Pemikiran Ekonomi Sang Hujatul Islam, Al-Ghazali
JOSEPH A. Schumpeter dalam karya klasiknya, History of Economic Analysis (1954) memperkenalkan sebuah tesis “Great Gap” yang menyatakan bahwa terdapat masa kekosongan (blank centuries) antara zaman kejayaan Yunani (Greeks) sampai zaman munculnya ilmuwan-ilmuwan Latin (Latin Scholastics), khususnya St Thomas Aquinus (1225-1274 M) di Eropa. Selama masa kekosongan ini, Schumpeter berpendapat bahwa tidak ada tulisan satu pun yang relevan tentang ekonomi.
Tesis Schumpeter ini berusaha menafikan kontribusi peradaban Islam terhadap evolusi perkembangan ilmu pengetahun (intellectual evolution) sampai zaman modern ini. Di saat Islam mencapai puncak kejayaannya di Cordova, kehidupan orang Eropa masih berada pada titik peradaban yang terendah. Kehidupan bangsa Eropa mulai berubah ketika mereka mulai bersentuhan dengan peradaban Islam di Andalusia (Spanyol).
Pada hakekatnya, peradaban Islamlah yang menjembatani kontinuitas peradaban Yunani sampai ke Eropa dan Barat. Namun masa kejayaan Islam ini berusaha ditutup-tutupi oleh sebagian ilmuwan Klasik Barat dengan memunculkan istilah “Great Gap” atau “Blank Centuries”.
Masa kejayaan Islam yang berlangsung lebih dari 6 abad lamanya telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan klasik Islam beserta karya-karya monumentalnya yang sampai saat ini masih menjadi rujukan kaum intelektual di kalangan Islam maupun Barat dalam berbagai disiplin ilmu zaman modern ini.
Al-Ghazali adalah salah satu ilmuwan muslim yang sering dikutip pemikirannya dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk dalam pemikiran ekonomi.
Beberapa penelitian membuktikan adanya kesamaan pemikiran ekonomi Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam Ihya ‘Ulum al-Din dengan pemikiran St Thomas Aquinus (1225-1274) dalam Summa Theologica-nya.
Margaret Smith (1944) mengatakan, “there can be no doubt that Al-Ghazali’s works would be among the first to attract the attenton of these European scholars”, kemudian dia mengatakan lagi bahwa salah satu tokoh Kristen yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali adalah St Thomas Aquinus. Dia belajar di University of Naples di mana pengaruh literatur dan budaya Arab sangat dominan pada saat itu. Bahkan lebih lanjut dia mengatakan, Albertus Magnus and Raymond Martin yang menjadi guru sekaligus mentor Thomas Aquinus, sangat familiar dengan pemikiran Al-Ghazali dan ilmuwan Arab muslim lainnya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri pemikiran ekonomi Al-Ghazali sebagai upaya untuk membantah tesis Great Gap-nya Schumpeter bahwa Blank Centuries yang berlangsung selama 6 abad itu tidak pernah terjadi dan berusaha membuktikan bahwa pada masa itu justru terjadi puncak peradaban Islam, khususnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan.
Berbagai Ilmu
Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Tusi Al-Ghazali lahir di Tus Khurasan, Iran pada tahun 450 H (1058 M). Beliau diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiqh, ilmu al-Quran, tasawuf, politik, administrasi, dan ekonomi.
Namun yang tersisa hingga kini hanya 84 buah, di antaranya adalah Ihya ‘Ulum al-Din, Tahfut al-Falasifaha, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, al-Mustashfa, Mizan al-‘Amal.
Pemikiran ekonomi Al-Ghazali setidaknya mencakup konsep dasar tentang perilaku individu sebagai economic agent, konsep tentang harta, konsep kesejahteraan sosial (maslahah), market evolution, demand dan supply, harga dan keuntungan, nilai dan etika pasar, aktivitas produksi dan hirarkinya, sistem barter dan fungsi uang, dan fungsi negara dalam sebuah perekonomian.
Menurut Al-Ghazali, terlibat dalam aktivitas ekonomi hukumnya fardu kifayah. Aktivitas ekonomi harus didasarkan pada tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat.
Lebih lanjut lagi ia menjelaskan alasan kenapa manusia harus terlibat dalam urusan ekonomi, yaitu:
Pertama, Allah telah menciptakan sumber daya alam yang melimpah untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya, sekaligus sebagai bukti kesyukuran kepada Sang Maha Pemberi Rezeki.
Kedua, orang yang kuat secara ekonomi maka hidupnya akan bebas, jauh dari ketergantungan pada orang lain dan dapat menjalankan ajaran agama secara sempurna, misalnya zakat, infak, sedekah dan ibadah haji.
Ketiga, perilaku dalam mengejar pemenuhan ekonomi tak boleh menyimpang dari ajaran dan prinsip agama Islam.
Al-Ghazali menekankan pentingnya bagi para pelaku ekonomi untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan Islam dalam transaksi ekonomi. Mereka harus mengetahui jenis-jenis transaksi yang dilarang dan dibolehkan. Mereka harus mengetahui tentang bai’ (jual-beli), riba, salam, ijarah, musharakah dan mudharabah. Setiap transaksi-transaksi ekonomi tersebut memiliki rukun dan ketentuan yang wajid diketahui oleh para pelaku ekonomi demi menghindari kemudharatan dan kerugian yang bisa muncul kemudian hari.
Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial Islam”. Dari konsep ini kemudian lahirlah istilah masalih (utilitas, manfaat) dan mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningktakan kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan suatu masyarakat hanya akan terwujud jika memelihara lima tujuan dasar, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Melalui kelima tujuan dasar ini, dia kemudian membagi tiga tingkatan utilitas individu dan sosial, yakni daruriat (kebutuhan), hajiat (kesenangan), dan tahsinat (kemewahan).
Jadi konsep tentang kemaslahatan dan kemudaratan sudah lama dikemukakan oleh Al-Ghazali sebelum konsep ini berkembang dalam ekonomi modern dengan istilah “kesejahteraan sosial”. Ia mengatakan bahwa setiap tindakan individu yang merugikan orang lain maka termasuk perbuatan zholim. Contoh perbuatan yang membahayakan kepentingan umum dan masuk dalam kategori perbuatan zholim menurut Al-Ghazali adalah menimbun barang dan memalsukan uang. Hal ini dianggap sebagai perbuatan zholim karena berdampak pada ketidakseimbangan pasar yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat umum.
Al-Ghazali juga mengemukakan secara detail tentang proses terbentuknya “pasar” secara alamiah. Pasar terbentuk karena adanya dorongan untuk saling memenuhi kebutuhan. Al-Ghazali menggunakan istilah pandai besi (blacksmiths), tukang kayu (carpenters), dan petani (farmers) untuk saling bertukar kepemilikan demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara alamiah akan terbentuk suatu tempat yang disebut “pasar” untuk saling bertukar jika kebutuhan masing-masing berbeda. Al-Ghazali kemudian berpendapat bahwa dengan alasan perdagangan (tukar-menukar) maka akan terjadi perpindahan barang dagangan dari satu tempat ke tempat lain. Adapun motif utama di balik aktivitas ini adalah untuk mengumpulkan modal dan keuntungan. Adam Smith (1723-1790) yang hidup 700 tahun setelah Al-Ghazali mengungkapkan istilah yang hampir mirip dengan pandangan Al-Ghazali ketika menjelaskan proses terbentuknya pasar (tukar-menukar), namun menggunakan istilah yang berbeda yaitu tukang daging (butcher), pembuat bir (brewer), dan tukang roti (baker).
“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love.” (Adam Smith, The Wealth of Nation).”
Meskipun Al-Ghazali tidak banyak berteori tentang hukum pasar supply-demand seperti dalam teks buku-buku ekonomi saat ini, namun banyak pikirannnya bisa ditemukan dalam bukunya, khususnya Ihya ‘Ulum al Din yang menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang hukum pasar supply-demand. Misalnya beliau mengatakan, “Ketika seorang petani tidak menemukan seorang pembeli atas hasil pertaniannya maka ia akan menjualnya dengan harga yang lebih rendah.” (Ghazanfar, 2005)
Al-Ghazali juga nampaknya begitu mengerti tentang ‘price-inelastic’ demand. Hal ini terlihat pada anjurannya untuk tidak mengambil keuntungan yang tinggi dalam perdagangan barang-barang kebutuhan dasar manusia seperti makanan.
Uang diciptakan untuk memfasilitasi pertukaran dalam transaksi ekonomi. Al-Ghazali sangat memahami fungsi uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange). Tukar-menukar barang dan jasa tidak akan efektif jika hanya mengandalkan sistem barter. Di sinilah manfaat ciptaan Allah bernama Dinar dan Dirham yang memiliki nilai intrinsic dan dapat digunakan sebagai alat pertukaran. Al-Ghazali mengatakan “kepemilikan uang (dinar dan dirham) tidak bermanfaat kecuali jika digunakan sebagai alat pertukaran barang dan jasa.” (Ghazanfar, 2005)
Uang tidak hanya berfungsi sebagai alat pertukaran tapi juga sebagai pengukur nilai (measure of value). Al-Ghazali mengingatkan supaya tidak menggunakan uang dalam praktik riba seperti dalam perkataannya:
“jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya. Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din)
Al-Ghazali juga memikirkan tentang fungsi Negara dan penguasa dalam pengaturan aktivitas ekonomi. Kemajuan ekonomi akan tercapai jika terjadi keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan stabilitas. Dan ini merupakan ruang lingkup tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Selain itu, Al-Ghazali juga berbicara tentang konsep keuangan publik. Pendapatan negara didapatkan dari zakat, fai, ghanimah dan jizyah. Sementara untuk pengeluaran publik, Al-Ghazali menganjurkan perlunya membangun infrastruktur sosio ekonomi yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
*)Penulis adalah Master Student in Economics, IIUM. Rep:
Red: Sumber
Minggu, 27 November 2011
Sabtu, 26 November 2011
Fazlur Rahman
STUDI HADIS FAZLUR RAHMAN
(Disarikan dari buku Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965)
Oleh : Anjar Nugroho
1. Pendahuluan
Pada mulanya, Fazlur Rahman, seorang intelektual neo-modernis, merasakan kegelisahan akademik, yang juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu tertutupnya rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa di kalangan umat Islam. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhjadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan.
Kegelisahan Rahman berikutnya adanya fenomena di kalangan pembaharu Islam yang dalam melakukan pembaharu umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory.
Studi Fazlur Rahman terhadap hadis memiliki arti yang sangat penting terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan oleh studi sanad, yang menutrut ia, walau memberi informasi biografis yang kaya, tetapi tidak dapat dijadikan argumentasi positif yang final. Umat Islam dewasa ini, menurut Rahman, membutuhkan upaya yang metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya.
Fazlur Rahman telah menelaah karya-karya intelektual sebelunya yang terkait dengan studi hadis, antara lain Ignaz Goldziher, Margoliouth, H. Lammens, dan Joseph Schacht. Ruang lingkup studi Rahman adalah hadis yang dimulai kajiannya dari konsep-konsep sunnah pada awal sejarah Islam sampai formalisasi hadis, serta menawarkan sebuah pendekatan historis dalam studi tersebut. Maka kata kuncinya adalah sunnah yang hidup (living sunnah), idea moral ( ratio legis), dan legal spesifik.
Studi hadis Fazlur Rahman memberikan beberapa kontribusi yaitu pengetahuan baru tentang metode kritik terhadap hadis, memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik dan atomistik, dan memberi sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih feasible terhadap tantang jaman.
Fazlur Rahman mengawali penulisannya dengan memaparkan secara singkat kegelisahan intelektualnya tentang kondisi real umat Islam yang terbelenggu dengan tertutupnya pintu ijtihad.. Selanjutnya Rahman menguraikan evolusi historis hadis dari perkembangan awal hadis di masa Nabi.Pada akhirnya Rahman menawarkan metodologi dalam studi hadis untuk mengembalikan kembali hadis menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) melalui pendekatan historis yang dipadu dengan pendekatan sosiologis.
2. Problem (Kegelisahan Akademik)
Bermula dari kegelisahan paling mendasar dari seorang intelektual neo-modernis, Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondosif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis.
Tertutupnya pintu ijtihad telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada kebutuhan terhadap taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhjadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam – al-Qur’an dan Sunnah nabi – umat Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan ahistoris, literalistis dan atomistis.
Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi – sebagaimana disaksikan oleh Fazlur Rahman -, mereka dalam melakukan pembaharuan umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi – tanpa mempertimbangkan latar kesejarahannya – kemudian menyusunnya ke dalam sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat – tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi – jelas merupakan pembaharuan yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan konsisten”.[1]
Dalam iklim pembaharuan yang lesu semacam ini munculah Fazlur Rahman dengan menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian hadis dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin segar terhadap arah pembaharuan ajaran Islam yang lebih paradigmatis.
3. Pentingnya Topik Penelitian
Studi Fazlur Rahman terhadap hadis memiliki arti yang sangat penting terhadap pembaharuan pemikiran Islam, khususnya sumbangannya dalam bidang metode dan pendekatan. Pendekatan historis yang ia tawarkan adalah kontribusi positif terhadap studi hadis yang selama ini disibukkan oleh studi sanad, yang menutrut ia, walau memberi informasi biografis yang kaya, tetapi tidak dapat dijadikan argumentasi positif yang final.
Umat Islam dewasa ini, menurut Rahman, membutuhkan upaya yang metodologis untuk mencairkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi historis terhadapnya. Upaya itu perlu, untuk memilahkan dalam kandungan hadis sisi-sisi normativitas dari sisi-sisi historisitasnya, sehingga muncul gagasan idea moral hadis yang dapat dijadikan sebagai basis etika dalam mengembangkan formula baru ajaran Islam yang adaptatif terhadap perkembangan jaman.
Untuk selanjutnya, tidak berlebihan jika apa yang Fazlur Rahman tawarkan merupakan prinsip-prinsip yang tidak hanya berguna bagi yurispridensi Islam, tetapi juga bagi keseluruhan pemikiran Islam.
4. Hasil Penelitian Terdahulu
Studi Fazlur Rahman tentang hadis merupakan respon terhadap kontroversi yang berkepanjangan mengenai sunnah dan hadis di Pakistan, dan terhadap situasi kesarjanaan Barat. Di bawah ini adalah gambaran secara singkat situasi kesarjanaan Barat terkait dengan konsep sunnah dan hadis.
Ignaz Goldziher dapat dikatakan sebagai sarjana Barat pertama yang melakukan studi kritis hadis. Dalam karya munomentalnya, Muhammadanische Studien (vol. 2, 1890), ia mengemukakan bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadis yang terus membengkak pada masa-masa selanjutnya, dan karena dalamsetiap generasi Muslim materi hadis berjalan pararel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi yang seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menemukan hadis-hadis yang orisinil berasal dari Nabi.[2]
Margoliouth dalam Early Development of Islam, mengemukakan bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnnah yang dipraktekkan kaum Muslim awal sama sekali bukan merupakan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al-Qur’an. Margoliuoth juka mengemukakan bahwa dalam rangka memberikan otoritas dan normativitas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad kedua Hijriyah telah mengembangkan kosep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme hadis untuk merealisasikan konsep tersebut.[3]
H. Lammens, dalam bukunya Islam ; Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang sama dengan Margoliouth dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek sunnah pasti sudah mendahului perumusannya dalam hadis.[4]
Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, menyatakan – sebagaimana Margoliuth – bahwa konsep sunnah Nabi merupakan kreasi kaum Muslim belakangan. Menurutnya sunnah mencerminkan kebiasan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” dan “tradisi yang hidup” itu adanya mendahului hadis (tradisi Nabi), Ketika hadis pertama kali beredar – sekitar menjelang abad kedua hijriyah – ia tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tabi’in, baru pada tahap berikutnya, dirujukkan kepada sahabat dan Nabi.[5]
Dalam kajiannya mengenai sunnah dan hadis, Rahman memang mengkonfirmasi temuan-temuan atau teori-teori para sarjana Barat tentang hal itu, tetapi dia tidak sepakat dengan teori mereka bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum Muslim yang belakangan. Bagi Rahman, konsep Sunnah Nabi merupakan “konsep yang shahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa”.[6] Dan dari sinilah posisi unik Rahman di antara pemikir-pemikir Barat yang telah terlebih dahulu melakukan studi terhadap hadis. Rahman tidak apriori terhadap eksistensi hadis dalam hasanah pemikiran Islam, tetapi juga tidak menerima begitu saja teori resmi dan baku tentang hadis yang terwadahi dalam ulumul hadis versi ulama-ulama hadis. Dan yang terpenting dalam studi Rahman terhadap hadis adalah, bagaimana ia menawarkan pandekatan dan metode baru dalam memahami dan mengoperasikan hadis dalam khasanah intelektual Muslim dewasa ini.
5. Kerangka Teori dan Pendekatan
Secara garis besar, menurut Fazlur Rahman, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept) dari pada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak. Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat disimpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku (behavioral term), oleh karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi, demikian tegas Rahman, merupakan petunjuk arah (pointer in the direction) dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti (an exactly laid-out series of rulers).[7]
Berdasarkan asumsi itu, Rahman mengintrodusir teorinya tentang penafsiran situasional terhadap hadis. Ia menegaskan bahwa kebutuhan kaum Muslim dewasa ini adalah melakukan revaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadis dan reinterpretasi dengan sempurna terhadap hadis sesuai dengan kondisi-kondisi moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendekatan historis dalam studi hadis, yakni mengembalikan hadis menjadi “sunnah yang hidup” dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya.[8]
Penafsiran situasional tersebut, menurut Rahman, akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin keagamaan harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali, seperti masalah determinisme dan free-will (karsa bebas) manusia yang tercermin dalam hadis-hadis. Hadis-hadis ini harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Penafsiran situasional yang sama, menurut Rahman, juga harus dilakukan terhadap hadis-hadis hukum. Hadis-hadis ini, demikian harus dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be re-treated) dan bukan dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang dapat secara langsung dipergunakan (a ready-made law).[9]
Pendekatan historis dalam “penafsiran situasional” ala Fazlur Rahman mengisyaratkan adanya beberapa langkah strategis. Pertama, memahami makna teks Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat pada periode nabi secara umum (asbab al-wurud makro), termasuk di sini pula sebab-sebab munculnya hadis (asbab al-wurud mikro). Di samping itu juga memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang relevan. Hal ini penting, karena Rahman memandang bahwa kreterium penilai yang handal untuk otentisitas pemaknaan hadis adalah dua hal, yakni sejarah dan al-Qur’an. Dari langkah ini dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legis) dari ketetapan legal spesifiknya, dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip idea moral dari hadis tersebut.
Langkah berikutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip idea moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.
Contoh operasi metodologis pendekatan historis dalam studi hadis yang ditawarkan Fazlur Rahman dapat ditemukan dalam uraiannya tentang riba dalam bukunya Islamic Methodology in History sebagai berikut :
Al-Qur’an … menjelaskan alasan yang sesungguhnya di balik pelarangan riba dengan mengatakan bahwa riba tidak dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi komersial karena ia merupakan suatu proses yang dengannya modal berlipat ganda secara tidak wajar. Hadis historis mengkonfirmasi hal ini dengan memberi informasi kepada kita behwa riba, dalam kenyataannya, merupakan praktek orang-orang Arab pra-Islam. Tetapi kita telah melihat ketegasan moral yang dengannya opini legal telah memasukkan berbagai aktivitas dalam definisi riba dengan merumuskan suatu prinsip umum bahwa “setiap pinjaman yang memberi keutungan kepada kreditur adalah riba”. Dalam nada yang sama dikatakan bahwa riba secara eksklusif berlaku terhadap bahan-bahan makanan, emas, dan perak, serta tidak berlaku terhadap hal-hal lainnya. Ini secara tegas menyiratkan arti bahwa, sebagai contohnya, sejumlah kapas boleh dipinjamkan dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian ia harus dikembalikan dalam jumlah yang lebih banyak selaras dengan kehendak kreditor. Hal semacam ini, tentu saja, bertentangan dengan prinsip umum yang baru saja dikutip. Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa yang hendak diformulasikan secara kaku adalah penafsiran moral yang progresif terhadap larangan al-Qur’an tersebut. Sudah barang tentu kita tidak bisa menerima penafsiran yang moral-legal yang spesifik ini dalam segala situasi dan kondisi. Lebih lanjut, bahwa bunga bank dewasa ini secara sah dicakup oleh definisi perdagangan sulit untuk disangkal. Ahli-ahli ekonomi dan moneter sajalah yang dapat menentukan apakan bank tanpa bunga dapat berfungsi atau tidak. Jika dapat berfungsi, syukurlah. Tetapi jika tidak, maka menegaskan bahwa (sistem) perbankan komersial dewasa ini – denagn perekonomian yang amat terkontrol – masuk dalam larangan al-Qur’an dan sunnah Nabi sama sekali tidak menunjukkan kejujuran terhadap sejarah dan agama tetapi menunjukkan krisis kepercayaan manusia yang akut dan sinisme yang tak kenal kompromi.[10]
Dalam contoh penafsiran hadis di atas, terlihat Rahman memandang hadis-hadis legal mengenai riba sebagai formulasi kaum Muslim belakangan, meski ia tidak merujuk secara langsung hadis-hadis tersebut. Di sisi lain, terlihat bahwa penafsiran situasional terhadap hadis hukum – yang tentu saja dipandang olehnya sebagai interpretasi kreatif kaum Muslim awal terhadap sunnah ideal Nabi – didasarkan pada hadis historis dan norma moral al-Qur’an, dengan memperhatikan secara cermat kondisi kesejarahannya : “Hanya dengan memahami latar belakang yang terdiri atas hal-hal yang telah diketahui secara pasti tentang Nabi dan Umat awal (di samping al-Qur’an), kita dapat menafirkan hadis hukum (teknis)”.[11]
6. Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian
Studi Fazlur Rahman ini ruang lingkupnya adalah hadis yang dimulai kajiannya dari konsep-konsep sunnah pada awal sejarah Islam sampai formalisasi hadis, serta menawarkan sebuah pendekatan historis dalam studi tersebut. Maka kata kunci yang digunakan oleh Fazlur Rahman antara lain : sunnah yang hidup (living sunnah), idea moral (ratio legis), dan legal spesifik.
7. Kontribusi dalam Ilmu-Ilmu Keislaman
Studi hadis Fazlur Rahman memberikan beberapa kontribusi terhadap pengembangan pemikiran Islam, antara lain ; Pertama, memberikan pengetahuan baru tentang metode kritik terhadap hadis yang selama ini didominasi oleh metode kritik sanad yang menjadi manhaj paling absah untuk menilai otentisitas hadis. Kedua, memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik dan atomistik. Ketiga, seluruh bangunan pemikiran Rahman, khususnya yang terkait dengan pemikiran atas sumber-sumber syari’ah, (al-Qur’an dan sunnah), adalah sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih feasible terhadap tantang jaman.
8. Logika dan Sistematika Penulisan
Fazlur Rahman memulai penulisan studi hadisnya di dalam karya yang sangat monumental, Islamic Methodology in History, dengan memaparkan secara singkat kegelisahan intelektualnya tentang kondisi real umat Islam yang terbelenggu dengan tertutupnya pintu ijtihad. Pemaparan sejenis secara lebih memadai penulis dapatkan di buku Rahman yang lain, misalnya, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition. Selanjutnya Rahman menguraikan evolusi historis hadis dari perkembangan awal hadis di masa Nabi, lalu munculah ‘sunnah yang hidup’ hingga masa tadwin (bahasa Rahman : formasilisasi hadis). Ketika hadis belum diformalisasikan pada sekitar abad 2 Hijriyah, khasanah pemikiran Islam mengalami perkembangan yang dinamis dengan menerapkan pilar utama pemikiran Islam, yakni al-Qur’an, sunnah, ijtihad, dan ijma’, akan tetapi, begitu tulis Rahman, ketika umat Islam memasuki era formalisasi hadis (terjadi pergeseran dari sunnah ke hadis), yang terjadi adalah tertutupnya rapat-rapat intellectual exercise untuk mengaktualkan sunnah Nabi secara adil dan proporsional.
Pada akhirnya Rahman menawarkan metodologi dalam studi hadis untuk mengembalikan kembali hadis menjadi sunnah yang hidup (living sunnah) melalui pendekatan historis yang dipadu dengan pendekatan sosiologis. Dalam pembahasan ini, Rahman juga menampilkan beberapa contoh hadis yang kemudian ia analisis berdasarkan metode dan pendekatan yang ia tawarkan sebelumnya. Dari sini dapat dilihat konsistensi pemikiran Rahman tentang hadis, baik dalam ranah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
BIBLIOGRAFI
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965
____________, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984
____________, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago ; The University of Chicago Press, 1982
Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen & Unwin, 1971
Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at The Clarendon Press, 1971, h. 2-58, 80-189
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994
[1] Lihat Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi Atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan, 1994, h. 39-40
[2] Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen & Unwin, 1971, h. 38
[3] Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984, h. 45
[4] Ibid., h. 55
[5] Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxfort at The Clarendon Press, 1971, h. 2-58, 80-189
[6] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965, h. 5-6
[7] Ibid., h. 12
[8] Ibid., h. 77-78
[9] Ibid., h. 78
[10] Ibid., h. 79-80
[11] Ibid., 81
Kamis, 24 November 2011
KONSEP EKONOMI ISLAM UNTUK KESEJAHTERAAN
Oleh :Dr. H. Saparuddin Siregar SE Ak. MAg / Wakil Ketua BAZDASU
Prodi Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN SU
ABSTRAKSI
Tujuan ekonomi adalah kemakmuran, dimana kemiskinan ditekan pada angka yang minimal. Berbagai kebijakan negara disusun untuk mencapai kesejahteraan ini, namun kebijakan saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan sikap pemimpin yang amanah. Sistem ekonomi Islam yang telah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan bahwa kepemimpinan yang amanah mampu menekan kemiskinan sampai titik yang terendah.
A. Pendahuluan
Umat Islam memiliki jumlah populasi yang besar di Indonesia,[1] namun populasi yang besar ini tidak didukung oleh kualitasnya yang tinggi, sehingga Umat Islam secara umum masih mengalami ketertinggalan dalam ekonomi. [2]
Model Ekonomi Negara sesuai konsepsi Islam adalah sistem ekonomi yang terbebas dari Maysir, Gharar dan Riba (“Maghrib”), dimana pengelola ekonomi haruslah orang-orang yang amanah.
Melalui makalah ini akan diuraikan beberapa pengertian tentang kemiskinan, beberapa konsep mengatasinya dan suatu uraian ringkas bukti sejarah diterapkannya ekonomi islam dengan amanah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana hanya dalam masa 2 tahun kepemimpinannya telah berhasil menghapus kemiskinan.
B. Kemiskinan dan Cara Pemecahannya
Kemiskinan mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal dari asal kata fakir dengan awalan ke dan akhiran an.[3] Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin dengan pengertian orang yang sangat kekurangan. Al-Qur’an memakai beberapa kata dalam menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin, al-sail, dan al-mahrum, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Kata fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan kata miskin disebut sebanyak 25 kali, yang masing-masing digunakan untuk pengertian yang hampir sama.[4]
Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-berdayaan – ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, kelompok, bangsa bahkan negara yang menyebabkan kondisi tersebut rentan terhadap timbulnya berbagai permasalahan kehidupan sosial.[5]
Berdasarkan cara pandang , kemiskinan dapat dibagi kepada kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang dipandang dari pendapatan masyarakat yang secara nyata di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain. Kemiskinan jenis ini sering dikaitkan karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan.
Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi kepada kemiskinan kultural dan struktural.
1. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
2. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kemiskinan natural dan kemiskinan buatan (artificial)[6]
1. Kemiskinan natural berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan, hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Kemiskinan natural juga berhubungan dengan faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita.[7] disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah yang terisolir.
2. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan kultural maupun struktural dapat dilakukan strategi masing-masing sebagai berikut.[8]
Mengatasi kemiskinan struktural
Kemiskinan Struktural diatasi melalui kebijakan pemerintah dalam bidang Ekonomi, pendidikan dan kelembagaan
a. Bidang ekonomi
1) Kebijakan pemerintah dan regulasi sosial tentang ekonomi masyarakat pedesaan
2) Pemberdayaan sektor riil dan peningkatan produktifitas
3) Ekonomi berbasis agama
4) Perempuan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat
5) Pengaturan kepemilikan
b. Pendidikan
6) Pesantren sebagai center for community development yang efektif untuk akselerasi penyejahteraan masyarakat muslim pedesaan
7) Pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan berbasis pesantren atau lembaga-lembaga keagamaan sejenis dan pentingnya konservasi lingkungan hidup
8) Pesantren masyarakat, dan kewirausahaan
9) Pengembangan Ekonomi Pesantren melalui Paradigma Integrasi dan Interkoneksi Keahlian
10) Pengembangan Ekonomi masyarakat pedesaan, pesantren dan potensi pariwisata
c. Kelembagaan
11) Revitalisasi dan rekonseptualisasi tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI)
12) Kinerja MUI
13) Kelembagaan BAZDA
14) Lembaga DOMPET DHUAFA
15) Peran lembaga-lembaga sosial keagamaan
16) Organisasi Keagamaan dan kiprah ulama
17) Wakaf tunai
Mengatasi kemiskinan Sosial Kultural
Untuk mengatasi kemiskinan ini dilakukan melalui pemahaman umat beragama tentang: ajaran agamanya, fenomena alam, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai sosial
1) Pemahaman umat beragama tentang agamanya
2) Pemahaman umat beragama tentang kemiskinan dan fenomena alam
3) Pemahaman umat beragama tentang nilai-nilai budayanya.
4) Masyarakat religius pedesaan dan potensi ekonomi lokal untuk pengentasan kemiskinan
5) Hambatan pengembangan ekonomi dari pemahaman Islam yang sempit
6) Pandangan umat Islam tentang pengembangan jaringan ekonomi masyarakat
7) Agama dan pemberdayaan kaum miskin
8) Islam dan Etos Kerja
9) Tasawuf dan Business
10) Institusional Ritual Agama
11) Amal ibadah
12) Dakwah dan Pengembangan Masyakarat Islam
13) Kriminalitas dan kemiskinan
14) Kearifan Lokal
15) Pemahaman umat beragama tentang alam
C. Umar bin Abdul Azis dan Reformasi ekonomi
1. Biografi
Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H, pada umur 38 tahun ia dibai’at menjadi khalifah Bani Umayyah dan hanya memimpin selama 2 tahun. Ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malijk), tetapi Sulaiman berwasiat menunjuk langsung Umar sebagai penggantinya. Umar adalah sepupu Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.
Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik bin Marwan. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim bin Umar bin Khattab. Dengan demikian Umar bin Abdul Aziz adalah cicit dari Umar bin Khattab.
Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II
Silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa Umar bin Khattab.
Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Ibu : “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”
Anak : “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”
Ibu : “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Anak : “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.[9]
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.
2. Reformasi ekonomi Umar Bin Abdul Aziz
a. Memulai dari diri sendiri dan keluarga
Umar Bin Abdul Aziz melakukan perbaikan dalam kehidupan Negara yang luas dengan memulai dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkanya kepada keluarga intinya dan selanjutnya kepada keluarga istana yang lebih besar. Langkah pertama yang ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri, keluarga dan istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi yang besar yang abadi dalam sejarah. Umar bin Abdul Aziz memulai dari diri dan keluarganya agar tidak hidup dengan bermewah-mewahan, bahkan gajinya sebagai seorang khalifah pun tidak diambil karena sudah kecukupan dari kekayaan pribadinya dan gaji tersebut diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Begitu selesai dilantik Umar segera memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya, baik berupa uang maupun barang, ke Kas Negara, termasuk pakaiannya yang mewah. Ia juga menolak tinggal di istana, ia tetap menetap di rumahnya. Pola hidupnya berubah secara total, dari seorang pecinta dunia menjadi seorang zahid yang hanya mencari kehidupan akhirat yang abadi. Sejak berkuasa ia tidak pernah lagi tidur siang, mencicipi makanan enak. Akibatnya, badan yang tadinya padat berisi dan kekar berubah menjadi kurus dan ceking.
Setelah selesai dengan dirinya sendiri, ia melangkah kepada keluarga intinya. Ia memberikan dua pilihan kepada istrinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadi mu ke kas Negara atau kita harus bercerai.” Tapi istrinya Fatimah Binti Abdul Malik, memilih ikut bersana suaminya dalam kafilah reformasi tersebut.
Langkah itu juga ia lakukan dengan anak-anaknya. Suatu saat anak-anaknya memprotesnya karena sejak beliau manjadi khalifah mereka tidak pernah lagi menikmati makanan-makanan enak dan lezat yang biasa mereka nikmati sebelumya. Tapi Umar justru menangis tersedu-sedu dan memberikan dua pilihan kepada anak-anak, “Saya beri kalian makanan yang enak dan lezat tapi kalian harus rela menjebloskan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.”
Selanjutnya, Umar melangkah ke istana dan keluarga istana. Ia memerintahkan menjual seluruh barang-barang mewah yang ada di istana dan mengembalikan harganya ke kas Negara. Setelah itu ia mulai mencabut semua fasilitas kemewahan yang selama ini diberikan ke keluarga istana satu persatu dan perlahan-lahan. Keluarga istana melakukan protes keras, tapi Umar tetap tegar menghadapi mereka.
b. Gerakan Penghematan
Langkah kedua yang dilakukan Umar Bin Abdul Aziz adalah penghematan total dalam penyelenggaraan Negara. Langkah ini jauh lebih mudah dibanding langkah pertama, karena pada dasarnya pemerintah telah menunjukkan kredibilitasnya di depan public melalui langkah pertama. Tapi dampaknya sangat luas dalam menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi ketika itu.
Sumber permborosan dalam penyelenggaraan Negara biasanya terletak pada struktur Negara yang tambun, birokrasi yang panjang, administrasi yang rumit. Tentu saja itu disamping gaya hidup mewah para penyelenggaranya. Setelah secara pribadi beliau menunjukkan tekad untuk membersihkan KKN dan hidup sederhana, maka beliau pun mulai memberishkan struktur Negara dari pejabat korup. Selanjutnya beliau merampingkan struktur Negara, memangkas rantai birokrasi yang panjang menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara itu Negara menjadi sangat efesien dan efektif.
Sebuah contoh penghematan, suatu saat gubernur Madina mengirim surat kepada Umar Bin Abdul Aziz meninta tambahan blangko surat untuk beberapa keperluan administrasi kependudukan. Tapi beliau membalik surat itu dan menulis jawabanya, “Kaum muslimin tidak perlu mengeluarkan harta meraka untuk hal-hal yang tidak perlu mereka perlukan, seperti blangko surat yang sekarang kamu minta.”
Umar bin Abdul Aziz melarang kepada para pejabat negara dalam menghamburkan kekayaan umat/negara, dan memerintahkan untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah diambilnya secara illegal, jika harta perorangan yang dirampas segera mengembalikan kepada pemiliknya, dan jika pemiliknya sudah tiada harta itu dikembalikan kepada ahli warisnya dan bila tidak didapati maka dikembalikan ke Baitul Mal.
c. Redistribusi Kekayaaan Negara
Langkah ketiga adalah melakukan redistribusi kekayaan Negara secara adil. Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, pada dasarnya Umar telah menghemat belanja Negara, dan pada waktu yang sama mensosialosasikan semangat bisnis dan kewirausahaan di tengah masyarakat. Dengan cara begitu Umar mamperbesar sumber-sumber pendapatan Negara melalui zakat, pajak dan jizyah.
Dalam konsep distribusi zakat penetapan delapan objek penerima zakat atau mustahiq, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah bentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberbedayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan menigkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat ikut merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat yang selanjutnya mendorong meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi, pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolute, tapi juga dapat menjadi factor stimulan. Bagi pertumbuhan ekonomi secara makro.
Di masa Umar Bin Abdul Aziz. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah pemerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagika zakat, tapi tak seorangpun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahiq zakat benar-benar habis secara absolute, sehingga Negara mengalami surplus. Redistribusi kekayaan Negara selanjutnya di arahkan kepada subsidi pembayaran utang-utang pribadi (swasta), dan subsidi social dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi tanggungan Negara, seperti biaya perkawinan.
Suatu saat akibat surplus yang berlebih Negara mengumumkan bahwa “Negara akan menangung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah di usia muda.
Semua kebutuhan rakyat ini dipenuhi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada rakyatnya: "Apa-apa yang kalian inginkan kirimkan surat kepadaku pasti aku penuhi". Maka pada waktu itu sistem takaful sosial (jaminan sosial sudah diimplementasikan secara penuh). Kebutuhan-kebutuhan rakyat semua telah dipenuhi baik yang bersifat kebutuhan dasar ekonomi, sosial maupun pendidikan dan kesehatan. Semua gaji pegawai yang asalnya kecil dapat dinaikan bahkan dalam suatu riwayat Umar bin Abdul Aziz setiap hari memanggil-manggil
" Aina al- Muhtajun? Aina al-Ghorimun Aina an-Nakihun?" (Mana rakyatku yang membutuhkan bantuan? Mana orang-orang yang banyak hutangnya? Mana orang-orang mau menikah tapi tidak punya modal? Maka akan aku penuhi kebutuhan-kebutuhan kalian).
Pada suatu hari seseorang rakyatnya yang bernama Anbasah bin Saad datang kepada Umar bin Abdul Aziz meminta kebutuhannya, untuk mengetahui konsep kecukupan itu (Haddu al- Kifayah). Kemudian Umar bin Abdul Aziz bertanya kepadanya: Ya, Anbasah Jika Anda memiliki harta yang halal maka cukuplah itu, dan jika harta itu haram jangan kau tambahkan keharaman itu, beritahulah kami! Apakah kamu membutuhkan bantuan? Dia menjawab tidak, kemudian Umar bertanya lagi: Apakah kamu punya hutang? Dia menjawab tidak. Kemudian Umar bin Abdul Aziz berkata:
"Bagaimana kami memberikan harta Allah kepadamu padahal kamu tidak membutuhkannya, jika Aku memberikan harta itu kepadamu berarti kami meninggalkan hak orang-orang fakir, dan jika kamu orang yang banyak hutangnya, maka akan aku penuhi hutangmu itu dan jika kamu orang yang membutuhkan maka akan aku beri kamu agar kamu dapat mandiri, Bertaqwalah kepada Allah, dari mana harta ini kami kumpulkan, intropeksilah dirimu sebelum Allah menanyakan pertanggung jawabanmu di hari kelak.
Dalam mereformasi kondisi masyarakat seperti ini Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijakan redistribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara adil, hal itu dengan cara menginventarisir kebijakan-kebijakan pemimpin sebelumnya mana yang sudah sesuai pada tempatnya dan mana yang masih menyeleweng. Maka Umar bin Abdul Aziz mengkritik pemimpin sebelumnya (Sulaiman bin Abdul Malik) dalam strategi pemerataan pembangunan dan pendistribusian kepada rakyatnya dengan mengatakan: " Sungguh Saya melihat orang yang kaya semakin kaya dan orang yang miskin ditinggalkan dalam kondisi kefakirannya".
d. reformasi perpajakan
Untuk mencapai keseimbangan ekonomi. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, maka sektor perpajakan adalah menjadi perhatiannya yang paling besar, karena dari sektor inilah semua sistem keadilan dan pertumbuhan ekonomi dimulai. Maka kebijakan reformasi perpajakan sangat penting, yaitu dengan menempatkan perpajakan secara proporsional, artinya; semua masyarakat dari kelas teri sampai kelas kakap semua warga negara dikenai pajak sesuai dengan banyak dan sedikitnya kekayaan yang masyarakat miliki (Kekayaan Kena Pajak (KKP)).
Berbeda dengan masa sebelum Umar bin Abdul Aziz memerintah, sistem perpajakan ini sangat amburadul, dan banyak kekayaan ini didapatkan dari penindasan kepada masyarakat kecil dan para konglomerat dibebaskan dari perpajakan. Maka Umar bin Abdul Aziz menerapkan keadilan dan menempatkan kebijakan perpajakan sesuai dengan porsinya. Dan dia mengatakan bahwa Rasulullah diutus sebagai petunjuk tidak sebagai pengambil pajak. Dan perkataan ini juga dilengkapi oleh Ali, RA. "Pemimpin yang mengambil pajak dan ia tidak membangun rakyatnya, maka dia telah merusak negaranya".
Tujuan dari pajak tidak lain adalah sebagai modal untuk membangun negaranya dengan berkeadilan sosial. Sehingga dengan demikian jurang pemisah antara kaya dan miskin akan hilang dalam tatanan sosial, karena adanya keadilan sesuai dengan proporsinya dan batas hidup layak telah terimplementasikan sebagai buah pembangunan yang bermodalkan dari pajak, zakat, SDA dan pendapatan negara lainnya.
e. Proteksi Kekayaan Negara dan Rasionalisasi Pembelajaan Anggaran.
Kekayaan umum (negara). Adalah kekayaan yang bersifat umum artinya semua unsur masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas hal itu. Karena terlalu banyaknya kekayaan negara, otomatis proteksi ini akan melemah dan otomatis akan terjadi penyelewengan, korupsi harta negara. Maka pengawasan ini sangat penting agar kekayaan negara dapat diamankan dari tangan-tangan pencuri yang berdasi.
Langkah Umar bin Abdul Aziz dalam hal ini adalah memilih pejabatnya dari orang-orang yang amanah, professional dan tidak boros dalam membelanjakan harta negara. Maka anggaran birokrasi, fasilitas pejabat dan anggaran pembelian senjata militer harus dirasionalisasikan agar penghematan keuangan negara dapat terwujud demi mencapai pembangunan bangsa yang berkeadilan sosial, adil dan makmur.
f. Mendorong Investasi dalam Berbagai sektor.
Umar bin Abdul Aziz menghimbau kepada rakyatnya agar berinvestasi dalam semua bidang; industri, pertanian, biro jasa dan pelayanan, perdagangan dan semua bentuk mata pencaharian yang menghasilkan pendapatan untuk mewujudkan program hidup layak yang berkeadilan. Baik investasi ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Karena dalam ajaran Islam juga mendorong akan hal ini baik investasi matriil (duniawi) maupun in-matriil (akhirat).
Umar bin Abdul Aziz menghimbau agar semua unsur ekonomi harus diberdayakan untuk mendapatkan pendapatan (materi/pahala) baik pemberdayaan itu berbentuk pemberdayaan SDM dengan kerja agar tidak ada pengangguran, investasi SDA dan penginvestasian modal finansial yang ada. Hal itu semua merupakan piranti/alat dalam mewujudkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada pertambahan ekonomi nasional. Karena pengangguran dan kemiskinan itu tidak sesuai dengan syariah Islam, maka jangan sampai ada harta benda yang tertimbun, semua unsur kehidupan ekonomi harus berjalan sesuai dengan fungsinya demi kemanfaatan masyarakat secara luas.
E. P e n u t u p
Dari uraian diatas tampak bahwa kemiskinan sesungguhnya dapat diatasi, namun sangat tergantung daripada sikap amanah penyelenggara negara dan political will negara.
Sumber
DAFTAR BACAAN
Abu Yusuf , al-Kharaj, (Bairut Lebanon: Dar al-Ma’rifah, t.t.).
http://iastudies.co.cc/usaha-memahami-kemiskinan-secara-multidimensional-ditinjau-dari-agama/ 22 Oktober 2011
Abdul Aziz Sayyid Al-Ahli, Umar bin Abdul Aziz, terjemahan (Jakarta: Samara Publishing, 2009)
Abdurrahman al-Baghdadi, Ulama dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988).
Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1985).
Narayan Deepa, dkk. Voice of Poor. (Woshington, DC: World Bank Publication, 2000)
Ellies, S. The Dimension of Poverty. Kumarian Press. 1994.
Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, (Jakarta: Belantika, 2004).
Kartasasmita, Ginanjar. Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Admintrasi pada fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawujaya, (Malang, 27 Mei 1995).
Lewis, Oscar. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1996.
Al-Maliki, Abdurahman., as-S iyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963.
Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.
Soendoro, T. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan: Tindakan Strategis untuk
Sudarwati, Ninik, Kebijakan Pengentasan Kemiskinan (Mengurangi Kegagalan Penanggulangan Kemiskinan. (Malang: Intimedia, 2009).
Supriatna, Tjahya. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora Utama Press. Bandung.1997.
Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. (Beirut Lebanon: Daarul Ummah, 1990) Cetakan keempat
Rabu, 23 November 2011
HERMENEUTIKA DAN METODE TAFSIR
A. Khudori Soleh
Abstract.
Hermeneutic as interpretation knowledge can be classified into three categories: objective, subjective, and liberation. 1). Objective hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text as the author means. 2). Subjective hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text based on the social context at this time without any consideration to the author thought. 3). Liberation hermeneutic means an effort to interpret and to understand the meaning of text based on the spirit of circumstance and try to make the result of interpretation as the spirit to change the life and the circumstance of the interpreter and the reader. In Islamic perspective, objective hermeneutic can be compared with tafsir bi al-ma’tsur, and subjective hermeneutic can be compared with tafsir bi al-ra’y.
However, hermeneutical discourse has been giving much contribution for the development of interpretation knowledge, so it can appear hermeneutic of liberation. It is a new penetration. If it is applied in Islam, interpretation does not only understand the meaning of al-Qur’an text as God means or based on the context, but also an effort how to make the result of interpretation as the spirit for Muslim society to change their society become better and the best.
Keyword: hermeneutic, tafsir and tradision.
Bagaimanapun baik dan agungnya sebuah teks suci, dalam hal ini al-Qur`an, ia tetap tidak akan bermakna tanpa intervensi pikiran dan kesadaran manusia. Artinya, interpretasi dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahamannya akan teks dalam kehidupan konkrit itulah, sesungguhnya, yang menyebabkan sebuah kitab suci menjadi agung dan bermakna. Dalam kaitannya dengan upaya memahami makna teks agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan tersebut, telah dikenal adanya banyak pendekatan dan metodologi, seperti tahlili, maudlû`i, muqâran, dan seterusnya. Metode-metode penafsiran ini akan terus bertambah dan berkembang sesuai dengan perkembangan metodologi serta pendekatan kontemporer.
Teori-teori hermeneutika yang berkembang di Barat saat ini, khususnya productive hermeneutics ala Gadamer, ternyata memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci. Metode ini telah mengilhami para sarjana muslim kontemporer seperti Arkoun, Hasan Hanafi, Farid Esack dan Nasr Hamid Abu Zaid, dalam melakukan interpretasi terhadap al-Qur`an. Tulisan ini menjelaskan teori-teori hermeneutika dan kaitannya dengan tafsir al-Qur`an tersebut.
Model-Model Hermeneutika.
Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks keagamaan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni maupun tradisi masyarakat.
Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.
Untuk mencapai tingkat seperti itu, menurut Schleiermacher, ada dua cara yang dapat ditempuh; lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi: (1) sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin, (2) sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan. Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya. Menurut Abu Zaid, diantara dua sisi ini, Schleiermacher lebih mendahulukan sisi linguistik dibanding analisa psikologis, meski dalam tulisannya sering dinyatakan bahwa penafsir dapat memulai dari sisi manapun sepanjang sisi yang satu memberi pemahaman kepada yang lain dalam upaya memahami teks.
Selanjutnya, untuk dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka tidak ada jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk kedalam tradisi dimana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.
Dalam aplikasinya pada teks keagamaan, penafsiran atas teks-teks al-Qur`an, misalnya, (1) kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatika bahasa Arab (nahw-sharaf) yang memadai, (2) memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga dengan demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh teks-teks tersebut. Begitu pula dalam kasus teks-teks sekunder keagamaan, seperti karya-karya al-Syafi`i (767-820 M). Selain memahami karakter bahasa dan istilah-istilah yang biasa digunakan, kita juga harus paham tempat dan tradisi dimana karya-karya tersebut ditulis. Qaul al-qadîm dan qaul al-jadîd disampaikan di tempat dan tradisi yang berbeda. Selain itu, juga harus memahami kondisi psikologis Syafi`i sendiri, apakah ketika itu menjadi bagian dari kekuasaan, sebagai oposan atau orang yang netral. Karya-karya Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya, sangat berbeda ketika ia berposisi sebagai bagian dari kekuasaan (menjadi hakim) dan saat menjadi filosof. Tanpa pendekatan-pendekatan tersebut, pemahaman yang salah –menurut Schleiermacher— tidak mungkin terelakkan.
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l. 1930). Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.
Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan, penulis telah “mati” dalam pandangan kelompok ini. Karena itu pula, pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi. Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan pikiran dan “kreativitas”. Sebaliknya, justru seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff). Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan pengalaman dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan berdasarkan tradisi si pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar mereproduksi ulang wacana yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru demi kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir.
Meski demikian, menurut Sumaryono, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap salah pertimbangan-pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam hermeneutika objektif, meski ia menganggap sebagai negatif atau rendah. Sebab, memang ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang menentukan realitas historis eksistensi seseorang, seperti bildung, misalnya. Namun, realitas historis masa lalu tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya sebuah kesinambungan. Bagi Gadamer, jarak antara masa lalu dan masa kini tidak terpisahkan oleh jurang yang menganga melainkan jarak yang penuh dengan kesinambungan tradisi dan kebiasaan yang dengannya semua yang terjadi di masa lalu menampakkan dirinya di masa kini. Inilah yang membentuk kesadaran kita akan realitas historis.
Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan kekinian, lepas dari bagaimana realitas historis dan asbâl al-nuzûl-nya dimasa lalu.
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (l. 1935) dan Farid Esack (l. 1959). Hermeneutika ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Menurut Hanafi, dalam kaitannya dengan al-Qur`an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Hermeneutika sebagai sebuah proses pemahaman hanya menduduki tahap kedua dari keseluruhan proses hermeneutika. Yang pertama adalah kritik historis untuk menjamin keaslian teks dalam sejarah. Ini penting, karena tidak akan terjadi pemahaman yang benar jika tidak ada kepastian bahwa yang difahami tersebut secara historis adalah asli. Pemahaman atas teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada kesalahan.
Setelah diketahui keaslian teks suci tersebut dan tingkat kepastiannya --benar-benar asli, relatif asli atau tidak asli-- baru difahami secara benar, sesuai dengan aturan hermeneutika sebagai ilmu pemahaman, berkenaan terutama dengan bahasa dan keadaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan teks. Dari sini kemudian melangkah pada tahap ketiga, yakni menyadari makna yang difahami tersebut dalam kehidupan manusia, yaitu bagaimana makna-makna tersebut berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan modern. Dalam bahasa fenemenologis, hermeneutika ini dikatakan sebagai ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran manusia dengan objeknya, dalam hal ini teks suci al-Qur`an; (1) memiliki “kesadaran historis” yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya, (2) memiliki “kesadaran eiditik” yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional, (3) “kesadaran praxis” yang menggunakan makna-makna tersebut sebagai sumber teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia, dan di dunia ini sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.
Secara lebih luas, hermeneutika Hasan Hanafi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kritik historis, untuk menjamin keaslian teks suci. Menurut Hanafi, keaslian teks suci tidak ditentukan oleh pemuka agama, tidak oleh lembaga sejarah, tidak oleh keyakinan, dan bahkan keaslian teks suci tidak dijamin oleh takdir. Takdir Tuhan tidak menjamin keaslian teks suci dalam sejarah, apalagi lembaga sejarah atau keyakinan; bahkan keyakinan dan lembaga sejarah bisa menyesatkan. Keaslian teks suci hanya bisa dijamin oleh kritik sejarah, dan kritik sejarah ini harus didasarkan aturan objektivitasnya sendiri yang bebas dari intervensi teologis, filosofis, mistis, atau bahkan fenomenologis.
Untuk menjamin keaslian sebuah teks suci, mengikuti prinsip-prinsip kritik sejarah, Hanafi mematok aturan-aturan sebagai berikut; (1) teks tersebut tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan tetapi harus ditulis pada saat pengucapannya, dan ditulis secara in verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Karena itu, narator harus orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat dituliskannya kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) Adanya keutuhan teks. Semua yang di sampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan dalam bentuk tulisan, tanpa ada yang kurang atau berlebih. (3) Nabi atau malaikat yang menyampaikan teks harus bersikap netral, hanya sekedar sebagai alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia, tanpa campur tangan sedikitpun dari fihaknya, baik menyangkut bahasa maupun isi gagasan yang ada di dalamnya. Istilah-istilah dan arti yang ada di dalamnya bersifat ketuhanan yang sinomin dengan bahasa manusia. Teks akan in verbatim jika tidak melewati masa pengalihan lisan, dan jika nabi hanya sekedar merupakan alat komunikasi. Jika tidak, teks tidak lagi in verbatim, karena banyak kata yang hilang dan berubah, meski makna dan maksudnya tetap dipertahankan.
Jika sebuah teks memenuhi persyaratan sebagaimana diatas, ia dinilai sebagai teks asli dan sempurna. Dengan kaca mata ini, Hanafi menilai bahwa hanya al-Qur`an yang bisa diyakini sebagai teks asli dan sempurna, karena tidak ada teks suci lain yang ditulis secara in verbatim dan utuh seperti al-Qur`an.
Kedua, proses pemahaman terhadap teks. Sebagaimana yang terjadi pada tahap kritik sejarah, dalam pandangan Hanafi, pamahaman terhadap teks bukan monopoli atau wewenang suatu lembaga atau agama, bukan wewenang dewan pakar, dewan gereja, atau lembaga-lembaga tertentu, melainkan dilakukan atas aturan-aturan tata bahasa dan situasi-situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.
Dalam proses pemahaman teks ini, Hanafi mempersyaratkan, (1) penafsir harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada. Tidak boleh ada keyakinan atau bentuk apapun sebelum menganalisa linguistis terhadap teks dan pencarian arti-arti. Seorang penafsir harus memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, kecuali alat-alat untuk analisa linguistik. (2) Setiap fase dalam teks, mengingat bahwa teks suci turun secara bertahap dan mengalami “perkembangan”, harus difahami sebagai suatu keseluruhan yang berdiri sendiri. Masing-masing harus difahami dan dimengerti dalam kesatuanya, dalam keutuhannya dan dalam intisarinya.
Ketiga, kritik praksis. Menurut Hanafi, kebenaran teoritis tidak bisa diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi bagi tindakan. Sebuah dogma akan diakui sebagai sistem ideal jika tampak dalam tindakan manusia. Begitu pula hasil tafsiran, akan dianggap positif dan bermakna jika dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas dasar fakta-fakta material. Karena itu, pada tahap terakhir dari proses hermeneutika ini, yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab, disinilah memang tujuan akhir dari diturunkannya teks suci.
Dengan demikian, ada tiga model hermeneutika yang berbeda. Pertama, hermeneutika objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa lalu; kedua, hermeneutika subjektif yang memahami makna dalam konteks kekinian dengan menepikan masa lalu; ketiga, hermeneutika pembebasan yang memahami makna asal dalam konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan --yang terpenting— pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-benar mampu menggerakan sebuah aksi dan perubahan sosial.
Hermeneutika dan Tafsir.
Berdasarkan definisi diatas, apa yang dimaksud hermeneutika sesungguhnya tidak berbeda dengan tafsîr dalam tradisi Islam. Menurut Dzahabi, tafsir adalah seni atau ilmu untuk menangkap dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan --dalam al-Qur`an-- sesuai dengan tingkat kemampuan manusia (bi qadr al-thâqah al-basyariyah). Dalam tradisi keilmuan Islam, tafsir ini kemudian berkembang menjadi dua aliran: tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’y. Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah interpretasi al-Qur`an yang didasarkan atas penjelasan al-Qur`an dalam sebagian ayat-ayatnya, berdasarkan atas penjelasan Rasul, para shahabat atau orang-orang yang mempunyai otoritas untuk menjelaskan maksud Tuhan, sementara tafsîr bi al-ra’y adalah interpretasi yang didasarkan atas ijtihad.
Dalam perbandingan diantara keduanya, model tafsir bi al-ma`tsûr sesuai dengan model hermeneutika objektif. Sebagaimana hermeneutika objektif yang berusaha memahami maksud pengarang dan masuk dalam tradisinya, tafsir bi al-ma`tsûr juga berusaha menangkap maksud Tuhan dalam al-Qur`an dengan cara masuk pada kondisi realitas historisnya saat turunnya ayat. Dalam pandangan tafsir bi al-ma`tsûr, yang paling mengetahui maksud Tuhan adalah Rasul, para shabat dan mereka yang sezaman. Kita tidak akan dapat menangkap maksud al-Qur`an tanpa bantuan mereka dan memahami realitas historis yang melingkupinya. Karena itu, metode tafsir bi al-ma’tsûr senantiasa mengikatkan dan menyandarkan diri pada tradisi masa Rasul, shahabat dan yang berkaitan dengan periode awal turunnya al-Qur`an.
Sementara itu, tafsir bi al-ra’y sesuai dengan model hermeneutika subjektif. Sebagaimana konsep hermeneutika subjektif, tafsir bi al-ra’y tidak memulai penafsirannya berdasarkan realitas-realitas historis atau analisa-analisa linguistik melainkan memulai dari prapemahaman si penafsir sendiri kemudian berusaha mencari legitimasinya atau kesesuaiannya dalam teks tersebut. Pernyataan ini dapat dilihat pada interpretasi yang dilakukan Ibn Arabi tentang ayat Dia membiarkan kedua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu (QS. al-Rahman, 19). Ibn Arabi yang sufistik memulai tafsirannya berdasarkan prinsip-prinsip ajarannya kemudian mencari dukungannya dalam teks. Karena itu, menurutnya, yang dimaksud dua lautan dalam ayat diatas adalah lautan substansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu dalam wujud manusia. Yang lain dapat dilihat pada al-Farabi, filosof yang terkenal dengan konsepnya tentang intelek aktif (al-`aql al-fa`âl). Baginya, kata al-malaikah bukan berarti makhluk supra-natural dan supra-rasional Tuhan dengan tugas-tgas khusus sebagaimana yang biasanya dipahami melainkan pengetahuan orisinil yang berdiri sendiri atau intelek aktif yang mengetahui persoalan yang Maha Tinggi. Ia adalah ruh suci, absolut dan dapat mengetahui dirinya sendiri.
Meski demikian jauh dan meski tafsir bi al-ra’y (sama juga hermeneutika subjektif) didasarkan atas ijtihad, tetapi ia masih lebih banyak berkutat dalam lingkaran wacana, belum pada aksi. Gadamer sendiri menyebut hermeneutika lebih hanya merupakan permainan bahasa, karena segala yang biasa dipahami adalah bahasa (being that can be understood is language). Kenyataan tersebut, menurut Hasan Hanafi, dikarenakan tradisi pemikiran Islam masih lebih bersifat teosentris daripada antroposentris, lebih banyak bicara tentang Tuhan daripada manusia sendiri. Hermeneutika pembebasan mengisi kekurangan-kekurangan tersebut. Bagi hermeneutika pembebasan, interpretasi bukan sekedar masalah memproduksi atau mereproduksi makna melainkan lebih dari itu adalah bagaimana makna yang dihasilkan tersebut dapat merubah kehidupan. Sebaik apapun konsep dan hasil interpretasi tetapi jika tidak mampu membangkitkan semangat hidup masyarakat dan merubah mereka berarti nol besar. Bohong.
Penutup.
Metode-metode hermeneutika di Barat, tanpa bermaksud apologi, sebenarnya ada kesesuaian dan tidak berbeda jauh dengan ilmu tafsir yang berkembang dalam tradisi pemikiran Islam. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dalam tradisi tafsir ini. Pertama, masalah struktur penalaran dengan argumen-argumen logis. Selama ini ada kesan bahwa metode-metode tafsir yang ada lebih bersifat dokmatis tanpa ada penjelasan dengan argumen-argumen logis, misalnya, kenapa harus lewat tahap itu dan kenapa begini. Pola kerjanya juga kurang terstruktur secara rapi sebagaimana hermeneutika.
Kedua, yang berkembang dalam tradisi tafsir justru model bi al-ma’tsûr yang klasik dan bukan model bi al-ra’y. Lebih dari itu, tafsir bi al-ra’y justru dianggap menyimpang atau minimal harus dijauhi. Akibatnya, ilmu-ilmu tafsir menjadi sangat ketinggalan dalam menjawab problem-problem masyarakat modern. Lebih parah lagi, karena tafsir bi al-ma’tsûr dianggap yang paling baik dan selamat, sebagian masyarakat menjadi anti kemoderenan dan harus kembali kepada masa klasik jika ingin menjadi muslim yang baik, benar dan selamat.
Ketiga, perkembangan tafsir masih lebih bersifat “teoritis” dan teosentris, belum banyak bicara tentang problem-problem umat Islam, apalagi soal-soal kemanusiaan dan ketertindasan. Inilah tantangan tafsir dimasa depan, sehingga al-Qur`an benar-benar mampu menjadi rahmah (membawa perubahan dan kebaikan), bukan sekedar hudan (petunjuk-petunjuk teoris setelah dipelajari), apalagi syifâ’ (obat dengan cara dibaca sebagai amalan-amalan wirid). Wallahua`lam.
Catatan Akhir.
Gadamer, “The Historicity of Understanding” dalam Mueler Volmer (ed), The Hermeneutics Reader, (New York, Continum, 1992), 261.
Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics” dalam Dagobert Russel (ed), Dictionary of Philosophy, (New York, Adams & Co, 1976), 126.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta, Gramedia, 1981), 225.
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985), 9-10. Rahman memasukkan juga Emilio Betti dalam tradisi hermeneutika objektif ini.
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London, Routlege & Kegan Paul, 1980), 29. Referensi lain, lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, al-Markaz al-Tsaqafi, tt), 11; Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1996), 31.
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, 14.
Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta`wîl, 12-3.
Bertens, Filsafat Barat Abad XX, 230.
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, 13;
Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, 231.
Ibid, 232; Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1996), 77
Sumaryono, ibid.
Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta`wîl, 38.
Nasr Hamid Abu Zaid, sekilas tampak berada pada posisi ketiga ini. Namun, menurut muridnya yang pernah dekat dengannya, Nur Ikhwan, Abu belum beranjak dari aturan baku Gadamer. Ia masih berada dalam lingkar model hermeneutika kedua. Paling tidak, salah satu kakinya masih berada pada model hermenutika subjektif, meski kakinya yang lain sudah mulai menginjak model hermeneutika pembebasan. Lihat Nur Ikhwan, “Al-Qur`an Sebagai Teks Hermeneutika Abu Zaid” dalam Abd Mustaqim (ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer, (Yogya, Tiara Wacana, 2002), 163.
Hasan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogya, Prisma, 2003), 109.
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), 1.
Ibid, 2.
Ibid, 4.
Ibid, 5-8.
Ibid, 16.
Ibid, 17. Untuk bentuk-bentuk operasionalisasi dari metode Hanafi ini, lihat A. Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogya, Jendela, 2003). Lihat juga idem, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogya, Pustaka Pelajar, 2004), 45-9.
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, 22-25.
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1976), 15
Ibid, 152 & 255.
Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta`wîl, 2. Meski demikian, menurut Abu Zaid, hal itu bukan berarti kita sama sekali mengabaikan teks dan apa yang ditunjukkan dalam maknanya. Bagi Zaid, teks al-Qur`an dan maknanya tetap tetapi lafat-lafat yang dipakainya yang itu merupakan kode-kode senantiasa memberikan pesan “baru” kepada kita. Dari situlah penafsir kemudian mampu menangkap signifikansi teks untuk kondisi saat ini. Lihat Abu Zaid, Al-Qur`an, Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Yogya, RqiS, 2003), 96.
Tafsir Ibn Arabi, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 280.
Ali al-Usiy, “Metode Penafsiran al-Qur`an” dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 4, 1992), 16.
Gadamer, Truth and Method, (New York, The Seabury Press, 1975), 450; Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics,116.
Hasan Hanafi, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsaurah, I, (Kairo, Maktabah Matbuli, 1991), 59.
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, 22-25.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid, Al-Qur`an, Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Yogya, RqiS, 2003).
----------, Isykâliyât al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, al-Markaz al-Tsaqafi, tt)
Bertens, K, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta, Gramedia, 1981).
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics, (London, Rautledge & Kegan Paul, 1980).
Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1976).
Gadamer, “The Historicity of Understanding” dalam Mueler Volmer (ed), The Hermeneutics Reader, (New York, Continum, 1992).
----------, Truth and Method, (New York, The Seabury Press, 1975).
Hanafi, Hasan, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994).
----------, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogya, Prisma, 2003).
----------, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsaurah, I, (Kairo, Maktabah Matbuli, 1991).
Ibn Arabi, Tafsir Ibn Arabi, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
Ikhwan, Nur, “Al-Qur`an Sebagai Teks: Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid” dalam Abd Mustaqim (ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer, (Yogya, Tiara Wacana, 2002)
Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogya, Jendela, 2003).
----------, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogya, Pustaka Pelajar, 2004).
Leidecker, Kurt F., “Hermeneutics” dalam Dagobert Russel (ed), Dictionary of Philosophy, (New York, Adams & Co, 1976).
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985)
Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1996).
Usiy, Ali, “Metode Penafsiran al-Qur`an” dalam Jurnal al-Hikmah, (Bandung, edisi 4, 1992).