SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Sabtu, 17 April 2010

Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam




 
Kebijakan fiscal merupakan  kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan dan pembayaran dari sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi fungsi-fungsi public dan pemerintahan.
Kebijakan fiscal ditempuh melalui pengendalian anggaran pendapatan dan belanja Negara. Instrumen-instrumen yang dimainkan adalah pos-pos pendapatan dan pos-pos pengeluaran di dalam anggaran keuangan Negara, terutama pajak dan subsidi.

Sumber pendapatan fiscal
Zakat : mengeluarkan kadar tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu.

Kharaj: pajak atas tanah pertanian atau pajak hasil bumi, yaitu pendapatan yang diperoleh dari biaya sewa atas tanah pertanian dan hutan milik umat.

Jizyah: pajak yang dikenakan atas orang-orang non yang hidup diawah pemerintahan Islam tetapi tidak mau masuk Islam. Pajak yang dikenakan atas mereka merupakan kompensasi atas fasilitas-fasilitas ekonomi, social, dan layanan kesejahteraan yang diterima dari pemerintahan Islam juga sebagai jaminan dan keamanan hidup dan harta mereka.
Jizyah juga sebagai alat penyeimbang kewajiban mengeluarkan zakat yang dikenakan kepada orang-orang Islam.
Jizyah disebut juga dengan pajak kepala (poll-tax).

‘Usyr atau bea cukai adalah pajak atas barang-barang komoditas yang masuk ke Negara Islam.
Pajak ini belum dikenal pada masa Nabi saw dan Abu Bakar Siddiq. Umar bin Khattab lah yang pertama sekali memperkenalkan pajak ini dalam system keuangan Islam.

Ghanimah
Harta rampasan perangterdiri dari  empat jenis yaitu: tentara yang ditawan, perempuan dan anak-anak yang ditawan, tanah, dan saib atau harta yang diperoleh seorang tentara Islam dalam pertempuran, baik berupa pakaian, senjata, maupun kuda yang ditungganginya.

Perempuan dan anak-anak boleh dibagikan dan tidak harus dibunuh, tanah yang ditinggalkan menjadi milik Negara, sedangkan tanah yang tuannya terbunuh 4/5 menjadi milik pejuang Islam atau milik pembunuh, atau menjadi milik Negara sedangkan 1/5 menjadi  milik baitul mal. Sedangkan barang-barang lain seperti senjata  menjadi milik pejuang Islam.

Adapun metode pembagian harta rampasan perang adalah 4/5 untuk pasukan atau tentara Islam yang dirinci menjadi 2 bagian untuk pasukan berkuda, 1 bagian untuk pasukan yang berjalan kaki, dan 1 bagian untuk penunjuk jalan, perawat, dan kaum wanita yang ikut membantudi medan perang. 1/5 bagian Rasul sesuai dengan ketentuan QS 8:4 dikeluarkan untuk Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir.

Sumber-sumber Sekunder

Wakaf: asset yang dialokasikan umtuk kemanfaatan umat dimana substansi atau pokoknya ditahan, sementara manfaatnya dinikmati oleh masyarakat.
Nazar: Perbuatan untuk menafkahkan  atau mengorbankan kekayaan dalam jumlah tertentu demi mendapatkan ridho Allah jika tujuan  yang diinginkan bisa tercapai.
Nawaib:Pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada konglomerat muslim dalam rangka menutupi pengeluaran Negara.
Amwal fadla: Harta benda kaum muslimin yang tidak memiliki pewaris atau mempunyai waris tetapi tidak dapat menghabisi semua harta warisan, dan harta yang tidak mempunyai pemilik seperti barang-barang kaum muslimin yang meninggalkan negaranya. Termasuk juga dalam kategori ini adalah harta luqatah (tercecer), barang-barang amanah, pinjaman, dan tanah yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Kekayaan seperti ini jika memang tidak diketahui pemiliknya, maka menjadi milik baitul mal.
Kafarat: Denda atau tebusan atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim terhadap ketentuan syara’. Ada beberrapa pelanggaran ketentuan syara’ yang harus dibayar adalah cara ini, misalnya membatalkan puasa tanpa ada uzur, membunuh secara sengaja, melanggar nazar, berburu pada musim haji, bersumpuah palsu, dan lain-lain.
Wasiat: Al Quran mengakui adanya wasiat sebagai institusi sukarela untuk pemindahan dan distribusi kekayaan (QS 4:11). Setiap orang memiliki hak dan wewenang untuk memberikan wasiat terhadap harta yang dimiliki erhadap siapa yang dikehendaki untuk tujuan serta maksud-maksud yang halal. Namun, wasiat yang diberikan tidak melebihi batas maksimum yang ditentukan syara’ yaitu sepertiga dari kekayaan. Aturan sepertiga yang ketat ini adalah demi kepentingan ahli waris yang sah. Karena pembagian pada ahli waris juga sangat membantu pendistribusian kekayaan.
Dll

Kaidah-kaidah Syariah tentang Pendapatan
  • Kaidah syari’ah yangberkaitan dengan kebijakan pungutan zakat fleksibeilitas, baik berupa maupun nilainya.
  • Kaidah syar’iyah yang berkaitan denga hasil pendapatan yang berasal dari asset pemerintah.
  • Kaiah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pajak kaidah dalalah dan kaidah darurah yaitu pungutan pajak hanya bagi orang yang mampu, untuk pembiayaan yang sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sector pemasukan lainnya.

Kebijakan belanja ekonomi Islam
  • Kebijakan belanja pemerintah harus mengikutikaidah mashlahah.
  • Menghindari masyaqqah harus didahulukan dari pada melakukan pembenahan.
  • Mudarat individu dapat dijadikan alasan untuk menghindari mudarat umum.
  • Pengorbanan kepentingan individu dapat dilakukan untuk menghindari kerugian dan pengirbanan dalam skala umum.
  • Belanja pemerintah harus didasarkan pada kaidah al-gunmu bil gurmi yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menganggung beban.
  • Kaidah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahu al-wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh factor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakan factor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.

Tujuan Pembelanjaan
  • Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat manusia.
  • Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
  • Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
  • Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produkasi.
  • Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.

Jenis Belanja
  • Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
  • Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
  • Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut system pendanaannya.
Beberapa Ketentuan Belanja Rutin
  • Kebjakan belanja rutin harus sesuai dengan azas mashlahat umum.Tidak boleh dikaitkan dengan kemashlahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemashlahatan pejabat.
  • Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah ini membawa suatu pemerintahan yang jauh dari sifat mubazir dan kikir disamping alokasinya pada sector-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
  • Tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.
  • Prinsip komitmen dengan aturan syar’iyah, maka alokasi belanja Negara hjanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
  • Prinsip komitmen dengan skala prioritas syar’iyah, dimulai dari daruriah, hajiyah, dan tahsiniyah.

Kebijakan dan instrument Fiskal Pemerintahan Islam

            Dalam pemerintaha Islam, kebijakan fiscal telah dikenal sejak zaman Rasulullah Saw. Hingga zaman pertengahan. Pada zaman Rasulullah Saw. Dan para sahabat, Baitul Mal adalah lembaga pengelolaan keuangan Negara sehingga terdapat kebujakan fiscal seperti yang kita kenal saat ini. Kebijakan fiscal di Baitul Mal memberikan dampak positif terhadapa tingkat investasi, penawaran agregat, dan secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasidan pertumbuhan ekonomi. Ciri kebijakan fiscal Baitul Mal di zaman Rasulullah Saw. Dan para sahabat adalah sebagai berikut:

  1. Sangat Jarang terjadi Anggaran Defisit
Dalam teori ekonomi, anggaran deficit ini akan menimbulkan berbagai persoalan akibat adanya pertambahan yang beredar, antara lain terjadinya inflasi dan melemahnya nilai tukar uang. Selama perjuangan Rasulullah Saw. Tercatat hanya sekali saja terjadi anggaran deficit. Hal ini terjadi ketika jatuhnya kota Makkah. Utang akibat anggaran deficit ini hanya dibayarkan kurang dari satu tahun, yaitu setelah usainya perang Hunayn.
  1. Sistem pajak proporsional (proposional Tax)
Sistem pajak proposional (proposional tax) adalah merupakan salah satu kontribusi Islam dalam instrument fiscal. Sistem ini menggantikan lump-sum tax yang telah dikenal lebih dahulu. Keunggulan system pajak proposional (proposional tax) adalah terbentuknya automatic stabilizer yang digambarkan dengan amplitude yang diperkecil. Artinya, apabila kondisi ekonomi sedang memuncak (booming), maka tidak terjadibubble, sebaliknya bila ekonomi sedang menurun, maka tidak terjadi crash.
  1. Besarnya Rate Kharaj Ditentukan Berdasarkan Produktifitas Lahan Bukan Berdasarkan  Zona.
Produktifitas lahan diukur dari tingkat kesuburan tanah, jumlah produk, marjetability produk pertanian yang ditanam di lahan tersebut, dan juga metode irigasinya. Dengan demikian, sangatlah mugkin lahan yang bersebelahan dikenakan rate kharaj yang berbeda. Dari kebijakan penentuan rate kharaj seperti ini menyebabkan pengusaha kecil yang kurang produktif dapat tetap berusaha di lokasi yang baik dan tidak terpinggirkan menjadi pedagang kaki lima.
  1. Berlakunya Regressive Rate untuk Zakat Peternakan
Yang dimaksud dengan regressive rate adalah penurunan rate karena jumlah hewan ternak yang dipelihara semakin banyak. Kebijakan regressive rate ini akan mendorong peternak untuk mem[perbesar skala usahanya dengan biaya produksi yan rendah. Hal ini mengakibatkan semakin besarnya supply hewan ternak dengan harga yang relative murah.
  1. Perhitungan zakat Perdagangan Berdasarkan besarnya keuntungan Bukan atas Harga Jual
Sistem perhitunan zakat perdagangnan berdasarkan keuntunga (profit atau quasi-rent) tidak mempengaruhi kyurva penawaran sehingga jumlah barang yang ditawarkan tidak berkurang dan tidak terjadi kenaikan harga jual. Hal ini bahkan menjadi insentif bagi pedagang untuk mencari keuntungan sejalan dengan kewajiban membayar zakat. Jumlah zakat yang diterima akan meningkat seiring dengan meningkatnya keuntungan pedagang.
  1. Porsi Besar untuk Pembanguanan Infrastruktur
Infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dan mendapat perhatian dan porsi yang sangat besar. Pada zaman Rasulullah Saw. Pembanganan infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembanguanan infrastruktur ini diikuti di zamam Khalifah Umar bin Khattab r.a dengan mendirikan kota dagang besar, yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia). Khalifah Umar bin Khattab r.a. juga membangun kanal dari Fustat ke laut Merah sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik unta karena mereka bisa menyebrang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah Umar bin Khattab r.a. juga menginstrusikan kepada gubernurnya di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur.
  1. Management yang baik untuk hasil yang baik
Management yang baik akan memberikan hasil yang baik. Hal ini dapat kita lihat di zaman Khalifah Umar bin Khattab r.r. diman apenerimaan Baitul Mal mencapai 180 juta dirham. Pada zaman ini, Umar bin Khattab r.a. mampu mengatur pemerintahan dengan baik sehingga tiap kota memberikan pajaknya ke pemerintah, memberi contoh untuk hidup sederhana sehingga korupsi tidak merajalela, sehingga penerimaan Baitul Mal besar. Sedangkan di zaman al –Hajjaj penerimaan pemerintah menurun drastic hanya 18 juta dirham. Beberapa hal yang menyebabkan penurunan penerimaan ini adalah karena ketidakmampuan pemerintah untuk mengatur kota-kota yang ada agar menyetorkan pajaknya dan juga tidak memberikan contoh hodup sederhana bahkan bahkan cenderung berfoya-foya. Pada zaman Umar ibn Abdul Aziz pemerintahan mulai membaik seperti di zaman Khalifah Umar bin Khatab r.a. pada than pertama pemerintahannya, penerimaan pemerintah mencapai 30 juta dirham dan ditahun kedua mencapai 40 juta dirham. Umar ibn Aziz pernah berkata, “seandainya saya memerintah satu tahun lagi, InsyaAllah penerimaan Baitul Mal akan sama dengan zamannya Khalifah Imar ibn Khattab.” Namun beliau meninggal pada tahun itu juga.
           
Di zaman Pertengahan Islam pernah terjadi inflasi. Hal ini disebabkan karena pemimpin lupa akan tanggung jawabnya dan membiarkan diri dimanja oleh para pengusaha. Para pengusaha ingin mengambil keuntungan dengan melakukan pendekatan kedapa penguasa. Para penguasa dan keluarganya hidup dalam kemewahan yang berasal dari pemberian pengusa. Pada zaman Abbasiyah, penguasa bergelimang kemewahan. Hal ini terkuak setelah jatuh dari tampuk kekuasaan, misalnya Ibn Furat mempunyai 160.000 dinar. Pada zaman ini, para mentri (wazir) biasa menerima pinjaman dari para pengusaha. MIsalnya Ibn Furat pada masa pemerintahannya (908-911 M) meminjam uang dari joseph ibn Phineas untuk membayar gaji pegawai di provinsi Ahwaz selama 2 bulan, Ali ibn Isa (912-916 M) meminjam 150.000 dirham kepada bankirnya setiap tanggal satu untuk membayar gaji tentara. Pembayaran kembali utang ini biasanya diambil dari pendapatan pemerintah di provinsi tersebut, misalnya pendapatan dari provinsi Ahwaz dijadikan pembayaran kembali utang.
  1. Jaringan Kerja antara Baitul Mal Pusat dengan Baitul Mal Daerah
Dengan semakin luasnya wilayah penerintahan Islam, Baitul Mal mulai didirikan di daerah-daerah. Dizaman Khalifah Ali r.a. disusun dasar-dasar dan tujuan administrasi Baitu Mal pusat dan Baitul Mal daerah, sehingga hubungan kerja antara pusat-daerah menjadi lebih luas.
Struktur APBN dan kebijakan yang diambil pada zaman pemerintahan Islam ditopang olah sejumlah instrument kebijakan fiscal yaitu:

  1. Peningkatan Pendapatan Nasional dan Partisipasi Kerja
Untuk meningkatkan pendapatan nasional dan pertisipasi kerja, Rasulullah Saw. Menerapkan kebijakan sebagai berikut:
  1. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar.
Rasulullah Saw. Menggariskan bahwa setiap orang Anshar bertanggung jawab terhadap saudaranya dari kalangan Muhajirin. Kebijakan ini mendorong terciptanya distribusi pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan permintaan agregatif (AD) di Madinah.
  1. Mendorong terjalinnya kerja sama kaum Muhajirin dengan Anshar.
Kaum Anshar yang memiliki tanah pertanian, perkebunan, dan tabungan maka terjalin kerja sama dengan kaum Muhajirin yang membutuhkan pekerjaan. Kerja sama ini berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, memperluas produkasi, melengkapi fasilitas perdagangan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan modal.
  1. Membagikan tanah dan membangun perumahan untuk kaum Muhajirin.
Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar akan rumah, terjadi peningkatan partisipasi kerja.
  1. Membagikan 80% harta rampasan
Melalui kebijakan ini, terjadi peningkatan pendapatan yang ada pada akhirnya meningkatkan permintaan agregatif (AD).
  1. Pemungutan Pajak
Kebijakan pemungutan pajak terhadap setiap Jenis usaha berhasil menciptakan kestabilan harga dan mengurangi inflasi. Pada saat stagnasi dan menurunnya permintaan agregatif (AD) dan penawaran agregatif (AS), pajak (khususnya Khums) mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total. Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga maupun jumlah produksi.
  1. Pengaturan Anggaran
Dengan mengatur APBN secara cermat dan proposional serta terus menjaga keseimbangan, tidak akan terjadi budget deficit, bahkan akan terjadi budget surplus seperti terjadi pada zaman Khulafaur Rasyidin.
  1. Penerapan kebijakan fiscal khusus
Pada masa Rasulullah Saw. Diterapkan beberapa kebijakan fiscal khusus yaitu:
    1. Meminta bantuan kaum muslimin secara sukarela atas permintaan Rasulullah.
    2. Meminjam peralatan dari kalangan non-Muslim dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi apabila alat tersebut rusak.
    3. Meminjam uang kepada orang tertentu dan memberikannya kepada orang yang baru masuk Islam.
    4. Menerapkan kebijakan pemberian insentif.

E. Efektivitas Kebijakan Fiskal
            Dalam menentukan kebijakan yang akan diterapkan, harus diketahui terlebih dahulu efektivektas kebijakan dengan menggunakan kurva IS-LM. Dalam teori Keynesian, kurva IS-LM adalah alat analisis yang digunakan untuk menunjukkan kombinasi aggregate output dan tingkat suku bunga.

Seperti juga dalam kebijakan moneter, pengaruh kebijakan fiscal sangat tergantung pada kemiringan kurva IS dan LM.

Keterbatasan Kebijakan Fiskal

Dikarenakan efek bweruntun (multiplier) dari kebijakan public jangka pendek tidak nol (0), kebijakan fiscal ekspansif dapat digunakan untuk meningkatkan PDB riil dan mengurangi tingkat pengangguran pada saat resesi, kebijakan fiscal yang kontraksi dapat digunakan juga jika perekonomian sedang panas untuk mengurangi PDB riil dan menjaga atau memantau inflasi, tetapi penggunaan kebijakan fiscal dibatasi oleh dua hal.

Pertama, lambannya proses legislative yang berarti adalah sulit untuk mengambil tindakan kebijakan fiscal secara cepat, perekonomian mungkin dapat diuntungkan dengan rangsangan fiscal saat ini tetapi akan memakan waktu lama bagi anggota DPR untuk beraksi. Pada saat tindakan tersebut diambil, perekonomian mungkin membutuhkan kebijakan fiscal yang berbeda dari keadaan yang sebelumnya.

Kedua, Tidak selalu mudah untuk mengatakan bahwa PDB riil dibawah atau di atas PDB potensial. Perubahan di dalam permintaan agregat dapat menggerakkan PDB riil jauh dari PDB potensial atau perubahan pada penawaran agregat dapat mengubah PDB riil dan PDB potensial. Kesulitan ini merupakan suatu hal yang serius, seperti telah kita bahas stimulasi fiscal pada kondisi kesempatan kerja penuh mengakibatkan peningkatan pada tingkat harga dan tidak mempunyai dempak jangka  panjang Pada PDB riil.


Teruskan Baca......

Kamis, 15 April 2010

Teori Produksi Islam

 Teori Produksi Islam
Oleh Early Ridho Kismawadi
Kismawadi.Blogspot.com

Pengertian Produksi

Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas)1.
Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat2.
Dari dua pengertian diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi.
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang atau mengolahnya dengan memasukkan bahan-bahan tertentu, menutupi kebutuhan tertentu, atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya dengan melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu agar menjadi sesuatu yang baru3.
Tujuan Produksi
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan.
Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.
Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output4.
3 Husnul Khatimah, Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
4 http://muhamadzainudin-dzay.blogspot.com/2009/05/konsep-produksi-dalam-ekonomi-islam.html

Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian baik), tetapi dalam
jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus/generasi selanjutnya.


Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.
Dengan kata lain, factor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak
berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a. Faktor produksi tenaga kerja
b. Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
c. Faktor produksi modal
Di antara ketiga factor produksi, factor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan anttara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adannya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering6.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
Produksi Dengan Tekhnologi Konstan
Konsep produksi yang sesuai dengan nilai islam adalah konsep yang menganggap bahwa tekhnologi berproduksi adalah konstan, tekhnologi yang memanfaatkan sumberdaya manusia sedemikian rupa sehingga manusia mampu meningkatkan harkat kemanusiaannya. Permasalahan produksi bukanlah mencari tekhnologi berproduksi sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan maksimum, melainkan mencari jenis output apa, dari berbagai kebutuhan manusia, yang bisa di produksi dengan tekhnologi yang sudah ada sehinga memperoleh mashlahah maksimum.

Pola Produksi
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan, pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusalas arikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.
Dari sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi?
Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi.
1. Apa yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat (primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)

2. Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah produksi di pengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor SDM, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3. Kapan produksi dilakukan Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.
4. Mengapa suatu produk diproduksi
a. Alasan ekonomi
b. Alasan kemanusiaan
c. Alasan politik
5. Dimana produksi itu dilakukan
a. Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b. Murahnya sumber-sumber ekonomi
c. Akses pasar yang efektif dan efisien
d. Biaya-biaya lainnya yang efisien

6. Bagaimana proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come
7. Siapa yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu

Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.

Etika Produksi
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia. Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan,
dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oragnisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan.
Jika kita berbicara tentang nilai dan akhlak dalam ekonomi dan mu’amalah Islam, maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama,yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan dan Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi10. Raafik Isaa Beekun dalam bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada sejumlah parameter kunci system etika Islam yang dapat dirangkum sbb:
• Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang
melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara sempurna.
• Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak
dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
• Islammemberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindakberdasarkan
apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan.
• PercayakepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau
siapapun kecuali Allah.
• Keputusan yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas secara langsung
bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlahpermainan mengenai jumlah.
• Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang
tertutup, dan berorientasi diri sendiri.Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam.
• Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an
danalam semesta.

• Tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia
untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berprilaku
secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus mampu membuktikan ketaatannya
kepada Allah SWT.


Daftar Pustaka
Agustianto.Etika Produksi Dalam Islam, http://agustianto.niriah.com/2008/10/04/etika-produksidalam-
islam/
Aziz Budi Setiawan. Instrumen Ekonomi Syariah Untuk Transformasi Masyarakat
Ali Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2008/04/02/meneguhkan-kembali-konsep-produksidalam-
ekonomi-islam/
Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
di Indonesia
Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill
Khaerul. Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an, http://khaerul21.wordpress.com/2009/05/17/produksidan- konsumsi-dalam alqur%E2%80%99anaplikasi-tafsir-ekonomi-al-qur%E2%80%99an/
Khatimah Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”,
Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992),
Merza Gamal. http://www.opensubscriber.com/messages/ekonomi
syariah@yahoogroups.com/90.html
UII, dan BI. Ekonomi Islam, (P3EI).
Zainudin Muhammad. Konsep Produksi dalam ekonomi islam, http://muhamadzainudindzay.
blogspot.com/2009/05/konsep-produksi-dalam-ekonomi-islam.html

Teruskan Baca......

Inflasi Dalam Islam



 
Pendahuluan
            Inflasi merupakan hal yang biasa dalam setiap negara, hal ini dapat dimaklumi karena kemungkinan untuk membuat inflasi pada tingkatan non hampir mustahil, yang menjadi masalah adalah bagai mana menekan tingkat inflasi seminimal mungkin, yang dampaknya akan sangat membantu sektor fiskal dalam melakukan pembangunan, dalam pembahasan makalah kelompok kami kali ini akan membahas tentang teori inflasi dari seorang murid dari Ibn khaldum yaitu Taqiuddin Ahmad ibn al-Maqrizi, yang membahas tentang sejarah inflasi, Pengertian inflasi, teori inflasi konfensional, teori inflasi menurut perspektif islam, dan penyebab penyebabnya, dan yang terakhir, emas sebagai alat tukar. Pembahasan lebih lengkap akan dibahas dalam isi makalah ini.

Sejarah Inflasi
Sejarah Inflasi 1. Kerajaan Byzantium berusaha keras untuk mengumpulkan emas dengan melakukan ekspor komoditasnya sebanyak mungkin ke negara-negara lain dan mencegah impor agar dapat mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya. Kemudian yang terjadi adalah kenaikaan tingkat harga komoditasnya sendiri. 2. Awal inflasi mata uang Dinar dimulai bahkan ketika Irak sedang berada dalam puncak kejayaannya 3. Revolusi Harga di Eropa terjadi sepanjang abad, pola kenaikan itngkat harga pertama kali tampak di Italia dan Jerman sekitar tahun 1470. Inflasi kemudian menyerang ke negara-negara Eropa lainnya dalam beberapa tahapan 4. Pada tahun 1870, Perancis juga mengalami inflasi. Diduga ada hubungan besar antara kenaikan tingkat inflasi dengan kenaikan produksi emas. Menurut Michael Chevalier (seorang ekonom Perancis pada abad ke-19), pada tahun 1859 mengatakan bahwa pertambahan penawaran emas akibat ditemukannya tambang-tambang emas baru sehingga mengakibatkan turunnya harga emas relatif yang akan membawa pada turunnya nilai riil emas (inflasi) atau naiknya tingkat harga seluruh barang kecuali emas.



Pengertian Inflasi
Inflasi dalam perspektif ekonomi islam Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik untuk dibahas terutama oleh pemerintah berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap makroekonomi agregat: pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi, daya saing, tingkat bunga, dan bahkan distribusi pendapatan. Inflasi juga berperan dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga keuangan formal. Tingkat inflasi nol persen bukanlah tujuan utama kebijakan pemerintah karena hal itu sukar untuk dicapai. Yang paling penting adalah menjaga agar tingkat inflasi tetap rendah.Menurut Friedman, inflasi ini dapat juga dikatakan sebagai fenomena moneter karena inflasi menyebabkan penurunan nilai unit penghitungan moneter terhadap suatu komoditas ataupun jasa.

Teori Inflasi konvensional
Definisi Inflasi Secara umum inflasi adalah kenaikan tingkat harga secara umum dari barang atau komoditas dan jasa selama suatu periode tertentu Definisi Inflasi menurut ahli ekonomi : Raharja dan Manurung (2004:155) : Inflasi adalah gejala kenaikkan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. Sukirno(2004:333) : Inflasi adalah kenaikkan dalam harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang di pasar Jenis Inflasi: Policy induced, disebakan oleh kebijakan ekspansi moneter yang juga merefleksikan defisit anggaran yang berlebihan dan cara pembiayaannya. Cost push inflation, disebabkan oleh kenaikan biaya-biaya yang bisa terjadi walaupun pada saat tingkat pengangguran tinggi dan tingkat penggunaan kapasitas produksi rendah. Demand pull inflation, disebabkan oleh permintaan agregat yang berlebihan yang mendorong kenaikkan tingkat harga umum. Inertial Inflation, cenderung untuk berlanjut pada tingkat yang sama sampai kejadian ekonomi yang menyebabkan berubah. Jika inflasi terus bertahan dan tingkat ini diantisipasi dalam bentuk kontrak finansial dan upah, kenaikkan inflasi akan terus berlanjut. Penyebab inflasi. Menurut sukirno(2004:333) penyebab inflasi dapat dibedakan menjad tiga bentuk, yaitu :
 1. Inflasi tarikan permintaan, inflasi ini biasanya terjadi ketika perekonomian sedang berkembang pesat.
2. Inflasi desakan biaya, inflasi ini juga terjadi ketika perekonomian sedang berkenbang pesat dan tingkat pengangguran sangat rendah
3. Inflasi diimpor, inflasi ini terjadi apabila barang-barang yang diimpor mengalami kenaikkan harga yang mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan pengeluaran di perusahaan-perusahaan. Inflasi diukur dengan tingkat inflasi (rate of inflation) yaitu tingkat perubahan dari tingkat harga secara umum.
Kalangan monetrarist menganggap bahwa untuk menstabilkan harga-harga pertumbuhan jumlah uang yang beredar harus di kontrol secara hati-hati. Namun hal ini sulit diimplementasikan, karena hubungan antara ukuran-ukuran uang beredar yang diidentifikasikan oleh kalangan-kalangan monetaris dengan tingkat inflasi biasanya rusak setelah pengambil keputusan menargetkan inflasi itu. Ekonomi aliran Keynesian yakin bahwa inflasi bisa terjadi terlepas dari pengaruh kondisi moneter.

Inflasi dalam perspektif ekonomi Islam
Dalam Islam tidak dikenal inflasi karena mata uang yang dipakai adalah dinar dan dirham yang mempunyai nilai stabil dan dibenarkan dalam Islam. Adiwarman Karim mengatakan bahwa Syekh An Nabhani 2001 : 47 memberikan beberapa alasan mengapa dinar dan dirham merupakan mata uang yang sesuai. Beberapa diantaranya adalah :
1. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum yang baku dan tidak berubah-ubah.
2. Rasulullah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang, dan beliau menjadikan hanya emas dan perak sebagai standar mata uang.
 3. Ketika Allah SWT mewajiibkan zakat uang, Allah telah mewajibkan zakat tersebut dengan emas dan perak.
 4. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang yang terjadi dalam transaksi uang hanya dilakukan dengan emas dan perak begitupun dengan transaksi lainnya hanya dinyatakan dengan emas dan perak. Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu mengalami penurunan. Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah yang besar tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya.
Dampak Inflasi. Menurut para ekonom Islam, inflasi berakibat sangat buruk bagi perekonomian karena:
1. Menimbulkan gangguan terhadap fungsi uang.
 2. Melemahkan semangat menabung (MPS).
 3. Meningkatkan kecenderungan untuk berbelanja(MPC).
4. Mengarahkan investasi untuk hal-hal yang tidak produktif.
 5. Inflasi cenderung meredistribusi pendapatan ke atas sehingga menimbulkan ketidakseimbangan terhadap sasaran keadilan sosioekonomi.
6. Inflasi menyebabkan kurs menjadi overnilai yang diadopsi pemerintah untuk menahan tekanan-tekanan inflasioner.
 7. Inflasi akan menggalakan impor dan menghambat ekspor dengan menjadikannya tidak kompetitif pada pasaran internasional. Inflasi Menurut Taqiuddin Ahmad ibn al-Maqrizi (1364-1441M) Dengan mengemukakan berbagai fakta bencana kelaparan yang pernah terjadi di mesir, al-Maqrizi menyataan bahwa peristiwa inflasi merupakan sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan masyarakat diseluruh dunia sejak masa dahulu hingga sekarang. Menurutnya, inflasi terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus.
            Pada saat itu persediaan barang dan jasa mengalami kelangkaan, sementara konsumen harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk sejumlah barang dan jasa yang sama karena sangat membutuhkannya.
islam tidak mengenal istilah inflasi, karena mata uangnya stabil dengan digunakannya mata uang dinar dan dirham. Penurunan nilai masih mungkin terjadi, yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu mengalami penurunan, diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah yang besar, tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya. Ekonom Islam Taqiuddin Ahmad ibn al-Maqrizi (1364M – 1441M), yang merupakan salah satu murid Ibn Khaldun, menggolongkan inflasi dalam dua golongan yaitu natural inflation dan human error inflation.
Penyebab Inflasi
Al-Maqrizi mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya kedalam dua hal, yaitu
 1. Inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah (natural inflation). Inflasi ini disebabkan oleh berbagai faktor alamiah yang tidak bisa dihindari umat manusia.
 2. Inflasi yang disebabkan oleh kesalahan manusia.(human error).Adapun inflasi yang disebabkan oleh karena kesalahan manusia menurut al-Maqrizi dapat diidentifikasi kepada tiga hal yang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-bersama menyebabkan terjadinya inflasi ini
Natural inflation
Sesuai dengan namanya natural inflation, Inflasi ini disebabkan oleh sebab alamiah yang diakibatkan oleh turunnya Penawaran agregat (AS) atau naiknya Permintaan agregat (AD), orang tidak mempunyai kendali atasnya (dalam hal mencegahnya).
MV = PT = Y
Dimana :M = Jumlah uang beredar
V = kecepatan peredaran uang
P = tingkat harga
T = jumlah barang dan jasa (Q)
Y = tingkat pendapan nasional (GDP)
Maka natural inflation dapat diartikan sebagai berikut:
Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa (T) yang diproduksi dalam suatu perekonomian. Misal T turun, sedangkan M dan V tetap, maka konsekuensinya P akan naik.
Naiknya daya beli masyarakat secara riil, misalnya nilai ekspor lebih besar dari nilai impor sehingga secara netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M naik, sehingga jika V dan T tetap, maka P akan naik.
Keseimbangan permintaan dan penawaran juga pernah terjadi dizaman Rasulullah SAW. Dalam hal ini Rasulullah SAW tidak mau menghentikan atau mempengaruhi pergerakan harga ini sesuai Hadist: Anas meriwayatkan, ia berkata: Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ” Wahai Rasululluah, harga-harga barang naik (mahal), tetapkanlah harga untuk kami”. Rasulullah SAW lalu menjawab,”Allah-lah Penentu harga, Penahan, Pembentang, dan Pemberi rizki. Aku berharap tatkala bertemu Allah, tidak ada seorangpun yang meminta padaku tentang adanya kedhaliman dalam urusan darah dan harta.”
Human Error Inflation.
a.       Korupsi dan administrasi yang buruk (Corruption and Bad Administraton).
Al-Maqrizi menyatakan bahwa pengangkatan para pejabat pemerintah yang berdasarkan pemberian suap dan bukan kapabilitas, akan menempatkan orang-orang yang tidak mempunyai kredibilitas pada berbagai jabatan penting dan terhormat, baik dikalangan legislatif. yudikatif maupun eksekutif. Mereka rela menggadaikan seluruh harta miliknya sebagai konpensasi untuk meraih jabatan yang diinginkan serta kebutuhan sehari-hari sebagai pejabat. Akibatnya para pejabat pemerintahan tidak lagi babas dari intervensi dan intrik para krono istana. Mereka tidak hanya mungkin disingkirkan setiap saat tetapi juga disita harta kekayaanya, bahkan dieksekusi. Kondisi ini selanjutnya sangat mempengaruhi moral dan efesiensi administrasi dan militer Ketika berkuasa pejabat tersebut mulai menyalahgunakan kekuasaan untuk meraih kepentingan pribadi, baik untuk memenuhi kewajiban finansialnya maupun kemewahan hidup. Mereka berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, dengan menghalalkan segala cara , merajalelanya ketidakadilan para pejabat tersbut telah membuat kondisi rakyat semakin memprihatikan, sehingga mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman dan pekerjaannya. Akibatnya, terjadi penurunan drastis jumlah penduduk dan tenaga kerja serta hasil-hasil produksi yang sangat berimplikasi terhadap penurunan penerimaan dan pendapatan negara.

b. Pajak yang berlebihan (Excessive Tax).
 Menurut al-Maqrizi, akibat dominasi para pejabat bermental korup dalam suatu pemerintahan, pengeluaran negara mengalami peningkatan yang sangat drastis. Sebagai konpensasinya, mereka menerapkan sistem perpajakan yang menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta menaikan tingkat pajak yang telah ada. Hal ini sangat mempengaruhi kondisi para petani yang merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat. Para pemilik tanah yang ingin selalu berada dalam kesenangan akan melimpahkan beban pajak kepada para petani melalui peningkatan biaya sewa tanah. Karena tertarik dengan hasil pajak yang sangat menjanjikan, tekanan para pejabat dan pemilik tanah terhadap para petani menjadi lebih besar dan intensif. Frekuensi berbagai pajak untuk pemeliharaan bendungan dan pekerjaan-pekerjaan yang serupa semkin meningkat. Konsekuensinya, biaya-biaya untuk penggarapan tanah, panaburan benih, pemungutan hasil panen, dan sebagainya meningkat. Dengan kata lain, panen padi yang dihasilkan pada kondisi ini membutuhkan biaya yang lebih besar hingga melebihi jangkauan para petani. Kenaikan harga-harga tersebut, terutama benih padi, hampir mustahil mengalami penurunan karena sebagian besar benih padi dimiliki oleh para pejabat yang sangat haus kekayaan.Akibatnya para petani kehilangan motivasi untuk bekerja memproduksi. Mereka lebih memilih meninggalkan tempat tinggal dan pekerjaannya daripada hidup selalu dalam penderitaan untuk kemudian menjadi pengembara didaerah-daerah pedalaman.Dengan demikian, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan peningkatan lahan tidur yang akan sangat mempengaruhi tingkat hasil produksi padi serta hasil bumi lainnya dan pada akhirnya, menimbulkan kelangkaan bahan makana serta meningkatkan harga-harga .
c.       Excessive Seignorage
Dengan peningkatan sirkulasi mata uang . Seperti yang telah disinggung di atas, pada awalnya, mata uang fulus yang mempunyai nilai intrinstik jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai nominalnya dan dicetak sebagai alat transaksi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak signifikan. Oleh sebab itu jumlah mata uang ini hanya sedikit yang terdapat dalam peredaran. Ketika terjadi defisit anggaran sebagai akibat para perilaku buruk para pejabat yang menghabiskan uang negara untuk berbagai kepentingan peribadi dan kelompoknya, pemerintah melakukan percetakan mata uang secara besar-besaran.
Menurut al-Maqrizi, kegiatan tersebut semakin meluas pada saat ambisi pemerintah untuk memperoleh keuntungan yang besar dari pencetakan mata uang yang tidak membutuhkan biaya produksi tinggi ini tidak terkendali. Sebagai penguasa, mereka mengeluarkan maklumat yang memaksa rakyat menggunakan mata uang itu . Jumlah fulus yang dimiliki masyarakat semakin besar dan sirkulasinya mengalami peningkatan yang sangat tajam, sehingga fulus menjadi mata uang yang dominan. Lebih jauh al-Maqrizi mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah tersebut berimplikasi terhadap keberadaan mata uang lainnya.
Seiring dengan keuntungan besar yang diperoleh dari pencetakan fulus, pemerintah menghentikan pencetakan perak sebagai mata uang. Bahkan sebagai salah satu implikasi gaya hidup para pejabat, sejumlah dirham yang dimiliki masyarakat yang dilebur menjadi perhiasan, sebagai hasilnya, mata uang dirham mengalami kelangkaan dan menghilang dari peredaran. Sementara itu, mata uang dinar masih terdapat di peredaran meskipun hanya dimiliki oleh segelintir orang. Keadaan ini menempatkan fulus sebagai standar nilai bagi sebagian besar barang dan jasa. Kebijakan pencetakan uang fulus secara besar-besaran menurut al-Maqrizi, sangat mempengaruhi penurunan nilai mata uang secara drastis. Akibatnya, uang tidak lagi bernilai dan harga-harga membumbung tinggi yang pada gilirannya menimbulkan kelangkaan bahan makanan[8] Al-Maqrizi berpendapat bahwa uang sebaiknya dicetak hanya pada tingkat minimal yang dibutuhkan untuk bertransaksi dan dalam pecahan yang mempunyai nilai nominal kecil (supaya tidak ditumpuk)[9] Ekonomi Islam sendiri mengelompokkan uang dalam beberapa jenis . Berikut ilustrasi pengelompokan uamg ke dalam beberapa jenis[10]: Kebijakan Fiskal Peran kebijakan fiskal dalam Islam didasari oleh dua hal  ertama tingkat bunga yang tidak mempunyai peran sama sekali dalm ekonomi Islam. Kedua, Islam tidak membolehkan perjudian karena mengandung spekulasi.
Tujuan dari kebijakan fiskal dalam Islam adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan. Dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi ada beberapa instrumen yang digunakan, yaitu : Penggunaan kebijakan fiskal dalam menciptakan kesempatan kerja. Hal yang dilakukan oleh pemerntah adalah menarik beban atas harta yang menganggur, sehingga akan mendorong masyarakat untuk menginvestasikan dananya lewat tabungan atau deposito tanpa menggunakan tingkat bunga tetapi dengan bagi hasil Penggunaan kebijakan fiskal dalam menekan laju inflasi dapat dipahami dengan benar bahwa dalam Islam dilarang pemborosan dan berlebih-lebihan dalam konsumsi hal ini dikarenakan penekanan laju inflasi akan lebih menonjol dibandingkan dengan cost push inflation itu sendiri Penggunaan kebijakan fiskal dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Dalam pengaturan hasil usaha atau keuntungan dari proyek pemerintah dapat dijalankan dengan sistem bagi hasil. Para pemegang saham akan saling membagi keuntungan dan kerugian bersama sesuai proporsi modalnya masing-masing tanpa menggunakan bunga. Kebijakan moneter Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus stabilitas Islam tidak menggunakan instrumen bunga atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau defisit anggaran. Yang dilakukan adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur riil .
 Untuk menjaga ketidakstabilan beberapa hal berikut ini dilarang yaitu :
 Permintaan yang tidak riil
 Penimbunnan mata uang
 Transaksi Talaqqi Rukban
 Segala bentuk riba
Peranan Bank Dalam bukunya Umar Chapra (1997:124-131) mengatakan bahwa bank sentral harus menjadi pusat sistem perbankan, ia harus menjadi institusi pemerintah yang otonom, yang bertanggung jawab merealisasikan sasaran-sasaran ekonomi Islam di bidang keuangan bank. Variabel yang akan dipakai dalam suatu kebijakan moneter yang diformulasikan dalam sebuah perekonomian Islam adalah cadangan uang daripada sukubunga. Untuk menjamin otonomi bank sentral seharusnya mempunyai sumber pendapatan dari sumber yang independen guna membiayai pengeluarannya. Sumber : Nona Widiarti Martin
Emas Sebagai Alat Tukar
Mengapa Emas begitu istimewa? Emas merupakan konduktor terbaik di dunia, Emas tidak beroksidasi dengan oksigen sehingga tidak akan berkarat, Emas merupakan pemantul panas terbaik. Itu merupakan sebagian keistimewaan emas dan masih banyak lagi kehebatan lainnya, bahkan keistimewaan emas membuat Ibnu Khaldun terkagum-kagum sehingga di dalam kitab Muqaddimah-nya yang termahsyur, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa Allah SWT telah menciptakan emas dan perak sebagai alat pengukur nilai (measure of value). Al-Magrizi dalam Ighatsah mengatakan bahwa Allah SWT tidak hanya menciptakan kedua logam mulia tersebut sebagai alat pengukur nilai atau harga bagi segala sesuatu, namun juga sebagai alat tukar yang sejati (the real medium of exchange).
Emas juga sangat bernilai karena langka (rare), Iron and Steel Institute, sebuah lembaga ilmiah yang melakukan pengkajian terhadap banyak logam termasuk emas yang bermarkas di Washington DC, menyatakan bahwa produksi baja di AS sejak tahun 1995 mencapai 10.500 ton perjam. Sementara penambangan emas sedunia dari tahun ke tahun hanya mengalami kenaikan dua persen. Dalam satu tahun penambangan emas di seluruh dunia hanya sanggup menghasilkan sekitar 2000 ton emas.
Bukan suatu kebetulan bila emas, perak dan tembaga terletak dalam satu kolom yang sama pada tabel periodik kimia yaitu Aurum, Argentum dan Cuprum. Pada zaman jauh sebelum tabel periodik kimia ditemukan, emas, perak dan tembaga telah digunakan sebagai uang (alat tukar). Emas (Dinar) digunakan untuk nilai tukar yang besar, Perak (Dirham) digunakan untuk pertukaran dengan nilai yang lebih kecil dan Tembaga (Fulus) untuk transaksi yang paling kecil.
Emas merupakan logam yang lunak dan sangat mudah ditempa. Tidak seperti logam lainnya yang memiliki keterbatasan ketahanan dalam penempaan, Emas sanggup ditempa menjadi lembaran super tipis yang nyaris transparan (melleable), sehingga 1 ons emas sanggup dijadikan sebuah lembaran sangat tipis dengan luas seukuran 100 kaki persegi. Bila dijadikan tali super tipis, satu ons emas bisa direntangkan sepanjang 50 mil.
Emas memiliki kestabilan nilai yang mengejutkan, 1400 tahun lalu di zaman Rasulullah, harga seekor ayam dewasa adalah 1 dirham yang di awal januari 2009 dikurskan sekitar 37.000 rupiah dan harga seekor kambing dewasa yang sehat seharga 1 dinar yang di awal januari 2009 sekitar 1.300.000 rupiah, tidak berbeda jauh bukan? bisa dikatakan harga seekor kambing selama 1400 tahun tidak mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan emas. Bandingkan dengan nilai uang kertas, dalam waktu beberapa tahun saja nilainya menyusut menjadi sepersekiannya.
Harga emas selalu dikabarkan di media massa mengalami kenaikan terus menerus. sejatinya, nilai emas stabil, uang kertas lah yang nilainya turun relatif terhadap emas akibat inflasi. Emas adalah uang sepanjang zaman, emas selalu menjadi uang dalam sejarah manusia diakui ataupun tidak. Pada kenyataannya, pemerintahan-pemerintahan dunia mengendalikan nilai uang kertasnya dengan cara mempengaruhi suplai emas di pasar adalah sebuah pengakuan bahwa emas lah yang sebenarnya uang itu.
Pada akhir tahun 2008 lalu, nilai emas sempat turun karena The Fed berencana menjual stok emasnya sebesar 40 ton. Ini merupakan bukti tambahan yang menguatkan bahwa emas adalah uang yang sebenarnya. Emas adalah mata uang surga, istilah ini menyatakan bahwa mata uang emas merupakan kreasi tuhan yang diturunkan kepada manusia di bumi. Namun sayangnya akibat keserakahan (greedy) sebagian kecil manusia maka emas dihapuskan peranannya sebagai mata uang sejati.
Berita yang lebih baru adalah ketika seorang anggota kongres Amerika bernama Ron Paul mempertanyakan kapabilitas uang kertas yang digunakan Amerika Serikat sekarang kepada US Federal Reserve Chairman bernama Ben Bernanke. Ia menanyakan apakah masih relevan menggunakan uang kertas, atau mungkin perlu dipikirkan mata uang lain yang lebih reliable. Bahkan emas sudah disinggung oleh anggota kongres ini.
Perdebatan ini semakin memperkuat keyakinan kita bahwa memang sudah saatnya kita beralih ke emas, baik sebagai alat pengukur nilai maupun alat tukar. Al- Magrizi dalam Ighatsah mengatakan bahwa Allah SWT tidak hanya menciptakan kedua logam mulia tersebut sebagai alat pengukur nilai atau harga bagi segala sesuatu, namun juga sebagai alat tukar yang sejati (the real medium of exchange).









DAFTAR PUSTAKA

------------------Ekonomi-islam,  http://id.wordpress.com/tag/.htm
Ibnu khaldun, telah-membangun-hubungan, http://yhardeos.blogspot.com/2007/11/.html
___________Inflasi-dalam-perspektif-islam,  http://suherilbs.wordpress.com/2007/12/09/.htm
Karim, Adiwarman A, Ekonomi Makro Islami, Cetakan ke-2, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007­____________Kenaikan-harga-perspektif-islam, http://pusdai.wordpress.com/2008/07/07/.htm
------------------Penentuan Harga, http://herisudarsono07.multiply.com/journal/item/31/.htm
www.wikipedia.com




Teruskan Baca......

Biografi, dan Konsep Pemikiran Abu Ubaid


 
1.                 Biografi Singkat dan Karyanya
Abû ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.
Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishâq, dan Abû ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abû ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abû ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abû ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abû ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi[1]. Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. kitab  ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al¬ Hasan asy-Syaibani.

Beberorang meyakini bahwa Adam Smith dalam bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations, banyak dipengaruhi kitab Al-Amwal. Arti kata Al-amwal sama dengan arti kata The Wealth, yaitu kekayaan. Dalam Pembahasan Ekonomi Neoliberal dihadapan 1.000 kiai di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (13/6), yang disampaikan Dr Adiwarman Karim dan sejumlah ekonom lain serta Ketua MUI Pusat KH Maruf Amin, dinyatakan bahwa The Wealth of Nation karya Adam smith banyak menyinggung tentang ekonomi Islam, antara lain pada jilid dua dan jilid lima.

Imam Abu Ubaid dalam kitab berjudul Al Amwal memberikan definisi tentang Sistem Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a’immah li al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat konsep penting, yaitu :

1. Istilah amwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fa’i, khums, dan zakat.
Fa’i yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Khums adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik.

2. A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan publik.

3. Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.

4. Istilah ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu didistribusikan.

Dalam permasalahan zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa ada tiga tingkatan pengelompokan sosio ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Ia juga tidak menyetujui penentuan batas tertinggi penerimaan zakat bagi para mustahik. Ia menjelaskan bahwa dalam segi politik, kekayaan seseorang di bagi menjadi dua, yaitu kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah). Menurutnya, pemerintah memiliki kekuatan politik hanya pada kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah). Sebaliknya, harta yang tesembunyi (amwal batiniyah), pemerintah tidak memiliki hak politik untuk memaksa orang membayar zakat dari jenis kekayaan ini. berkebalikan dengan harta yang tampak, yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.

Menurut Abu Ubaid, penarikan dan penyaluran zakat dilakukan oleh wilayah di mana masyarakat berada. Jadi, Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Mengenai Hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu[2].

Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.(Al-Qaradhawi, 1995).

Al-Amwal hal.256:
Khalifah Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang. Umar memerintahkan, Carilah orang yang dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya. Abdul Hamid kembali menyurati Umar, Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang. Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya. Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar,Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang. Akhirnya, Umar memberi pengarahan,Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih. (Al-Qaradhawi, 1995).

2.     Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
 Abû ‘Ubaid dalam Al amwall jika dilihatdari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj,[3] jizyah[4], ‘ushu[5]r atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
Abu ubaid di dalam Al Amwal menjelaskan dengan mengutib Az Zuhri, Rasulullah menerima jizyat dari majusi Bahrain, Az zuhri menambahkan siapa saja di antara mereka memeluk islam, maka keislaman mereka diterima, dan keselamatan diri dan hartanya akan dilindungi, selain tanah, sebab tanah tersebut adalah fa’i (rampasan) bagi kaum muslim, karena orang-orang tersebut sejak awal tidak pernah menyerah sehingga ia terlindungi. Dan dijelaskan lebih lanjut jika jizyat gugur setelah seseorang kafir masuk islam, maka kewajiban kharaj tidak gugur dengan sebab masuk islamnya tersebut, inilah awal munculnya kewajiban berganda bagi setiap orang islam, kewajiban membayar zakat dan kewajiban membayar jizyat.
3.   Dikotomi Badui ke Urban
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui( masyarakat tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan.
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû ‘Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abû ‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
4.  Kepemilikan Publik  
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama.
Saya mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir[6]
Demi Allah biarlah terjadi apa yang kamu benci, sesungguhnya jika kamu membagikannya maka keuntungan besar dari tanah aka suatu kaum (generasi). Setelah mereka meninggal maka harta tersebut akan beralih kepada satu orang laki atau perempuan kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang membela islam sedangkan mereka tidak mendapatkan suatupun maka pertimbangkanlah suatu hal yang dapat mencukupi bagi generasi awal dan generasi terakhir mereka.[7]
Pernyataan abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam, selain itu terdapat pernyataan lain yang mendukung pernyataan diatas:
Umar menulis surat kepada sa’ad (bin Abi waqqash) setelah menaklukkan al qadisiyyah katanya:
“..... dan biarkanlah tanah dan sungai untuk para pengelolanya supaya hal itu menjadi termasuk dalam pendapatan umat islam karena sesungguhnya jika kita membagikannya kepada orang yang menaklukkannya niscaya orang yang sesudahnya tidak akan mempunyai suatupun.[8]
5.  Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
 Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.
6.   Pertimbangan Kepentingan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam. 
7.   Fungsi Uang
Ahmad Hasan menjelaska bahwa kata nuqud (uang) tidak terdapat dalam Al Qur’an maupun hadis Nabi Saw, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan kata nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas, kata dinar untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukkan dinar emas. Sedang kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.[9]
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standart ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.[10]
Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).dalam hal ini ia menyatakan:
“ Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk membeli sesuatu (infaq)[11].
Pernyataan abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

8.                 Penutup
Melalui pendekatan sejarah sosial dapat dilihat bahwa sebuah produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir itu sendiri dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Demikian hal ini juga tampak dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat legitimate dan situasi keilmuan yang kondusif telah memberikan warna dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abû ‘Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.
Metode Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsar[12] sahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.
Abû ‘Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang kosmopolit dan heterogen dimana persoalan masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu cenderung menggunakan ra’yu (rasio), hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imâm ‘Abû Hanîfah. Berbeda dengan Imâm Mâlik yang hidup di wilayah Hijaz, penduduk di wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa al-Rasyidin dimana penyebaran Hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi Abû ‘Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan menguasai Hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti Sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu), meski sangat hati-hati. Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari Sunnah dapat dispesifikasi dengan Sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan Sunnah yang lainnnya atau dengan ayat al-Qur’an. Sumber ketiga yang digunakan ‘Abû Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.
Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâsid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’amul (hukum adat atau tradisi)
Pemikiran‘Abû ‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para The Wealth of Nation pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam Kitâb al-Amwâl, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.










 Kata Pengantar
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#

            Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dan tak lupa pula shalawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafa’atnya di yaumil akhir kelak.
            Tugas makalah ini dibuat sebagai tugas untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Dalam menyelesaikan tugas makalah ini, penulis telah berusaha sebaik dan semaksimal mungkin. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari dosen dan pembaca demi kesempurnaannya.
            Akhir kata penulis berharap semoga tugas makalah ini dapat berguna bagi penulis dan kita semua.

                                                                                                                                  Medan, 23   Maret   2010

                                                                                                                          
                                                                                                                                    Kelompok



[1] P3EI dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[2] Abu Ubaid, Al amwal hal 596.
[3] Kharaj adalah bagian dari kekayaan yang dikeluarkan oleh setiap orang penduduk yang tunduk dibawah kekuasaan pemerintah islam, bagi yang memiliki tanah pertanian atau perkebunan (Mafasya, Pergumulan Ekonomi Syarian, hal 85)
[4] Jizyat adalah pungutan yang dikenakan pada kalangan non muslim sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh penguasa islam kepada mereka ( Azhari A Tarigan dkk, Dasar-Dasar Ekonomi Islam hal 167-168).
[5] Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hannya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang-barang yang nilainya lebih dari 200 dirham ( Mustafa E Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam , hal 229 ).
[6] Al-Amwal, hal 758-59, (sebagaimana dikutib Yusuf Qardhawi, Peran Nilai Moral dalam perekonomian Islam)
[7] Ibid, hal 75.
[8] Ibid Hal 74
[9] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komperhensif sistem Keuangan Islami, sebagaimana dikutib Adiwarman karim, Ekonomi Makro islam hal 80.
[10] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, hal 80.
[11] Al-Amwal, hal 546 dan 548, sebagaimana dikutib Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi islam, hal 279)
[12] Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in,  yang terdiri atas perkataan dan perbuatan ( Mahmud al  -Thanah, Taisir, hal 15, sebagaimana di kutib Nawir Yuslem, Ulumul Hadis hal:46)


Teruskan Baca......