SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Minggu, 03 Juni 2012

Asbabun Nuzul dan Munasabah Al Quran

A. Pendahuluan 

Al qur’an merupakan petunjuk bagi umat islam yang memuat berbagai macam pesan, untuk memahami pesan dalam al quran tersebut merupakan suatu hal yang penting adalah mengetahui latar belakang turunnya, hal ini penting agar pesan tersebut dapat ditangkap dengan tepat. Sebagian ayat al qur’an yang diturunkan merupakan reaksi setelah terjadi suatu peristiwa, interaksi diantara manusia dimasa rasullullah Saw, inilah yang didalam kajian ulumul qur’an disebut dengan Asbabun Nuzul (Latar belakang turunnya ayat Al qur’an). Begitu pentingnya asbabun nuzul maka bisa kita katakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau diambil hukum darinya, sebelum mengetahui secara pasti tentang asbabun nuzul-nya. Pada kesempatan ini pemakalah akan membahas beberapa hal mengenai asbabun nuzul dimulai dari pengertian asbab al nuzul dan cara mengetahuinya, faedah mengetahui asbab al-nuzul, ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus, beberapa riwayat mengenai asbab al-nuzul pengertian munasabah dan macam-macam munasabah, metode munasabah dan peranan munasabah dalam tafsir. 

B. Pembahasan 

1. Pengertian asbab al nuzul dan cara mengetahuinya 

Kata “Asbab” atau “sebab”, yang secara kebahasaan bermakna: “segala sesuatu yang dijadikan jalan yang dapat menghubungkan atau menyampaikan kepada sesuatu lainnya”. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 166:
Artinya: (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali (Al-Baqarah, ayat 166) 

Sedangkan kata “nuzul”, menurut bahasa setidaknya memilik dua pengertian, yaitu: (1) “Gerakan menurun dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah” (al-inhidar aw al-inhithath min ‘uluwwin ila safalin), seperti ungkapan “نزل فلان من الجبل”, Si A turun dari atas gunung; dan (2) “Mendiami, menempati, atau mampir pada suatu tempat” (al-hulul), sebagaimana dalam ungkapan “نزل فلان في المدينة”, Si A tinggal di kota. Dan sebelum diuraikan tentang pengertian “asbab al-Nuzul” lebih lanjut, maka perlu untuk diperhatikan bahwa istilah “sebab” di sini, tidak sama dengan istilah “sebab” yang dikenal dalam hukum sebab-akibat. Istilah “sebab” dalam hukum sebab-akibat mengandung pengertian keharusan adanya “sebab” untuk menimbulkan adanya “akibat”; dan suatu “akibat” tidak akan pernah terjadi tanpa ada “sebab” yang mendahului. Dan bagi al-Qur’an, meski diantara ayatnya yang turun didahului oleh sebab tertentu, namun keberadaan sebab itu tidak mutlak adanya walaupun secara realita telah terjadi peristiwanya. 

Adanya sebab bagi turunnya al-Qur’an tak lain merupakan bentuk wujud nyata kebijaksanaan Allah SWT dalam memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Dengan adanya sebab yang mendahului, maka akan lebih tampak dan terasa kebenaran al-Qur’an selaku petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia . 

 Adapun M. Quraish Shihab memperjelas pengertian “asbab nuzul al-Qur’an” dengan cara memilah peristiwanya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “asbab nuzul al-Qur’an” adalah: (1) Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat, di mana ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya; (2) peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunnya suatu ayat, di mana peristiwa tersebut dicakup pengertiannya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi . 

Untuk mengetahui asbab an nuzul dapat diketahui dengan periwayatan yang diakui keabsahan, dan berasal dari sumber yang dapat dipercaya, hal ini disebabkan karena asbab an nuzu terjadi di masa rasulullah Saw dan hal ini membutuhkan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berhubungan dengan asbab an nuzul, hal ini menunjukkan kesulitan dalam menentukan asbab an nuzul suatu ayat sehingga tidak jarang terjadi perbedaan riwayat mengenai asbab an nuzul suatu ayat. Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat “asbab al-Nuzul”, yaitu: (a) Adakalanya kalangan sahabat atau tabi‘in mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan “asbab al-Nuzul”. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut; (b) Adakalanya kalangan sahabat dan tabi‘in mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat: نزلت في كذا ...; seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut. 

Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari Nabi Saw tentang ayat yang dikemukakan tadi . Al wahidi berkata “ tidak boleh berbicara tentang sebab turunnya ayat al qur’an, kecuali dengan periwayatan yang di nukil dari mereka yang menyaksikan saat turunnya ayat, mengetahui sebab turunnya, dan meneliti ilmunya. Al-Wahidi misalanya, dengan tegas menyatakan: لا يحل القول في أسباب نزول الكتاب إلا بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل, ووقفوا على الأسباب وبحثوا عن علمها وجدوا في الطلب. Artinya: “Tidak dibenarkan mengemukakan pandangan terkait dengan Asbab Nuzul al-Qur’an, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi yang didengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan secara langsung peristiwa turunnya ayat, mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Terlihat dengan jelas bahwa begitu pentingnya asbabun nuzul, namun demikian dalam memutuskan sebuah riwayat merupakan sebuah asbabun nuzul dari sebuah ayat juga merupakan hal yang sulit dan harus sangat berhati-hati dalam menentukan asbabun nuzul, didalam penjelasan selanjutnya akan dipaparkan faedah mengetahui asbabun nuzul yang akan menunjukkan pentingnya asbabun nuzul, dan sebelum itu akan dipaparkan beberapa pandangan yang menanggap tidak pentingnya asbabun nuzul.

 2. Faedah mengetahui asbab al-nuzul 

Dalam menilai faedah mengetahui asbab al nuzul terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, diantara mereka terdapat kalangan ulama yang berpendapat bahwa mengetahui asbab al nuzul tidak penting dalam memahami al qur’an, hal ini dikarenakan asbab al nuzul merupakan sejarah awal yang hanya berlaku pada saat turunnya ayat tersebut, mereka tidak memandang bahwa asbab an nuzul dapat memudahkan dalam memahami ayat-ayat al qur’an, mereka perpendapat meletakkan kedalam lingkaran historis akan membatasi pesan-pesan yang terkandung di dalam ayat-ayat al qur’an. Diantara ulama yang ditengarai menganggap tidak terlalu penting pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad ‘Abduh. Penilaian ini didasarkan atas pandangan Muhammad ‘Abduh yang tidak menyinggung keberadaan “asbab al-Nuzul” dalam prinsip-prinsip pokok penafsirannya, Diantara tokoh yang dinilai tegas dalam memandang tidak pentingnya pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad Husein al-Thabathaba’i. Dalam kitab “al-Qur’an fi al-Islam”, al-Thabathaba’i mengajukan tiga alasan untuk menunjukkan bukti kuat atas penilaiaannya ini, yaitu: Pertama, Hadits-hadits yang berkaitan dengan “asbab al-Nuzul” tidak shahih, karena tidak ada yang mempunyai sanad; Kedua, Periwayatan hadits-hadits tersebut tidak dilakukan secara berhadapan muka antara pemberi dan penerima riwayat, dan tidak juga dengan cara tahamul dan hapalan. Para perawi hanya mengaitkan suatu ayat dengan kisah-kisah tertentu. Jadi, pada hakikatnya “asbab al-Nuzul” hanyalah sebuah hasil ijtihad semata. Karenanya, banyak riwayat yang saling bertentangan; dan Ketiga, Sampai akhir abad I Hijriyah, penulisan hadits masih tetap dilarang oleh Nabi Saw. Ketika itu orang-orang yang mengemukakan catatan hadits, segera dibakar catatannya. Akhirnya, periwayatan hadits tentang “asbab al-Nuzul” termasuk hanya dalam bentuk makna saja.

 Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan hadits itu sendiri. Dan diantara tokoh yang akhir-akhir ini memandang pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” tidak ada urgensitasnya dalam memahami al-Qur’an adalah Muhammad Syahrur. Dalam buku “Nahwa Ushul Jadidah”, Syahrur dengan gamblang menyatakan bahwa penafsiran saat ini tidak memerlukan asbâb al-Nuzûl. Sebab menurutnya, hal itu hanyalah bentuk sejarah penafsiran awal yang hanya berlaku pada saat turunnya al-Qur'an (abad ke-VII M), dan tidak berlaku untuk waktu dimana kita berada saat ini (abad ke-XXI) . Namun demikian mayoritas ulama menganggap penting mengetahui asbab al nuzul ketika mempelajari al qur’an, beberapa pendapat yang menganggap begitu pentingnya mengetahui asbab al nuzul adalah: Al – Wahidi berkata , “ Tidak mungkin dapat mengetahui tafsir sebuah ayat tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.” . Ibn Taimiyah berkata, “Pengetahuan tentang sebab turunnya ayat membantu memahami kandungan ayat tersebut, karena dengan mengetahui sebab turunnya ayat, seseorang dapat mengetahui akibat dari buah dari sebab tersebut, beberapa orang dari kalangan salaf tidak jarang mengalami kesulitan dalam memahami makna ayat-ayat Al qur’an. Namu ketika mereka mengetahui sebabturunnya ayat tersebut, sirnalah kesulitan yang menghalangi pemahami mereka.” Menurut al –Ahabuni dalam kitabnya al-Tibyan Fi Ulum Al Qurran, faedah mengetahui asbab al-nuzul adalah: 1. Mengetahui hikmah yang ditegakkan atas disyariatkannya hukum. 2. Mengkhususkan hukum sebab yang terjadi (bagi yang berpendapat bahwa penetapan hukum itu dengan sebab yang khusus) 3. Mengehindarkan dugaan adanya hasr (batasan tertentu) karena zahir ayat memang menunjukkan hasr. 4. Megetahui orang yang menjadi sebab diturunkannya ayat dan menghilangkan keraguan atasnya 3. Ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tetang ayat yang turunnya berdasarkan adanya suatu kasus atau pertanyaan, perbedaan pendapat mereka terletak pada pengertian ketentuan dalam ayat, jika ketentuan ayat itu menggunakan lafal yang lebih umum dari kasus atau pertanyaan yang diajukan, apakah ketentuan itu dipandang dari umumnya lafal atau kususnya sebab? maksudnya jika turun ayat berkaitan dengan suatu kasus atau sebagai jawaban atas suatu pertanyaan itu saja atau apakah ketentuan dalam ayat itu bisa diperlakukan secara umum. Sebagian ulama ushul fiqh masih berselisih pendapat tentang istilah “asbab al-nuzul yang bersifat khusus dengan ayat yang turun berbentuk umum,” mana yang dapat dijadikan pegangan: apakah ayat yang umum atau sebab yang khusus? Di sini akan penulis kemukakan kedua pendapat tersebut, yakni: Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadikan pegangan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampau sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenaan dengan tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istriya telah berzina dengan Syuraik bin Sahma yang menyebabkan turunnya ayat ke-6 sampai ke 9 dari surah An-Nuur. Jadi hukum yang diambil dari lafadz umum ayat ini (“Dan orang-orang yang menuduh istrinya”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Kedua, Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab, bukan lafadz yang umum. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. 

Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya Abd al-Mun’im al-Namir berkesimpulan bahwa perbedaan antara keduanya hanya rsekedar khilaf syakli (perbedaan formal) bukan perbedaan hakiki. Masing-masing mempunyai jalan pikirannya, tetapi tidak mempengaruhi sedikitpun kepada penerapan ayat tersebut secara umum. Ibn Taimiah memberikan komentar yang sejalan dengan ini : “Para ulama, meski mereka berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran suatu sebab:apakah khusus bagi sebab itu, namun tak seorang pun (dari mereka) yang mengatakan bahwa keumuman-keumuman Al-Qur’an dan sunnah khusus bagi orang tertentu. Hanya saja, paling jauh dapat dikatakan bahwa keumuman-keumuman itu tertentu pada orang yang semacam itu:maka meliputi pula akan orang yang menyerupainya dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, sekalipun ayat itu berupa perintah dan larangan, maka ayat tersebut mencakup orang itu dan orang lain yang sama kedudukannya”. 

4. Beberapa riwayat mengenai asbab al-nuzul 

Beberapa ketentuan yang digunakan oleh ahli tafsir ketika terdapat beberapa riwayat tentang sebab turunnya suatu ayat : a. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti contohnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” atau seperti : “Aku mengira ayat ini turun mengenai perkara ini” , maka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab yang dimaksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya dan bukan menyebabkan Asbab Nuzul. Terkecuali ada indikasi pada salah satu riwayat yang menunjukkan bahwa itu adalah Asbab Nuzul. b. Jika salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya : “Ayat ini turun mengenai perkara ini” sedang riwayat lain menyebutkan Asbab Nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan Asbab Nuzul secara tegas itu. Dan riwayat yang tidak tegas dipandang termasuk ke dalam penjelas. c. Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan Asbab Nuzul, salah satu diantaranya itu shahih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shahih. d. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan. e. Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berdekatan. f. Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab itu berjauhan . 

5. Pengertian munasabah dan macam-macam munasabah 

Kata Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan . Dalam pengertian ini As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarah artinya kedekatan dan keserupaan . Sedangkan munasabah dalam bahasa inggris secara leksikal diartikan suitability, adaquacy, correlation, analogy, dan relationship, Sedangkan pengertian munasabah menurut istilah bisa dipahami dari pendapat al-Syaikh Wali al-Din al-Malawi yang mengatakan bahwa di antara I’jaz al qur’an adalah uslub-nya yang tinggi dan susunannya yang indah. Yang pertama kali perlu dicari dalam ayat-ayat Al qur’an adalah ayat yang menyempurnakan ayat sebelumnya atau ayat yang berdiri sendiri (mustaqillat), yang mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya. Demikianlah juga pada surat-surat al qur’an dicari hubungan suatu surat dengan surat sebelumnya. Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. 

Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul. Dan kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Sebagai contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah ayat 17-20 : Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan. Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bum yang luas. Sedangkan model yang kedua, adalah tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawi. Dalam hal ini ada 3 (tiga) jenis : Tanzhir atau hubungan mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan pertentangan, Istithrad atau hubungan yang mencerminkan kaitan suatu persoalan dengan persoalan lain. Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas. 2. Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan filosofis.

 6. Macam- macam Munasabah 

a. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya didalam surah Al-Fatihah ayat 6 disebutkan: a. “Tunjukilah Kami jalan yang lurus !”. b. Lalu dijelaskan dalam surah Al-Baqarah : 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” b. Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah, misalnya surah An-Nisa’ (perempuan) karena didalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan. c. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya surah al-Mu’minuun dimulai dengan: a. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1), Kemudian diakhiri dengan ayat, b. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 117) d. Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. e. Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surah al-Fatihah ayat 1 : “Segala Puji Bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”. f. Hubungan antara penutup ayat (fashilah) dengan isi ayat. Misalnya didalam surat al-Ahzab ayat 25 disebutkan: “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan“ dan “Dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa”. g. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya penutup surat al-Waqi’ah: ”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” Lalu surah berikutnya, yaitu surah al-Hadiid ayat 1 : “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 

7. Metode mencari munasabah Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah untuk mencari munasabah, berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk mencari munasabah yaitu: a. Mengetahui susunan kalimat dan ma’nanya b. Mengetahui asbabun nuzul. c. Mengetahui tema yang dibicarakan d. Ketika menarik kesimpulan harus memperhatikan ungkapan bahasanya yang benar dan tidak berlebihan. 

 8. Peranan munasabah dalam tafsir Diantara para mufassir ada yang mengawali penafsirannya dengan terlebih dahulu menampilkan asbab al-nuzul ayat atau surah yang akan ditafsirkan. Tetapi sebagian dari mereka ada juga yang bertanya-tanya,manakah yang seharusnya didahulukan, menguraikan sabab nuzul atau memulai penafsiran dengan mengemukakan munasabah ayat-ayat, ataukah sebaliknya mengakhirkannya setelah dilakukan penafsiran secara terperinci. Hal ini menunjukkan adanya kaitan yang erat antar ayat yang satu dengan lainnya dalam rangkaian yang serasi. Perlu diketahui bahwa, secara garis besar ada tiga arti penting dari munasabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan al- Qur’an. Pertama, dari sisi balaghah, korelasi (tanasub) antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan, dari keindahan kalimat yang teruntai di dalam setiap ayat akan menjadi hilang. Kedua, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah. Sebab penafsiran al-Qur’an dengan ragamnya jelas membutuhkan pemahaman mengenai ilmu tersebut antara ayat yang satu dengan yang lainnya, baik di bagian awal maupun di bagian akhirnya Ketiga, sebagai ilmu kritis ilmu munasabah akan sangat membantu seseorang (mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah hubungan antara ayat-ayat tersebut dipahami secara tepat, dan dengan demikian akan dapat mempermudah dalam pengistimbatan hukum-hukum atau pun makna-makna terselubung yang terkandung di dalamnya. 

C. Penutup 

Asbabun nuzul merupakan cabang dari ulumul qur’an yang begitu penting untuk dipelajari untuk dapat memahami al qur’an, asbab al nuzul merupakan salah satu ilmu yang penting dipelajari oleh seorang mufasir dalam melakukan pentafsiran terhadap ayat-ayat al qur’an, asbabun nuzul dapat diketahui dari periwayatan yang diakui keabsahan, dan berasal dari sumber yang dapat dipercaya, faedah mengetahui asbab al-nuzul adalah untuk mempermudah memahami makna yang tersurat dan tersirat dari ayat al qur’an. Perbedaan pendapat mengenai ketentuan lafaz yang umum atau sebab khusus menurut Abd al-Munim al-Namir merupakan sekedar perbedaan yang tidak hakiki, munasabah merupakan langkah analisa al qur’an dengan jalan musyakalah (mencari persamaan) dan mencari kedekatan makna dalam ayat al qur’an. 

Daftar Pustaka

 Abu Maryam Abdusshomad, Beberapa Riwayat Mengenai Asbab Nuzul, 
http://alsofwah.or.id. 
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh :Mansyurat al-‘Ashar al- Hadist Jalal al-Din al-suyuti, al itqan fi ulum Al qur’an(beirut:Maktabah al-‘Asriah,1987),juz I, 
Jalaluddin As Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al qur’an (Jakarta:Gema Insani, 2008), 
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an, Daar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid I.
 Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (terj. Mabahis Fi ‘Ulumil Qur’an oleh Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009 
 Muhammad Ali al-Shabui, Al- Tibyan Fi Ulum Al Qur;An(Damsyiq:maktabah al –Ghazali, 
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010 Pusat Studi Al Qur’an, Pengertian Asbab an Nuzul, 
www.psq.or.id (diakses 09 Maret 2012, 11:31) 
 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada ,1993)
 Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) 
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002) 
 Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al Qur’an,( UIN Malang Press, 2008)

1 komentar: