Kebebasan Ekonomi Dalam Islam
Aktivitas perekonomian di tengah masyarakat Islam adalah kegiatan yang
bebas. Tapi kebebasan ini tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh
rambu-rambu tertentu. Pada prinsipnya, batasan selalu ada bagi setiap
perbuatan dan aktivitas. Hanya saja, batasan-batasan ini dalam ajaran
Islam memiliki ciri khas sendiri. Masyarakat sosialis juga menerapkan
pembatasan untuk kepemilikan harta benda dan kekayaan. Tapi
pembatasannya berbeda dengan pembatasan dalam Islam. Dalam masalah
kebebasan aktivitas perekonomian, boleh dikata bahwa perbedaan Islam
dengan komunisme dan Marxisme sama tajamnya dengan perbedaan Islam
dengan paham kapitalisme yang dianut dan diterapkan di Barat.
Kapitalisme dalam pengertiannya yang berlaku di Barat sama sekali tidak
dibenarkan oleh Islam. Dalam banyak hukumnya, Islam bahkan resisten
terhadap kapitalisme.
Ekonomi Islam sama sekali tidak
mengadopsi sistem kapitalisme Barat dan dunia secara umum. Pada
masyarakat Islam, batasan untuk setiap kebebasan beraktivitas adalah
ketentuan haram oleh hukum fikih bagi sejumlah tindakan dan kegiatan.
Contohnya adalah praktik riba, transaksi berbau manipulasi, kejahilan,
dan penipuan, transaksi produk ilegal, dan praktik penimbunan. Dalam
Islam ada sebagian barang haram diperjual-belikan. Contohnya ialah
minuman keras dan barang-barang najis selain pada kasus-kasus tertentu.
Islam juga mengharamkan tindakan pribadi ataupun swasta memperjual
belikan barang-barang milik negara, kecuali pada kasus-kasus tertentu.
Ada banyak lagi kegiatan yang hukumnya sudah jelas dalam fikih Islam.
Kegiatan itu sendiri bebas tapi syariat Islam menentukan batasan dan
hukumnya walaupun dalam banyak hal tidak terjangkau oleh kontrol
pemerintah.
Kebebasan ekonomi dalam masyarakat Islam
pengertiannya ialah bahwa pemerintahan (hukumah) atau pemerintah
(daulah) Islam harus mengambil kebijakan dan menetapkan UU yang memberi
peluang dan kemampuan kepada semua orang untuk melakukan aktivitas
perekonomian secara bebas dan menikmati hasilnya. Ini menjadi salah satu
ciri khas yang membedakan sistem perekenomian Islam dengan sistem yang
berlaku di Barat. Pada maknanya yang sejati, perekonomian bebas
mengharuskan pencegahan praktik monopoli kapitalis. Di tengah masyarakat
harus tercipta kondisi dimana semua orang yang mampu bekerja dapat
memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
مَا رَأَيْتُ نِعْمَتاً مَوْفُوْرَتاً اِلاَّ وَ فِى جَانِبِهَا حَقٌّ مُضَيَّعٌ
Aku tidak pernah melihat kenikmatan melimpah kecuali di sisinya ada hak yang terabaikan."
Kata-kata dari sosok figur suci ini secara implisit mengandung makna
yang sangat dalam dan substansial. Sepintas lalu orang akan mengira
makna kalimat Imam Ali as ini ialah bahwa setiap kenikmatan yang
melimpah tidak akan lepas dari hasil curian atau jarahan. Dengan asumsi
demikian, orang tentu akan menyangkal kata-kata Amirul Mukminin tersebut
dengan alasan bahwa tidak sedikit kekayaan diperoleh tidak melalui
pencurian, penjarahan, korupsi, dan berbagai praktik ilegal lainnya,
melainkan murni melalui kerja keras dan jerih payah sendiri.
Namun, makna kata-kata tersebut sebenarnya bukan demikian. Maksud
kata-kata itu ialah bahwa ketika ada kenikmatan, harta, dan fasilitas,
sesungguhnya kenikmatan besar itu sendiri telah memberi pemiliknya
kesempatan lebih banyak untuk meraih pendapatan sehingga kesempatan
sebanyak yang didapat oleh pemilik kekayaan tersebut tersisih dari orang
lain. Dengan kata lain, pemilik kekayaan itulah orang yang menguasai
modal besar untuk menghasilkan keuntungan serta memanfaatkan apa yang
sesungguhnya lebih layak dimanfaatkan masyarakat jelata. Dengan
demikian, orang kaya selalu saja lebih menguasai kesempatan dan
fasilitas daripada orang biasa. Lahan bisnis selalu ada di tangannya.
Hukum dan UU di sebagian besar negara bahkan lebih berpihak kepada para
pemodal sehingga peluang bagi masyarakat kebanyakan menciut.
Atas dasar itu, makna kata-kata tersebut, entah itu dari Imam Ali as
atau dari siapa saja, tetap benar. Makna kalimat tersebut menuntut
kesadaran bahwa sistem perekomian bebas dalam masyarakat Islam bukan
berarti bahwa kebebasan hanya ada di tangan para pelaku bisnis,
melainkan juga harus dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Aktivitas
perekonomian masyarakat banyak juga harus diberdayakan. Tatanan, UU, dan
dinamika masyarakat harus dikondisikan sedemikian rupa agar seluruh
anggota masyarakat yang masih produktif bisa ikut andil dan turut
menikmati kegiatan ekonomi bebas.
Batas-Batas Kepemilikan Swasta Dalam Islam
Kepemilikan swasta dihargai dalam Islam, tetapi di saat yang sama Islam
menentukan batasan baginya. Batasannya bukan dengan menentukan
kepemilikan swasta dengan riyal, dolar, dinar, ataupun dirham. Kadar dan
ukurannya tidak selalu sama. Kepemilikan swasta hanya dilimitasi oleh
batasan yang bersifat situasional. Yaitu bahwa swasta boleh memiliki
kekayaan sebanyak apapun selagi tidak menimbulkan kerugian bagi orang
lain. Sesuai kaidah لَاضَرَرَ وَلَا ضِرَار (tidak
menimbulkan segala bentuk kerugian), kepemilikan swasta akan
diperkarakan jika sampai menimbulkan kerugian kolektif bagi masyarakat
Islam. Kepemilikan swasta akan dihormati selagi tidak menimbulkan
implikasi berupa, misalnya, penimbunan, gaya hidup berlebihan,
eksploitasi, diskriminasi, penodaan harkat dan martabat manusia, dan
antagonisme orang-orang kaya. Yang buruk bukanlah kepemilikan swasta,
melainkan eksploitasi, antagonisme, glamorisme, dan elitisme.
Kepemilikan swasta akan menjadi fenomena buruk jika berdampak pada
perilaku-perilaku negatif tersebut. Inilah batasan kepemilikan swasta.
Islam memerangi perilaku tersebut. Islam tidak menghendaki adanya
manusia-manusia berperilaku glamor dan elitis. Karena itu, Islam
memperkenankan pemerintah Islam melakukan upaya pencegahan glamorisme,
elitisme, eksploitasi, diskriminasi, antagonisme, penimbunan, dan
seterusnya. Islam memberi mandat kepada pemerintah Islam untuk
menerapkan hukum yang tegas guna mencegah perilaku-perilaku negatif dan
merugikan.
Pemerintahan Islam mengakui hak kepemilikan
swasta sebagaimana ia menerima kegiatan bisnis setiap warganya. Namun,
dinamika masyarakat harus mengarah kepada kesejahteraan umum dan
terpenuhinya semua kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Di saat yang
sama, sesuai tuntutan ekonomi bebas Islam, tanggungjawab urusan ekonomi
masyarakat juga terpikul di pundak masyarakat sendiri.
Infak Dalam Sistem Perekonomian Islam
Dalam tatanan Islam, setiap warga tanpa harus menjadi pejabat
pemerintah berhak melakukan kegiatan ekonomi bebas. Setiap warga
diperkenankan bekerja dan berusaha untuk memperoleh pendapatannya
sendiri. Di saat yang sama, kevakuman finansial dan perekonomian di
tengah masyarakat harus diisi oleh anggota masyarakat sendiri. Inilah
makna infak yang tertera dalam kitab suci al-Quran. Infak adalah
implikasi dari kegiatan perekonomian bebas yang ada di tengah
masyarakat. Warga yang berkemampuan menghasilkan pendapatan harus
memikirkan kebutuhan-kebutuhan yang ada di tengah masyarakat.
Celah-celah kosong harus diisi. Infak sendiri menyiratkan makna mengisi
celah-celah kosong tersebut.
Infak adalah satu masalah
prinsipal dalam Islam. Infak, memberikan sebagian harta, penanganan
masalah kebutuhan ekonomi, dan mengisi celah-celah perekonomian terpikul
langsung di pundak rakyat dan setiap warga yang memiliki kegiatan
perekonomian bebas. Dalam masyarakat Islam, jika suatu musibah terjadi
dan pemerintah memerlukan dana, maka rakyat harus membantu pemerintah.
Contohnya adalah jika terjadi perang besar, wabah penyakit, dan kejadian
luar biasa lainnya, Islam berpandangan bahwa rakyat harus turut mengisi
segala kekurangan yang ada sesuai kemampuan masing-masing. Karena
kemampuan rakyat berbeda-beda, maka pihak yang lebih mampu lebih
dituntut untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Mengumpulkan harta tanpa disertai infak dipandang Islam sebagai sikap
asusila, dosa, dan bahkan bisa jadi dosa besar. Boleh mengumpulkan harta
dengan modal yang sah dan mubah bukan berarti menghalalkan seseorang
menyimpan hartanya tanpa disertai kepedulian untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat kepada bantuannya. Sebaliknya, dia berkewajiban menggunakan
hartanya untuk kepentingan umum dan di jalan Allah Swt.
Sekali lagi, infak adalah masalah yang prinsipal dalam Islam. Orang
kaya harus menyisihkan sebagian hartanya di jalan Allah Swt. Islam tidak
melarang seseorang berbisnis dan meraih pendapatan maksimal, tapi harta
yang diraih juga harus digunakan di jalan Ilahi. Islam menyerukan
kepada manusia untuk membiasakan diri dengan konsumsi sesuai kebutuhan
rata-rata. Manusia boleh hidup nyaman dan mapan, tetapi jika ada
kelebihan harta maka harus disumbangkan untuk kepentingan masyarakat
umum. Islam mencela orang kaya yang bergaya hidup glamor, hedonis,
bermewah-mewahan, entah itu dalam cara berpakaian, mengkonsumsi makanan,
ataupun berkendara. Islam mencemooh orang yang gemar menimbun harta
tanpa dibarengi dengan infak. Sikap demikian bahkan haram di mata Islam.
Allah Swt berfirman dalam al-Quran;
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ، الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
"Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir." (QS. 57.23-24)
Orang yang kikir akan memotivasi orang lain untuk bersikap kikir dan enggan berinfak di jalan Allah. Dia sendiri juga enggan menyumbangkan hartanya di jalan Allah. Kekikiran ini bukan hanya berarti keengganan memenuhi kewajiban syariat, tetapi juga keengganan memenuhi kewajiban sosial, yaitu keengganan seseorang membantu memenuhi kebutuhan masyarakat meskipun harta yang dimilikinya jauh melebihi kadar kebutuhannya. Yang lebih celaka lagi adalah keengganan seseorang membantu kebutuhan masyarakat padahal dia bisa kaya adalah karena memanfaatkan fasilitas umum masyarakat. Islam tidak menghendaki sikap-sikap demikian.
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
" Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, siksa yang pedih." (QS. 9.34)
Ayat ini berkenaan bukan
hanya dengan emas dan perak, melainkan untuk segala bentuk barang dan
harta benda semisal uang dan modal. Orang yang menyimpan harta benda
dalam bentuk apapun hanya untuk kenikmatannya sendiri tanpa disertai
kepedulian untuk mengatasi kebutuhan masyarakat kepada bantuannnya atau
dia enggan menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah maka dia
tergolong ke dalam "orang-orang yang menyimpan emas dan perak". Ancaman
Allah Swt kepada mereka berupa "siksa yang pedih" menunjukkan bahwa
kekikiran adalah satu dosa besar. Tidak mungkin sebuah perbuatan dan
sikap akan mendapat azab yang pedih kalau bukan merupakan dosa besar.
Azab yang pedih itu bisa jadi menimpa bukan hanya di akhirat, tetapi
juga di dunia ini. Hanya saja, azab di dunia biasanya terjadi sebagai
akibat alamiah dari perbuatan si kikir sehingga pedihnya juga dirasakan
oleh orang-orang lain. Dengan demikian, infak adalah satu kewajiban yang
harus ditunaikan. (IRIB Indonesia / Khamenei / SL)
Pemanfaatan Sektor Swasta di Bidang Kerja dan Produksi
Sektor swasta harus dimotivasi untuk terjun ke medan kerja dan
produksi. Persentase pusat-pusat produksi negara yang dikuasai
pemerintah sangat tinggi. Kapasitasnya sudah ditentukan oleh UUD, tapi
kenyataannya masih lebih rendah dari yang seharusnya. Salah urus dan
kebijakan seringkali menjadi sebab tumpang tindihnya sektor-sektor
pemerintah. Karena itu, di luar bidang-bidang yang sudah ditegaskan UUD
sebagai milik pemerintah dan harus dikelola oleh pemerintah, sektor
swasta harus dilibatkan di gelanggang kerja dan produksi. Namun,
swastanisasi di sini bukan berarti bahwa unit-unit pemerintah akan
diserahkan kepada swasta dengan mutu, harga, dan kebijakan apapun tanpa
mengindahkan masalah penghematan bagi negara. Sebaliknya, makna
swastanisasi hanya sebatas bahwa pemilik modal harus dimotivasi
sedemikian rupa yang sekiranya dapat terlibat tanpa mengusik kepentingan
negara. Proses ini harus dilakukan secara selektif dan penuh
pertimbangan apakah pihak-pihak yang akan dilibatkan memang kompeten dan
kompetitif dalam berproduksi. Jika sudah dinilai kompeten, maka mereka
harus diberi fasilitas. Dengan demikian, pilihan harus didasarkan pada
kelayakan, bukan nepotisme. Jika standar kelayakan diperhatikan
baik-baik, sektor swasta akan termotivasi untuk menggarap lahan yang
tersedia.
Segala bentuk kebebasan di tengah masyarakat harus dikontrol,
diarahkan, dan diawasi oleh pemerintah Islam. Pengendalian sedemikian
rupa harus dilakukan supaya kebebasan tidak menjurus kepada kebobrokan
dan supaya tidak terjadi kebebasan yang saling melanggar, termasuk dalam
kebebasan berekspresi, berpolitik, dan berbudaya. Islam sama sekali
tidak membenarkan kebebasan aktivitas ekonomi yang diartikan sebagai
kebebasan setiap pihak kuat untuk menentukan produksi, kualitas,
kuantitas, waktu, dan lain sebagainya sekehendak hatinya. Dalam
perspektif Islam, mengakui kebebasan ekonomi dan kepemilikan swasta
tidak menegasikan urgensi pengawasan pemerintah terhadap semua kebebasan
tersebut. Pengawasan harus dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Dalam pola konsumsi pun juga harus ada pembatasan agar tidak terjadi
pemborosan. Pada batas tertentu, pemborosan merupakan satu dosa pribadi.
Mengkonsumsi sesuatu di dalam rumah sendiri secara berlebihan adalah
tindakan haram dan dosa pribadi. Namun, jika tindakan haram itu
dilakukan hingga ke tingkat yang mengancam tatanan ekonomi masyarakat,
menyebabkan eskalasi kemiskinan, menimbulkan monopoli produk yang
dibutuhkan dan apalagi produk yang juga diproduksi oleh masyarakat umum,
maka ini merupakan tindak kriminal yang harus ditindak tegas oleh
pemerintahan Islam.
Pandangan Islam ini tidak hanya
dalam konteks internal masyarakat Muslim, melainkan juga dalam konteks
global. Dewasa ini negara-negara dunia mengalami kesenjangan dalam
mengkonsumsi bahan pangan. Sebagian negara kaya dan maju di dunia
mengkonsumsi hampir 70 persen persedian bahan pangan dunia, padahal
jumlah mereka hanya sekitar 35-36 persen total penduduk dunia. Orang
mengharapkan tatanan ekonomi yang adil berlaku di dunia, lembaga-lembaga
internasional menegakkan tatanan adil, badan-badan serta pemerintah
negara-negara dunia mengikuti hati nuraninya untuk berusaha
mensejahterakan semua manusia, misalnya dengan menghapus larangan
penanaman ribuan hektar tanah setiap tahun di AS supaya harga tidak
anjlok. Di AS larangan itu diberlakukan padahal di dunia terdapat ribuan
balita meninggal dunia perhari akibat kelaparan dan kekurangan gizi, 10
hingga 15 persen penduduk dunia hidup di bawah ancaman kelaparan, dan
banyak warga dunia yang hidup dalam kondisi kekurangan bahan pangan.
Hati nurani manusia menuntut pencegahan aksi pasar bersama Eropa
beberapa tahun lalu yang membuang produk bahan pangannya ke laut hanya
demi mencegah terpuruknya harga produk dan mengantisipasi kekacauan
harga komoditas di pasar-pasar internasional. Dengan demikian,
pemberantasan praktik pemborosan di mata Islam tak ubahnya dengan perang
melawan penghamburan harta kekayaan serta perang melawan
kesewenang-wenangan dalam sistem perekonomian internasional.
Atas dasar ini, terbukanya kran ekonomi bebas dan kepemilikan swasta
dalam Islam tidak lantas membiarkan siapa saja mengkonsumsi barang
kebutuhan sehendak hatinya di saat ada orang-orang lain yang kelaparan,
kekurangan, dan terkena wabah penyakit. Islam melarang keras tindakan
naif tersebut.
Ekonomi Bebas dan Kondisi Politik Masyarakat
Islam tidak memperkenankan kegiatan ekonomi bebas melancangi tatanan
dan konstalasi politik masyarakat. Kapitalisme yang mengkristal kuat di
negara-negara Barat telah menempatkan para pemilik modal sebagai
pemegang tongkat kendali tatanan politik. Sebagian dari mereka resmi
menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Di tubuh pemerintahan
negara-negara besar semisal AS dan para anteknya terdapat raja-raja
kapitalis pemegang saham di perusahaan-perusahaan raksasa migas dan non
migas. Ada pula yang tidak menduduki pos pemerintahan, tetapi berperan
besar di balik layar pemilu. Mereka memainkan peranan kunci dalam
menentukan siapa akan menjadi presiden. Mereka memegang kendali
pergantian pemimpin demi pemimpin politik, termasuk di Senat dan DPR
sehingga UU selalu berpihak kepada interes mereka. Dunia Barat identik
dengan dunia kapitalisme. Kapitalisme, paham yang berorientasikan modal,
yang telah mengagungkan kedudukan para pengusaha besar dan orang-orang
berduit telah menjadi citra dan ikon dunia Barat. Citra ini tidak dapat
diterima oleh ajaran Islam. Islam memerintahkan upaya membendung segala
fenomena yang mengarah kepada terbentuknya citra seperti itu.
Pengertian Kapitalisme di Mata Dunia
Kapitalisme ialah paham yang mengukuhkan penggunaan modal yang tersedia
dengan cara mengeksploitasi masyarakat. Kapitalisme adalah instrumen
eksploitasi. Bagi pemiliknya, modal bukanlah alat yang dapat melahirkan
pekerjaan bagi pemiliknya, melainkan lebih merupakan alat bagi
pemiliknya untuk mengeksploitasi orang lain. Eksploitasi adalah
perbuatan zalim, dan kezaliman hukumnya haram. Dengan demikian, dalam
kamus Islam tidak ada sistem yang berorientasikan modal seperti yang
kini dianut oleh masyarakat dunia.
Dalam pada itu,
dengan asumsi bahwa kepemilikan swasta bisa menjadi sumber kebobrokan,
kezaliman, dan diskriminasi, kepemilikan negara juga bisa jadi demikian.
Deretan fenomena naif terlihat jelas di negara-negara yang menganut
sistem kepemilikan negara, tapi dengan format lain dan mewarnai
lapisan-lapisan masyarakat lainnya.
Ekonomi Bebas Dalam Sistem Kapitalisme Barat
Di tingkat klaim dan pada tataran hukum perundang-perundangan maupun
konstitusi, sistem yang dianut dunia Barat menyatakan rakyat bebas
melakukan aktivitas perekonomian. Tapi pada hakikatnya kebebasan itu
ternyata bukan milik semua orang. Semua kekayaan sumber daya alam
beserta segala fasilitas yang tersedia untuk mengelolanya bisa diakses,
dikelola, dan dimanfaatkan bukan oleh setiap orang. Pihak-pihak yang
bisa mengaksesnya hanyalah orang-orang kaya bermodal besar dan
orang-orang yang memegang kunci dinamika ekonomi dan bahkan politik dan
sosial masyarakat. Merekalah yang sesungguhnya berkuasa atas
sumber-sumber kekayaan, dan mereka pula yang menyempitkan ruang gerak
masyarakat umum.
Sebab itu, dalam tubuh masyarakat
kapitalis, baik yang maju maupun yang masih terbelakang, kebanyakan
penduduknya masih menderita kemiskinan persis seperti yang dialami oleh
penduduk negara-negara Dunia Ketiga. Di saat mayoritas penduduk tercekik
kemiskinan, pengangguran, tunawisma, dan lain sebagainya, ternyata ada
segelintir orang yang bebas dan leluasa menggalang dan menjalankan
usaha, mengeruk kekayaan, menguasai pertambangan, membangun pabrik demi
pabrik, membuka lahan demi lahan, dan seterusnya. Sedangkan yang lain,
terutama kaum buruh di pertambangan, pertanian, dan pabrik-pabrik selalu
diperlakukan sebagai sapi perahan. Masyarakat lapisan bawah ini hanya
memperoleh bagian paling remeh dari harta yang dimiliki oleh segelintir
orang tersebut. Masyarakat kecil tidak bisa menikmati peluang usaha,
kesempatan berproduksi, fasilitas beraktivitas, dan lahan untuk
membangun kesejahteraan hidupnya. Mereka tidak menikmati kebebasan
ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.
Paham sosialisme dan paham-paham sejenisnya yang terinspirasi dari
pemikiran Marxisme menerapkan limitasi untuk kepemilikan swasta. Namun,
limitasi itu berbeda dengan limitasi yang ada dalam Islam. Paham-paham
itu misalnya melarang kepemilikan swasta dijadikan sebagai sarana
produksi. Siapapun tidak diperbolehkan memiliki segala sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai sarana produksi, termasuk tanah dan pabrik.
Paham Marxisme dan sistem ekonomi sosialis menolak kegiatan transaksi,
bisnis, dan jual beli. Para penganut paham-paham ini menganggapnya
sebagai tindakan tak etis. Mereka melarang jual beli untuk keuntungan
dirinya sendiri atau untuk keuntungan orang yang bermodal, baik dalam
jumlah sedikit maupun banyak. Dalam paham Marxisme, berbisnis adalah
satu bentuk kegiatan spekulasi yang naif dan aib.
Di
negara-negara sosialis dan tatanan yang serba berorientasikan negara -
dimana pemerintah dipandang sebagai pelaku produksi kekayaan dan pemilik
lahan-lahan kerja sedangkan rakyatnya dipandang sebagai ‘pegawai
pemerintah'- masyarakatnya tidak mungkin bisa diharapkan bekerja secara
efiesen dan kompetitif. Jika terjadi bencana semisal perang, gempa bumi,
dan wabah penyakit pegawai pemerintah tidak akan bisa diharapkan
berbuat apapun kecuali datang dengan perilaku yang lebih cenderung
konsumtif. (IRIB Indonesia / Khamenei / SL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar