SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Sabtu, 09 April 2011

PROBLEM HERMENEUTIKA DALAM PEWAHYUAN AL-QUR'AN

PROBLEM HERMENEUTIKA DALAM PEWAHYUAN AL-QUR'AN
Oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA
Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) dan Wakil Direktur Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ)


Pendahuluan
Akhir-akhir ini hermeneutika menjadi perbincangan yang kian menarik perhatian banyak ilmuan dan ulama, khususnya di Indonesia. Bukan hanya karena hermeneutik relatif mengemuka dan kian populer di tengah-tengah masyarakat akademik Indonesia khususnya, melainkan lebih karena implikasi yang ditimbulkan dari pendekatan yang ditawarkan terhadap penafsiran Al-Qur'an yang kerapkali memicu kontroversi di kalangan ummat Islam. Bahkan beberapa Kiai dengan tegas menolak rekomendasi hermeneutik sebagai salah satu metode istinbat hukum dalam suatu forum bahsul masa’il. Fenomena ini merupakan bagian dari potret masih kuatnya sebagian ummat Islam mempertahankan metode “salaf” dan adanya sikap apriori terhadap metode baru, yang harus diakui hingga saat ini relatif banyak yang terinspirasi dari Barat, ummat Islam masih sebatas memodifikasi dasar metode yang dimunculkannya.
Namun demikian banyak juga para peminat ilmu‑ilmu Tafsir dan Ulumul Qur'an yang tidak begitu mempersoalkan kehadiran hermeneutika di dalam memahami Al-Qur'an. Mungkin ini disebabkan karena luas dan dalamnya berbagai metode yang pernah digunakan para ulama di dalam memahami teks‑teks keagamaan. Selain Ulumul Qur'an dengan berbagai cabangnya, Ushul Fiqh dengan berbagai mazhabnya, dan seluk beluk ilmu bahasa Arab itu sendiri sudah lama menjadi wacana di dalam sejarah intelektual dunia Islam. Beberapa konsep dasar dalam hermeneutika itu mempunyai padanan yang hampir sama, di dalam metode keilmuan Islam. Mungkin karena ini para pakar yang berlatar‑belakang filsafat dan pemikiran modernlah yang lebih banyak mengintrodusir hermeneutika di dalam memahami teks‑teks keagamaan dalam Islam.


Teks dan Interpretasi: Masalah Baru untuk Nama Lama

           Penelusuran terhadap kajian teks suatu bahasa yang lebih akrab disebut filologi sempat memunculkan kerancuan antara sejarah terbentuknya teks dengan kepentingan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini sering dijumpai dalam beberapa kajian teks keagamaan (baca: kitab suci) atau penafsiran Al-Qur'an yang masih terus menyesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia. Filologi sebagai disiplin ilmu penyelidikan teks masih sering terjebak pada tekstualitas teks itu sendiri, sehingga dimensi diakronis[1] yang melekat pada teks kerapkali terabaikan. Bukan berarti menolak filologi sebagai ilmu yang secara teoritis memiliki kekuatan dalam mengkaji teks, tetapi sangat tidak mencukupi untuk “independen” dalam menghasilkan analisa teks yang ampuh. Sehingga pada gagasan ilmu ini, pengandaian terhadap penafsiran Al-Qur'an kerap kehilangan substansi pembacaan teksnya. Berbeda dengan beberapa kajian teks yang lebih bersifat budaya dan sejarah. Pada pembahasan ini, kajian filologi bisa menggunakan studi lapangan terhadap kultur suatu masyarakat dimana teks itu muncul. Dan analisa yang dilakukan cukup pada pemaknaan teks yang substansinya berangkat dari realitas sosial dan teks itu sendiri. Dari sini nampak kajian yang berbeda antara teks budaya dengan teks keagamaan. Dan keduanya tidak dapat disamakan secara total dalam melakukan analisa teks. Sementara itu, penafsiran Al-Qur'an yang kian variatif, sangat sulit bagi filologi untuk memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap segala karakter sosial idiologi, politik dan budaya teks Al-Qur'an.
           Kehadiran semantik sendiri sebagai bagian dari linguistik[2] yang dihadirkan oleh "Braille" di akhir abad 19 –masih menjadi perdebatan terhadap hadirnya semantik sebagai disiplin ilmu makna – dengan judul tesisnya Essai de Semantique[3] merupakan suatu perkembangan terhadap kebutuhan makna dalam ilmu kebahasaan. Semantik berupaya melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol teks yang berakar dari teks itu sendiri. Pembagian pemahaman makna dalam semantik disajikan dengan beragam latar belakang, mulai dari makna dalam perbedaan suara (fonetik), makna dalam perbedaan gramatikal, makna dalam perbedaan leksikal, dan makna dalam perbedaan sosiolinguistik. Sedangkan pada proses berikutnya semantik lebih memahami pada kontekstualitas teks untuk menghasilkan sebuah makna. Terdapat sedikit perbedaan antara semantik dengan semiotik yang masing-masing mengkaji simbol pemaknaan. Semantik lebih memahami simbol dalam kerangka teks sedangkan semiotik memahami simbol dalam kerangka fisik dan materi. Kedua-duanya hampir memiliki teori yang sama dalam melakukan aktivitas disiplin keilmuannya. Yang membedakan adalah cara kerja pemaknaan dan pendekatan dengan disiplin ilmu yang membantunya. Semantik lebih banyak berkutat pada psikologi simbol teks sehingga menghasilkan sebuah makna, sedangkan semiotik melakukan pendekatan sosiologi simbol benda dalam menghasilkan makna.
Pergulatan dalam analisa makna suatu teks dalam semantik terus berkembang hingga saat ini, baik yang menganalisa dari unsur leksikal, gramatikal, maupun kontekstual. Masing-masing memiliki daya analisa yang berkaitan, yang tidak dapat dilepaskan dalam kajian semantik. Pendekatan semantik dalam menafsirkan Al-Qur'an lebih terlihat pada pemaknaan yang mereposisikan teks Al-Qur'an pada tekstualitas dan kontekstualitasnya. Selanjutnya semantik sebagai bagian dalam ilmu kebahasaan memberikan daya tambah terhadap dimensi bahasa dan makna yang terkandung dalam Al-Qur'an.  Pemaknaan Al-Qur'an dalam dimensi makna dasar dan makna relasional oleh Toshihiko Izutsu[4] kian diperluas. Analisa ini mempunyai kecenderungan pemaknaan yang sangat luas dari segala dimensi pembentukan ayat-ayat Al-Qur'an. Satu sisi semantik memang memiliki daya teori yang mampu mengungkap makna teks yang lebih dalam. Hal ini membuktikan bahwa antara semantik dan Al-Qur'an sama-sama memiliki karakteristik analitis. Al-Qur'an sebagai kitab suci yang membawa segala simbol yang menyertai teksnya, baik secara idiologi, kesejarahan, norma, dan segala segmen kehidupan kemanusiaan yang terkandung dalam Al-Qur'an. Sedangkan semantik secara disiplin keilmuan membentangkan analisa teks yang sangat khusus sebagai ilmu bantu bahasa.
Persoalan hermeneutik sendiri hadir seiring dengan kehadiran teks-teks keagamaan dan agama itu sendiri. Dari sudut semiologi setiap apapun yang kita jumpai di sekeliling kita adalah teks yang bisa kita baca dan tafsirkan. Teks dalam pengertian ini identik dengan ayat dalam bahasa Arab (Al-Qur'an), yang berarti tanda. Kemunculan tanda (signifier) meniscayakan adanya obyek (signified) yang ditandai. Disinilah teks memicu munculnya teks-teks yang lain. Dengan kemampuan berbahasa dan aktivitas penafsirannya manusia menjadikan teks awal sebagai titik tolak untuk melakukan penafsiran dan penelusuran atas teks-teks lain yang saling berkaitan.
Salah satu persoalan yang hendak dijembatani oleh hermeneutika adalah terjadinya jarak antara penulis dan pembaca, yang antara keduanya dihubungkan dengan teks. Disinilah persoalan interpretasi muncul. Namun hal ini bukan berarti menafikan interpretasi dalam dialog langsung. Hanya saja hermeneutika lebih menekankan pada penafsiran teks. Sebab pesan yang sudah mewujud dalam teks telah mengalami banyak reduksi. Teks tidak cukup menampung logat, intonasi, mimik bahkan suasana batin si penyampai pesan. Hermeneutika hadir untuk membantu pembaca teks untuk sampai atau setidaknya mendekati keutuhan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyampai teks.
Manusia ada dan disebut manusia karena ia berpikir (bukan berakal saja). Apa saja yang dipikirkan selalu berarti memikirkan untuk mengetahui, memahami, dan mengerti teks: artinya menafsirkannya. Karena kemampuannya ini, seorang ilmuan bisa saja duduk di kursi kerjanya dengan ukuran terbatas. Namun dengan kemampuannya memanfaatkan potensi akal ia mampu berimajinasi menjelajahi masa lampau dan merekonstruksi masa depan. Meski tidak seorangpun mengklaim telah sampai pada hakikat kenyataan. Kita hanya bisa menemukan suatu pengetahuan yang relatif bertahan (validity) dan kuat bertahan (releability) dari kelemahan‑kelemahan pemahaman.
Istilah hermeneutika sendiri dapat ditemukan dalam literatur peninggalan Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang di dalamnya terdapat istilah terkenal Peri Hermeneias (tentang penafsiran). la juga digunakan dengan bentuk nominal dalam Epos Oedipus at Colonus. beberapa kali muncul dalam tulisan‑tulisan Plato, dan pada karya‑karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus. Kedua istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeias)[5], seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar‑samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia.[6]
Hermeneutika dalam bahasa aslinya disebut hermeneuine dan hermenia yang masing‑masing berarti "menafsirkan" dan "penafsiran". Menurut Gerhard Ebeling,[7] Hermes itu adalah kiasan untuk tiga tugas utama hermeneutika modern. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam pikiran melalui kata‑kata (utterance, speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara ra­sional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar‑samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai.
Baik dalam bahasa Yunani, maupun dalam bahasa Inggris, tiga pengertian mengenai istilah hermeneutika di atas kemudian dirangkum dalam pengertian "penafsiran" (interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan bahasa, pada dasamya mengandung proses "memberi pemahaman" atau, dengan kata lain, "menafsirkannya".[8]
Hermeneutika dan penafsiran mempunyai wilayah persentuhan tetapi keduanya tidak identik. Penafsiran teks adalah kegiatan berpikir, praktik penafsiran, usaha memahami. Untuk berpikir orang bisa tidak bermetode, tapi befikir yang baik adalah berfikir dengan metode. Jika diputuskan untuk menggunakan metode dalam menafsirkan atau memikirkan teks, maka di situlah hermeneutika berperan. Jadi hermeneutika adalah metode atau teori penafsiran.
Hermeneutika tidak melulu berarti metode. Istilah teori di sini merujuk pada istilah Kunstlehre menurut Schleiemacher. Menurutnya, teori (Kunstlehre) berarti metode dan filsafat. Sebab metode adalah teknik‑teknik menafsirkan secara benar. Sebagai filsafat, hermeneutika berarti segala macam usaha manusia memahami apa yang terjadi ketika manusia menafsirkan teks dan apa yang terjadi ketika metode-­metode interpretasi tertentu dirumuskan atau digunakan dalam penafsiran.
Oleh karena itu, dalam berbagai literatur hermeneutika modern, proses, pengungkapan pikiran dengan kata‑kata, penjelasan yang rasional, dan penerjemahan bahasa sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya lebih dekat dengan pengertian exegesis daripada hermeneutika. Hal ini karena eksegesis berkaitan dengan kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu ketimbang perbincangan tentang teori penafsiran yang lazim dalam hermeneutika. Jika eksegesis merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode, dan teori yang berfungsi membimbing penafsir dalam kegiatan ber­exegese.[9]
           Sedangkan kemunculan hermeneutika modern, kata Hans‑Georg Gadamer dan Carl Page, terkait paling tidak dengan penolakan terhadap tidak memadainya positivisme sebagai metodologi dan mazhab pemikiran dalam ilmu‑ilmu sosial dan kemanusiaan yang pernah sangat dominan sejak abad ke‑17. Di akhir millenium lalu, hermeneutika bahkan menjadi salah satu bagian dari kritik terhadap modernisme oleh postmodernisme. Ini terkait dengan perkembangan selanjutnya, bahwa hermeneutika tidak terbatas sebagai disiplin yang semata‑mata berkenaan dengan metode‑metode menafsirkan teks atau fakta sosial, akan tetapi juga mencakup segala bentuk refleksi terhadap cara "mengada" manusia, cara‑cara manusia memahami kenyataan, bahkan distorsi dan mistifikasi (kedok‑kedok) dalam pemahaman dan klaim kebenaran.
           Perkembangan selanjutnya, hermeneutik muncul sebagai kritik[10] yang memberikan reaksi hebat terhadap asumsi-asumsi idealis baik teori hermeneutik maupun filsafat hermeneutik yang menolak pertimbangan-pertimbangan ekstra-lingusitik sebagai faktor yang membentuk dan menentukan konteks fikiran dan aksi. Kritik hermeneutik ini lebih banyak memperhatikan faktor bahasa dan aspek-aspek idiologis dalam interpretasi. Sejarah hermeneutik sebagai alat penafsir al-Kitab, agaknya memberikan arah teori terhadap penafsiran Al-Qur'an. Walaupun masih ada angapan buruk yang sangat idiologis karena lahan kajian antara al-Kitab dengan Al-Qur'an mempunyai "egoisitas" idiologis dari para pengikutnya. Namun demikian secara teoritis bisa dijadikan pijakan untuk mengungkap karakteristik dan beberapa dimensi ke-Al-Qur'an-nya. Reaksi ini sangat dimungkinkan karena catatan hermeneutik adalah memberikan tafsiran terhadap teks keagamaan.
           Mengapa masalah ini disebut baru, karena penafsiran tanpa metode menjadi meluas masalahnya ketika hermeneutika dihadirkan. Pertama, orang jadi tidak boleh menafsirkan teks seenak perutnya, tapi harus menyusun atau mempertimbangkan metode khusus. Kedua, orang tidak cukup dengan metode, tapi juga memerlukan pemikiran bahwa bukan hanya metode yang menentukan kebenaran pemahaman, tapi juga harus memikirkan siapa yang menjadi pemirsa? Untuk apa dan bagi siapa penafsiran dilakukan? Apakah penafsiran tidak dipengaruhi (pasti dipengaruhi) oleh kekuasaan, kepentingan, kebudayaan, situasi sosial, dsb., di mana teks ditafsirkan. Hermeneutika datang untuk menyadarkan kita akan hal‑hal yang tidak kita sadari dalam penafsiran.

Hermeneutika dalam Islam       
           Sementara itu, hermeneutika modern dalam pemikiran Islam pada dasarnya dapat disebut lompatan besar dalam perumusan metodologi pemikiran Islam umumnya, dan metode penafsiran Al-Qur'an khususnya. Yang perlu dicatat sepintas di sini ialah istilah hermeneutika tersebut diperkenalkan sejak Hassan Hanafi menulis dan mempublikasikan disertasi doktoraInya dari Universitas Sorbonne yang berjudul Lês Metodes d'Exêgese, essai sur La science des Fondaments de la Comprêhension; 'ilm Ushû1 al‑Fiqh (1965). Hassan Hanafi menggunakan hermeneutika dalam konteks itu sebagai bagian dari ekperimentasi me­todologis untuk melepaskan diri dari kemandegan teoretisasi hukum Islam (ushul al‑fiqh) yang menurutnya telah berakhir pada al‑Qiyâs Fî asy-Syar' al-Islâmi karya Ibn Qayyim.
           Sebelumnya Al‑Jabiri telah meneliti sejarah pemikiran (epistem) Islam klasik dengan cermat dan menyimpulkan bahwa persoalan‑persoalan hermeneutis dan hermeneutika sebagai metode muncul pasca periode Nabi dan Sahabat untuk memahami teks‑teks hukum yang diletakkan oleh asy‑Syafi'i (wafat 204 H). Hermeneutika tersebut oleh asy‑Syafi'i dimaksudkan sebagai "undang‑undang menafsirkan wacana" atau "al‑fahm " yang banyak digunakan dalam al‑fiqh dan ushul al‑fiqh.
           Dalam studi ke-Islaman, jika dilihat dari pernyataan-pernyataannya dalam kajian keislamannya, barangkali Ibnu Khaldun[11] telah merintis pendekatan hermeneutik ini. Dia berpendapat bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dihidupkan secara konsisten melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Sementara Al-Qur'an yang memposisikan teks suci umat Islam tentunya sangat memerlukan analisa-analisa keislaman dalam mengembangkan pemahaman Al-Qur'an. Dan hermeneutik bisa dijadikan disiplin kolaborasi keilmuan antara teori interpretasi teksnya dan kultur serta kesejarahan umat Islam. Kultur dan kesejarahan ini memberikan bantuan analisa yang mengakomodasikan latar belakang terbentuknya ayat Al-Qur'an dan kematangan teori hermeneutik.
           Setiap agama lahir dengan teksnya masing‑masing, Islam dengan Risalah Muhammad berupa Al-Qur'an dan Sunnah. Teks Al-Qur'an dan Sunnah itu ditafsirkan oleh Nabi dan Sahabat dari bahasa Tuhan, sekalipun tidak dengan metode yang sangat rigid. Karena, masa Nabi dan Sahabat kata Muhammad Ata As‑Sid[12] adalah masa penerimaan teologis terhadap teks; Al-Qur'an. Iman adalah segala‑galanya, dan pemahaman terhadap Al-Qur'an adalah hal yang gampang. Jika ada kerancuan pemahaman, para Sahabat bertanya ke Nabi, sementara Nabi bisa bertanya ke Tuhan. Lagi pula sahabat sangat memahami situasi Makkah dan Arab masa itu, plus persahabatan dengan Nabi (shuhbah) dan kemahiran mereka dalam bahasa Arab.
Hermeneutika ada sejak agama lahir, bahkan sejak manusia muncul sebagai makhluk berkebudayaan. Namun hermeneutika sebagai metode dalam Islam muncul ketika wilayah politik Islam meluas dan dibutuhkan penafsiran terutama hukum terhadap teks‑teks agama. Di sinilah mereka mulai berfikir metode. Awalnya, sekedar metode sastra, kemudian meluas menjadi metode hukum melalui perumusan jenis‑jenis ungkapan dalam Al-Qur'an dan pembagian‑pembagian pengambilan hukum (istinbath) oleh Imam asy-­Syafi'i.
Kondisi di atas adalah fase awal ketakutan ummat Islam kehilangan cara menafsirkan teks sehingga pemikir Islam awal merumuskan hermeneutika "sederhana" untuk mencegah berhentinya orang menafsirkan Al-Qur'an. Tapi sejarah berulang, lama setelah itu, disiplin‑disiplin keislaman, terutama usul fiqih, fiqh, tafsir, dan ulumul‑Qur'an mandek setelah semakin canggih, di satu sisi dan banyaknya pertentangan politik, di sisi lain. Epistemologi tradisional pemikiran Islam di kemudian hari lebih banyak beralih kepada tradisi skolastik Abad Pertengahan hingga munculnya kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai oleh perjumpaan kaum Muslim dengan kolonialisme. Selama berabad‑abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran Islam yang sama sekali baru, kecuali sekedar pengulang‑ulangan yang bersifat tautologis, di mana umat Islam dan tradisi hermeneutika Al-Qur'annya tinggal mewarisi trilogi ortodoksi: paradigma asy‑Syafi'i, otoritas al‑Asy'ari, dan ekletisisme al‑Gaza1i.[13]
Fase kedua hermeneutika Al-Qur'an terjadi pada masa modern ini. Menurut Andrew Rippin,[14] kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model‑model penafsiran yang memadai terhadap Al-Qur'an dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Al-Qur'an diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada, Al-Qur'an, dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Qur'an.
      Wahidur Rahman antara lain menyebut pemikir‑pemikir modernis, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh, telah mengusahakan agar Al-Qur'an berbicara tentang realitas. Hanya saja apa yang mereka lakukan tidak lebih dari jawaban instan terhadap "kebutuhan‑kebutuhan aktual masyarakat Muslim dalam rangka memelihara (solidaritas) mereka, atau pada saat mereka menganggap Islam membutuhkan pertahanan dari serangan (luar)".[15] Konsekuensinya, pemikiran yang mereka ajukan lebih cenderung bersifat apologetis karena, tidak berangkat dari dasar‑dasar metodologis yang adekuat untuk disebut sebagai sebuah hermeneutika.
      Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah ke dalam wacana penafsiran Al-Qur'an bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Al-Qur'an, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur Rahman. Tidak aneh jika muncul tuduhan bahwa mayoritas modernis Muslim menafsirkan Al-Qur'an bukan demi memahami dan menyingkap makna sejati, tapi untuk mengejar tujuan‑tujuan ekstra Qurani yang antara lain demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan‑penemuan Barat.[16]
      Persoalan semacam ini bagaimanapun merupakan dilema intelektual tersendiri yang harus dipecahkan oleh para pemikir Muslim. Di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan tuntutan ilmiah dan obyektif, sementara pada sisi lain, terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan Al-Qur'an sejalan dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Dua sisi tersebut memang tidak serta‑merta kontradiktif dan saling menafikan, melainkan bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Kesadaran akan hadirnya realitas kekinian dan pemenuhan standar ilmiah dalam kegiatan penafsiran Al-Qur'an pada saat yang bersamaan akhirnya dapat ditemukan dalam tulisan‑tulisan yang dikembangkan oleh pemikir Muslim kontemporer, seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Farid Esack, Hassan Hanafi, Amina Wadud‑Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan belakangan oleh Abu Zayd. Minat para penulis tersebut dapat dianggap mewakili arus ketidakpuasan terhadap hermeneutika tradisional Al-Qur'an yang bagaimanapun cenderung ahistoris dan tidak kontekstual lagi.

Pewahyuan Al-Qur'an

            Peristiwa turunnya Al-Qur'an merupakan tahap awal dari proses hermeneutis Al-Qur'an. Karena itu, Al-Qur'an tidak cukup dengan hanya menggunakan pengaruh mistikal atau psikologis dari bahasa Arab. Al-Qur'an juga membuka ruang selebar-lebarnya bagi kebebasan akal untuk menalar. Oleh karena itu Ata al-Sid[17] merumuskan bahwa: bahasa haruslah autentik berdasarkan bentuk ataupun isi, ataukah ia tidak autentik sama sekali. Semakin isinya konsisten dengan fitrah dan akal manusia, semakin sering terjadi “komunikasi” antara manusia dengan Tuhan, semakin lama pula pengaruhnya terhadap manusia.

            Hermeneutika kontemporer memberikan klaim bahwa bahasa bukan konstruksi arbitrer kata-kata manusia untuk memberi bentuk pada peristiwa-peristiwa tertentu, namun untuk mencerahkan dan menjaga realitas dari peristiwa apapun. Dengan memanfaatkan proses ini, peristiwa sejarah dan realitasnya disimpan dalam bahasa. Senada dengan itu, ketika bahasa autentik bekerja dengan benar, ia membeberkan kepada kesadaran manusia seluruh realitas historis itu dan menyajikan kepadanya peristiwa-peristiwa masa lampau seakan-akan itu terjadi di hadapan mereka saat ini. Dengan mengikuti garis pemikiran seperti itu, wahyu dianggap dapat terjadi kapan saja, yakni ketika manusia “bertemu” dengan Tuhan melalui bahasa. Bahasa dengan demikian bukanlah bahasa supranatural sekalipun itu Kalam Tuhan; karena semua yang mengkomunikasikan Tuhan kepada manusia adalah Kalam Tuhan. Hermeneutik kontemporer, dengan demikian, membawa kita kepada redefinisi wahyu sebagai proses yang tiada henti, sesuatu yang tidak berhenti pada suatu periode tertentu.[18]           
            Kombinasi fitrah yang suci dan nalar murni turut menjamin keberlangsungan terus menerus dan keabadian risalah Al-Qur'an. Kombinasi inipula yang menjadi basis klaimnya mengenai universalitas ajaran Al-Qur'an. Kombinasi dua elemen abadi ini menyebabkan Islam terus menerus menyebar di Bumi dan terus menarik pengikut-pengikut baru.
            Berdasarkan kombinasi ini pula Islam mendasarkan klaimnya bahwa pesannya bukanlah risalah baru, namun kelanjutan agama Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Yesus, yang diperkenalkan atas dasar kombinasi yang sama, namun telah diselewengkan manusia. Disinilah Al-Qur'an memberi sumbangan bahwa agama asal pada dasarnya satu dan mengatasi seluruh perpecahan. Manusia berbeda dalam pemahamannya mengenai agama asal, kemudian Tuhan mengirimkan para nabi-Nya untuk memberi keputusan dan petunjuk kepada mereka jalan yang benar (QS: 2;213). Dengan kata lain, kemajemukan agama sekarang ini berasal dari kesamaan monoteisme awal yang tertanam dalam fitrah setiap manusia dan yang berusaha dihidupkan kembali oleh Islam.[19]                           Dalam Islam, perbedaan antara kata-kata manusia dan kalam Tuhan, sebagaimana banyak teolog muslim rumuskan, sama besarnya dengan perbedaan antara manusia dan Tuhan itu sendiri. Krisis terbesar dalam sejarah pemikiran muslim terjadi ketika kaum muslim memperdebatkan apakah Al-Qur'an itu abadi (Qâdim) ataukah makhluk (Jadid). Tidak ada satu pun ummat Islam bahkan ummat lain yang membantah bahwa pengarang Al-Qur'an adalah Allah. Persoalannya adalah apakah Al-Qur'an merupakan ciptaan Allah seperti makhluk-makhluk lain dalam waktu dan tempat, ataukah ekspresi kehendaknya yang supranatural, abadi, dan tidak diciptakan; dan karena itu pula, ia sama ilahiyah dan transendentalnya dengan kehendak-Nya, yang menjadi kandungan ideasional Al-Qur'an. Pandangan tradisional di kalangan muslim adalah Al-Qur'an merupakan pembicaraan Allah; dari-Nya pembicaraan itu berasal, dan hanya kepada-Nya ia merujuk. Sebagaimana tidak ada apapun yang menyangkut diri ilahi itu menjadi ciptaan- bahkan jika itu sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, pengetahuan-Nya, demikian pula dengan pembicaraan-Nya, yang tidak lain adalah Al-Qur'an itu sendiri.[20]  
            Mu’tazilah, dengan mengadopsi pendapat aliran Jahamiyah, berpandangan bahwa sifat-sifat ilahi, termasuk pembicaraan, adalah pembentuk zat Allah. Pandangan ini dimaksudkan untuk mempertahankan keesaan Allah dan transendensi-Nya. Namun Ahmad bin Hanbal, ulama terkemuka madzab fiqih, berpandangan lain. Baginya Kalam Allah tak terpisahkan dari-Nya. Ketika Al-Qur'an dibacakan oleh suara pembaca tiada lain adalah Kalam Allah. Pandangan ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dan ia sempat mengelaborasi pandangan-pandangannya.[21]
            Sementara Al-Ghazali yang berangkat dari teologi Asy’ariyah berpandangan bahwa Al-Qur'an sebagai sifat zat dan bukan perbuatan-Nya. Menurutnya “Kalam Ilahi” adalah “sifat qadim Zat” yang harus dibedakan dari “penampakan-Nya” (tajalli) dalam bentuk Al-Qur'an yang dibaca sebagai teks. Teks yang dapat dibaca secara lisan atau yang tertulis dalam mushaf hanya merupakan “penuturan” sifat Kalam yang qadim. Bahasa teks merupakan selubung atau wadah yang di dalamnya berdiam “kandungan azali” yang bersifat qadim.[22]         
            Dalam proses turunnya Al-Qur'an, Allah memerintahkan Jibril (Malaikat) untuk menyampaikan wahyu kepada Muhammad. Hakikat Jibril (malaikat) adalah makhluk Allah yang diciptakan untuk mematuhi semua perintah Tuhannya. Ia tidak diberi kemampuan untuk menolak dan juga menalar. Ia hanya tunduk dan patuh atas apa yang diperintahkan oleh Tuhan-Nya. Ia sempat menanyakan rencana Tuhan yang hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.[23] Namun tidak untuk melawan dan membangkang rencana Tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh setan dan kawan-kawannya. Dengan demikian tidak mungkin Jibril melakukan interpretasi atas wahyu Tuhan apalagi melakukan penyimpangan atasnya.
            Selanjutnya Jibril menyampaikan wahyu tersebut kepada Muhammad SAW, persis seperti yang diperintahkan Tuhannya. Mekanisme pewahyuan Al-Qur'an oleh Jibril kepada Muhammad ada beberapa macam; 1). Wahyu datang laksana bunyi gemerincing lonceng, 2). Wahyu dihunjamkan ke dalam hati Nabi oleh Jibril, 3). Jibril menyampaikan wahyu dengan menyerupakan diri sebagai manusia, dan 4). Wahyu disampaikan oleh Tuhan secara langsung (tanpa perantara).[24] Di samping itu Nabi mengalami gejala fisk yang berbeda ketika menerima wahyu, seperti 1). Keringat terlihat mengucur di dahi Nabi bahkan pada hari yang bertemperatur dingin, 2). Nabi menutup kepalanya, kulitnya bersemu merah, mendengkur seperti tertidur, atau bergemelutuk seperti unta muda, dan setelah beberapa saat ia kembali normal seperti sedia kala, 3). Wajah Nabi memucat kelabu, 4). Nabi berada dalam keadaan tidak sadar diri (subat), 5). Paha Zayd ibn Tsabit yang tertimpa paha Nabi ketika datangnya wahyu terasa dibebani beban yang berat sehingga seakan-akan hendak patah.
            Perdebatan yang cukup akut mulai mengemuka di kalangan para pemikir Islam ketika membicarakan hakikat wahyu. Sebagian memandang bahwa wahyu disampaikan hanya dalam bentuk ide saja, kemudian Nabi mengungkapkan redaksinya dengan kata-katanya sendiri dalam bahasa Arab. Sebagian lainnya menyatakan bahwa Allah hanya menyampaikan ide kepada Jibril, lalu Jibril mengungkapkan gagasan wahyu tersebut ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya disampaikan kepada Nabi. Sedangkan mayoritas yang lain berpendapat bahwa Al-Qur'an itu diwahyukan dalam bentuk lafadz maupun maknanya.[25]
            Dalam Manahilul ‘Irfan, Az-Zarqani dengan mengutip al-Baihaqy mengatakan dalam proses penurunan Al-Qur'an Allah memperdengarkan dan memahamkan Al-Qur'an kepada Jibril. Yang dibawa turun oleh Jibril kepada Nabi SAW., adalah Al-Qur'an, dengan pengertian ia merupakan kata-kata haqiqi yang mengandung kemukjizatan dari awal surat al-Fatihah hingga surat An-Nas. Semua kata-kata itu adalah Kalamullah. Jadi Jibril maupun Nabi tidak memiliki andil sama sekali dalam kemunculan maupun penyusunannya.[26]
            Allah memunculkan lafadz-lafadz dan kata-kata Al-Qur'an Secara runtut sesuai dengan runtutan kata-kata-Nya yang nafsiy, karena bagi Az-Zarqani, untuk memberikan pemahaman, sebagaimana kita memunculkan kalam lafdziy kita sesuai dengan kalam nafsiy kita.
            As-Suyuthi mengutip pernyataan Al-Juwainiy, bahwa Kalamullah diturunkan dalam dua bagian: yang pertama diturunkan dengan makna, lalu jibril menyampaikan kepada Nabi sehingga Nabi menyampaikan kalam tersebut dengan redaksinya sendiri. Kalamullah yang ini disebut Sunnah. Kedua, kalamullah yang diturunkan dengan makna dan lafadzya sekaligus, Jibril menyampaikan kepada Nabi tanpa melakukan perubahan sedikitpun. Kalamullah yang terakhir ini adalah Al-Qur'an di mana lafadz dan semua yang ada dalam Al-Qur'an orisinil dari Allah. Ia telah disiapkan sebelumnya di Lauh al-Mahfudz. Karena itulah Al-Qur'an memiliki kekuatan yang amat dahsyat.
            Wahyu Al-Qur'an digambarkan laksana guntur dan kilatan petir. Mereka tetap bersikukuh menolak beriman, menutupkan jari jemari ke telinga mereka karena ganasnya “suara guntur”, karena takut mati.[27] Seandainya suatu firman yang dibacakan bisa menyebabkan bergesernya gunung, bumi terbelah, atau orang mati berbicara, maka Al-Qur'an bisa saja melakukannya.[28] Keampuhan firman Tuhan yang sifatnya intrinsik inilah yang ditegaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Al-Qur'an lebih menekankan kedahsyatan “yang tersembunyi” yang terangkum dalam ungkapan bahwa seandainya Al-Qur'an diturunkan pada gunung, ia akan tunduk dan hancur lebur.[29] Ketika para pendeta rabbi yang saleh mendengar Al-Qur'an, mereka meneteskan airmata karena mengakui kebenarannya.[30] Dan ketika manusia yang berilmu mendengarnya, mereka jatuh tertunduk menangis dan menambah kerendahan hati mereka.[31] Efek kemukjizatan Al-Qur'an pada manusia bukan saja bersifat mental, bahkan “tubuh orang yang takut pada Tuhannya akan gemetaran apabila mendengarnya, dan hati mereka tunduk menerima peringatan Allah. Petunjuk Allah itu diberikan kepada mereka yang dikehendaki-Nya.[32]  
            Dengan kekuatan yang terkandung dalam dirinya Al-Qur'an dapat menciptakan pendirian yang kuat dan keyakinan di tengah-tengah ummat Islam terhadap keberadaan firman Tuhan dan bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah? Al-Qur'an mampu meyakinkan ummat manusia bahwa agama ini bisa mendatangkan mereka kepuasan di dunia. Al-Qur'an mampu meyakinkan ummat Islam bahwa jika mereka berbuat baik bahkan dengan mengorbankan jiwa raga sekalipun akan dibangkitkan kembali dan menjadi abadi di surga. Tidak ada beban yang lebih sulit daripada meyakinkan ummat manusia untuk mempercayai hal-hal demikian itu. Terlebih di tengah-tengah manusia modern.                
            Muhammad tidak memiliki kemampuan untuk membuat redaksi sehebat Al-Qur'an, karena ia adalah manusia biasa yang sebelum kenabian tidak memiliki kelebihan menonjol, seperti baca tulis ataupun sastra, selain kesucian akhlaknya yang membuat seluruh penduduk Mekkah kagum terhadapnya. Muhammad memang memiliki peluang untuk melakukan interpretasi atas teks yang turun dari tuhan. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Kalaupun hal itu terjadi, tindakannya telah mendapat legitimasi dari Tuhannya. Sebab sepanjang hidupnya Muhammad berada dalam bimbingan dan pengawasan Tuhannya.
            Dalam hal ini Al-Qur'an berhasil menjembatani jurang pemisah antara kepercayaan keagamaan yang dibawanya dengan realitas yang tersebar di lingkungan sekitarnya. Menurut ‘Ata al-Sid[33], dalam konteks ini Al-Qur'an menggantungkan diri pada dua faktor hermeneutis yang mendasar dan sangat penting dalam mengkomunikasikan pemahaman realitas keagamaan –dan ia mendasarkan seluruh pesan-pesannya pada faktor tersebut. Inilah yang menjamin kesinambungan dan keabadian risalah Al-Qur'an; yakni keserasian penuh antara agama Al-Qur'an dan fitrah manusia serta percaya pada akal murni dalam memberi keputusan dalam, dan menyelesaikan kasus-kasus ikhtilaf.
            Al-Qur'an datang membantu manusia dalam mengaktifkan dan menjadikan perasaan keagamaan itu peka kembali, dan membimbingnya pada ideal-ideal yang benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh Sebab itu, Al-Qur'an menjadikan pemahaman bergantung pada kemurnian perasaan keagamaan universal ini. Ia merupakan prasarat fundamental bagi proses hermeneutis Al-Qur'an agar hati manusia tetap suci dan bebas dari segala noda. Tanpanya, prospek dalam menerima kenyataan Islam dan hidup di dalamnya jadi menjauh.[34]             
            Perdebatan mengenai konsep orisinalitas Al-Qur'an di kalangan para ulama memang tidak berhenti sampai disitu. Apakah hakikat wahyu dan orisinalitas itu diukur ketika Al-Qur'an masih berstatus kalam al-dzati, yang masih merupakan “the ideas of God”, yang masih terbebas dari atribut dan simbol kebahasaan, atau diukur dari ketika Al-Qur'an sudah berstatus kalam al-lafdhi, yang sudah diwahyukan ke langit bumi, ditujukan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril. Semua kitab suci diturunkan untuk manusia, maka sangat manusiawi kalau Taurat menggunakan bahasa Ibrani yang ditujukan kepada Nabi Musa yang berbahasa Ibrani, Injil menggunakan bahasa Suryani karena ditujukan kepada Nabi Isa yang berbahasa Suryani, dan Al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab yang ditujukan kepada Nabi Muhammad yang berbahasa Arab. Al-Qur'an justru akan terkesan tidak manusiawi kalau menggunakan bahasa Aramaik, sementara obyeknya komunitas Arab.
            Transformasi kalam al-dzati ke dalam bentuk kalam al-lafdhi secara maknawi tidak ada masalah menurut para ulama. Akan tetapi dalam bentuk kalam al-lafdhi, masih ada perbedaan di kalangan ulama. Sebagaimana disinggung di atas. Hal ini juga terbukti dengan adanya konsep “tujuh model bacaan” (qira’ah sab’ah) dan konsep “tujuh model huruf” (sab’ah ahruf) yang dapat dilihat dalam kitab-kitab ulumul qur’an.
            Mengenai bahasa asli Al-Qur'an bukan bahasa Arab tetapi something like Aramaic, mungkin bisa dijelaskan bahwa memang bahasa Arab ketika Al-Qur'an diturunkan tidak sehomogen dan sejelas dengan persepsi kita sekarang tentang bahasa Arab. Bahkan bangsa dan wilayah Arab ketika itu belum jelas, apakah mengacu pada letak geografis, culture, atau bahasa. Bahasa Arab sebagai bahasa formal bangsa Arab sebagaimana yang dikenal sekarang, masih ditenggelamkan oleh begitu banyak dan dominannya dialek suku-suku dan kabila di satu sisi, dan di sisi lain masih kuatnya pengaruh apa yang diistilahkan oleh Chaim Rabin dalam Ancient West-Arabian dengan “proto-semitic stage” di Arab bagian utara dan selatan barat daya. Mungkin Al-Qur'an yang melembagakan bahasa Arab sebagai bahasa yang lebih homogen, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Yusuf/12:2. Chaim Rabin juga menghubungkan ke –ummy-an nabi dengan bahasa Arab, bukan bahasa lokal kabilah seperti Quraisy, dll. Bahasa Arab itu sendiri masuk ke dalam rumpun bahasa Semit (Semitic-language), seperti halnya bahasa Hebrew dan Aramaik. Banyaknya kosa kata Hebrew dan Aramaic di dalam Al-Qur'an tidak mesti berarti Al-Qur'an adalah sintesa dari Taurat dan Injil, tetapi kosa kata itu sebelumnya sudah menjadi bagian dari bahasa Arab. Sama halnya dengan bahasa Melayu dan Indonesia, yang kosa katanya banyak berasal dari bahasa Arab. Bahkan menurut Al-Sayuthi, bahasa Al-Qur'an juga diperkaya dengan berbagai dialek dan lahjah bahasa Arab, Yunani, Persia, dan Afrika.                          Al-Qur'an, dengan isi dan bentuk yang ilahiyah, tidak tunduk pada waktu dan tempat dan melampaui relativitas sejarah. Ini cukup esensial bagi klaim Islam bahwa Al-Qur'an merupakan wahyu verbal terakhir dari Allah kepada ummat manusia. Dengan alasan serupa, Allah tidak membebankan tugas kepada manusia untuk menjaga bahasa teks dari risalah-Nya yang terakhir ini, melainkan Dia sendiri yang akan menjaganya.[35]                
            Selain bahasa Arabnya yang jelas, Al-Qur'an juga mengklaim dirinya sebagai sumber yang lengkap di luar kenyataan duniawi. “Al-Qur'an asalnya terpelihara dalam (Lauh al-Mahfudz).[36] Pada awalnya, ia disimpan dalam Lauh al-Mahfudz yang dimiliki Tuhan.[37] Kepalsuan (dalam hal ini bahasa yang tidak autentik) tidak menyentuhnya dari sisi manapun karena ia berasal dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Mulia.[38] Karena itu, sekalipun ummat Islam memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa arab, namun mereka tetap yakin bahwa kitabnya mengandung bahasa Arab dalam bentuknya yang paling orisinil, bahasa Al-Qur'an yang diwahyukan ketika bahasa Arab berada pada puncak kemurnian dan keindahannya. Disinilah Iman seseorang sangat berperan, sehingga Al-Qur'an senantiasa berada pada titik kesempurnaan.
                        Jika keimanan terhadap Allah, kebenaran wujud Al-Qur'an dan risalah kenabian Muhammad telah terbangun dengan baik, kemungkinan munculnya problem hermeneutis pada level yang paling sederhana sekalipun dapat diminimalisir. Sebaliknya, keseluruhan proses pemahaman terhadap Al-Qur'an, walaupun dalam hal yang paling kecil, akan terancam apabila keseluruhan atau sebagian dari hal-hal tersebut disalahpahami dan diabaikan.[]


[1] Ferdinand de Saussure (1858-1913) seorang linguis berbangsa Swiss yang memunculkan konsep analisa bahasa yang menggunakan analisa sejarah dan latar belakang terbentuknya teks. Kajian ini banyak berdimensi pada dekontruksi budaya bahasa dan teks dengan menghadirkan analisa ilmu bantu linguistik lainnya atau ilmu yang sangat dekat dengan bahasa dan teks yang akan dianalisa. Lebih jauh lihat : Ferdinand de Saussure, "Pengantar Linguistik Umum" (terjemahan) Yogyakarta 1996.
[2] Asmah HJ. Omar, Essays on Malaysian Linguistis, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 1998, hal 86.
[3] Ibrahim Anis. "Dalalah al-Alfadz". Maktabah al-abhal, Kairo. 1958. hal 3.
[4] Toshihiko Izutsu "Relasi Tuhan dan Manusia, pendekatan semantik terhadap al-Qur'an". Yogyakarta 1997).
[5] Dalam literatur Islam klasik, Hermes tidak lain adalah Nabi Idris yang sering disebut penemu tulisan, memiliki kemampuan teknologi, kedokteran, astrologi, sihir, dan lain‑lain. Sementara dalam mitos Mesir kuno, kaum Yahudi mengenalnya sebagai Dewa Toth, atau Nabi Musa.
[6] Richar E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidager and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press, 1969, h. 13‑14.
[7] Lihat dalam Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale University Press, 1994, h. 20.
[8] Palmer, Loc. Cit.
[9] Ibid, h. 34
[10] Tokoh paling berpengaruh hermeneutika kritik adalah Habermas. Ia berhasil menyatukan sebuah metode dan pendekatan objektif dengan usaha pengetahuan yang praktis dan relevan.(baca ; Ignas-Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3S, Jakarta, hal. 36).
[11] Usaha yang dirintis oleh Ibnu Khaldun ini kemudian dilanjutkan oleh beberapa cendekiawan, termasuk diantaranya Arkoun. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika. (baca: Abdurrahman Kasdi. Membangun Peradaban Umat ; Perspektif Sosial, Politik dan Humanisme dalam Islam, Lakpesdam Mesir. 2001. hal.18).
[12] Muhammad Ata As‑Sid, The Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic History. Michigan: University Microfilm International, 1982, h. 147.
[13] Nashr Hamid Abu Zaid, Al‑Imam al‑Syafi’i wa Ta'sis a1‑Aidu1ujiyyah al‑Wasathiyyah, Kairo: Sina Li al‑Nasyr, 1992, h. 4.
[14] Andrew Rippin, Muslims: Their Religious Beliefs and Practices, Contemporary Period, vol. 2 New York: Routledge, 1993, h. 86.
[15] Wahidur Rahman, 'Modernists' Approach to the Qoran", dalam Islam and the Modern Age, Mei 1991, h. 93.
[16] Wahidur Rahman, Op. cit, h. 93
[17] Muhammad ‘Ata Al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan, Teraju Mizan, 2004, h. 114
[18] Ibid., h. 115
[19] Ibid., h. 84
[20] Ibid., h. 116
[21] Ibid., h. 116
[22] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Teraju, 2002. h.55
[23] QS al-Baqârah
[24] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, h.45
[25] Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 229
[26] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahilul ‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, GMP 2002. H. 42-43
[27] QS 2:19-20
[28] QS 13:31
[29] QS 85:21-22
[30] QS 5:82-83
[31] QS 17:107
[32] QS 39:23
[33] Muhammad ‘Ata Al-Sid, Op. Cit., h. 72-73
[34] Ibid., h. 78
[35] QS 15:9
[36] QS 15:9
[37] QS 35:8
[38] QS 2:6


SUMBER: http://psq.or.id

Teruskan Baca......

Cara Daftar Dbclix dan Vistaclix

Cara daftar dbclix dan vistaclix sangatlah mudah. hanya butuh beberapa menit saja untuk mengetahui cara daftar dbclix. untuk mempersingkat waktu langsung saja saya akan beri step by step cara daftar dbclix ini :
1. Langkah pertama cara daftar dbclix dan vistaclix yaitu Klik banner di bawah ini
Klik disini atau bisa juga
Klik disini


maka anda akan dibawa ke halaman register.
2. Langkah kedua cara daftar dbclix dan vistaclix adalah isi form registrasi dengan data yang benar.
Klik Register/sign up/join/daftar, Isikan data diri anda seperti dibawah ini:
- Username : Isi dengan 3-15 karakter (huruf/angka tanpa karakter khusus seperti @, #, dll.)
- Password : Isi dengan password (kata kunci) minimal 6 karakter, bisa kombinasi angka dan huruf yang hanya anda sendiri yang tahu (jangan diberitahukan kepada orang lain, dan jangan sampai anda lupa).
- Confirm Password : Isi kembali dengan password anda di atas.
- Email Address : Isi dengan alamat e-mail anda.
- Confirm Email Address : Isi kembali dengan alamat e-mail anda.
- Referrer : username referensi kamu, tulis dengan kismawadi
- Klik/centang kotak di depan tulisan I Accept the Terms of Service.
- Security Code : Isi kotak isian dengan huruf acak yang ditampilkan.
Jika tampilan kode acak tersebut kurang jelas, silahkan klik link tulisan “Click to reload” yang ada di samping kode acak tersebut, dan secara otomatis kode acak akan berubah.
*nb :jika anda belum memiliki rekening sendiri anda bisa menggunakan atau meminjam rekening orang tua atau keluarga anda. jika anda malu untuk meminjam anda bisa menggunakan rekening asal-asalan dulu agar proses registrasi anda berhasil. jika anda memilih rekening bca atau bni maka isi nomer rekeningnya dengan 10 digit angka silahkan bisa anda acak sendiri. jika anda memilih rekening mandiri maka isi dengan 13 digit angka acak.
3. Langkah ketiga cara daftar dbclix dan vistaclix adalah Klik tombol Register atau continue untuk submit form pendaftaran anda.
4. Jika isian data sudah benar, maka akan ada konfirmasi pedaftaran anda berhasil dan anda bisa langsung klik iklan, Namun jika masih diperintahkan untuk memverifikasi account, maka notifikasinya akan dikirim ke alamat email yang anda isi kan tadi.
5. Login ke email anda, dan buka email dari Notifikasi PTC yang anda daftar. Biasanya kita hanya perlu mengklik link direct buat notifikasinya (jika tidak ada bisa dilihat pada bulk, sampah, atau bahkan spam).
6. Setelah notifikasi berhasil, anda bisa login kembali ke situs PTC tersebut dan bisa memulai surf ads atau mengklik iklan.
Untuk cara klik iklannya…
1. Login Terlebih dahulu ke akun anda
2. Klik menu Klik iklan, maka akan muncul bola berwarna kuning. Klik lah bola tersebut maka akan terbuka window baru
3. Klik iklan secara bergantian (satu persatu) tidak boleh langsung bebarengan
4. Tunggu hingga loading pada window baru tereload sempurna dan muncul tombol klik disini pada pojok kiri atas.
5. Klik tombol klik disini
6. Lakukan hal yang sama pada iklan lainnya
Nilai Klik Dari Dbclix
Member Standard
* Pay per click : Rp. 50
* Per referral click : Rp. 50
Member Upgrade
* Pay per click : Rp. 150 – Rp. 200
* Per referral click : Rp. 100
Nilai Klik Dari Vistaclix
Member Standard
* Pay per click : Rp. 50
* Per referral click : Rp. 25
Member Upgrade
* Pay per click : Rp. 100
* Per referral click : Rp. 50
Setelah mendaftar

  1. Tulis Comment dengan menyebutkan user id dan nama PTC
TIPS SUKSES PTC
  1. Carilah referral sebanyak-banyaknya. Dengan cara klik Tombol banner dan pasang link anda di blog/forum
  2. Setelah bergabung aktiflah di forum, Lihat bukti pembayaran dan jangan takut berkonsultasi jika ada masalah
  3. Atau bisa tanya langsung ke YM saya.
Terima kasih, demikian sedikit penjelasan saya mengenai cara daftar dbclix dan vistaclix
dapat uang dari Internet, dapat uang dari blog, berbisnis di Internet. 


atau dapat juga dengan Mendaftar disini Klik disini 


untuk cara mendaftar hampir sama dengan yang diatas, yang membedakannya untuk imbalan kalau iklan kita di Klik yang ini lebih besar dari yang diatas Untuk Mendaftar Klik disini.

Teruskan Baca......