek untuk menunjang tarap hidup masyarakat terealisasikan dengan pemerataan yang efektif. Partial treatment ini berangkat nilai-nilai qur’ani yang memerintahkan manusia untuk saling membantu satu sama lain untuk menggalang sebuah kesejahteraan dan menata suatu kemakmuran, dan membuang sifat keserakahan.[36]
Bukankah pembangunan tidak dapat dilakukan tanpa keadilan, yakni keadilan dalam semua sektor kehidupan. Keadilan yang komprehensif ini tidak akan terwujud tanpa penciptaan masyarakat yang peduli, lewat persaudaraan dan persamaan sosial, dan terjaminnya keamanan kehidupan.
Variabel yang sangat berperan dalam hal ini adalah pemerintah. Ketiga khalifah sebagai kepala pemerintahan di atas sangat memahami dan mengamalkan dalam segala kebijakan yang dikeluarkan, sehingga mengokohkan sendi-sendi keadilan, dan berbuah pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Jalan berbeda, bukan berarti tujuan juga berbeda, karena dalam urusan muamalah yang menjadi pertimbangan utama adalah asas manfaat bagi masyarakat dan kesejahteraan. Inilah konsep rahmatan lil ‘alamin yang membawa rahmat bagi semesta alam.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, ada fenomena menarik untuk dikaji secara mendalam tentang pemikiran ekonomi Islam, terutama pada ranah kebijakan yang dikeluarkan oleh ekonom muslim. Dewasa ini, memang tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan lembaga ekonomi Islam telah mengukir prestasi di catatan sejarah. Hal ini merupakan tuntutan realitas keadaan masyarakat yang memerlukan struktur perkonomian yang baru, karena struktur perekonomian yang ada sudah menjadi sembilu yang selalu  menusuk bangunan perekonomian, baik dalam skala lokal, regional maupun internasional.
Namun seiring dengan perkembangannya, nilai-nilai dasar Islam berupa kesejahteran dan kemakmuran yang seharusnya mendampingi perjalanan ekonomi Islam, kini hubungan keduanya menunjukkan tanda-tanda ketidakharmonisan. Kadang–kadang ketidakhrmonisan itu berupa batasan-batasan ekstrim yang sangat “islami”, walaupun menurut berbagai ahli itu sangat berpotensi  untuk mendulang kesejahteraan untuk semua. Sehingga pada gilirannya menghambat laju pertumbuhan ekonomi Islam itu sendiri.[37] Dan kadang-kadang ketidakharmonisan itu berupa kebijakan tanpa dasar syar’i, yang seenaknya menabrak batasan-batasan syar’i demi meraup keuntungan, yang  pada akhirnya ekonomi Islam hanya dibatasi dengan sebuah dinding tipis dan “transparan” dengan sistem kapitalisme maupun sosialis.
Ketidaktahuan tentang tujuan diterapkannnya ekonomi Islam akan berakibat fatal, bahkan bisa merubah nilai-nilai yang ada pada bangunan sistem ekonomi Islam itu sendiri. Islam itu mudah, tapi jangan terlalu dipermudah. Ada garis-garis syar’i yang harus dipatuhi, namun jangan juga mensakralkan “fikih klasik” yang seolah-olah haram untuk dirubah, sementara zaman sudah berubah. Kebenaran doktrin fikih pada dasarnya adalah bersifat nisbi dan sangat dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu saat fikih dibuat.[38]
Faktanya, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak pernah benar-benar dijadikan landasan dalam menerapkan secara menyeluruh di dalam penerapan praktek ekonomi Islam itu sendiri. Justru fikih yang sekedar hasil rasionalisasi kreatif ulama dijadikan sebagai acuan utama.. Hal ini tampak jelas dalam berbagai produk transaksi yang ditawarkan perbankan Islam sebagai lokomotif gerakan ekonomi Islam, di mana hampir semua merujuk pada jenis-jenis transaksi kontrak dalam fiqih klasik.[39]
Hal ini perlu dipertimbangkan, karena baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam batas tertentu tidak akan mampu memecahkan problem kontemporer.[40] Oleh karenanya agar metode itu compatible dengan dunia modern, maka perlu ada pengembangan metodologi, tentunya sesuai dengan perkembagan dan kemajuan dunia modern.
Keyakinan akan ketidaksempurnaan metode ilmiah Barat dalam membangun aspek kehidupan,[41] seharusnya  dijewantahkan melalui dinamisasi pemikiran atau aturan-aturan “Islami”, yang selama ini masih dirasa mandul dalam merespon isu-isu kontemporer.  Banyak sudah contoh ketimpagnan metode ilmiah Barat  terhadap aspek kemanusiaan. Dalam bidang ekonomi misalnya, sistem kapitalisme yang selama ini merajai panggung jagat raya perekonomian international telah menciptakan kehancuran pondasi struktur perekonomian global. Pada tahun 2008, depresi kembali  melanda sistem perekonomian dunia. Banyak dari berbagai kalangan menilai bahwa krisis keuangan global merupakan bukti gagalnya sistem ekonomi kapitalis.
Dalam konteks kemajuan dan perkembangan ekonomi Islam, ekonom muslim  seharusnya menciptakan sistem ekonom yang tidak kaku dan menjadikan kesejahteraan dan kemakmuran sebagai landasan awal operasionalisasi dan perumusan sistem ekonomi Islam. Sehingga pada gilirannya, sentuhan ekonomi Islam terhadap masyarakat akan terasa bukan saja dikalangan kaya ataupun miskin saja, tetapi semua pelaku aktivitas ekonomi di muka dunia ini.

VI. Penutup
Satu hal yang kiranya perlu dipahami, adalah bahwa setiap hasil pemikiran manusia, selalu bersifat historis; terikat dengan ruang dan waktu yang mengitarinya. Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Umar ibn Khattab, Umar ibn Abdul Aziz, dan Ghazan Khan, tentulah memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan dimensi ruang dan perputaran waktunya. Bagaimanapun bentuknya, kebijakan tersebut merupakan sebuah upaya solusi terhadap berbagai problema Negara, terutama sektor perkonomian yang terjadi ditengah masa bakti kepemimpinan meraka.
Kebijakan ketiga Khalifah di atas mengajarkan kita, terutama para penentu akhir kebijakan ekonomi sebuah makna kesejahteraan (maslahat) yang menjadi dasar pijakan perumusan satu kebijakan. Sistem ekonomi yang kaku hanya akan menjadi sebuah bomerang tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Karena sejatinya yang menjadi tujuan suci ekonomi adalah bukan pertumbuhan ekonomi, melainkan kesejahteraan umat manusia sebagai pelaku aktivitas ekonomi di belahan bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Afzalurrahman, 1995.  Doktrin Ekonomi Islam.Jilid 1, Yogyakarta : PT Dhana Bakti  Wakaf
Ali, 1976.  Isamer Itihash. Dhaka : Ali Publication
Fathurrahman, Ayief, 2010. “Strategi Rasulullah Membangun Perekonomian Madinah”, makalah dipresentasikan di pasca sarjana MSI UII.
__________________, 2010 “ Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah  di Indonesia : Telaah atas Teori Kontruksi Fikih Klasik”, Makalah Pasca Sarjana MSI UII.
Hakim, Latif, 2007. “Strategi Umar Bin Abdul Aziz dalam Mengentaskan Kemiskinan”, dikutip dari  http://zulfikri.wordpress.com/strategi-umar-bin-abdul-aziz-dalam-mengentaskan-kemiskinan/
Husaini, S. A.Q. 1949.  Arab Adminitration. Madras : Soldent & Co.
Karim, Adiwarman Azwar, 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
______________, 2006. Islam di Asia Tengah : Sejarah Dinasti Mongol-Islam. Yogyakarta : Bagaskara
Mufti, Aries, 2003. UU syariah dalam Sistem Ekonomi Islam. FHUI, 26 Juni, makalah diterbitkan.
Muhammad, Qutbh Ibrohim, 2002. Kebijakan EkonomiUmar bin Khattab. Jakarta : Pustaka Azam.
Nasution, Harun, 1985.  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, cetakan kelima. Jakarta : UI Press.
Safi, Louay, 2001. Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Tiara Wacana
Suma, Muhammad Amin, 1989. Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum slam dan Masyarakat), Chasindo, Jakarta.
Suhartono, “Penggunaan Fikih Muamalah Sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama (Suatu Kajian Dalam Perspektif Asas Hukum) “ dalam www.badilag. net
World Bank, 2001. Finance  for Growth Policy Choise in a Volatile World. A world Bank Policy Research Report, London : Oxford University Press.
Yatim, Badri, 2003. Sejarah Perdaban Islam : Dirasah Islamiyah II, , (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Yusdani, 2007. “Islamisasi Model al-Faruqidan Penerapannya dalamIlmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik)” dalam jurnal La Riba, Vol. I, No. 1, Juli


[1] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 124.
[2] M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah : Sejarah Dinasti Mongol-Islam. (Yogyakarta : Bagaskara, 2006), hal. 92
[3] Ada beberapa sebab ekspansi Umar ibn Khattab di antaranya : Letak geografisnya adalah wilayah perbatasan dengan wilayah Islam, dan sejak awal memiliki hubungan kurang harmonis dengan bangsa Arab; utusan Nabi dibunuh orang Kristen di Syiria atas restu Raja Heraklitus. Lebih lanjut baca Karim, Sejarah, hal. 85
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, cetakan kelima. (Jakarta : UI Press, 1985), hal. 58
[5] Administrasi negara dibagi ke beberapa wilayah propinsi : Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Baca lebih lanjut Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam : Dirasah Islamiyah II, , (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 37
[6] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 59
[7] Dalam lembaran sejarah, pendirian Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham, pada tahun 16 Hijriah.
[8] Sistem ini pada zaman Dinasti Abbasiah, khususnya periode Harun Ar-Rashid, dikenal dengan sebutan Muqasamah, pengertiannya adalah negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarapnya.
[9] Karim, Sejarah. hal 87.
[10] Ali, Isamer Itihash. (Dhaka : Ali Publication, 1976) hal. 206-210
[11] Pada masa Rasulullah, kebijakan bea cukai telah ditiadakan. Namun pada masa Umar diterapkan kembali, hal ini berawal dari orang-orang Harbi yang mewajibkan para pedagang  muslim bayar pajak ketika berdagang di tanah Harbi (Hierapolis), sehingga melihat ketidakadilan tersebut, maka Umar pun menerapkan kebijkan yang sama.
[12] Husaini, S. A.Q. Arab Adminitration. (Madras : Soldent & Co., 1949), hal. 47-48
[13] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 69
[14] Pada masa Rasulullah, zakat atas kuda belum diwajibkan, karena memang jumlahnya sangat terbatas, dan bukan untuk dikomersialisasikan, tapi digunakan sebagai fasilitas perang.
[15] Para Sejarawan meyakini bahwa tindakan Umar demikian adalah tidak lain dan tidak bukan sebagai pemberian tanda jasa kepada relawan yang telah gigih berjuang membela dan meneggakan agama Islam di awal kehadirannya.
[16] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah. Hal. 64
[17] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam.Jilid 1 (Yogyakarta : PT Dhana Bakti  Wakaf, 1995), hal. 165
[18] Qutbh Ibrohim Muhammad, Kebijakan EkonomiUmar bin Khattab. (Jakarta : Pustaka Azam, 2002), hal. 225
[19] Karim, Sejarah. Hal. 123
[20] Umar juga menyadari bahwa dia juga bagian dari permasalahan itu di masa lalu yang hidup di lautan gemerlapnya kemewahan istana, bahkan dijelaskan dalam satu riwayat, sebelum menjabat khalifah, Umar sering telat sholat ke mesjid karena pembantunya lambat menyisir rambutnya, namun ketika menjabat khalifah, terlambat datang ke mesjid di hari Jum’at, karena pakaian satu-satunya, yang bertempelan jahitan lebih dari 100 tambalan belum kering.
[21] Ibid.
[22] Latif Hakim, “Strategi Umar Bin Abdul Aziz dalam Mengentaskan Kemiskinan”, dikutip dari  http://zulfikri.wordpress.com/2007/08/26/strategi-umar-bin-abdul-aziz-dalam-mengentaskan-kemiskinan/
[23] Ibid.
[24] Wordl Bank, Finance  for Growth Policy Choise in a Volatile World. A world Bank Policy Research Report, (London : Oxford University Press, 2001).
[25] Mufti membagai kebijakan ekonomi  itu menjadi dua, antara lain : 1). Kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok; 2). Kebijakan pemenuhan pokok berupa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Baca lebih lanjut Aries Mufti, UU syariah dalam Sistem Ekonomi Islam. FHUI, 26 Juni, makalah diterbitkan, 2003
[26] Karim, Sejarah. hal. 129
[27] Ibid.
[28] Ibid., hal 130
[29] Yaitu kebijakan yang dirumuskan agar pertumbuhan ekonomi membaik diimbangi dengan penurunan pengangguran dan kemiskinan yang signifikan. (pemerataan)
[30] Konsep demokrasi ini juga pernah diterapkan oleh Rasulullah dalam rangka membangun perekonomian Kota Madinah. Lebih lanjut baca Ayief Fathurrahman, “Strategi Rasulullah Membangun Perekonomian Madinah”, makalah dipresentasikan di pasca sarjana MSI UII, 2010.
[31] Diriwayatkan bahwa jumlah penerima zakat terus berkurang pada masa Umar. Bahkan Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tapi tak seorang pun yang mau menerima zakat.
[32] Karim, Islam. Hal 107-108
[33] Ibid., Situasi sosio-politik ini hampir serupa dengan situasi sosio-politik pada masa Dinasti Ummayah di Dimaskus pada saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz naik tahta.
[34] Ibid., hal. 109
[35] Ibid., hal. 110
[36] Pandangan ini dapat dilihat pada Qs. Al-Hujarat : 10),  dan ta’awun/ tolong menolong/ kebersamaan pada  Qs. Al-Maidah : 3.
[37] Gerakan Islamisasi Ilmu Ekonomi, pada akhirnya diarahkan oleh kepentingan politik-ekonomitertentu. Ia bergeser ke arah perjuangan politik-ekonomi sektarian; EkonomiIslam dibangun dan dikembangkan demi kepentingan “umat Islam”. Bukan lagimurni sebagai gerakan intelektual yang memihak kepada kebenaran itu sendiriataupun untuk mengabdi pada kemanusiaan secara lebih luas. Baca Yusdani, “Islamisasi Model al-Faruqidan Penerapannya dalamIlmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik)” dalam jurnal La Riba, Vol. I, No. 1, Juli 2007
[38] Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum slam dan Masyarakat), Chasindo, Jakarta, 1989. hal. 63
[39] Ayief Fathurrahman, “ Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah  di Indonesia : Telaah atas Teori Kontruksi Fikih Klasik”, Makalah Pasca Sarjana MSI UII, 2010.
[40] Menurut suhartono, belum adanya standarisasi atau keseragaman landasan hukum fikih klasik memunculkan adegium different judge different sentence yan berujung terjadinya putusan yang berdisparitas tinggi, dalam perspektif teori hukum positif, hal ini berbenturan dengan prinsip kepastian hukum. Baca lebih lanjut Suhartono, “Penggunaan Fikih Muamalah Sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama (Suatu Kajian Dalam Perspektif Asas Hukum) “ dalam www.badilag. net
[41] Sebagaimana dijelaskan oleh Louay Safi, metode Barat memiliki sejumlah kekurangan, pertama, metode yang direngkuh sarjana-sarjana Barat menghasilkan hukum dan teori yang bias. Kedua, sarjana Barat secara sempurna menyingkirkan wahyu sebagai suatu sumber pengetahuan, dan dengan demikian telah mereduksi wahyu pada tingkat semata-mata sebagai khayalan dan dongeng. Baca lebih lanjut Safi, Louay, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. hal. 10

Sumber (Ayief Fathurrahman) 

1 komentar: