SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Selasa, 11 Oktober 2011

Ahlul Ra’yi


A. Ahlul Ra’yi Dikalangan Sahabat
Sejak masa Sahabat, kegiatan ijtihad dapat dikategorikan dalam dua aliran, yaitu aliran rasional (ahlu al-ra’yi) dan tradisional (ahlu al-hadits). Akan tetapi secara institusional, kedua aliran ini terbentuk pada masa Tabi’in, di mana aliran rasional (ahlu al-ra’yi) berkembang di Irak, sedangkan aliran tradisional (ahlu al-hadits) berkembang di Hijaz Makkah dan Madinah Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya ulama tradisionalis (ahlu al-hadits) di Irak dan ulama rasionalis (ahlu al-ra’yi) di kawasan Hijaz.
Secara umum, yang dimaksud dengan aliran rasional (ahlu al-ra’yi) adalah aliran ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara’ merupakan sesuatu yang dapat ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan doktrinnya yang mengacu pada kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam hal ini, para mujtahid rasionalis mengkaji illat untuk setiap norma hukum dengan melihat pada sisi yang memungkinkannya untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga mereka dapat leluasa melakukan kajian analogis dengan memelihara kepentingan kehidupan manusia dan masyarakat secara keseluruhan.

B. Perkembangan Historis Rasionalitas Dari Kalangan Sahabat, Tabi’in, Dan Tabi’tabi’in
Tradisi kajian hukum ahlu al-ra’yi telah dimulai oleh Umar bin Khattab di Madinah, yang banyak melakukan kajian maslahah dalam berbagai masalah kemasyarakatan. Dalam hal ini, Umar bin Khattab seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat dibanding sekedar menerapkan nash secara dzahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Kemudian kajian hukum seperti ini juga diikuti oleh Abdullah bin Mas’ud yang mengembangkannya di Irak, setelah diutus oleh khalifah Umar untuk menjadi wazir Kufah yang sekaligus menjadi guru tempat berlajar dan bertanya bagi penduduknya.
Pola-pola kajian hukum dan fatwa-fatwa fiqh tersebut kemudian diserap oleh para ulama dari kalangan Tabi’in, salah satunya Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (w. 96 H). Selain dari Abdullah bin Mas’ud, al-Nakha’i juga menyerap ilmu-ilmu keagamaan Islam, khususnya fatwa-fatwa fiqh dan pola-pola kajian hukumnya dari Syuraih bin Harits (w. 78 H), yang diangkat menjadi qadhi Kufah oleh khalifah Umar bin Khattab. Juga dari fatwa-fatwa Ali bin Abi Thalib pada saat menjadi khalifah yang berkedudukan di Kufah.
Informasi dan tradisi keagamaan serta pola-pola kajian hukum dari ketiga tokoh tersebut sangat mempengaruhi pola kajian hukum al-Nakha’i dan para ulama kalangan Tabi’in pada generasinya, yang menyebabkan berkembangnya suatu pola pengkajian hukum yang lebih bercorak anthrophosentris warisan Umar bin Khattab. Inilah yang oleh para ulama ushul fiqh disebut sebagai madrasah al-ra’yu.
Madrasah al-ra’yu menampilkan dua madrasah besar, yaitu pertama, madrasah Kufah, dengan tokoh-tokoh seperti Alqamah bin Qais (w. 62 H), Masruq bin al-Ajda (w. 63 H), Aswad bin Yazid (w. 75 H) Syuraih bin Harits (w. 78 H), Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (w. 95 H), Al-Sya’bi (w. 103 H), Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H), dan Nu’man bin Tsabit bin Zautha yang populer dengan nama Abu Hanifah (80-150 H). Kedua, madrasah Basrah, dengan tokoh-tokoh seperti Muslim bin Yasar (w. 108 H), Hasan bin Yasar (w. 110 H), dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Di samping aliran rasional (ahlu al-ra’yi) yang dikembangkan madrasah al-ra’yu di Irak, dalam istilah ijtihad fiqh dikenal juga aliran tradisional (ahlu al-hadits), yaitu mereka yang dalam ijtihad fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, serta tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang melakukan kajian nalar rasional, dan sangat berhati-hati dalam berfatwa. Mereka berpendapat bahwa yang berhak menetapkan hukum itu hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, ketentuan-ketentuan hukum hanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Maka, berbagai persoalan aktual harus senantiasa dikembalikan pada keduanya. Untuk itulah mereka memperluas pemakaian hadits, termasuk hadits-hadits ahad sejauh memenuhi persyaratan sebagai sebagai hadits yang ma’bul bih.
Tradisi kajian hukum dengan prinsip di atas telah dimulai oleh para sahabat yang berpikir idealistik dan amat berhati-hati dalam berfatwa mengenai soal hukum, antara lain adalah Abdullah bin Umar, ‘Aisyah, dan Ibnu Abbas. Kemudian diikuti oleh para Tabi’in yang mayoritas berdomisili di Madinah, antara lain Sa’id ibnu Musayyab dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka mengembangkan suatu teori kajian hukum yang senantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan al-Sunnah, serta menghindari pemakaian akal secara bebas, baik melalui pendekatan istihsan maupun mashlahah al-mursalah . Kecenderungan seperti ini dikembangkan oleh para ulama Hijaz yang kemudian terkenal sebagai madrasah al-hadits.
Kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) lebih berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan mashlahah dalam kehidupan manusia. Dalam metodologinya, kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi) memiliki corak kajian yang anthroposentris dengan penggunaan qiyas, istihsan, maslahah-nya. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa asumsi dasar dalam pandangan mereka, antara lain yaitu, pertama, nash-nash syari’ah sifatnya terbatas, sedang peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nash-nya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu. Kedua, setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang mujtahid ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illat-nya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illat-nya.
Di samping corak kajian tersebut yang merupakan ciri utama dalam kelompok ini, ciri-ciri lainnya sebagai berikut, yaitu pertama, mereka berani mengembangkan alternatif-alternatif hukum sebelum ditetapkan dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan antisipatif. Kedua, mereka sangat selektif dalam pemakaian hadits, dengan meneliti rangkaian sanadnya sampai atau tidak kepada Nabi Saw dan juga meletakkan persyaratan pemakaian hadits yang tidak lazim dipakai oleh kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), yaitu di samping harus diteliti tingkat ke-tsiqah-an para perawinya, juga harus dilihat jumlah perawi pada tiap thabaqat-nya. Kalau hanya satu atau dua orang saja pada tiap thabaqat atau pada sebagian thabaqat-nya  yang biasa disebut hadits ahad  maka hadits-hadits tersebut langsung mereka tinggalkan. Hal ini dilakukan karena Kufah yang menjadi pusat kelompok ini penuh dengan berbagai fitnah dan kebohongan sebagai dampak dari pergolakan politik yang terus memanas, sejak peralihan Ali bin Abi Thalib kepada Mu’awiyah hingga pertengahan dinasti Bani Umayyah. Keadaan ini menjadikan tingkat kecurigaan yang cukup besar kepada orang lain.
Sebagai pembahasan lebih jauh, metodologi hukum Islam Abu Hanifah dapat dikatakan sebagai bentuk akhir yang mewakili kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi), dengan identitas yang lebih maju, dan lebih mengarah pada kepentingan sosiologis. Dalam hal ini, Abu Hanifah menggeser hadits-hadits ahad dalam konteks penyelesaian masalah-masalah hukum untuk berbagai kejadian aktual, dan menggantikannya dengan qiyas serta istihsan, melalui pengembangan qiyas dengan mencari illat sebanyak-banyaknya sehingga leluasa baginya untuk mengembalikan furu’ tersebut kepada berbagai hukum ashal yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakatnya. Kemudian, satu langkah berani yang dilakukan oleh Abu Hanifah adalah mengangkat ‘urf atau adat serta tradisi masyarakat sebagai norma hukum Islam yang harus ditaati sejauh tidak bertentangan dengan nash, dan sejalan dengan prinsip-prinsip mashlahah.

C. Tinjauan Geografis Yang Mempengaruhi Timbul Dan Berkembangnya Ahlu Al-Ra’yi
Tantangan kultural yang dihadapi oleh ulama pada masa ini juga mempengaruhi metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad mereka. Kelompok rasionalis (ahlu al-ra’yi), pada umumnya, adalah para ulama yang selalu berhadapan dengan permasalahan masyarakat. Ahlu al-ra'yi, menekankan pendidikan dan pengajarannya kepada pemahaman dan kemampuan akal dalam berdiskusi dan berbantah.[1]
 Pada tahap awal, rasionalisme ini dikembangkan oleh para pejabat pemerintah yang berhadapan dengan masyarakat luas, seperti Umar bin Khattab sebagai Khalifah, Abdullah bin Mas’ud sebagai wazir, Syuraih dan Ibnu Abi Laila sebagai qadhi. Selanjutnya Abu Hanifah sebagai pedagang yang banyak kontak dengan masyarakat konsumennya.
Sementara kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits), pada umumnya, adalah para ulama idealis yang kurang punya akses kepada masyarakat luas, sehingga pemikirannya kurang berapresiasi dengan tuntutan dinamika masyarakat. Sebaliknya, mereka berhadapan dengan doktrin-doktrin syara’ yang ideal yang menurut mereka harus dapat diterapkan kepada masyarakat apa adanya. Pada tahap awal, tradisionalisme ini dikembangkan oleh Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Aisyah, yakni para sahabat yang berada di luar struktur pemerintahan. Berikutnya fuqaha sab’ah atau tujuh ulama fiqh Madinah dan tokoh-tokoh lainnya yang kesemuanya merupakan ulama-ulama shalih, ahli ibadah, dan tidak banyak terlibat dalam urusan-urusan keduniaan.
Selain itu kombinasi antara faktor-faktor politik dengan perbedaan latar belakang sosial budaya. Pusat atau ibu kota pemerintahan kekhalifahan Islam untuk pertama kalinya sejak masa Ali bin Abi Thalib berpindah dari Madinah ke Kufah, dan kemudian ke Syria (Damaskus). Hal ini, praktis menyebabkan wilayah Hijaz menjadi relatif aman dari berbagai pergolakan dan gelombang budaya serta ide-ide dari luar yang memasuki pusat pemerintahan.
Kehidupan di Hijaz berlangsung mudah dan sederhana, karena relatif terisolasi. Hijaz juga merupakan tempat hidup Nabi Saw dan tempat lahirnya pemerintahan Islam. Oleh sebab itu, terdapat banyak sekali hadits di wilayah ini, selain ketetapan-ketetapan hukum yang dibuat oleh tiga khalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Di sisi lain, Irak merupakan daerah baru dan asing bagi umat Islam. Ketika pemerintahan Islam berpusat di sini, beragam kebudayaan dari berbagai daerah bercampur-baur sehingga memunculkan beragam situasi dan peristiwa baru yang berada di luar pengalaman para ulama Islam pada masa ini. Di samping itu, hadits-hadits tidak mudah didapatkan sebagaimana di Hijaz karena jumlah Sahabat yang tinggal di Irak relatif sedikit.
Pada dasarnya, Irak merupakan tempat lahirnya hadits-hadits palsu, dan juga di kemudian hari menjadi tempat tumbuhnya sebagian besar sekte yang menyimpang. Karena tidak mau percaya begitu saja pada keabsahan hadits yang dikutip, para ulama Irak cenderung lebih sedikit menggunakan hadits dibandingkan dengan para ulama Hijaz. Beberapa hadits yang dianggap akurat oleh para ulama Irak hanya diterima setelah terpenuhinya persyaratan yang sangat cermat. Akibat dari keadaan ini adalah corak pemikiran hukum Irak dan para ulamanya yang lebih cenderung bergantung pada akal dan logika daripada Sunnah Nabi Saw.
Di samping itu, lingkungan hidup di Irak berbeda situasinya dengan di Hijaz. Hal ini disebabkan kerajaan Persia yang sebelumnya menguasai Irak, telah meninggalkan bermacam hubungan-hubungan keperdataan dan adat istiadat yang tidak dikenal di Hijaz. Oleh karena itu, lapangan ijtihad di Irak begitu luas dan kemampuan untuk menggali atau membahas hukum-hukum Islam lebih banyak dimiliki oleh ulama-ulama Irak. Sementara lingkungan hidup di Hijaz, mulai dari masa Sahabat hingga masa imam madzhab, hampir tidak mengalami perubahan yang mendasar, serta hampir semua kejadian atau peristiwa telah terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun fatwa Sahabat. Di sini, dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad hampir tidak ada di Hijaz, sehingga para ulama Hijaz menjadi terbiasa memahami nash-nash secara lahiriyah, dan merasa tidak perlu untuk mencari dan mendalami illat untuk diadakannya suatu ketentuan hukum Islam.
Ketika al-Syafi'i datang ke Iraq, terjadi pelecehan ahlu al-hadis yang amat dahsyat oleh ahlu al-ra'yi, terutama terhadap Imam Malik, guru Imam al-Shafi'iy. Hal ini terjadi karena secara kebetulan ahlu al-ra'yi lebih populer di Iraq dan lebih dekat dengan penguasa, sebagai akibat kepandaiannya dalam berdebat dan berdiskusi serta kelihaiannya dalam merekayasa hukum.[2]
Melihat kenyataan seperti ini, maka wajar apabila Imam al-Shafi'i membela dan mempertahankan gurunya. Suatu saat Imam al-Shafi'i ditanya oleh Muhammad Ibn al-Hasan dari Madzhab Hanafi, "Bagaimana pendapatmu mengenai sikap teman-temanmu dan teman-temanku? Malik apa Abu Hanifah?” Al-Shafi'i balik bertanya, "Siapa yang lebih mengerti tentang hadis Nabi? Malik ataukah Abu Hanifah?" Al-Hasan menjawab, "Malik, tetapi Abu Hanifah lebih analogis!" Al-Shafi'i menyatakan, "Ya, karena Malik lebih mengerti tentang kitab Allah termasuk nasikh dan mansukhnya dan sunnah Nabi dibanding Abu Hanifah. Maka, Malik lebih patut untuk diikuti."[3]
Dasar-dasar yang dikemukakan oleh Imam al-Shafi'i tersebut kemudian menjadi hujjah kelompok Maliki penduduk Iraq dalam setiap perbantahan menghadapi kelompok Hanafi, sekaligus mempopulerkan nama Imam al-Shafi'i kepada penduduk Iraq. Imam al-Shafi'i cukup terpengaruh dengan ahlu al-hadith, sehingga ketika mempelajari buku-buku ahl al-ra'yi ia cenderung menolak pendapat-pendapat mereka dan tetap gigih mempertahankan atau membela ahlu al-hadis. Ketika al-Shafi'i datang ke Baghdad, terdapat 40-50 kelompok diskusi sesuai dengan afiliasi masing-masing. Berkat keahlian al-Shafi'i dalam menjelaskan fungsi hadis dalam Shari'at Islam, banyak di antara ahlu al-ra'yi bergabung dengannya. Bahkan, tokoh-tokohnya akhirnya menjadi muridnya.
D. Bentuk fatwa hukum ahlu al-ra’yi dan contoh
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, Nabi Muhammad saw. pernah memberikan zakat kepada orang muallaf kafir, di antaranya kepada Shafwan bin Umayyah. Pemberian zakat kepada mereka disebabkan karena umat Islam saat itu masih sedikit. Setelah beliau wafat, ketika umat Islam kuat, para khalifah yang empat tidak ada memberikan zakat kepada mereka. Di masa khalifah Umar ra., umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya setelah menamatkan sejarah kejayaan Persia di Iran dan hanya bersaing dengan Imperialis Romawi. Maka kemudian munncul pertanyaan, masih adakah orang yang masuk muallaf? Umar ra. menjawab, “Dulu, Rasulullah saw. memang pernah memberikan zakat kepada kalian, karena saat itu umat Islam masih sedikit. Tapi, kini Allah telah memuliakan agama Islam dan kaum muslimin. Maka, pergilah! Jika kau ingin beriman, berimanlah. Jika ingin kafir, kafirlah!”. Konklusinya, keputusan khalifah Umar ra. tidak memberikan zakat kepada mereka bukan bertentangan dengan al-Qur’an, tapi karena memang sudah tidak ada muallaf lagi.
Ijtihad Umar yang paling masyhur yang disebut-sebut sebagai dalil perubahan hukum Islam karena keadaan ada (2) dua poin, yaitu[4]:
1. Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada ketentuannya dalam al-Qur’an (Qs. at-Taubah: 60). Ma’ruf ad-Duwalibi mengatakan, “Ini mau dikatakan apa jika tidak dikatakan menghilangkan hukum al-Qur’an, ketika Umar yakin bahwa kondisi yang berubah telah membolehkannya? Akan tetapi, apakah ulama dan penulis kita berani menghadapi hakikat yang jelas ini?”
2. Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah/ al-majâ’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Qur’an (Qs. al-Mâ’idah Ayat: 38). Menurut Ma’ruf ad-Duwalibi, peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan hukum pencurian yang telah ditetapkan al-Qur’an, disebabkan oleh perubahan kondisi yang menyebabkan timbulnya pencurian.
Betulkah Umar mengubah hukum Islam karena tuntutan keadaan, sebagaimana pernyataan Ma’ruf ad-Duwalibi? Sebenarnya tidak. Dalam masalah zakat bagi muallaf, persoalannya bukanlah Umar itu melanggar atau meninggalkan nash al-Qur’an (Qs. at-Taubah: 60), tetapi karena sesungguhnya muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yang telah dikenal sifat-sifatnya. Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu ada atau tatkala sifat-sifat golongan itu ada. Sebaliknya, jika golongan itu tidak ada atau hilang sifat-sifatnya, zakat tidaklah diberikan[5].
Demikian pula dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah). Para ulama telah menjelaskan bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari Hadis Nabi Saw. Bahwa hukum potong tangan tidak dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi musibah kelaparan, sebagaimana diriwayatkan dari Makhul ra., bahwa Nabi Saw bersabda: Lâ qath’a fî majâ’ah mudhthar. (Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa)[6]. Jadi, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsîs) dari ketentuan umum potong tangan (Qs. al-Mâ’idah: 38).
Dalam kitabnya, I’lâmu al-Muwaqqi’în III/14, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, bahwa tindakan Umar itu didorong oleh adanya syubhat (ketidakjelasan) yang kuat, yang menyebabkan penolakan hukum potong tangan atas pelakunya yang sangat membutuhkan makanan.[7] Menolak pelaksanaan hukuman karena syubhat merupakan perkara yang disyariatkan, sebagaimana sabda Nabi Saw: “Idrâ’ al-hudûd bi asy-syubuhât. (Tolaklah hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat) (Lihat: Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, VII/118). Hadis itu pula yang mendasari suatu kaidah fikih terkenal, Al-Hudûd yasquthu bi asy-syubuhât.” (Sanksi hudûd digugurkan karena adanya syubhat-syubhat)[8] .
Hal yang sama dapat dikatakan pula dalam masalah tanah rampasan perang di Irak yang tidak dibagikan Umar. Hal itu bukan karena Umar menentang atau me-naskh Qs. al-Anfâl ayat 41, melainkan karena Umar menemukan dalil lain yang lebih kuat, yaitu dalam Qs. al-Hasyr ayat 6-10[9].  Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa urusan tanah rampasan perang, adalah kewenangan Khalifah (Imam) yang berhak dia perlakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan dalam batas-batas syariah. Khalifah boleh memilih antara membagi atau tidak membagi. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri dari al-Qur’an dan al-Hadits[10] .

Sebagai khalifah, Umar bin Khattab sangat memperhatikan kemaslahatan bersama secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan berbagai rumusan kebijakan yang penuh dengan pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Sehingga zamannya dikenal dengan zaman yang sarat dengan perubahan, dan tak jarang bertolak belakang dengan apa yang pernah Rasulullah kerjakan. Kebijakan yang paling fenomenal adalah kebijakan fiskal di sektor perpajakan tentang pertanahan dan pertahanan, atau sering kali juga dikenal dengan kebijakan Umar di sawad (tanah subur). Umar memutuskan untuk tidak mengambil alih tanah taklukan, namun justru diberikan pengelolaan sepenuhnya kepada pemiliknya, namun diwajibkan membayar pajak (kharaj) sebesar 50 persen dari hasil panen[11].
Ada beberapa alasan kebijakan ini lebih disukai oleh Umar, antara lain : andaikata tanah taklukan itu diambil alih oleh negara, maka secara otomatis para pasukan (tentara) Islam yang akan mengelolanya, padahal menurut Umar, para tentara bukanlah ahli bercocok tanam, selain kualitas pertanian akan menurun, juga akan berdampak pada rendahnya produktivitas. Selain itu, pendapatan  negara melalui pajak akan jauh menurun, mengingat pajak (kharaj) bagi non-musim sebesar 50% dan pajak (ushr) bagi bagi muslim hanya 10 % saja. Di samping itu, hal yang sangat dipertimbangkan oleh Umar adalah kekhawatiran akan adanya gelombang pemberontakan[12], sebagai dampak pengangguran dan kemiskinan. Sehingga pada gilirannya  akan memberikan angin negatif tersendiri bagi keamanan dan keutuhan negara.
Dan untuk menanggung nasib para tentara, maka pada zaman Umarlah awal mula ditetapkan gaji tetap bagi para tentara, selain sebagai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga agar terjaga motivasi para tentara dalam membela negara[13].
Selain itu, ketika Umar melihat kebijakan bea cukai yang merugikan salah satu pihak,[14] terutama negara Islam, maka Umar pun menerapkan wajib pajak bagi siapa saja dari warga asing non-muslim yang hendak memasuki wilayah teritorial Islam untuk berdagang sebesar 10% dari barang yang dijual, sementara bagi dzimmi yang berada dalam kekuasaan Islam dikenakan sebesar 5%, dan muslim 2,5% dari harga barang dagangan[15].
Hal lain dari kebijakan ekonomi Umar yang menarik untuk dikaji adalah tentang perpajakan Kuda. Pada masa pemerintahan Umar, bisnis perdagangan kuda semakin merebak, bahkan pernah diriwayatkan pernah ada seekor kuda Arab Taghlabi yang diperkirakan bernilai 20.000 dirham[16]. Sehingga melihat keadaan demikian, maka Umar menarik zakat dari bisnis perdagangan kuda tersebut dan membagikannya  kepada orang-orang miskin dan para budak[17].
Berkaitan dengan segelintir kebijakan ekonomi Umar sebagaimana dijelaskan di atas, ada satu hal yang mesti digarisbawahi, yaitu mengenai pendistribusian kas Baitul Mal sebagai tunjangan sosial kepada kerabat Rasulullah dan orang-orang yang berjasa dalam membela Islam. Karena dibalik niat yang mulia itu ternyata menuai kritikan dari salah seorang sahabat, Hakim bin Hizam. Menurutnya, hal demikian akan mendongkrak mereka dengan sifat malas, dan akan menjadi fatal ketika pemerintah sudah tidak lagi menerapkan kebijakan tersebut.[18]. Khalifah menyadari bahwa kebijakan tersebut mengandung kekeliruan dan berimbas negatif terhadap strata sosial masyarakat dan berniat untuk memperbaikinya. Namun Umar wafat  sebelum terealisasikan rencananya[19].
Dari berbagai kebijakan ekonomi Umar bin Khattab tersebut, nampak tidak terlalu memprioritaskan kaum miskin ataupun kaum kaya, tetapi Umar lebih mengedepankan kemaslahatan bersama. Setiap kebijakan selalu berupaya untuk menjawab keadaan realitas dengan tidak memberatkan dalam implemenatasinya. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan fleksibelitas menjadi karakteristik perekonomian di Masa Umar bin Khattab. Kebijakan ekonomi yang kaku sangat dihindari oleh Umar, karena akan berdampak negatif terhadap bangunan kemaslahatan yang ingin dicapai[20]. Kemaslahatan menjadi dasar ataupun landasan bagi Umar dalam menjalankan roda perekonomian, sebagai sebuah pengejewantahan dari perintah yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikianlah Umar bin Khattab yang terkadang melakukan ta’lil (mencari alasan rasional dari suatu hukum). Karena dalam urusan muamalah yang menjadi pertimbangan utama adalah asas manfaat bagi masyarakat. Inilah konsep rahmatan lil ‘alamin membawa rahmat bagi semesta alam.








Daftar Pustaka
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam.Jilid 1 ,Yogyakarta : PT Dhana Bakti  Wakaf, 1995
Ali, Isamer Itihash. Dhaka : Ali Publication, 1976
Al-Maliki, Abdurrahman Nizhâm al-'Uqûbât, Beirut: Darul Bayariq, 1990
Al-Qaradhawi, Yusuf.. Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam ('Awâmîl as-Sâ'ah wa al-Murûnah fî asy-Syarî'ah al-Islâmiyyah), terj. Oleh Said Agil Husin Al- Munawwar. Semarang: Dina Utama Semarang, 1995
An-Nabhani, Taqiyuddin.. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah. Juz II, Al-Quds: Hizbut Tahrir, 1953
As-Sayis, M. Ali. 1996. Fiqih Ijtihad: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy'ah al-Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh), Solo: CV. Pustaka Mantiq.
As-Suyuthi, Jalaludin, t.t. Al-Asybâh wa an-Nazhâ'ir fî al-Furû'. Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, 1992.
Husaini, S. A.Q. Arab Adminitration. Madras : Soldent & Co, 1949

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998
M. Shiddiq Al-Jawi, “Memahami Ijtihad Umar Bin Al-Khaththab,” http://j.1asphost.com/shiddiqaljawi/detail.asp?id=40 (07 Oktober 2011)

Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996
Mun’im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Islamabad: Risalah Bush.
Qutbh Ibrohim Muhammad, Kebijakan EkonomiUmar bin Khattab. Jakarta : Pustaka Azam, 2002
Said, Busthami Muhammad. 1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah.
Said, Busthami Muhammad. 1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah.

Link :
http://watirpradhika.wordpress.com/2011/04/12/khilafah-rasyidah-pereode-abu-bakar-dan-umar-bin-khattab/
http://j.1asphost.com/shiddiqaljawi/detail.asp?id=40
http://www.scribd.com/doc/66194740/Perkembangan-Fiqih-Masa-Daulah-Umayyah




[1]Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : PT Raya Grafindo Persada, 1996), h. 100.
[2] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998), h. 71.

[3] Mun’im. A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, (Islamabad: Risalah Bush, 1995), h. 76.
[4] Said, Busthami Muhammad. 1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah), h. 307, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.


[5]Al-Qaradhawi, Yusuf.. Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam ('Awâmîl as-Sâ'ah wa al-Murûnah fî asy-Syarî'ah al-Islâmiyyah), terj. Oleh Said Agil Husin Al- Munawwar. (Semarang: Dina Utama Semarang, 1995), h. 306, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi, “Memahami Ijtihad Umar Bin Al-Khaththab,” http://j.1asphost.com/shiddiqaljawi/detail.asp?id=40 (07 Oktober 2011).

[6]Al-Maliki, Abdurrahman Nizhâm al-'Uqûbât ( Beirut: Darul Bayariq, 1990), h. 68, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.
[7]Said, Busthami Muhammad. 1995. Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîd ad-Dîn). Terj, Ibnu Marjan dan Ibadurrahman (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah), dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.


[8]As-Suyuthi, Jalaludin, t.t. Al-Asybâh wa an-Nazhâ'ir fî al-Furû'. (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, 1992), h.84. dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.


[9]An-Nabhani, Taqiyuddin.. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah. Juz II (Al-Quds: Hizbut Tahrir, 1953), h. 211, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.

[10]As-Sayis, M. Ali. 1996. Fiqih Ijtihad: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy'ah al-Fiqh al-Ijtihâd wa Athwâruh). (Solo: CV. Pustaka Mantiq), h. 91-92, dikutip oleh M. Shiddiq Al-Jawi.

[11]Sistem ini pada zaman Dinasti Abbasiah, khususnya periode Harun Ar-Rashid, dikenal dengan sebutan Muqasamah, pengertiannya adalah negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarapnya.

[12]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 87

[13]Ali, Isamer Itihash. (Dhaka : Ali Publication, 1976) hal. 206-210.

[14] Pada masa Rasulullah, kebijakan bea cukai telah ditiadakan. Namun pada masa Umar diterapkan kembali, hal ini berawal dari orang-orang Harbi yang mewajibkan para pedagang  muslim bayar pajak ketika berdagang di tanah Harbi (Hierapolis), sehingga melihat ketidakadilan tersebut, maka Umar pun menerapkan kebijkan yang sama.

[15] Husaini, S. A.Q. Arab Adminitration. (Madras : Soldent & Co., 1949), hal. 47-48.

[16] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah, hal. 69

[17] Pada masa Rasulullah, zakat atas kuda belum diwajibkan, karena memang jumlahnya sangat terbatas, dan bukan untuk dikomersialisasikan, tapi digunakan sebagai fasilitas perang.

[18] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah. Hal. 64

[19] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam.Jilid 1 (Yogyakarta : PT Dhana Bakti  Wakaf, 1995), hal. 165

[20] Qutbh Ibrohim Muhammad, Kebijakan EkonomiUmar bin Khattab. (Jakarta : Pustaka Azam, 2002), hal. 225

Tidak ada komentar:

Posting Komentar