SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Sabtu, 21 November 2009

Pedoman Transaksi Saham yang Sesuai Dengan Syariah

Konsep dasar
Saham adalah tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Selembar saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas adalah pemilik (berapapun porsinya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas saham tersebut, sesuai porsi kepemilikan pada saham (Widiatmojo, 1997). Akan tetapi, sekarang ini sistem tanpa warkat sudah dilakukan di bursa efek Jakarta dimana bentuk kepemilikan tidak lagi berupa lembaran saham yang diberi nama pemiliknya tapi sudah berupa Taccount atas nama pemilik atau saham tanpa warkat. Jadi penyelesaian transaksi akan semakin cepat dan mudah karena tidak melalui surat, formulir, dan prosedur yang berbelit-belit.

Saham yang umum dikenal adalah saham biasa, tetapi jenis saham ada 2 yaitu: saham biasa dan saham preferen (Mamduh, 2006). Saham biasa adalah saham yang menempatkan pemiliknya paling terakhir terhadap pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi karena pemilik saham biasa ini tidak memiliki hak-hak istimewa. Pemilik saham biasa juga tidak akan memperoleh pembayaran dividen selama perusahaan tidak memperoleh laba.Setiap pemilik saham memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang saham /RUPS dengan ketentuan one share one vote. Pemegang saham biasa memiliki tanggung jawab terbatas terhadap klaim pihak lain sebesar proporsi sahamnya dan memiliki hak untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain.
Sedangkan saham preferen merupakan bentuk saham yang memiliki karakteristik obligasi. Pemegang saham preferen memperoleh dividen, tetapi dividen tersebut seperti bunga yang besarnya tetap. Biasanya besarnya sejumlah persentase tertentu dari nilai nominal saham preferen untuk setiap periode (Mamduh, 2006). Persamaan saham preferen dengan obligasi terletak pada 3 (tiga) hal yaitu ada klaim atas laba dan aktiva sebelumnya, dividen tetap selama masa berlaku dari saham dan memiliki hak tebus dan dapat dipertukarkan dengan saham biasa Saham preferen lebih aman dibandingkan dengan saham biasa karena memiliki hak klaim terhadap kekayaan perusahaan dan pembagian dividen terlebih dahulu Akan tetapi saham preferen mempunyai kelemahan yaitu sulit untuk diperjualbelikan seperti saham biasa, karena jumlahnya yang sedikit
Untuk memahami transaksi saham yang sesuai syariah, perlu kiranya memahami kaidah penetapan hukum Islam terlebih dulu. Hukum Islam atau yang dikenal dengan syariah bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Untuk memudahkan dalam pemahaman dan pelaksanaannya, para ulama manafsirkan perintah-perintah dan larangan-larangan yang diatur dalam Al-Quran dan Sunnah. Penanfsiran ini lebih dikenal dengan fiqih.
Dari seluruh aspek kehidupan yang diatur dalam Al-Quran dan sunnah. Berdasarkan hubungan manusia, fiqih mengelompokkan aspek-aspek kehidupan manusia dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok ibadah, yang merupakan seluruh aspek kehidupan manusia yang dilandasi hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya. Kaidah yang digunakan dalam pelaksanaan ibadah adalah semua tidak boleh dilakukan kecuali ada perintah atau ketentuannya. Dengan demikian dalam menjalankan ibadah manusia hanya boleh melakukan apa yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah.
Kelompok yang kedua, kelompok muamalah. Muamalah merupakan seluruh aspek kehidupan manusia yang dilandasi hubungan sesama manusia. Salah satu bentuk muamalah adalah perniagaan. Kaidah yang dipergunakan dalam bermuamalah adalah semua boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.
Kegiatan muamalah yang dilarang adalah kegiatan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman. Dalam melakukan muamalah manusia hanya perlu memperhatikan hal-hal yang dilarang. Dengan demikian manusia diberikan kebebasan untuk menciptakan berbagai pola perniagaan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. Kegiatan pasar modal termasuk dalam kelompok muamalah, sehingga transaksi dalam pasar modal diperbolehkan sepanjang tidak ada larangan menurut syariah.

Hukum investasi pada saham
Sejak secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham. Para ahli fiqih berpendapat bahwa suatu saham dapat dikatergorikan memenuhi prinsip syariah apabila kegiatan perusahaan yang menerbitkan saham tersebut tidak tercakup pada hal-hal yang dilarang dalam syariah islam, seperti :
1. alkohol;
2. perjudian;
3. produksi yang bahan bakunya berasal dari babi;
4. pornografi;
5. jasa keuangan yang bersifat konvensional;
6. asuransi yang bersifat konvensional.

Bentuk kontrak kepemilikan dalam hukum Islam bisa berupa mudharaba atau musharaka. Menurut (Achsien, 2000), Fiqh klasik berpandangan bahwa tidak boleh ada partner yang keluar dan/atau digantikan kecuali melalui penghentian atau likuidas partnership. Tujuannya adalah untuk menentukan secara persis dan final bagian yang dimiliki tiap pihak dalam kerjasama, untuk menyingkirkan kemungkinan uncertainty dalam penilaian asset yang dianggap gharar, Juga untuk kepentingan partner yang lain dalam keputusan untuk meneruskan usaha atau tidak dengan ataupun tanpa partner baru.
Untuk investor muslim, investasi pada saham (equity investment) memang sudah semestinya menjadi preferensi untuk menggantikan investasi pada deposito, walaupun dikatakan dalam fiqih klasik bahwa equity tidak bisa dipersamakan dengan keuangan Islami seperti kontrak mudharabah atau musharakah. Ekuity dapat dijual kapan saja pada pasar sekunder tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham. Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan rab al maal (investor) dan perusahaan sebagai mudharib untuk statu periode tertentu, karena batasan periode kontrak yang mengikat tersebut, mudharabah dan musyarakah seringkali dianggap tidak likuid. Sementara ekuiti yang memungkinkan untuk dijual kapan saja tentunya lebih liquid dan lebih atraktif, meskipun kemudian terjadi modifikasi progresif untuk membuat kontrak keuangan Islami menjadi lebih likuid.
Tetapi fiqih modern memajukan inovasi untuk hal ini yang belakangan juga sudah diterima secara luas. Sekuritas saham dipandang sebagai penyertaan dalam mudharaba partnership yang merefleksikan kepemilikan perusahaan (ownership of the entreprice), bukan saham partnership pribadi. Kepemilikan perusahaan ini kemudian disamakan dengan kepemilikan terhadap asset perusahaan. Setelah membuat asosiasi ini, perdagangan saham dapat dilakukan bukan sebagai model patungan usaha (sharika’aqd) tetapi dalam bentuk syarika milk atau kepemilikan bersama atas aset perusahaan. Konstruksi ini menguntungkan karena co-owners dapat menjual saham-nya pada pihak ketiga tanpa memerlukan persetujuan co-owner lainnya, atau melalui likuidasi terlebih dulu. Lagi pula, saat ini perusahaan memiliki durasi yang tidak terbatas dengan baragam proyek bisnis yang dilakukan.
Keberatan fiqih klasik bahwa penilai/penjualan ditengah masa usaha akan menimbulkan kemungkinan gharar-seperti halnya jual beli ikan dalam laut- dapat diatasi dengan praktek akuntansi modern dan adanya kewajiban disclosure laporan keuangan kepada pemilik saham. Dengan berbagai model valuasion modern saat ini, investor dam pasar secara luas, memiliki pengetahuan tentang nilai sebuah perusahaan, sehingga saham-saham dapat diperjual belikan secara wajar dengan harga pasar.Lagi pula market value tampaknya lebih mencerminkan nilai yang lebih wajar dibandingkan dengan book value. Dengan demikian, ditarik kesimpulan bahwa sekuritas-sekuritas dapat diperjualbelikan dengan menggunakan mekanisme pasar sebagai penentu harga. Dengan demikian , dapat memperoleh capital gain selain profit-sharing dari dividen.

Pedoman bertansaksi saham biasa yang sesuai dengan syariah
1. Menghindari gharar
Menurut Achsien (2000), sebuah transaksi yang gharar dapat timbul setidaknya karena dua sebab utama.] Yang pertama adalah kurangnya informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pada pihak yang melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya control atau skill pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya obyek. Ada pula yang membolehkan transaksi dengan obyek yang secara aktual belum ada, dengan syarat bahwa pihak yang melakukan transaksi memiliki kontrol untuk hampir bisa memastikannya di masa depan
Sebagai institusi keuangan modern, pasar modal tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kesalahan. Salah satunya adalah tindakan spekulasi. Para ”investor” selalu memperhatikan perubahan pasar, membuat berbagai analisis dan perhitungan, serta mengambil tindakan spekulasi di dalam pembelian maupun penjualan saham. Aktivitas inilah yang membuat pasar tetap aktif. Tetapi, aktivitas ini tidak selamanya menguntungkan, terutama ketika menimbulkan depresi yang luar biasa.
Dalam pasar modal ini, dibedakan antara spekulan dengan pelaku bisnis (investor) dari derjat ketidak pastian yang dihadapinya. Menurut Agustianto (2005), perlu dilihat dahulu karakter dari masing-masing investasi dan spekulasi, Pertama, Investor di pasar modal adalah mereka yang memanfaatkan pasar modal sebagai sarana untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan Tbk yang diyakininya baik dan menguntungkan, bukan untuk tujuan mencari capital gain melalui short selling. Mereka mendasari keputusan investasinya pada informasi yang terpercaya tentang faktor-faktor fundamental ekonomi dan perusahaan itu sendiri melalui kajian yang seksama. Sementara spekulan bertujuan untuk mendapatkan gain yang biasanya dilakukan dengan upaya goreng menggoreng saham.
Kedua, spekulasi sesungguhnya bukan merupakan investasi, meskipun di antara keduanya ada kemiripan. Perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya terletak pada 'spirit' yang menjiwainya, bukan pada bentuknya. Para spekulan membeli sekuritas untuk mendapatkan keuntungan dengan menjualnya kembali secara (short term). Sedangkan para investor membeli sekuritas dengan tujuan untuk berpartisipasi secara langsung dalam bisnis yang lazimnya bersifat long term.
Ketiga, Spekulasi adalah kegiatan game of chance sedangkan bisnis adalah game of skill. Seorang dianggap melakukan kegiatan spekulatif apabila ia ditenggarai memiliki motif memanfaatkan ketidak pastian tersebut untuk keuntungan jangka pendek. Dengan karakteristik tersebut, maka investor yang terjun di pasar perdana dengan motivasi mendapatkan capital gain semata-mata ketika saham dilepas di pasar sekunder, bisa masuk ke dalam golongan spekulan (Sapta, 2002) dalam Agustiarto
Keempat, spekulasi telah meningkatkan unearned income bagi sekelompok orang dalam masyarakat, tanpa mereka memberikan kontribusi apapun, baik yang bersifat positif maupun produktif. Bahkan, mereka telah mengambil keuntungan di atas biaya masyarakat, yang bagaimanapun juga sangat sulit untuk bisa dibenarkan secara ekonomi, sosial, maupun moral.
Kelimat, spekulasi merupakan sumber penyebab terjadinya krisis keuangan. Fakta menunjukkan bahwa aktivitas para spekulan inilah yang menimbulkan krisis di Wall Street tahun 1929 yang mengakibatkan depresi yang luar biasa bagi perekonomian dunia di tahun 1930-an. Begitu pula dengan devaluasi poundsterling tahun 1967, maupun krisis mata uang franc di tahun 1969. Ini hanyalah sebagian contoh saja. Bahkan hingga saat ini, otoritas moneter maupun para ahli keuangan selalu disibukkan untuk mengambil langkah-langkah guna mengantisipasi tindakan dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh para spekulan.
Keenam, spekulasi adalah outcome dari sikap mental 'ingin cepat kaya'. Jika seseorang telah terjebak pada sikap mental ini, maka ia akan berusaha dengan menghalalkan segala macam cara tanpa mempedulikan rambu-rambu agama dan etika.
Karena itu, ajaran Islam secara tegas melarang tindakan spekulasi ini, sebab secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai illahiyah dan insaniyyah.
2. Perhatikan operasi perusahaan
Perusahaan yang dapat digolongkan menjadi (Syahatah dan Fayyadh, 2004):
a. Perusahaan saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang halal dan baik, modalnya bersih dari riba dan penyucian harta kotor serta tidak memberikan salah satu pemegang sahamnya keistimewaan materi atas pemegang saham lainnya.
b. Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal yang diharamkan dan menjijikan, atau modalnya merupakan harta haram darimanapun asalnya, atau perusahaan tersebut memberikan keistimewaan materi bagi sebagian pemegang saham seperti keistimewaan materi bagi sebagian pemegang saham seperti keistimewaan dalam bentuk pengembalian modal terlebih dulu ketika perusahaan dilikuidasi atau keistimewaan atas hal tertentu dalam keuntungan (dividen)
c. Saham perusahaan yang operasionalnya bercampur antara yang halal dan yang haram
Ulasan berikut membahas hukum syara atas masing-masing jenis saham tersebut
a. Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang halal dan baik, bersih dari hal-hal kotor baik dalam operasionalnya maupun hasil produksinya
Menanam saham dalam perusahaan seperti itu adalah boleh secara syar’i, bahkan sangat dianjurkan dan disenangi (sunnah), karena adanya manfaat yang diraih dan kerusakan yang bisa dihindari dengan saham tersebut. Perdagangan (jual-beli) saham-saham tersebut, aktifitas mediator, publikasi saham dan pendaftarannya serta ikut memperoleh bagian dari keuntungannya, semua itu diperbolehkannya aktifitas tersebut. Islam sebagaimana telah kami sebutkan tidak melarang adanya bentuk-bentuk administrasi dan manajemen baru yang diterapkan didalmnya aktifitas yang diperbolehkan.
b. Saham perusahaan yang beraktifitas dalam hal-hal yang diharamkan, seperti perusahaan-perusahaan minuman keras, baik produsen, distributor atau pengimpor (pemasok dari luar negeri), perusahaan yang memproduksi daging babi, perusahaan simpan meminjam berdasarkan riba seperti bank-bank ribawi, perusahaan seni yang terlarang, perusahaan perjudian, pengelola prostitusi dan perusahaan yang membekali musuh dengan dana dan komoditas strategis yang digunakan untuk memerangi umat Islam, baik berupa senjata atau lainnya dan jenis-jenis usaha lainnya yang telah dinash oleh syariah Islam atas keharamannya.
Begitu juga jika modal perusahaan tersebut berasal dari riba atau dari harta kotor dan pendapatan dari kejahatan seperti harta hasil curian , penipuan dan yang sejenisnya. Hal yang sama juga jika saham tersebut memberi keistimewaaan materi bagi pemegangnya atas pemegang saham lainnya (saham preferen). Semua yang disebutkan diatas diharamkan secara syar’i, sehingga tidak boleh menanam saham dalam perusahaan-perusahaan seperti itu, begitu juga menjadi pialang dalam sahamnya, mengedarkan dan mencatatkannya dalam pasar.
c. Saham perusahaan yang bercampur antara yang halal dan yang haram seperti jika modal perusahaan tersebut halal, hanya saja perusahaan tersebut memakai pinjaman ribawi untuk mendanai sebagian aktifitasnya, atau operasional perusahaan tersebut berdasarkan akad-akad yang haram. Perusahaan seperti ini banyak dijumpai dewasa ini, bahkan sedikit sekali kita dapati aktifitas yang murni halal karena dominannya sistem dan undang-undang konfensional (kufur) dalam masyarakat muslim, sehingga tidak ada satu perusahaanpun atau suatu aktifitas pun yang bisa menghindarkan diri dari riba, suap atau akd-akad yang batil.

Lebih lanjut (Syahatah dan Fayyadh, 2004): menjelaskan para fuqaha (ahli hukum Islam) kontemporer berbeda pendapat dalam hal sejauh mana kebolehan perusahaan-perusahaan seperti ini. Diantara mereka ada yang memenangkan segi al-wara dan at-tahawwuth (hati-hati) serta melarang ikut andil dalam perusahaan –perusahaan tersebut atau berinteraksi dengannya dalam bentuk apapun sebagai bentuk pemenangan perkara yang haram atas sesuatu yang halal, karena sesuatu yang halal dan yang haram juka berkumpul maka akan dimenangkan yang haram. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalilkan sejumlah nash-nash Al-Quran dan hadits serta pendapat –pendapat para salf yang mengajak kepada kewaraan dari yang haram walalupun sedikit. Sebagian ulama ahli hukum yang lain memperbolehkannya dalam aktifitas dan modal perusahaan tersebut. Ada beberapa riwayat dari para salafus shahih yang menunjukkan bahwa harta yang bercampur antara halal dan haram, jika lebih banyak halalnya, maka boleh berinteraksi dalam harta tersebut selalgi sesuatu yang menjadi obyek muamalah tersebut hakekatnya tidak haram. Diantara perkataan para salaf tersebut antara lain.


Ucapan Ibn Najim Al-Hanafi
“Jika dalam suatu negara/wilayah apabila bercampur antara yang halal dan haram maka boleh membeli hal tersebut kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa barang tersebut haram.
Imam An-Nawawi berkata:
Pencampuran antara yang haram tak terhitung dengan halal yang terbatas dalam satu negeri tidak menjadikan pembelian dalam negeri tersebut haram,bahkan boleh mengambil daripadanya kecuali dalam sesuatu tersebut terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut termasuk yang haram. Jika tidak terdapat tanda-tanda keharaman maka barang tersebut tidak haram tetapi meninggalkannya termasuk sifat wara yang disenangi. Setiap bertambah besar keharaman, sikap wara semakin disenangi.
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan sekitar bermuamalah dengan orang yang mayoritas hartanya haram, seperti para penganut cukai (pungli) dan pemakan harta riba , berkata:
“Jika dalam hartanya ada yang halal dan ada yang haram , maka dalam bermuamalah dengan mereka terdapat syubhat, tidak dihukumi haram kecuali jika diketahui dia memberikan sesuatu yang haram untuk diberikan, dan tidak dihukumi halal kecuali jika diketahui bahwa yang diberikan adalah halal, jika sesuatu yang halal lebih dominan maka muamalah tersebut tidak bisa dihukum haram dan jika haram lebih dominan , maka ada dua pendapat: Kelompok pertama berpendapat bahwa muamalah tersebut halal dan kelompok kedua berpendapat bahwa muamalah tersebut haram

Syarat suatu saham yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dikatakan syariah
adalah sebagai berikut (Rizal, Sofyan, 2008):
a. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan yang mengeluarkan saham (emiten) atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah, antara lain: perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
b. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas saham syariah yang dikeluarkan.
c. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer. (fatwa DSN No 40/2003)

Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non-syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinisp syariah. Dalam hal ini, di Bursa Efek Jakarta terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30 saham yang memenuhi criteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional (DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) sekarang BII bersama dengan PT Danareksa Invesment Management (DIM). Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui index ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah. Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari saham-saham yang sesuai dengan Syariah Islam. Penentuan kriteria pemilihan saham dalam Jakarta Islamic Index melibatkan pihak Dewan Pengawas Syariah PT Danareksa Invesment Management. Saham-saham yang masuk dalam Indeks Syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah seperti:
a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
b. usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
d. Usaha yang memproduksi, mendistribusi dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Selain criteria diatas, dalam proses pemilihan saham yang masuk JII Bursa Efek
Jakarta melakukan tahap-tahap pemilihan yang juga mempertimbangkan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu:
a. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar).
b. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun berakhir yang meiliki rasio Kewajiban terhadap Aktiva maksimal sebesar 90%.
c. Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir
d. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler selama satu tahun terakhir.
Pengkajian ulang akan dilakukan 6 bulan sekali dengan penentuan komponen index pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan perubahan pada jenis usaha emiten akan dimonitoring secara terus menerus berdasarkan data-data publik yang tersedia.

Berikut daftar Emiten Jakarta Islamic Index sampai dengan Juni 2007

Daftar Saham Yang Masuk Dalam Perhitungan
Jakarta Islamic Index
Periode Januari 2007 s.d Juni 2007

3. Tidak melakukan Margin trading (Asy-Syira’Bi Al-Hamisy)
Margin trading pada prinsipnya adalah penjualan kredit. Pada penjualan saham secara margin, investor diperlukan untuk mempunyai deposit pada broker yang nilainya merupakan persentase tertentu dari saham yang akan dibeli. Selanjutnya broker meminjamkan dulu dananya untuk membeli saham yang diminta.(Achsien, 2000). Surat berharga tersebut didaftarkan atas nama perusahaan perantara (pialang) dan bukan atas nama pembeli, kemudian pihak pialang membayar bunga kepada bank atas pinjaman tersbut dan membebankannya kepada pembeli dalam bentuk harga yang lebih tinggi dari harga bunga
Para spekulan menggunakan bentuk transaksi ini yang tersebar di bursa internasional karena adanya ekspektasi akan datang bagi tambahan harga pasar bagi surat berharga yang dibeli sehingga mereka meraih keuntungan yang tinggi atas bagian yang mereka bayar secara tunai.
Dalam transaksi ini, pembeli tidak membayar harga secara keseluruhan, sampai batas ini tidak ada permasalahan secara syar’i. Karena syariat Islam memperbolehkan jual-beli tempo. Menurut Syahatah dan Fayyadh (2004), keharaman tersebut dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Kondisi yang mana sisa harga akad yang belum dibayar, dihitangkan oleh pialang untuk pembeli dengan imbalan bunga yang diharamkan secara syar’I, karena ia merupakan riba yang diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan umat telah sepakat dengan hal itu.
b. Keadaan surat berharga yang menjadi obyek akad dijadikan jaminan pada pialang yang mengambil manfaat dari keuntungannya. Padahal yang berhak mengambil keuntungan dan manfaat sesuatu yang digadaikan adalah pemiliknya/penggadai bukan yang menerima gadai yang memberi hutang.
c. Adanya dua akad secara bersamaan dalam satu akad yaitu akad jual beli dan akad hutang. Padahal syariat Islam telah melarang berkumpulnya kedua hal tersebut secara bersamaan. Dalam hadis sahih, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual beli dan salaf
d. Praktek-praktek yang tidak bermoral yang menyertai transaksi ini. Keuntungan yang diperoleh oleh salah satu pihak merupakan kerugian bagi pihak yang lain, sehingga setiap pihak merupakan kerugian bagi pihak yang lain, sehingga setiap pihak berusaha untuk menimpakkan kerugian bagi pihak lain dengan segala macam cara, baik yang diperbolehkan maupun yang tidak, bahkan yang tidak diperbolehkan adalah lebih dominan.
e. Praktek perjudian atas surat berharga. Padahal perjudian dilarang berdasarkan firman Allah swt

4. Tidak melakukan short sale (Al-Bai’ ’ala Al-Maksyuf)
Short selling adalah menjual saham yang tidak dimiliki. Short selling dilakukan jika investor memperkirakan harga suatu saham akan turun. Investor bisa meminta kepada brokernya untuk melakukan short sell. Karena investor tersebut tidak mempunyai saham, broker kemudian mencari saham yang bisa dipinjamkan. Jika saham tersebut bisa diperoleh (dipinjam), maka investor tersebut bisa menjual saham pinjaman tadi dengan harga pasar saat ini. Beberapa saat kemudian, investor tersebut harus mengembalikan saham pinjaman tersebut. Investor tersebut bisa membeli saham dipasar untuk mengembalikan saham pinjaman tersebut.(Mamduh, 2006)
Syahatah dan Fayyadh (2006) menjelaskan sejauh mana kebolehan transaksi short sale ini, sesungguhnya dalam transaksi ini penjual tidak memiliki barang /surat berharga yang menjadi obyek akad. Ia hanya bersekulasi atas turunnya harga, yang mana ia perkirakan turunnya harga saham yang dia jual kemudian dia membeli pada waktu jath tempo dengan harga yang lebih murah sebagaimana ia perkirakan, sedangkan ia telah menjual saham tersebut dengan harga lebih tinggi sehingga ia memperoleh keuntungan dari perbedaan harga. Dalam waktu yang sama pembeli surat berharga tersebut berspekulasi bahwa harga akan naik, yang mana id memperkirakan harga kan naik padahal ia telah membeli dengan harga yang lebih murah, sehingga ia kan memperoleh keeuntungan dari perbedaan dua harga tersebut (capital gain)
Bentuk seperti ini diharamkan karena mengandung bebrapa yang dilarang, yang terpenting adalah:
a. Penjualan surat berharga yang tidak menjadi milik penjual, begitu juga pembelian sesuatu yang tidak menjadi milik penjual. Syariat Islam telah melarang hal ini, berdasarkan hadits:
Rasulullah saw melarang jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan melarang keuntungan dari sesuatu yang tidak bisa dijamin kapastiannya.
b. Memperbesar volume transaksi short sale mempunyai efek negatif dan membahayakan bagi pasar modal, karena jika spekulasi dalam bentuk seperti ini bertambah dalam surat berharga apapun akan memberikan inspirasi bagi yang lain bahwa harga akan turun yang kemudian diikuti dengan turunnya harga dipasar tanpa adanya informasi tntang jeleknya kondisi proyek/perusahaan yang mengeluarkan surat berharga tersebut. Hal ini jika berlangsung terus menerus akan melemahkan kekuatan pasar modal. Sering terjadi muamalah (persekongkolan) trhadap suatu perusahaan dengan cara seperti ini sehingga perusahaan tersebut terancam kehancuran akibat permaian mereka dan para spekulator
c. Praktek-praktek tidak bermoral yang menyertai proses transaksi ini, baik dalam bentuk jual-beli fiktif dan formalitas, penimbunan, penyebaran isu dan kebohong-bohongan lainna. Transaksi ini mengandung unsur judi dan taruhan yang diharamkan oleh Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar