SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Minggu, 22 Januari 2012

Peran Moral dalam Ekonomi (Bagian pertama dan Kedua)

(irib.ir) Saat ini kebanyakan negara-negara Islam menghadapi banyak masalah yang bersumber dari kemiskinan dan distribusi kekayaan yang timpang. Padahal dalam ajaran agama Islam banyak menjelaskan unsur-unsur pertumbuhan ekonomi dan cara sehat untuk melakukan aktivitas ekonomi serta penyebaran keadilan sosial dan ekonomi. Mencermati unsur-unsur ini dalam menyusun program ekonomi dan mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat, diharapkan dapat menghidupkan lagi peradaban Islam dan menyejahterakan rakyat.
Satu dari cara pandang efektif Islam tentang masalah ini adalah hubungan erat nilai-nilai moral dengan ekonomi. Masyarakat Islam dari satu sisi membutuhkan ekonomi yang dinamis dan terus berkembang agar dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Sementara pada saat yang sama, masyarakat Islam perlu memperkuat nilai-nilai moral dalam budaya masyarakat. Dengan demikian, diharapkan dapat menyehatkan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya mampu menyiapkan kebahagiaan akhirat setiap individu yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, harus dikatakan bahwa cita-cita ajaran Islam adalah mempersiapkan kebahagiaan dunia dan akhirat manusia.

Banyak dari ajaran Islam dalam al-Quran dan Hadis yang memuat petunjuk teknis melakukan aktivitas ekonomi, sekaligus dampak moral dan spiritualnya. Sekaitan dengan masalah ini, hubungan erat moral dan ekonomi dapat menjamin kesejahteraan materi dan kebahagiaan akhirat. Tentu saja Islam adalah jalan kehidupan dan tugas utamanya bukan menjelaskan secara ilmiah masalah ekonomi. Tapi ajaran Islam bertanggung jawab sebagai pemberi petunjuk dan arah. Bila melihat secara sekilas pada teks-teks Islam dapat ditemukan hubungan erat dan dalam antara agama dan ekonomi serta pengaruh satu sama lainnya. Al-Quran menyebut perbaikan urusan ekonomi masyarakat di samping mengajak mereka untuk mengesakan Allah sebagai masalah penting dari risalah para nabi.

Dalam surat Hud ayat 84 menjelaskan tentang upaya Nabi Syu'aib untuk memperbaiki urusan ekonomi umatnya. Allah Swt berfirman, "... Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan ...". Poin penting yang patut diperhatikan ayat ketiga setelah ayat ini, umat Nabi Syu'aib menyatakan keterkejutannya melihat agama yang disampaikan Nabi Syu'aib as ternyata juga mencampuri urusan ekonomi. Itulah mengapa dengan nada bertanya yang isinya mengingkari mereka berkata, "... Hai Syu'aib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami ..." Oleh karenanya, pemikiran pemisahan ekonomi dari moral telah ada sejak dahulu.

Di masa kini, pemisahan moral dari ekonomi benar-benar transparan. Sebab utama mengapa para pakar ekonomi memilih pemisahan moral dari ekonomi kembali pada cara pandang mereka akan manusia dan posisinya di dunia. Cara pandang yang muncul pasca Renaisance berdasarkan pemikiran Humanisme yang berujung pada pemisahan manusia dari Tuhan, agama dari sosial dan hukum serta ekonomi dari moral.

Dalam pemikiran Deisme yang muncul pada abad ke-17 di Eropa, manusia telah dipisahkan dari ajaran ilahi dan wahyu. Pemikiran ini menyebut Tuhan sebagai sumber penciptaan dunia dan setelah itu alam secara otomatik melanjutkan sendiri kehidupannya. Artinya, manusia pasca penciptaan sudah tidak butuh lagi pada petunjuk ilahi. Pemikiran ini mengakibatkan manusia sudah tidak lagi dikungkung oleh aturan individu. Semua ini mengakibatkan pemisahan ekonomi dari moral dan nilai-nilai kemanusiaan.

Hasil dari pemikiran yang semacam ini adalah terbentuknya prinsip Humanisme dengan manusia sebagai porosnya. Pemikiran ini melihat manusia sebagai esensi dan pengalaman pribadi satu-satunya tolok ukur mengenal kebenaran. Pemikiran dan keinginan manusia menjadi parameter kebaikan dan keburukan bahkan menjadi dasar penyusunan hukum. Berdasarkan pemikiran ini, muncul pelbagai pemikiran moral yang tidak mempedulikan wahyu dan bahkan seringnya kontradiksi. Bagi mereka, prinsip-prinsip moral juga harus dibangun lewat pemikiran manusia.

Dalam pemikiran Humanisme, tolok ukur kebaikan dan keburukan adalah kecenderungan jiwa manusia. Hal ini berdampak pada tidak adanya kewajiban bagi setiap orang untuk menerima perintah moral dari agama. Setiap orang bertanggung jawab untuk mendengarkan panggilan hatinya. Pemikiran ini menjadi fondasi dan prinsip mendasar dalam sistem Kapitalisme.

Manusia menjadi pemilik hartanya dan memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya. Tujuan hidup manusia juga dibatasi pada upaya mencari kenikmatan yang lebih banyak. Manusia senantiasa mengikuti di mana saja kenikmatan berada dan patuh pada keinginan jiwanya. Dengan cara pandang ini, pemikiran Humanisme tidak pernah berbicara tentang wahyu, tolok ukur moral, mencari kerelaan Allah serta pembatasan nilai dalam produksi, distribusi dan konsumsi.

Manusia ideal dalam sistem Kapitalisme adalah mansia yang senantiasa bekerja dan berusaha keras. Pekerjaan yang dilakukannya dengan baik dan memanfaatkan segala fasilitas yang ada secara efisien. Tapi motivasi utamanya adalah ketamakan tanpa batas untuk meraih keuntungan dan kenikmatan materi. Dampak dari pemikiran ini adalah bersandar hanya pada akal dan mengeyampingkan wahyu, menafikan hubungan Allah dengan alam pasca penciptaan dan akhirnya manusia terpisahkan dari ajaran ilahi.

Berbeda dengan pandangan Humanisme dan Deisme, Islam menjadikan Allah sebagai pusat dari alam semesta dan bukan manusia. Pemikiran Islam dibangun dengan menjadikan Allah sebagai esensi dan pusat serta adanya hubungan tak terpisahkan antara Allah, manusia dan alam. Sebagaimana berkali-kali disebutkan dalam al-Quran, Allah adalah Pencipta dan Pemilik segala sesuatu. Selain sebagai pencipta alam, Allah juga pemelihara mereka. Dalam surat al-An'am ayat 164 Allah Swt berfirman, "Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu ..."

Dalam ayat tersebut al-Quran menggunakan kata "rabb" yang berarti pemilik sesuatu, sekaligus membimbingnya. Kata "rabb" secara tersirat mengandung makna bimbingan dan latihan. Dengan demikian, sifat Rububiyah yang dilekatkan kepada Allah selain berarti pemilik segala sesuatu juga mencakup makna bimbingan kepada seluruh ciptaan-Nya menuju kesempurnaan. Baik hidayah itu Cipta (Takwini) yang menyangkut penciptaan atau Tinta (Tasyri'i) yang menyangkut hidayah khusus untuk manusia.

Ringkasnya, Islam menyebut seluruh alam semesta, termasuk manusia membutuhkan hidayah ilahi demi meraih kesempurnaan dirinya. Pemikiran ini jelas-jelas bertentangan dengan Deisme dan Humanisme yang menyatakan pengelolaan dunia keluar dari campur tangan Tuhan dan menyerahkan pada aturan alam sendiri. Akibatnya mereka membayangkan dirinya tidak membutuhkan tuntunan ilahi. Tentu saja keyakinan akan Rububiyah mempunyai peran besar dalam memperbaiki perilaku ekonomi, sama seperti adanya jaminan penerapan internal dalam menjaga moral ekonomi.

Kepemilikan Allah atas segala sesuatu merupakan hasil dari Khaliqiyah dan Rububiyah. Siapa yang mencipta sesuatu dan mengelolanya sudah barang tentu menjadi pemiliknya. Dari sini, kepemilikan Allah atas dunia yang diciptakan-Nya merupakan kepemilikan hakiki. Ketika kepemilikan Allah hakiki, maka hak mengeluarkan aturan terbatas pada-Nya. Kepemilikan yang selain Allah atas sesuatu bukan hakiki atau dengan seizin-Nya. Berarti batasan kebebasan setiap individu dan aktivitasnya juga ditentukan oleh-Nya. Begitu juga pemikiran Islam ini bertentangan dengan "Kepemilikan Pribadi" yang merupakan satu bentuk individualistik dalam sistem Kapitalisme. Karena Islam mengetengahkan ide "Kepemilikan Allah". Siapa saja yang meyakininya berarti konsekuen untuk menjalankan hukum dan nilai-nilai ilahi.

Inti kepemilikan ilahi merupakan satu prinsip filosofis dan penting dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, ekonomi dan perilaku ekonomi secara keseluruhan dipengaruhi oleh nilai-nilai moral. Bila diakui bahwa moral sangat berperan dalam menyehatkan ekonomi, hal itu juga berdampak yang sama dalam perilaku ekonomi Islam dalam membersihkan jiwa dan moral manusia. Secara umum, seluruh program dan perilaku ekonomi harus bertujuan membersihkan jiwa, hal mana yang sangat ditekankan oleh al-Quran. Dalam surat at-Taubah ayat 103 Allah Swt berfirman, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka ..."

Pandangan Islam dalam masalah ekonomi bertumpu pada tiga sisi; Allah, manusia dan alam. Jenis hubungan Allah dengan alam dan manusia dari satu sisi dan prinsip pengenalan manusia dalam Islam dari sisi lain sangat menentukan cara pandang terhadap ekonomi dan struktur ekonomi. Hal inilah yang membedakan mazhab ekonomi Islam dibandingkan mazhab ekonomi lainnya. (IRIB/SL/NA)

Bagian Kedua

Sebagaiamana telah dijelaskan sebelumnya, cara pandang manusia akan alam semesta sangat menentukan dalam membentuk mazhab ekonomi, analisa dan penyusunan program. Munculnya teori ekonomi, termasuk masalah pemisahan moral dari ekonomi tumbuh dari pemikiran filsafat yang khusus melihat manusia, seperti Humanisme dan Individualistik. Penjelasan teori ekonomi Islam juga dipengaruhi prinsip pengenalan terhadap manusia yang ada dalam ajaran Islam. Penjelasan berikut akan lebih banyak berkenaan dengan penerapan prinsip-prinsip ini.

Dalam pandangan Islam, Allah adalah pemilik segala sesuatu dan manusia hanya khalifah dan wakil Tuhan di bumi. Allah memilih manusia dari seluruh makhluk hidup dan menjadikannya sebagai penerima amanat. Setelah itu Allah menjelaskan jalan untuk menjadi wakil-Nya lewat ajaran agama. Dengan dasar ini, apa yang ada di langit dan di bumi merupakan amanat yang diberikan kepada manusia agar memanfaatkannya sesuai dengan ajaran agama. Cara pandang ini dari satu sisi menafikan segala bentuk kebebasan tanpa batas dalam masalah ekonomi dan dari sisi lain, menjadi sarana bagi pemikiran dan jiwa untuk melaksanakan hukum dan moral Islam di bidang ekonomi.

Poin penting lainnya dalam prinsip pengenalan manusia dalam Islam adalah manusia tidak diciptakan sia-sia. Penciptaan manusia memiliki tujuan yang tinggi. Manusia adalah makhluk yang senantiasa mencari kesempurnaan. Pada puncaknya manusia berharap dapat lebih dekat dengan sumber kesempurnaan. Al-Quran melihat tujuan ini hanya akan dapat dicapai dengan penyembahan kepada Allah. Tidak diragukan bahwa ibadah tidak terbatas pada melaksanakan shalat dan puasa. Hakikat ibadah adalah menyatakan ketundukan di hadapan Allah. Setiap perilaku yang esensinya ketundukan kepada Allah akan termasuk ibadah. Oleh karenanya, aktivitas ekonomi dan sosial juga terhitung ibadah kepada Allah.

Adanya tujuan di balik penciptaan manusia dan dunia memiliki konsekuensi manusia bertanggung jawab di dunia. Sebagai makhluk yang diberi amanat di muka bumi, manusia bertanggung jawab atas segala pemberian Allah. Sejatinya, manusia harus memanfaatkan segala nikmat yang ada untuk kesempurnaannya. Dalam surat at-Takaatsur ayat 8 Allah Swt berfirman, "Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)."

Allamah Thaba'thaba'i dalam buku tafsirnya al-Mizan menafsirkan ayat 8 surat at-Takaatsur seperti demikian, "Allah telah memberikan segala fasilitas yang diperlukan manusia guna dapat melewati jalan penghambaan. Pertanyaan tentang amal perbuatan seorang hamba di Hari Kiamat adalah soal tentang bagaimana manusia menggunakan nikmat yang diberikan dan memanfaatkannya di jalan yang dapat mengantarkannya meraih kesempurnaan dan meraih derajat penghambaan yang tinggi."


Tanggung jawab manusia di hadapan segala nikmat ilahi bermakna penafian kebebasan tanpa batas. Karena setiap tanggung jawab membuat manusia konsekuen dalam melakukan setiap pekerjaan. Hubungan antara moral dan perilaku manusia di dunia dengan pahala dan siksa dunia akhirnya menjadi sarana bagi manusia memperbaiki perilakunya. Dalam koridor semacam inilah, percaya akan Hari Kebangkitan (Ma'ad) dapat memperkuat perilaku seperti pengorbanan di jalan Allah, infak dan bersikap rendah hati terhadap saudara seiman di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, mengingat Ma'ad dan menjawab pertanyaan Hari Kiamat menjadi jaminan internal untuk tidak melakukan perilaku buruk dalam kehidupan, termasuk di sektor ekonomi. Seperti yang dijelaskan Allah dalam surat al-Muthaffifiin ketika melarang penimbunan barang dengan mengingatkan manusia akan Hari Kiamat.

Keyakinan akan Hari Kebangkitan dapat melerai kontradiksi antara pencarian keuntungan pribadi dengan kepentingan umum. Sebagaimana diketahui bahwa insting manusia mencari kenikmatan bakal menjerumuskannya menimbun barang, mengeksploitasi, menjual lebih mahal dan masalah seperti ini. Pada saat yang sama, insting semacam ini sangat merugikan kepentingan masyarakat. Dalam sistem Kapitalisme digambarkan bahwa kebebasan ekonomi mutlak dengan sendirinya dapat menjamin kepentingan umum masyarakat. Tapi pemikiran ini semakin nyata ketidakbenarannya yang membuat mereka terpaksa meminta campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi demi menjamin kepentingan masyarakat.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pandangan al-Quran melihat manusia dari dua sisi; materi dan spiritual. Dari sini kecenderungan dan kebutuhan manusia juga dikelompokkan dalam dua bagian penting. Kecenderungan akan kenikmatan materi seperti makan dan minum dan kebutuhan akan nilai-nilai spiritual seperti mencari Allah, keadilan dan cinta sesama. Berdasarkan pembagian ini, kesempurnaan manusia juga harus dilihat dalam koridor pertumbuhan dua dimensi manusia. Mengabaikan kebutuhan dan kecenderungan materi manusia pada dasarnya menyepelekan sebagian dari wujud manusia dan hal ini akan mencegah manusia meraih tujuan puncaknya. Sementara mengabaikan sisi spiritual manusia dengan sendirinya menurunkan derajat manusia.

Dengan mencermati hakikat ini, harus dikatakan bahwa sistem ekonomi yang tepat adalah sistem yang dari satu sisi dapat menjamin kesejahteraan materi manusia dan dari sisi lain, menjadi sarana bagi kesempurnaan jiwa dan berkembangnya nilai-nilai spiritualnya. Prinsip dua dimensi wujud manusia ini merupakan prinsip paling penting dalam mengenal manusia yang berhubungan dengan masalah ekonomi dalam Islam. Prinsip inilah yang membuat pandangan ekonomi Islam berbeda dan istimewa dibanding mazhab ekonomi lainnya.

Menurut al-Quran, dimensi spiritual manusia memiliki derajat yang sanga tinggi. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi yang memiliki fitrah yang suci dan kemuliaan khusus. Namun hakikat ini hanya akan bermakna bila manusia mensucikan jiwanya. Bila hal ini tidak dilakukan, dari sisi spiritual manusia akan terjatuh dari derajatnya yang tinggi dan terjebak dalam kenikmatan materi belaka. Di sini wujudnya mulai dikuasai oleh sifat-sifat buruk dan oleh Islam manusia seperti ini disebut sebagai manusia ekonomis.

Manusia yang hanya memikirkan keuntungan materi belaka dan tidak mementingkan kepentingan orang lain. Manusia yang demikian biasanya sangat kikir, egois, pendek pemikirannya dan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Pribadi yang demikian tidak dapat mengidentifikasi kepentingan yang hakiki. Ia telah terpikat harta dan kekayaan. Manusia seperti ini senantiasa berusaha menimbun kekayaan dan tidak peduli dengan infak dan berpartisipasi menyumbang kegiatan-kegiatan amal. Kekayaan dan fasilitas yang dimilikinya digambarkan sebagai hasil jerih payahnya yang akhirnya membuatnya lalai akan nikmat hakiki. Konsistensinya terhadap norma-norma sosial hanya akan dilakukan bila ia merasa membutuhkan orang lain.

Namun di hadapan manusia yang seperti ini, ada manusia yang telah dididik dan perilakunya senantiasa berdasarkan nilai-nilai moral. Islam melihat manusia yang semacam ini sebagai manusia ekonomis yang hakiki. Karena ia telah dihiasi dengan nilai-nilai moral. Ia senantiasa berusaha searah dengan kepentingan orang lain dan dalam kasus-kasus tertentu justru lebih mendahulukan kepentingan umum ketimbang pribadi. Manusia seperti ini adalah pribadi yang disebutkan oleh al-Quran dalam ayat 9 surat al-Hasyr. Allah Swt berfirman, "... mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan ..."

Manusia ekonomis dalam Islam adalah orang yang punya pandangan jauh ke depan. Kekayaannya digunakan dalam transaksi yang suci, memiliki keuntungan dan kenikamatan yang berkelangsungan. Ia tidak terperangkap dalam kekayaan yang dimilikinya. Dengan penuh keseriusan dan usaha kera ia berusaha mencari kekayaan, tapi pada saat yang sama dipergunakan di jalan yang direlai Allah. Ketika terjadi gejolak ekonomi, ia tetap sabar dan ketika kaya tidak sombong dan lupa diri. Apa yang dimilikinya diyakini berasal dari Allah Swt. Ia melihat kekayaan yang dimilikinya merupakan alat ujian dari Allah. Oleh karenanya, ia berusaha untuk memanfaatkannya di jalan yang benar dan senantiasa bersyukur kepada Allah. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar