SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 15 April 2010

Biografi, dan Konsep Pemikiran Abu Ubaid


 
1.                 Biografi Singkat dan Karyanya
Abû ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.
Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishâq, dan Abû ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abû ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abû ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abû ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abû ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi[1]. Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. kitab  ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al¬ Hasan asy-Syaibani.

Beberorang meyakini bahwa Adam Smith dalam bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations, banyak dipengaruhi kitab Al-Amwal. Arti kata Al-amwal sama dengan arti kata The Wealth, yaitu kekayaan. Dalam Pembahasan Ekonomi Neoliberal dihadapan 1.000 kiai di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (13/6), yang disampaikan Dr Adiwarman Karim dan sejumlah ekonom lain serta Ketua MUI Pusat KH Maruf Amin, dinyatakan bahwa The Wealth of Nation karya Adam smith banyak menyinggung tentang ekonomi Islam, antara lain pada jilid dua dan jilid lima.

Imam Abu Ubaid dalam kitab berjudul Al Amwal memberikan definisi tentang Sistem Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a’immah li al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat konsep penting, yaitu :

1. Istilah amwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fa’i, khums, dan zakat.
Fa’i yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Khums adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik.

2. A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan publik.

3. Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.

4. Istilah ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu didistribusikan.

Dalam permasalahan zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa ada tiga tingkatan pengelompokan sosio ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Ia juga tidak menyetujui penentuan batas tertinggi penerimaan zakat bagi para mustahik. Ia menjelaskan bahwa dalam segi politik, kekayaan seseorang di bagi menjadi dua, yaitu kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah). Menurutnya, pemerintah memiliki kekuatan politik hanya pada kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah). Sebaliknya, harta yang tesembunyi (amwal batiniyah), pemerintah tidak memiliki hak politik untuk memaksa orang membayar zakat dari jenis kekayaan ini. berkebalikan dengan harta yang tampak, yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.

Menurut Abu Ubaid, penarikan dan penyaluran zakat dilakukan oleh wilayah di mana masyarakat berada. Jadi, Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Mengenai Hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu[2].

Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.(Al-Qaradhawi, 1995).

Al-Amwal hal.256:
Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang. Umar memerintahkan, Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya. Abdul Hamid kembali menyurati Umar, Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang. Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya. Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang. Akhirnya, Umar memberi pengarahan,Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih. (Al-Qaradhawi, 1995).

2.     Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
 Abû ‘Ubaid dalam Al amwall jika dilihatdari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj,[3] jizyah[4], ‘ushu[5]r atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
Abu ubaid di dalam Al Amwal menjelaskan dengan mengutib Az Zuhri, Rasulullah menerima jizyat dari majusi Bahrain, Az zuhri menambahkan siapa saja di antara mereka memeluk islam, maka keislaman mereka diterima, dan keselamatan diri dan hartanya akan dilindungi, selain tanah, sebab tanah tersebut adalah fa’i (rampasan) bagi kaum muslim, karena orang-orang tersebut sejak awal tidak pernah menyerah sehingga ia terlindungi. Dan dijelaskan lebih lanjut jika jizyat gugur setelah seseorang kafir masuk islam, maka kewajiban kharaj tidak gugur dengan sebab masuk islamnya tersebut, inilah awal munculnya kewajiban berganda bagi setiap orang islam, kewajiban membayar zakat dan kewajiban membayar jizyat.
3.   Dikotomi Badui ke Urban
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui( masyarakat tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan.
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû ‘Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abû ‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
4.  Kepemilikan Publik  
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama.
Saya mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir[6]
Demi Allah biarlah terjadi apa yang kamu benci, sesungguhnya jika kamu membagikannya maka keuntungan besar dari tanah aka suatu kaum (generasi). Setelah mereka meninggal maka harta tersebut akan beralih kepada satu orang laki atau perempuan kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang membela islam sedangkan mereka tidak mendapatkan suatupun maka pertimbangkanlah suatu hal yang dapat mencukupi bagi generasi awal dan generasi terakhir mereka.[7]
Pernyataan abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam, selain itu terdapat pernyataan lain yang mendukung pernyataan diatas:
Umar menulis surat kepada sa’ad (bin Abi waqqash) setelah menaklukkan al qadisiyyah katanya:
“..... dan biarkanlah tanah dan sungai untuk para pengelolanya supaya hal itu menjadi termasuk dalam pendapatan umat islam karena sesungguhnya jika kita membagikannya kepada orang yang menaklukkannya niscaya orang yang sesudahnya tidak akan mempunyai suatupun.[8]
5.  Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
 Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.
6.   Pertimbangan Kepentingan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam. 
7.   Fungsi Uang
Ahmad Hasan menjelaska bahwa kata nuqud (uang) tidak terdapat dalam Al Qur’an maupun hadis Nabi Saw, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan kata nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas, kata dinar untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukkan dinar emas. Sedang kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.[9]
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standart ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.[10]
Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).dalam hal ini ia menyatakan:
“ Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk membeli sesuatu (infaq)[11].
Pernyataan abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

8.                 Penutup
Melalui pendekatan sejarah sosial dapat dilihat bahwa sebuah produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir itu sendiri dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Demikian hal ini juga tampak dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat legitimate dan situasi keilmuan yang kondusif telah memberikan warna dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abû ‘Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.
Metode Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsar[12] sahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.
Abû ‘Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang kosmopolit dan heterogen dimana persoalan masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu cenderung menggunakan ra’yu (rasio), hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imâm ‘Abû Hanîfah. Berbeda dengan Imâm Mâlik yang hidup di wilayah Hijaz, penduduk di wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa al-Rasyidin dimana penyebaran Hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi Abû ‘Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan menguasai Hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti Sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu), meski sangat hati-hati. Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari Sunnah dapat dispesifikasi dengan Sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan Sunnah yang lainnnya atau dengan ayat al-Qur’an. Sumber ketiga yang digunakan ‘Abû Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâsid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’amul (hukum adat atau tradisi)
Pemikiran‘Abû ‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para The Wealth of Nation pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam Kitâb al-Amwâl, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.










 Kata Pengantar
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#

            Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dan tak lupa pula shalawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafa’atnya di yaumil akhir kelak.
            Tugas makalah ini dibuat sebagai tugas untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Dalam menyelesaikan tugas makalah ini, penulis telah berusaha sebaik dan semaksimal mungkin. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari dosen dan pembaca demi kesempurnaannya.
            Akhir kata penulis berharap semoga tugas makalah ini dapat berguna bagi penulis dan kita semua.

                                                                                                                                  Medan, 23   Maret   2010

                                                                                                                          
                                                                                                                                    Kelompok



[1] P3EI dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[2] Abu Ubaid, Al amwal hal 596.
[3] Kharaj adalah bagian dari kekayaan yang dikeluarkan oleh setiap orang penduduk yang tunduk dibawah kekuasaan pemerintah islam, bagi yang memiliki tanah pertanian atau perkebunan (Mafasya, Pergumulan Ekonomi Syarian, hal 85)
[4] Jizyat adalah pungutan yang dikenakan pada kalangan non muslim sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh penguasa islam kepada mereka ( Azhari A Tarigan dkk, Dasar-Dasar Ekonomi Islam hal 167-168).
[5] Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hannya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang-barang yang nilainya lebih dari 200 dirham ( Mustafa E Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam , hal 229 ).
[6] Al-Amwal, hal 758-59, (sebagaimana dikutib Yusuf Qardhawi, Peran Nilai Moral dalam perekonomian Islam)
[7] Ibid, hal 75.
[8] Ibid Hal 74
[9] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komperhensif sistem Keuangan Islami, sebagaimana dikutib Adiwarman karim, Ekonomi Makro islam hal 80.
[10] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, hal 80.
[11] Al-Amwal, hal 546 dan 548, sebagaimana dikutib Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam, hal 279)
[12] Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in,  yang terdiri atas perkataan dan perbuatan ( Mahmud al  -Thanah, Taisir, hal 15, sebagaimana di kutib Nawir Yuslem, Ulumul Hadis hal:46)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar