BAB I
PENDAHULUAN
Syi’ah adalah
nama golongan yang fanatik terhadap keluarga keturunan Nabi yang muncul pertama kali di
Mesir pada akhir khalifah ketiga (‘Ustman) kemudian tumbuh dan berkembang pada
masa pemerintahan khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib[1]. Ketika
‘Ali wafat pemikiran kesyi’ahan pun berkembang menjadi mazhab-mazhab atau
aliran-aliran dengan bermacam-macam tujuan, cara dan aqidahnya antara lain;
aliran Saba’iyah, Ghurabiyah, Kisaniyah, Zaidiyah, Itsna ‘Asyariyah,
Isma’iliyah, Hakimiyah, Druz dan Nashiriyah, al-Mughiriyah, al-Bayaniyah,
an-Nawusiyah, al-Kharmaniyah dan Tawabin.
Namun
diantara semua aliran atau sekte ini, terdapat tiga sekte yang besar dan
berpengaruh dalam golongan Syi’ah hingga sekarang, yaitu Zaidiyah, Isma’iliyah
dan Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah). Pengangkatan Musa Al-Khazim, setelah itu ‘Ali
al-Ridha, disambung Muhammad al-Taqi, lalu diteruskan ‘Ali al-Hadi, selanjutnya
Hasan al-‘Askari, kemudian Muhammad al-Mahdi, kelompok inilah yang kemudian
hari disebut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (syi’ah dua belas). Dalam pembahasan
makalah pada kesempatan kali ini akan dibahas lebih mendalam tentang Syi’ah
Itsna ‘Asyariyah (syi’ah dua belas).
BAB II
Syi’ah Itsna Asyari’ah Dan Perkembangan Hukum Islam
A. Fiqh Syi’ah Dua Belas Dan Perkembangan Metodologinya
Menurut Ensiklopedia
Britannica[2],
pada umumnya Syi’ah yang ada sekarang di dunia Islam seperti di Iran, Irak,
Suria, Libanon, Pakistan dan negara-negara lain adalah aliran Syi’ah Istna
‘Asariyah. Bahkan H. Munawir Sjadzali, MA memprediksikan “bahwa kelompok Syi’ah
Itsna ‘Asyariyah yang paling besar pengikutnya” sehingga sejak awal abad XVI
Masehi, sewaktu Ismail Shafawi berkuasa di Iran, Islam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
dijadikan agama resmi negara. Mereka disebut Imamiyah karena masalah imamah ini
bagian dari rukun Islam mereka, sedangkan disebut dengan Itsna ‘Asyariyah karena
mereka mengakui adanya 12 imam yang disebut mereka (Ahlu Bait) yaitu; ‘Ali,
Hasan, Husein, ‘Ali Zainal ‘Abidin, Muhammad al-Baqir, Abdullah Ja’far
al-Shidiq, Musa al-Kazhim, ‘Ali al-Ridha, Muhammad al-Taqi (Muhammad al-jawwad)[3],
‘Ali al-Hadi, Hasan al-Askari dan Muhammad al-Mahdi (kemudian dikenal dengan
sebutan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar) yang memimpin mereka.[4]
Secara umum Syi’ah ‘Asyariyah disebut Syi’ah Imamiyah
dan secara khusus Syi’ah Itsna ‘Asyariyah juga disebut Syi’ah Ja’fariyah karena
ja’far dianggap sebagai unsur yang terpenting dalam sekte ini, sehingga mereka
dalam perkara agama selalu merujuk kepada kitab fiqh Ja’far Ash Shidiq (yang
secara urutan nasab dari pihak ayahnya adalah keturunan Nabi dan dari pihak
ibunya merupakan keturunan Abu Bakar), Ja’far Ash Shidiq adalah seorang yang
banyak ilmu dalam masalah agama, bijaksana, taqwa, zuhud dan kental menolak
ghaibah (bersembunyi), ra’jah (bangkit kembali), tanasukh (inkarnasi) dan juga
tidak memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin. Oleh karena itu aliran ini
adalah aliran Syi’ah yang dapat hidup berdampingan dengan para penganut Sunni.[5]
1.
Kitab-Kitab Fiqh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
Kitab fiqh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
salah satunya adalah kitab Man La
Yahdarul Fiqh (Man Laa Yahdhuruhul Faqiih)[6]
yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein yang akrab dipanggil
dengan sebutan Ash Shaduq[7]. Ia
adalah seorang guru yang mengajar ribuan murid di Mesjid Nabawi, banyak
pernyataan-pernyataan imam Ja’far yang penuh hikmah yang disusun dengan indah.
Salah satunya adalah pernyatannya “Nabi menyampaikan apa yang diamanatkan Allah
sedangkan imam menyampaikan apa yang diajarkan Nabi”.
Namun pada perkembangannya,
fiqh utama Syi’ah itsna ‘Asyariyah di atas di kembangkan oleh generasi-generasi
berikutnya, seperti Mirza Husain bin Muhammad Taqiy Annuri Ath Thabrasi (ulama
besar Nejef) di akhir abad ketigabelas menyusun kitab Fashlul Khithab Fi Itsbat Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Karena
dihujani oleh kritikan maka kemudian disempurnakannya kembali dengan judul Radd Ba’dhusy an Fashlil Khithab fi Itsbat
Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Begitu juga Ayatullah al-Mamqani dengan kitabnya
Miftahul Janaan. Kemudian Ayatullah
Khomeini dengan kitabnya Kasyful Asraar dan
Tahrir al-Wasilah. Begitu juga Dr
Musa Al-Musawi (mujtahid Syi’ah mutakhir Iran) dengan bukunya At-Tashhih. Seperti layaknya manusia
biasa, sehingga dalam tataran perkembangan ini ada yang sesuai namun tak
sedikit pula yang melenceng dari yang sebenarnya.
2.
Sistematika Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dalam Merumuskan
Hukum
Diantara imam dua belas di atas, yang sangat mahir dan
ahli hukum (Fiqh) bahkan dijuluki dengan bapak fiqh Syi’ah adalah imam keenam
yaitu Ja’far al-Shiddiq (guru imam Abu Hanafiah & Imam Malik) dan penganut-penganutnya
masih terdapat di Persia Utara, India dan pakistan. Adapun sumber Syi’ah Itsna
‘Asyariyah dalam merumuskan hukum sebagai berikut :[8]
a.
Menggunakan
al-qur’an.
b. Menggunakan
Hadits, namun mereka hanya menganggap benar untuk dipakai
adalah khusus riwayat Saidina ‘Ali. Sedangkan hadits yang diriwayatkan
khalifah-khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar , Utsman) ditolak tanpa alasan.
Dengan demikian termasuk juga Abu Hurairah, hadits-hadits kitab al-Muwaththa’ (karya
Imam Malik), Musnad imam Ahmad, Shahih Bukhari, Muslim[9] dan
lain-lain.
c. Menggunakan
Ijma’, bahkan sangat diutamakan teristimewa untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’an dan Sabda Rasul (hadist) yang disesuaikan dengan faham
mereka (lebih jelasnya Ijma’ atau kesepakatan ulama Islam baru dapat dianggap
sebagai salah satu dasar hukum Islam kalau direstui oleh imam)[10].
d. Pada masa ghaib shugra mereka menolak ijtihad,
dengan alasan imam adalah maksum maka sangat tidak memungkinkan untuk ijtihad rasional.
Namun pada masa ghaib kubrah dan terputusnya hubungan mereka dengan imam yang
kedua belas ditambah lagi dengan munculnya peristiwa-peristiwa baru yang
menuntut Ijtihad[11]
maka sebagian mereka menggunakan Ijtihad dalam “bidang-bidang tertentu” di luar
bidang-bidang yang sepenuhnya dalam wewenang khusus imam yang menghilang
seperti hak mendirikan shalat jum’at, pelaksanaan pidana atau hukuman dan
mengumumkan jihad.
Untuk menggunakan ijtihad mereka memberikan wilayah
(kekuasaan) yang dipercayakan kepada seorang alim, untuk dibenarkan memberikan
fatwa dan petunjuk atas nama imam selama imam itu belum kembali. Yang dikenal
dengan istilah Wilayah al-Faqih (Kekuasaan Ilmuwan Agama). Mereka Wilayah
al-Faqih berwenang hanya pada bidang-bidang tertentu seperti;
·
penanganan kepentingan anak yatim piatu, benda-benda temuan, para janda
dan fakir miskin
·
Pengelolaan urusan perwakafan, lembaga-lembaga pendidikan agama termasuk
madrasah dan tempat-tempat suci.
·
Penanganan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, pengawasan
terhadap para penguasa dalam pelaksanaan amar makruf nahi mungkar, pemberian
pelajaran kepada para pelanggar susila, dan nasehat kepada para penguasa.
Namun pada perkembangannya, sebagian mereka
berpendapat bahwa Wilayah al-Faqih (Mujtahid) dapat (berwenang) bahkan harus
melaksanakan hukuman sesuai dengan syari’at. Selanjutnya para ulama yang di
bawah pimpinan Khumaini [Ayatullah Khomaini), mereka memadukan konsep imamiyah
dengan modern, lalu kemudian mereka menyatakan bahwa Wilayah al-Faqih berwenang
mengelolah negara dan politik, sebagaimana termaktub dalam pasal 5 dari
Undang-Undang Dasar Negara Iran antara lain dinyatakan “selama imam Mahdi masih
ghaib, kewenangan ada di tangan ilmuwan agama (faqih) yang adil dan takwa, atau
sejumlah ilmuwan agama (fuqaha)”. Dengan demikian di Iran sekarang ini terdapat
Presiden / Kepala negara dan Kabinet, lembaga-lembaga eksekutif, legislatif
(Dewan Perwakilan Rakyat) yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan
sebagainya, layaknya negara-negara lain. Namun di atas semua lembaga itu
terdapat seorang ilmuwan agama yang memiliki kewenangan paling tinggi, sehingga
bila perlu dapat menolak untuk menyetujui keputusan atau kebijaksanaan yang
diambil oleh lembaga-lembaga tersebut.[12] Sampai
sekarang mereka masih menggunakan ijtihad, karena mereka menganggap pintu
ijtihad mesti dibuka.[13]
e. Menolak
Qiyas, menurut mereka sama sekali tidak boleh dipergunakan
untuk mengikuti pendapat pemimpin mereka yang mengatakan “bahwa melakukan qiyas
akan merusak agama”.
Namun, pada suatu riwayat yang lain[14]
disebutkan bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyariyah tidak mengambil hukum dari Ra’yu (Ijma’,
Qiyas dan Ijtihad), oleh karena itu Ijma’ dan Qiyas menurut mereka tidak
termasuk ushul fiqh. Namun mereka memperoleh hukum lewat imam yang maksum,
mereka juga meyakini bahwa selain imam tidak boleh mengambil ra’yu.
Dari perbedaan riwayat di atas penulis melihat bahwa
Qiyas (ra’yu) dikalangan Syi’ah ‘Asyariyah memang tidak termasuk ushul fiqh,
namun bila yang melakukannya adalah imam yang maksum (ahlul bait). Maka ra’yu
tersebut akan mereka anggap menjadi hukum. Namun pada perkembangannya. Mereka
menggunakan ra’yu atau ijtihad dalam merumuskan hukum.
Perlu juga difahami bahwa perbedaan-perbedaan dalam
masalah peribadatan atau masalah fiqh lainnya yang terjadi di tubuh Syi’ah
Itsna ‘Asyariyah tidak jauh beda dengan
perbedaan yang terjadi di kalangan ahlus sunnah, seperti antara pengikut
Abu Hanifah dengan Syafi’i, atau antara imam Malik dengan Ibn Hanbal.
3.
Metodologi Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dalam Merumuskan
Imamah
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah menganggap bahwa imamah adalah
rukun yang keenam, namun bagi yang tidak meyakininya tidaklah menyebabkannya
keluar Islam hanya saja berbeda derajatnya di akhirat kelak. mereka akan
menempati tempat tertinggi derajatnya dan kemudian barulah ummat Islam yang
bukan firqah mereka. Menurut mereka imam adalah kehendak Allah sebagaimana ia
telah menetapkan Nabi, oleh karena itu tidak ada hak seorangpun untuk
mempersoalkan penunjukkan imam meskipun wujud atau tersembunyi.
Sebagian mereka berpendapat bahwa kedudukan Ali satu
tingkat lebih tinggi dari pada manusia, dan dia merupakan perantara antara
manusia dan Tuhan, bahkan lebih lanjut mereka menegaskan bahwa kedudukan imam sejajar
dengan Nabi, sehingga menurut mereka “apa yang diperintahkan imam adalah
perintah Allah, dan apa yang mereka larang adalah larangan Allah, taat kepada
mereka berarti taat kepada Allah dan sebaliknya menentang mereka berarti
menentang Allah”[15].
Namun dalam aspek keyakinan para imam bukanlah Nabi atau Rasul, bahkan menurut
mereka orang yang menganggap masih ada Nabi setelah Nabi Muhammad dengan
langsung mereka memberikan status kafir padanya[16].
Seorang imam menurut mereka haruslah ma’sum, yakni
terpeliharanya imam dari perbuatan dosa dan kesalahan, baik yang besar atau
kecil. Bahkan menurut mereka seorang imam tidak hanya mengatur masyarakat
dengan adil, tetapi juga harus mampu menafsirkan rahasia-rahasia al-Qur’an dan
syari’at dengan pengertian yang tersirat. Oleh karena itu menurut mereka imam
harus ditunjuk dari langit berdasarkan ketetapan nash yang berupa wasiat Nabi.
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah meyakini doktrin kegaiban imam
(bersembunyi), mereka meyakini bahwa imam mereka yang gaib (Mustatir) adalah
imam kedua belas, yaitu imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar (yang bersembunyi)
di gua Samarra, kota Samira[17],
Irak pada tahun 873 Masehi / 260 Hijriyah[18] ketika
masih berumur 5 tahun. Dan ada juga yang menegaskan bahwa Muhammad al-Mahdi
disembunyikan oleh Allah SWT[19]. Menurut
mereka dari persembunyiannya inilah Muhammad al-Mahdi membimbing / menuntun kaum
Syi’ah lewat wakil-wakilnya.
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah membagi kegaiban imam Muhammad
al-Mahdi kepada dua kategori yaitu : priode Pertama,
disebut ghaib shugrah (kegaiban kecil) yang terjadi pada priode 874-939 M,
pada masa ini Muhammad al-Mahdi masih
memperlihatkan dirinya berkomunikasi dengan beberapa orang yaitu para sahabat
tertentu (teman yang istimewah) dan para naib (wakil)nya, yang menyampaikan
kepada mereka keputusan dan fatwa imam. Dalam satu riwayat[20]
disebutkan bahwa yang dimaksudkan wakil tersebut dalam priode ini adalah: (1)
Utsman bin Said al-Umri; (2) Abu Ja’far Muhammad bin Utsman bin Said al-Umri;
(3) Abu Qasim al-Husein bin Ruh al-Khullani; (4) Abu Hasan Ali bin Muhammad
al-Samiri (wakil yang keempat ini meninggal pada tahun 329 Hijriyah). Dan priode
kedua, disebut ghaib kubra (kegaiban
besar) yang terjadi setelah tahun 939 M, imam Muhammad al-Mahdi tidak lagi
memperlihatkan dirinya kepada para wakilnya, namun tetap membimbing kaum Syi’ah
secara rohaniah hingga akhir zaman. Barulah pada akhir zaman nanti imam
Muhammad al-Mahdi kembali ke bumi untuk menegakkan kebenaran, persamaan dan
keadilan. Mereka juga berkeyakinan bahwa Muhammad al-Mahdi kembali untuk
melawan dajjal dan membangun pemerintahan Islam bersama Nabi Isa a.s[21]. Inilah
yang tetap dinanti-nantikan kaum Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Doktrin inilah pula
yang disebut mereka intizhar.[22]
Bahkan sebagian dari mereka berpendapat bahwa semua imam yang dua belas itu
akan dibangkitkan kembali ke dunia di akhir zaman nanti sebagai kompensasi
terhadap hak kepemimpinan mereka yang ‘terenggut’ dari tangan mereka.[23]
Dalam perkembangan modren, doktrin intizhar diberi
penafsiran baru yang lebih “hidup” oleh Ali Syari’ati. Menurutnya, intizhar
bukanlah sebuah konsep yang mengharuskan pengikut Syi’ah bersikap pasif
terhadap penguasa yang zalim sambil menunggu datangnya Muhammad al-Mahdi yang
akan membebaskan mereka, maksudnya pengikut Syi’ah harus bersikap aktif
menentang dengan berbagai cara setiap bentuk kezaliman penguasa. Disini
terlihat intizhar berarti penolak kejahatan, penindasan, ketidakadilan. Dan
intizhar diuraikannya dalam bentuk perjuangan secara terus menerus menuntut
kebebasan dan keadilan. Penafsiran Ali Syari’ati inilah yang manjadi semangat
keberhasilan Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini pada
tahun 1979. Kemudian Ayatullah Khomeini berusaha menjembatani konsep imamah
dengan mengemukakan konsep wilayah al-Faqih. Yaitu selama menunggu kedatangan
imam yang gaib (Muhammad al-Mahdi), kepemimpinan pengikut Syi’ah berada di
tangan seorang faqih, yaitu Ayatullah Khomeini sendiri.[24]
Terlepas dari pembahasan di
atas, yakni masalah imam Muhammad al-Mahdi ternyata menurut sebahagian kalangan
Syi’ah masih dalam tataran kontroversial, salah satunya kalangan Alawiyyin[25] (yang
membukukan semua keturunan Syi’ah) mereka menemukan fakta bahwa imam Hasan
al-Askari (ayahnya Muhammad al-Mahdi) tidak mempunyai keturunan. Maka bila
keterangan itu benar, berarti sosok sang imam keduabelas yang dilangsir para
ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah dusta atau angan-angan yang tak lebih
sekedar ungkapan untuk menghibur diri dari kekalahan-kekalahan mereka dari masa
ke masa.
4.
Beberapa Pendapat Syi’ah ‘Asyariyah
Untuk mengenal lebih jauh lagi tentang fiqh (paham)
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, penulis menguraikan beberapa pendapat mereka seputar
hukum dan beberapa pendapat yang cukup kontroversial sebagai berikut :[26]
·
Shalat Jum’at. Menurut sebagian pengikut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah meniadakan
shalat jum’at selama imam masih ghaib.
·
Shalat Id. Menurut sebagian dari mereka
menganggapnya fardhu.
·
Kawin Mut’ah. Mereka masih mempertahankan tradisi kawin mut’ah, karena menurut mereka
banyak sahabat dan tabi’in yang berfatwa membolehkan kawin mut’ah, diantaranya
ialah Abdullah Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah al-Ashari, Ibnu Mas’ud, Ubai bin
Ka’ab dan Imran bin Hushain. Mereka beranggapan bahwa seorang yang berpergian
dalam waktu yang panjang diperbolehkan melakukan perkawinan mut’ah, karena
sifatnya darurat untuk menjaga dari kemaksiatan. Mereka menegaskan andai saja
praktek kawin mut’ah dilaksanakan dengan cara yang benar dan sesuai dengan
aturan-aturannya (kitab-kitab fiqh mereka), seperti peraturan tentang akadnya,
iddahnya (isteri menjalankan iddahnya sesuai dengan waktunya yang menurut
mereka hanya dua kali haid) dan pemeliharaan keturunan dari perkawinan
tersebut. Antara lain memperhatikan hak anak yang dilahirkan dari kawin mut’ah
dan menasabkan anak itu kepada bapaknya. pastilah perzinaan atau prostitusi
akan hilang.
·
Perceraian.
Menurut mereka perceraian harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil,
tanpa adanya kedua orang saksi yang adil itu maka perceraian tidak sah. Ini
dimaksudkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga dengan harapan adanya kedua
saksi tersebut dapat memperbaiki keretakan hubungan suami isteri, sehingga
pasangan itu dapat rujuk kembali. Mereka juga berpendapat bahwa thalak tiga
yang diucapkan sekaligus dianggap hanya jatuh satu thalak dan masih boleh rujuk
kembali. Bahkan sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa thalak tiga
yang diucapkan dalam satu kalimat tidak jatuh thalaknya, dengan alasan bahwa
yang demikian itu tidak disyari’atkan.
·
Taqiyyah maksudnya
menampilkan kebalikan dari yang disembunyikan atau berpura-pura. Kebanyakan mereka membolehkan untuk menjaga jiwa,
harta, kehormatan, agama, aqidah, seperti berpura-pura menampakkan sebuah
aqidah yang sebenarnya ia sendiri tidak mengimaninya. Ayatullah Khomeini [ulama
Syi’ah abad ini] menegaskan bahwa taqiyyah merupakan bagian dari aqidah mereka
terlebih bagi para imam karena mereka lebih mengetahui yang maslahat bagi
pengikutnya. Hal ini dikritik oleh Dr Musa Al-Musawi [juga ulama mujtahid
Syi’ah mutakhir Iran] dalam bukunya At-Tashhih,
ia mengatakan, “sebenarnya taqiyyah tidak boleh dilakukan seorang mukmin,
kecuali dalam satu keadaan seperti menjaga tertumpahnya darah. Jadi apabila
terlindung darahnya, maka tidak boleh melakukan taqiyyah”.
Dalam bagian akhir bukunya, Dr Musa al-Musawi
menyatakan bahwa pernyataan “taqiyyah
adalah agamaku dan agama nenek moyangku” yang dinisbahkan kepada imam Ja’far
Ash Shadiq adalah dusta atau kebohongan yang dibuat-buat.
·
Kewarisan. Menurut
mereka anak perempuan bisa menghijab saudara pewaris (paman/bibinya). Karena
mereka menafsirkan kata “walad” pada
surah An-Nisa ayat 76 adalah anak laki-laki dan anak perempuan.[27]
·
Ziarah kubur. Menurut mereka siapa saja yang menziarahi atau ikut andil membangun
kuburan imam, maka ia akan mendapat pahala yang tidak berhenti sepanjang masa dan
mendapatkan syafaat Rasulullah. Para penziarah tersebut mendapat pahala
bagaikan pahala mengerjakan 70 kali haji yang menghapuskan semua dosa. Hal ini
yang di uraikan Ayatullah Khomeini dalam kitabnya Kasyful Asraar halaman 8 yang menurutnya pendapat-pendapatnya itu
bersumber dari Ja’far Ash Shadiq. Tak hanya sampai di situ, Ayatullah Khomeini
mempunyai pandangan tersendiri, dalam kitabnya Tahrir al-Wasilah , di juz I halaman 141 menyatakan bahwa “kuburan
Husain bin Ali bin Abi Thalib mempunyai kekhususan melebihi kuburan
Rasulullah”.[28]
Dan yang lebih hironis dari itu, Ayatullah Khomeini berpendapat bahwa
“Sesungguhnya pahala yang akan diperoleh adalah pahala seribu nabi atau
syahid”.[29]
·
Zakat. Mereka meyakini bahwa zakat itu adalah
hak yang wajib diberikan kepada keluarga Nabi sebagai pengganti zakat yang
telah diharamkan-Nya bagi Rasulullah. Menurut mereka besarnya zakat yang harus
di keluarkan adalah seperlima dari pendapatan. Kemudian zakat ini dibagi
menjadi enam bagian: tiga bagian diberikan ke imam jika sang imam ada diantara
mereka, atau kepada wakilnya [yaitu seorang mujtahid yang adil] jika sang imam
masih bersembunyi. Sedangkan yang tiga bagian lagi dibagikan kepada fuqaha dan masakin
serta keturunan Bani Hasyim yang memerlukannya.
·
Kutukan Terhadap Para Sahabat dan Isteri
Rasulullah. Sebagian mereka mencela Abu
Bakar, Umar dan Utsman (menantu Nabi), termasuklah Ayatullah al-Mamqani dalam kitabnya Miftahul Janaan menjuluki Abu Bakar Ash
Shiddiq (mertua Nabi) dengan ‘aljibtu’ (berhala) dan menyebut Umar bin
Khaththab (mertua Nabi) dengan julukan ‘thaghut’ (berhala). Mereka juga
mengutuk anak-anak keduanya yaitu Aisyah dan Hafsah (ummahat mu’minin). Pendapat ini tidak jauh
beda dengan pendapat Ayatullah Khomeini.
Namun, sebagian mereka tidak mempunyai pemikiran
seperti itu, termasuk Syaikh Husain Kasyif al-Ghithoa, Syaikh Muhammad Jawad
Mughniyyah dan Syaikh Musa Shadar. Lebih dari itu Dr Musa al-Musawi menilai
bahwa inilah faktor utama penyebab perselisihan yang dahsyat antara Syi’ah dan
Ahlu Sunnah. Dengan alasan bahwa Ali bin Abi Thalib menghormati mereka (Abu
Bakar, Umar dan Utsman), bahkan ketika wafatnya Abu Bakar Ali bin Thalib
menyampaikan (penghormatannya) dengan tulus sehingga ia meneteskan air mata,
mengapa kemudian orang yang mengikutinya mencela Abu Bakar![30]
B.
Pengikut Syi’ah di Irak, Iran, Mesir dan Indonesia
Perkembangan Syi’ah di Irak disebabkan ‘Ali ibni Abi
Thalib menjadikan Irak sebagai kediamannya pada masa kekhalifaannya, di sana ia
dipandang sebagai orang yang banyak kelebihan dan dihormati, saat ini hampir
setengah dari jumlah penganut syi’ah berada di Irak.
Perkembangan Syi’ah di Persia (sekarang dikenal dengan
Iran) dipengaruhi oleh budaya mendewa-dewakan raja dan menganggapnya sebagai
orang suci, masih sangat kuat berakar di kalangan bangsa persia. Dengan latar
belakang budaya tersebut mereka memperlakukan Nabi Muhammad dan keluarganya
sama dengan pelakuan mereka terhadap Kisra (raja) dan keluarganya dahulu. Dan
sebagaimana pola dan tradisi mereka kenal ini sehingga mereka berpendirian
bahwa sepeninggal Nabi maka penggantinya harus keturunan atau keluarga Nabi.[31]
Selanjutnya didukung pula oleh perkawinan Husain bin ‘Ali Radhiallahu ‘Anhuma
dengan Syaharbanu (Salafah)[32] putri
dari Yazdajurd (raja Iran dari turunan Sasanid) yang dianggap suci oleh
masyarakat Iran ketika itu. Dari perkawinan mereka lahirlah Zainul Abidin yang
diyakini masyarakat Iran bahwa mengalir darah Iran pada dirinya. Yahudi Iran
yang dendam terhadap Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Sahabat-sahabat
Rasulullah SAW yang telah berhasil menaklukkan Iran, memperluas daerah
penaklukan yang islamiah dan memadamkan api sesembahan orang-orang Majusi. Nah,
ini salah satu yang dimanfaatkan oleh yahudi Iran tanpa sepengetahuan ‘Ali dan
izinnya untuk mengadu domba Amirul Mukminin Ali dan khalifah kaum muslimin
Utsman bin Affan. Dengan menyebarkan dusta-dusta (fitnah) bahwa yang berhak
menjadi penguasa dan khalifah adalah ‘Ali dan anak-anaknya. Oleh karena ajaran
seperti inilah banyak masyarakat Iran (termasuk yahudi dan Majusi) akhirnya
masuk golongan Syi’ah, membentuk kesatuan dan menyusun teknik permusuhan dengan
warna keagamaan dan warna kemazhaban untuk melampiaskan kebencian dan cacian
mereka terhadap para sahabat, lebih-lebih terhadap Umar dan Utsman.[33]
Perkembangan Syi’ah di Mesir sangat terlihat ketika
Daulah Fatimiyah berkuasa pada tahun 296 -555 H / 908-1160 M, aliran Syi’ah
mencapai puncak kejayaannya, karena aliran Syi’ah menjadi mazhab resmi dari
Daulah Fatimiyah. Di Mesir tercatat bahwa salah satu jasa Syi’ah dalam
menyumbangkan moril dan materil dalam dunia pendidikan Islam ialah mendirikan
Azhar University, yang sampai saat ini masih dapat kita rasakan.[34]
Sedangkan di Indonesia, Syi’ah berjasa dalam penyiaran
Islam yang pertama kali di kawasan Nusantara, hal ini dapat dibuktikan sebagai
berikut :[35]
1. Sultan Aceh yang merupakan kerajaan Islam yang pertama
di Indonesia adalah menganut faham Syi’ah.
2. Faham Mistik (Kebathinan) yang dianut oleh sebagian
orang Islam di Indonesia, adalah berasal dari ajaran Syi’ah.
Karena ada kemungkinan
penyebaran-penyabaran Islam pertama kali di Indonesia adalah faham Syi’ah, maka
orieantalist berpendapat bahwa Syi’ah yang dimaksud adalah Syi’ah yang berasal
dari Gujarat. Namun hal ini dibantah oleh pendapat mutakhir, bahwa Islam di
Indonesia asalnya Arab langsung.
Selain di negara-negara yang telah diuraikan di atas.
Menurut Warld Factbook (2008) bahwa pengikut
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah telah tersebar di belaan dunia termasuk negara-negara seperti:
Lebanon, India, Azerbaijan, Kuwait, Bahrain, Arab Saudi, Qatif, Madinah,
Al-Hasa’, Muskat, Oman, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Kirgizstan,
Kazakhsan, Rusia, Asia tengah dan lain-lain[36].
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Syi’ah lahir sebagai reaksi
atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad telah
mendomonasi dalam percaturan politik Islam. Mereka menganggap bahwa yang berhak
memegang kekuasaan politik setelah Nabi wafat adalah ‘Ali ibn Abi Thalib dan
keturunannya. Inilah yang mereka perjuangkan baik sewaktu ‘Ali masih hidup
maupun setelah meninggal dunia, mereka pun menuduh bahwa Abu Bakar dan ‘Umar
telah merampas hak kekhalifaan dari tangan ‘Ali. Jadi penulis melihat bahwa
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah tidak seutuhnya (Murni) di bangun atas dasar mazhab
tapi banyak yang mencampurinya dengan politik.
Sumber Syi’ah ‘Asyariyah dalam merumuskan hukum adalah Al-Qur’an, hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Ali, ra’yu imam-imam yang maksum (ahlul bait) sedangkan
ra’yu yang berasal dari orang-orang selain imam-imam yang maksum menurut mereka
tertolak, karena mereka meyakini bahwa selain imam yang maksum tidak boleh
mengambil hukum dari ra’yu. Namun pada perkembangannya yang dipengaruh oleh
beberapa faktor mereka pun mulai memakai ra’yu termasuk ijtihad.
2.
Saran
·
Janganlah melihat islam dari orangnya tapi lihat islam dari doktrin
ajaran yang sebenarnya(islam murni)
·
Jadikanlah semua sejarah dan doktrin yang telah dibangun oleh generasi
klasik sebagai dasar atau motif awal untuk dikembangkan dan didesain lebih
indah dan modren, yakni tidak menghapus, melainkan mengembangkan kearah yang
lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad, Islam
Tidak Bermazhab, penerj. A. M. Basalamah, cet ke-2, Jakarta: Gema Insani
Press, 1994.
Abu Zahrah, Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, peny. Hery Noer Aly,
Jakarta: Logos, 1996.
Bik, Hudhari, Terjemahan
Tarikh al-Tasyri’ al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, penerjemah
Muhammad Zuhri, Semarang: Rajamurah-Alqona’ah, 1980.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat
Islam Indonesia, editor Muchith A. Karim, Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press,
2010.
Iqbal, Muhammad, Fiqh
Siyasah: Kontekstual Doktrin Politik Islam, cet ke-2 Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007.
Noor, M. dan Matsdawam, Tinjauan Ringkas Beberapa Aspek Hukum Islam dan Problematikanya di
Indonesia, Yogyakarta: Kota Kembang, 1977.
Reza Modarresee, Muhammad, Syi’ah Dalam Sunah: Mencari Titik Temu Yang Terabaikan, Peny.
Salman Parisi, T.k, Citra, 2005.
Sjadzali, Munawir, Islam
dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet ke-5, Jakarta: UI
Press, 1993.
[1] ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah dan juga menantu Rasulullah
karena ‘Ali ibn Abi Thalib adalah suami dari Fathimah binti Rasulullah
[3]Imam
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
peny. Hery Noer Aly (Jakarta: Logos, 1996), h. 52.
[4]Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin
Politik Islam, cet ke-2 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 114.
[6]Mustofa Muhammad
Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, penerj. A. M. Basalamah, cet ke-2 (Jakarta:
Gema Insani Press, 1994), h. 167.
[8]M. Noor
dan Matsdawam, Tinjauan Ringkas Beberapa
Aspek Hukum Islam dan Problematikanya di Indonesia (Yogyakarta: Kota
Kembang, 1977) h. 65.
[9]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 158.
[10]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, h. 214.
[13]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 158.
[14]Hudhari
Bik, Terjemahan Tarikh al-Tasyri’
al-Islami: Sejarah Pembinaan Hukum Islam, penerjemah Muhammad Zuhri, (Semarang:
Rajamurah-Alqona’ah, 1980), h. 447.
[15]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, h. 215.
[17]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 169.
[18]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, h. 213.
[20]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, h. 214.
[22]Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin
Politik Islam, cet ke-2 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 116-118.
[23]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, penerj. A. M.
Basalamah, h. 167.
[24]Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstual Doktrin
Politik Islam, h. 119.
[25]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 169.
[27]Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Pelaksanaan
Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, editor Muchith A. Karim
(Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 69-70.
[28]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 171.
[31]Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, h. 211-212
.
[32]Mustofa
Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 136.
[33]Ikhsan
Ilahi Zhahiri, Asy-Syi’ah Was Sunnah:
Syi’ah dan Sunnah, Penerjemah. Bey Arifin (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985),
h. 73-74.
[34]M. Noor
dan Matsdawam, Tinjauan Ringkas Beberapa
Aspek Hukum Islam dan Problematikanya di Indonesia, h. 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar