SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Jumat, 02 Juli 2010

Pajak dalam Islam



Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dan tak lupa pula shalawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafa’atnya di yaumil akhir kelak.
Tugas makalah ini dibuat sebagai tugas untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Perpajakan. Dalam menyelesaikan tugas makalah ini, penulis telah berusaha sebaik dan semaksimal mungkin. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari dosen dan pembaca demi kesempurnaannya.
Akhir kata penulis berharap semoga tugas makalah ini dapat berguna bagi penulis dan kita semua.

Medan, Mei 2010







Daftar Isi
Kata pengantar
Daftar isi
1. Pendahuluan
2. Syarat-syarat Pemungutan Pajak
3. Analisis Perbedaan dan Persamaan Zakat dan Pajak
4. Pajak Menurut Abu Yusuf
5. Pajak Menurut Abu Ubaid
6. Peran Pemungutan Pajak dalam Ekonomi Islam
Kesimpulan
Daftar Pustaka










Pendahuluan
1. Pengertian pajak
Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.( Wikipedia.org )
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah :
1. al-Jizyah ( upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam )
2. al-Kharaj( pajak bumi yang dimiliki oleh Negara )
3. al-Usyr ( bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam )
Pendapat Ulama Tentang Pajak
Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :


لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ

"Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. " ( HR Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, diantaranya adalah :
Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“ Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." ( HR Muslim, no: 3208 )
Kedua : Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“ Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak ( secara zhalim ) “ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ) .
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara dhalim sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratib al Ijma’ hlm : 141 :
“واتفقوا أن المراصد الموضوعة للمغارم على الطرق وعند أبواب المدن وما يؤخذ في الأسواق من المكوس على السلع المجلوبة من المارة والتجار ظلم عظيم وحرام وفسق “
”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.”
Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya
Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.
Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
"Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat." ( HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )
2. Syarat-syarat Pemungutan Pajak
Islam adalah agama yang anti kedzaliman. Pengutipan pajak tidak dapat dilakukan sembarangan dan sekehendak hati penguasa. Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1. Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy.
Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhatikan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar – benar kosong. Para ulama benar – benar sangat hati – hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak.
Sultan Zahir Baibas adalah Raja muslim yang berkuasa pada masa Imam Nawawi. Tatkala negara hendak berperang melawan tentara Tartar di negara Syam, dalam Baitul Mal tidak terdapat biaya yang cukup untuk perang. Maka dikumpul para Ulama dalam Musyawarah, mereka menetapkan keharusan memungut pajak kepada rakyat untuk membantu biaya perang. Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “ kenapa tuan menolak ?”
Imam Nawawi berkata : “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa – apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.
Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zahir pula sangat marah kepadanya dan berkata : “keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “saya taati perintah Sultan “, lalu pergilah ia ke kampung Nawa. (maka itulah dia digelari Nawawi). Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “ Beliau itu adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami “. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata : “ Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zahir ada di sana”, kemudian Sultan pun mati. Diantara tulisan berupa nasehat untuk Sultan Zabir ia berkata : “tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul mal ada uang atau perhiasan, tanda atau ladang yang dapat dijual”. Semoga ini menjadi renungan dan i’tibar bagi ummat Islam saat ini, terutama bagi pejabat – pejabat pajak, DPR atau penguasa.
2. Pemungutan Pajak yang Adil.
Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan.
Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyarakat. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan. (Qardhawi h. 1081-1082).
Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar unsur KKN. Jangan prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu saja, tetapi sesuaikan dengan kebutuhan, kenyataan menunjukkan, seorang pejabat hanya terpokus membangun kampung kelahirannya (nenek moyangnya), kurang peduli pada daerah yang lain. Sehingga terjadi kesenjangan pembangunan. Ini merupakan sebuah kezaliman.
Sistem perpajakan yang adil akan terwujud apabila memenuhi 3 (tiga) kriteria sebagai berikut: Pertama, pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang benar-benar diperlukan untuk merealisasikan tujuan kesejahteraan masyarakat umum; Kedua, beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan kepada kemampuan rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua orang yang mampu membayar; Ketiga, dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang karenanya pajak diwajibkan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya.
Karena itu, Al-Qur’an memperhatikan sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa nafsu, keserakahan atau untuk kepentingan money politic. Justru itulah para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat besar menekankan penggunaan kekayaan rakyat pada sasaran-sasaran yang ditetapkan syariat. Jangan sampai pajak tersebut menjadi lahan korupsi.
Tapi sangat di sayangkan, tidak sedikit oknum yang menyalahgunakan pajak untuk kepentingan pribadi, golongan dan kroni-kroninya. Itulah bedanya antara Kulafaur Rasyidin dengan raja dan pejabat yang rakus.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam At-Thabaqat dari Salman bahwa Umar berkata kepadanya, “Apakah aku ini raja atau Khalifah”.? Salman menjawab, “Kalau engkau memungut dari negeri muslim satu dirham, kemudian engkau gunakan bukan pada haknya, maka engkau raja, bukan Khalifah”.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab berkata, Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini Khalifah atau raja, bila aku raja, maka ini masalah yang besar”. Seseorang berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda, Khalifah tidak akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memungut sesuatu kecuali kepada yang berhak. Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang demikian, sedangkan raja (zalim) akan berbuat sekehendaknya”. Maka Umar diam (Qardhawi, hlm. 1083.)

4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.
Karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama. Musyawarah adalah unsur pokok dalam masyarakat yang beriman, sebagai perintah langsung dari Allah SWT
Para pejabat pemerintah yang menangani pajak harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan seksama dan matang dalam menetapkan tarif pajak. DPR harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam membuat sebuah peraturan tentang Pajak, perlu diperhatikan bahwa pajak yang dipungut mengunakan suatu sistem perpajakan yang adil dan mudah serta ditujukan semata-mata untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, sehingga warga negara dapat secara sukarela melaksanakan kewajibannya karena mereka dapat merasakan manfaat pembangunan serta penyediaan prasana dari pengeluaran mereka untuk pajak. Ketidakadilan dalam memungut pajak serta ketidakmerataan pendistribusian hasil penerimaan pajak bagi kesejahteraan masyarakat, akan mengurangi kenginan masyarakat untuk menghasilkan dan memperoleh kemakmuran, serta akan berdampak kepada memburuknya kondisi suatu pasar, sehingga akhirnya kondisi masyarakat secara keseluruhan akan semakin memburuk.
3. Analisis Perbedaan dan Persamaan zakat dan Pajak.
Zakat adalah rukun Islam yang langsung bersentuhan dengan aspek-aspek sosial kemasyarakatan, itu terlihat pada Rukun Islam yang ketiga, yaitu menunaikan zakat.
Banyak kesamaan antara pajak dengan zakat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa antara kedua tetap ada perbedaan yang hakiki. Sehingga keduanya tidak bisa disamakan begitu saja. Persamaan zakat dengan pajak adalah sebagai berikut:
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
3. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
4. Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
5. Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Namun dengan semua kesamaan di atas, bukan berarti pajak bisa begitu saja disamakan dengan zakat. Sebab antara keduanya, ternyata ada perbedaan-perbedan mendasar dan esensial. Sehingga menyamakan begitu saja antara keduanya, adalah tindakan yang fatal. Pajak bisa digunakan untuk membangun jalan raya, dan dalam banyak hal bisa lebih leluasa dalam penggunaannya. Sedangkan zakat, dalam penggunaannya akan terikat ke dalam Ashnaf sebagai pada tercantum dalam Al Quran. Zakat dengan dalih apapun tidak dapat disamakan dengan pajak. Zakat tidak identik dengan pajak. Banyak hal yang membedakan antara keduanya, diantaranya :
1. Zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warganegara kepada ulil amrinya (pemimpinnya)
2. Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam Al Qur’an dan Hadits, sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
3. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak tidak memakai niat. Dan sesungguhnya masih baanyak laagi hal-hal yang membedakan antara zakat dan pajak.

Perbedaan Zakat Dan Pajak Diperbandingkan Dalam Format Tabel.
Perbedaan Zakat Pajak
Arti Nama bersih, bertambah dan berkembang Utang, pajak, upeti
Dasar Hukum Al-Qur`an dan As Sunnah Undang-undang suatu negara
Nishab dan Tarif Ditentukan Allah dan bersifat mutlak Ditentukan oleh negara dan yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
Sifat Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
Subyek Muslim Semua warga negara
Obyek Alokasi Penerima Tetap 8 Golongan Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
Harta yang Dikenakan Harta produktif Semua Harta
Syarat Ijab Kabul Disyaratkan Tidak Disyaratkan
Imbalan Pahala dari Allah dan janji keberkahan harta Tersedianya barang dan jasa publik
Sanksi Dari Allah dan pemerintah Islam Dari Negara
Motivasi Pembayaran Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya Ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
Perhitungan Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantu ‘amil zakat Selalu menggunakan jasa akuntan pajak

Sumber utama pendapatan Negara menurut Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
No Nama Pendapatan Jenis Pendapatan Subjek Objek Tarif Tujuan Penggunaan
1 Ghanimah Tdk Resmi Non Muslim Harta Tertentu 5 Kelompok
2 Zakat Tdk Resmi Muslim Harta Tertentu 8 Kelompok
3 Ushr– Shadaqah Tdk Resmi Muslim Hasil Pertanian/dagang Tetap 8 Kelompok
4 Jizyah Resmi Non Muslim Jiwa Tidak tetap Umum
5 Kharaj Resmi Non Muslim Sewa Tanah Tidak tetap Umum
6 Ushr – Bea Cukai Resmi Non Muslim Barang dagang Tidak tetap Umum
7 Waqaf Tdk Resmi Muslim Harta Tidak tetap Umum
8 Dharibah (Pajak ) Resmi Muslim Harta Tidak tetap Umum


4. Pajak Menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf dalam kitab “Kitabul Kharaj” mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan Pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani. rakyat, maka kewajiban mereka (masyarakat) membayar ongkosnya.
Abu Yusuf mengusulkan penggantian system pajak tetap (lump sum system) atas tanah menjadi pajak proporsional atas hasil pertanian. Sistem proporsional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam . Bagi Abu Yusuf metode pajak secara proporsional dapat meningkatkan pemasukan negara dari pajak tanah dari sisi lain mendorong para penanam untuk meningkatkan produksinya. Abu Yusuf menyatakan:
Dalam pandangan saya, system perpajakan terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan negara dan yang paling tepat untuk menghindari kezaliman terhadap pembayar pajak oleh para pengumpul pajak adalah pajak pertanian yang proporsional. System ini akan menghalau kezaliman terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan negara.
Sistem pajak ini didasarkan pada hasil pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, system tersebut mensyaratkan penetapan pajak berdasarkan produksi keseluruhan, sehingga system ini akan mendorong para petani untuk memanfaatkan tanah tandus dan amati agar mnemperoleh bagian tambahan. Dalam menetapkan angka. Abu Yusuf menganggap system irigasi sebagai landasannya, perbedaan angka yang diajukannya adalah sebagai berikut:
1. 40 % dari produksi yang diairi oleh hujan alamiah
2. 30 % dari produksi yang diairi secara artificial 1/3 dari produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya) ¼ dari produksi tanaman musim panas.
Dari tingkatan angka di atas dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menggunakan sistem irigasi sebagai kriteria untuk menentukan kemampuan tanah membayar pajak, beliau menganjurkan menetapkan angka berdasarkan kerja dan modal yang digunakan dalam menanam tanaman .
Abu Yusuf wrote too that all persons had the right to use water from the great rivers. But if the canal excavated passed through land belonging to others, then those who benefited from this canal might have to pay compensation like a monthly charge
(Abu Yusuf juga menjeaskan bahwa semua manua memiiki hak untuk menggunakan air dari sungai besar tetapi jika kanal (parit kecil) digali yang melalui lahan milik orang lain, kemudian ini dimanfaat dari kanal tersebut harus membayar kopensasi seperti membayar iuran setiap bulan) .
Dalam bukunya kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menguraikan kondisi-kondisi untuk perpajakan, yaitu:
1. charging a justifiable minimum (harga minimum yang dapat dibenarkan)
2. no oppression of tax-payers (tidak menindas para pembayar pajak)
3. maintenance of a healthy treasury, (pemeliharaan harta benda yang sehat)
4. benefiting both government and tax-payers (manfaat yang diperoleh bagi pemerintah dan para pembayar pajak)
5. in choosing between alternative policies having the same effects on treasury, preferring the one that benefits tax-payers (pada pilihan antara beberapa alternatif peraturan yang memeliki dampak yang sama pada harta benda, yang melebihi salah satu manfaat bagi para pembayar pajak
5. Pajak Menurut Abu Ubaid
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
Abu ubaid di dalam Al Amwal menjelaskan dengan mengutib Az Zuhri, Rasulullah menerima jizyat dari majusi Bahrain, Az zuhri menambahkan siapa saja di antara mereka memeluk islam, maka keislaman mereka diterima, dan keselamatan diri dan hartanya akan dilindungi, selain tanah, sebab tanah tersebut adalah fa’i (rampasan) bagi kaum muslim, karena orang-orang tersebut sejak awal tidak pernah menyerah sehingga ia terlindungi. Dan dijelaskan lebih lanjut jika jizyat gugur setelah seseorang kafir masuk islam, maka kewajiban kharaj tidak gugur dengan sebab masuk islamnya tersebut, inilah awal munculnya kewajiban berganda bagi setiap orang islam, kewajiban membayar zakat dan kewajiban membayar jizyat.
6. Peran Pemungutan Pajak Dalam Ekonomi Islam
Kelompok fuqaha yang membenarkan pungutan pajak, berpendapat bahwa dana zakat pada prinsipnya dipergunakan untuk kesejahteraan kaum fakir & miskin, serta enam ashnab lainnya, padahal negara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara effektif. Dasar pembenaran pemungutan “Pajak” oleh parafuqaha adalah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi “”Pada hartamu ada kewajiban selain zakat”. Argumen pendukung pembebanan pemungutan Pajak, menurut Umer Chapra adalah bahwa ”suatu pengorbanan yang lebih kecil dapat direlakan untuk menghindari pengorbanan yang lebih besar”, dan “sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Ibnu Taimiyyah dalam kitab “Majmuatul Fatawa” melarang penghindaran pajak, berdasarkan argumen bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain. Al Marghinani dalam buku “al-Hidayah” menyatakan bahwa jika manfaat dari pajak memang dinikmati rakyat, maka kewajiban mereka (masyarakat) membayar ongkosnya.
Menurut para fuqaha, kewajiban membayar Pajak, mempunyai arti bahwa pembayaran yang mereka lakukan berguna bagi negara agar mampu menjalankan fungsinya secara efektif karena dana dari Pajak tersebut secara langsung atau tidak langsung dipergunakan untuk pelayanan-pelayanan yang diperoleh dari negara, seperti perlindungan keamanan dalam negeri maupun luar negeri pembangunan jalan, pelabuhan laut, bandar udara, pasokan air bersih, kebersihan jalan raya dan lingkungan, serta perawatan sistem drainase dan lainnya. Dengan demikian, sebagian besar fuqaha berpendapat, bahwa Islam menempatkan kewajiban tertentu kepada para pembayar Pajak, namun negara juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi kondisi sebagai berikut: Pertama, penerimaan hasil Pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan Pajak; Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban Pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayarnya.
Perekonomian yang makmur dalam sebuah pemerintahan, akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi dengan tarif pajak yang lebih rendah, sementara perekonomian yang mengalami depresi akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan tarif pajak yang lebih tinggi. Menurut beberapa ahli, penurunan dalam penghasilan pajak disebabkan juga oleh penurunan belanja pemerintah. Hal ini disebabkan karena negara dapatmenghadirkan pasar terbesar bagi dunia usaha. Jika pemerintah menimbun penerimaan pajak atau jika pemerintah tidak bisa membelanjakan penerimaan pajak sebagaimana mestinya, maka pasar akan sepi dan keuntungan pengusaha akan menurun, sehingga berakibat pada penurunan penghasilan pajak. Dengan demikian, kemakmuran cenderung bersirkulasi antara rakyat dan pemerintah, dari pemerintah ke rakyat, dan dari rakyat ke pemerintah. Oleh karenanya, jika pemerintah menjauhkan pajak dari belanja negara, rakyat akan menjadi jauh dari pajak, sehingga akhirnya penghasilan pajak pun tidak bisa diperoleh oleh negara.


Kesimpulan
Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah; al-Jizyah, al-Kharaj, al-Usyr
Pendapat Ulama Tentang Pajak , Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat.
Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya
Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.
Syarat-syarat Pemungutan Pajak
1. Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh.
2. Pemungutan Pajak yang Adil.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.
Perbedaan dan Persamaan zakat dan Pajak.
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
3. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
4. Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
5. Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Perbedaan
1. Zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warganegara kepada ulil amrinya (pemimpinnya)
2. Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam Al Qur’an dan Hadits, sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
3. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak tidak memakai niat. Dan sesungguhnya masih baanyak laagi hal-hal yang membedakan antara zakat dan pajak.

Daftar Pustaka
Abdul Qadim, al-Amwal fi daulah al-Khilafah, (Dar al-ilmi lilmalayin, 1988), Edisi terjemah oleh Ahmad dkk, Sistem Keuangan di Negara Khilafah. (Bogor: Pustaka Thariq al-Izzah, 2002)
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah. (Jakarta: Rajawali Press, 2007)
Karim, Adiwarman Azhar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed. Ke-2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
P3EI UII Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
http://www.islamic-world.net/economics/al_kharaj.htm
http://www.hermaninbissmillah.blogspot .com/2009/11/pemikiran ekonomi abu yusuf. html
http://www.merza gamal (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami).16 apr 2006.htm



4 komentar:

  1. Uang hasil pajak itu tidak berkah.. Semoga Allah akan mendatangkan pemimpin yang bisa membebaskan rakyat dari pajak yang haram itu.. Sebeanrnya saya bingung kenapa organisasi Islam dan partai Islam seperti PKS tidak mengharamkan pajak.. Pantas saja Indonesia selalu kena bencana.. Beban pajak akhir ini semakin meningkat dan saya yakin ada doa orang teraniaya yang akan menghancurkan para pemungut pajak ini.

    BalasHapus
  2. Pajak itu sudah ada di Zaman Nabi Muhammad SAW, dimana letak haramnya ??? sedangkan nabi saja sudah mempraktikkatnya !!! yg Haram itu pencuri Pajak (Koruptor) !!!

    BalasHapus
  3. Apa ada Nabi memungut pajak?..

    BalasHapus
  4. Terimaksih atas pertanyaannya, ma'af kalau telat Membalas.
    Pada masa Nabi Telah ada sejenis pajak:
    1. Kharaj
    2. Jizyat
    3. Usr

    BalasHapus