SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Sabtu, 21 November 2009

Teori Permintaan pada Pasar Output & Input dalam Perspektif Islam

Teori Permintaan pada Pasar Output & Input dalam Perspektif Islam

Oleh : Fatikul Himami

Manusia adalah makhluk multi dimensional. Di dalam diri manusia terdapat aspek-aspek yang menggerakkan manusia bertindak dan membutuhkan sesuatu. Beberapa aspek tersebut biasanya memberikan dasar pijakan bagi pengembangan sesuatu. Hasil pengembangan sesuatu itu dibuat dalam rangka untuk memenuhi apa yang dibutuhkan manusia. Diantaranya adalah masalah ekonomi.

Banyak dasar pemikiran yang memperkenalkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, dan pada saat yang bersamaan, dasar pemikiran itu memerlukan penyusunan latar belakang yang lebih dalam dan detail dari strategi pengembangan Islam. Para sekularis telah memunculkan sejumlah konsep yang mengungkit paradigma ekonomi konvesional. Salah satu darinya adalah “manusia ekonomi” yang rasional. Orang-orang yang materialistis dan penganut paham social Darwin adalah representasi dari pihak yang memiliki pandangan dunia ini. Perilaku rasional tidak memperlihatkan bahkan tidak ada kepedulian, bila disebut demikian, mengenai pentingnya pelayanan terhadap “social interest”, atau tidak merealisasikan tujuan-tujuan yang memiliki sifat nomatif.[1]

Upaya untuk menggolongkan nilai ilmiah nilai-nilai al-Quran dalam bangunan teori bukan sesuatu yang baru di kalangan penulis muslim. Sebagai contoh, tujuan pengeluaran untuk hidup dalam Islam menurut Fahim Khan yang dikutip Drs. Muhammad, M.Ag. (2007) dikatakan; untuk memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat.

Dasar dari pengembangan ekonomi mikro tidak akan terlepas pada permasalahan penentuan tingkat harga yang diderivasikan dari proses mekanisme pasar. Sedangkan mekanisme pasar sendiri terbentuk karena adanya perpaduan antara teori permintaan dan teori penawaran yang dapat berjalan dengan baik. Sehingga kita pun harus mengakui bahwa analisis ekonomi mana pun tidak akan pernah terlepas dari kedua teori dasar tersebut. Artinya teori permintaan dan teori penawaran adalah dasar dari pembentukan ilmu ekonomi yang lebih luas.

Begitu juga perilaku permintaan sendiri yang merupakan salah satu perilaku ekonomi yang mendominasi dalam praktek ekonomi mikro, walaupun juga berlaku dalam praktek ekonomi makro. Itulah sebabnya pembahasan mengenai permintaan yang ditinjau dari segi determinasi harga terhadap permintaan selalu menjadi pokok kajian dalam ilmu ekonomi. Determinasi harga terhadap permintaan dengan mengasumsikan faktor-faktor yang mempengaruhinya dianggap tetap menghasilkan hokum permintaan, sedangkan bila permintaan yang menentukan harga maka disebut teori permintaan.[2]

Seperti yang dikatakan Al-Ghazali yang mana aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran. Bagi al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Dan al-Ghazali juga tidak menolak kenyataan bahwa keuntunganlah yang menjadi motif perdagangan. Dalam bukunya Adiwarman Karim “Ekonomi Mikro Islam” edisi ketiga (2007) ditulis bahwa al-Ghazali tidak hanya menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan di masa depan. Namun demikian, ia memperingatkan bahwa jika semangat “selalu ingin lebih” ini menjurus kepada keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi, maka hal itu pantas dikutuk. Maka dalam pengertian inilah Ia memandang kekayaan sebagai “ujian terbesar”.





PASAR OUTPUT DAN PASAR INPUT

Dalam pengertian yang sederhana atau sempit pasar adalah tempat terjadinya transaksi jual beli (penjualan dan pembelian) yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu.

Definisi pasar secara luas menurut W.J. Stanton adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta kemauan untuk membelanjakannya. Pada umumnya suatu transaksi jual beli melibatkan produk/barang atau jasa dengan uang sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh kedua belah pihak yang bertransaksi.

Istilah pasar pada awalnya diperuntukkan bagi suatu tempat di mana barang-banrang diperdagangkan. Pasar Senen di Jakarta atau Pasar Mercu Buana di Medan merupakan contoh modern tentang pasar di zaman ini, dan kebanyakan kota memiliki pasar-pasar semacam ini. Dalam pengertian modern, pasar merujuk pada situasi mana pun di mana pembeli dan penjual dapat menegosiasikan pertukaran komoditi.[3]

Dalam pandangan Islam pasar merupakan wahana ekonomi yang ideal, secara teoritik maupun praktikal pasar memiliki beberapa kelemahan, misalnya: mengabaikan distribusi pendapatan dan keadilan, adanya kegagalan pasar, ketidaksempurnaan persaingan, dan lain-lain.[4] Oleh karenanya, kita harus menempatkan pasar secara proposional dalam perekonomian dan kemudian memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangannya.

Drs. Muhammad dalam bukunya Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (2003) dikatakan Islam dalam bidang struktur pasar lebih menekankan pada aspek kebebasan dan jiwa kerja sama. Kebebasan ekonomi adalah pilar pertama dalam struktur pasar Islami. Kebebasan ini berdasarkan pada ajaran Islam, yang meliputi pertanggungjawaban dan kebebasan[5]. Ajaran Islam berusaha untuk menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syariah, meskipun tetap dalam suasana yang bersaing. Dengan kata lain konsep Islam tentang pasar yang ideal adalah perfect competition market plus, yaitu plus nilai-nilai syariah Islam.[6]



Pasar Output

Dalam kapitalisme pasar dianggap sebagai mekanisme yang dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Dalam konsep dasarnya pasar tidak boleh diganggu atau diintervesi oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah. Kapitalisme menganggap pasar secara otomatis akan menjawab dan mengatur semua persoalan ekonomi dengan harmonis. Sosialisme berpandangan sebaliknya, yaitu peranan pasar harus ditiadakan. Sosialisme menganggap bahwa pasar akan menjadi alat bagi para pemilik modal (borjuis) untuk mengeksploitasi para buruh.

Islam sangat menghargai posisi pasar sebagai alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi dengan menempatkan pasar pada posisi yang proporsional. Ajaran Islam sangat menganggap pasar sebagai tempat perniagaan yang halal (sah/legal) dan baik, sehingga secara umum merupakan mekanisme perniagaan yang paling ideal.

Berikut di bawah ini beberapa macam pasar yang masuk dalam kategori pasar output beserta contohya:

Pasar Barang

Pasar barang adalah pasar yang menjual produk dalam bentuk barang. Pasar barang dapat dibagi lagi menjadi dua macam, yakni :

a. Pasar Barang Nyata/Riil Pasar barang nyata adalah pasar yang menjual produk dalam bentuk barang yang bentuk dan fisiknya jelas. Contohnya adalah pasar Angso Duo, pasar malam, pasar kaget, dan lain-lain.

b. Pasar Barang Abstrak Pasar barang abstrak adalah pasar yang menjual produk yang tidak terlihat atau tidak riil secara fisik. Contoh jenis pasar ini adalah pasar komoditas / komoditi yang menjual barang semu seperti pasar karet, pasar tembakau, pasar timah, pasar kopi dan lain sebagainya.

Pasar Jasa / Tenaga

Pasar jasa adalah pasar yang menjual produknya dalam bentuk penawaran jasa atas suatu kemampuan. Jasa tidak dapat dipegang dan dilihat secara fisik karena waktu pada saat dihasilkan bersamaan dengan waktu mengkonsumsinya. Contoh pasar jasa seperti pasar tenaga kerja, Rumah Sakit yang menjual jasa kesehatan, Pangkalan Ojek yang menawarkatn jasa transportasi sepeda motor, dan lain sebagainya.

Pasar Uang dan Pasar Modal

a. Pasar Uang Pasar Uang adalah pasar yang memperjual belikan mata uang negara-negara yang berlaku di dunia. Pasar ini disebut juga sebagai pasar valuta asing / valas / Foreign Exchange / Forex. Resiko yang ada pada pasar ini relatif besar dibandingkan dengan jenis investasi lainnya, namun demikian keuntungan yang mungkin diperoleh juga relatif besar. Contoh adalah transaksi forex di BEJ, BES, agen forex, di internet, dan lain-lain.

b. Pasar Modal adalah pasar yang memperdagangkan surat-surat berharga sebagai bukti kepemilikan suatu perusahaan bisnis atau kepemilikan modal untuk diinvestasikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Contohnya seperti saham, reksadana, obligasi perusahaan swasta dan pemerintah, dan lain sebagainya.



Pasar Input

Seperti kita ketahui bahwa untuk dapat melakukan kegiatan produksi, diperlukan factor-faktor produksi, karena faktor produksi tidak dimiliki oleh rumah tangga perusahaan, berarti untuk penyediaan faktor produksi harus melalui jual-beli faktor produksi. Dari kebutuhan tersebut terbentuklah pasar faktor produksi.

Pasar faktor produksi dalam Ilmu Ekonomi diartikan keseluruhan penawaran dan permintaan faktor-faktor produksi yang terdapat dalam suatu daerah/wilayah tertentu. ada beberapa hal yang membedakan dengan pasar barang. Perbedaan tersebut di antaranya[7]:

a. Pihak yang melakukan penawaran adalah pihak rumah tangga konsumen.

b. Pihak yang melakukan permintaan adalah pihak rumah tangga produsen.

c. Bagi rumah tangga konsumen (pemilik faktor produksi), harga faktor produksi adalah merupakan pendapatan yang disebut dengan istilah sewa, upah, bunga dan keuntungan.

d. Bagi rumah tangga produsen pengeluaran untuk mendapatkan faktor produksi disebut biaya.

e. Barang atau komoditi yang duperjualbelikan adalah faktor produksi. Jadi dengan demikian pasar ini memiliki ciri yang berbeda dengan pasar barang secara umum.

Menurut Iskandar Putong, yang dikutip oleh Muhammad dalam bukunya Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (2003) fungsi produksi adalah hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (outout). Hal ini berarti bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor produksi dimaksud. Bila faktor produksi tidak ada maka tidak ada proses produksi. Produksi yang dihasilkan dengan menggunakan faktor alam disebut dengan produksi alami. Begitu juga dengan faktor yang lain.

Sumber daya alam

Faktor produksi alam ialah semua kekayaan yang terdapat di alam semesta yang dapat digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi ini merupakan pemberian Tuhan yang sudah ada sejak beribu-ribu tahun lalu. Oleh karenanya, faktor produksi alam sering pula disebut sebagai faktor produksi asli. Faktor yang termaksuk di dalamnya adalah tanah, air, sinar matahari, udara, dan barang tambang.

Tenaga kerja

Tenaga kerja merupakan faktor produksi insani yang secara langsung maupun tidak langsung menjalankan kegiatan produksi. Faktor produksi tenaga kerja juga dikategorikan sebagai faktor produksi asli. Dalam faktor produksi tenaga kerja, terkandung unsur fisik, pikiran, serta kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja. Oleh karena itu, tenaga kerja dapat dikelompokan berdasarkan kualitas (kemampuan dan keahlian) dan berdasarkan sifat kerjanya.

Berdasarkan kualitasnya, tenaga kerja dapat dibagi menjadi tenaga kerja terdidik, tenaga kerja terampil, dan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih. Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memerlukan pendidikan tertentu sehingga memiliki keahlian di bidangnya, misalnya dokter, insinyur, akuntan, dan ahli hukum. Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerja yang memerlukan kursus atau latihan bidang-bidang keterampilan tertentu sehingga terampil di bidangnya. Misalnya tukang listrik, montir, tukang las, dan sopir. Sementara itu, tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja yang tidak membutuhkan pendidikan dan latihan dalam menjalankan pekerjaannya. Misalnya tukang sapu, pemulung, dan lain-lain.

Modal

Yang dimaksud dengan modal adalah barang-barang atau peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. Modal dapat digolongkan berdasarkan sumbernya, bentuknya, berdasarkan pemilikan, serta berdasarkan sifatnya.

Berdasarkan sumbernya, modal dapat dibagi menjadi dua: modal sendiri dan modal asing. Modal sendiri adalah modal yang berasal dari dalam perusahaan sendiri. Misalnya setoran dari pemilik perusahaan. Sementara itu, modal asing adalah modal yang bersumber dari luar perusahaan. Misalnya modal yang berupa pinjaman bank.

Berdasarkan bentuknya, modal dibagi menjadi modal konkret dan modal abstrak. Modal konkret adalah modal yang dapat dilihat secara nyata dalam proses produksi. Misalnya mesin, gedung, mobil, dan peralatan. Sedangkan yang dimaksud dengan modal abstrak adalah modal yang tidak memiliki bentuk nyata, tetapi mempunyai nilai bagi perusahaan. Misalnya hak paten, nama baik, dan hak merek.

Berdasarkan pemilikannya, modal dibagi menjadi modal individu dan modal masyarakat. Modal individu adalah modal yang sumbernya dari perorangan dan hasilnya menjadi sumber pendapatan bagi pemiliknya. Contohnya adalah rumah pribadi yang disewakan atau bunga tabungan di bank. Sedangkan yang dimaksud dengan modal masyarakat adalah modal yang dimiliki oeleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan umum dalam proses produksi. Contohnya adalah rumah sakit umum milik pemerintah, jalan, jembatan, atau pelabuhan.

erakhir, modal dibagi berdasarkan sifatnya: modal tetap dan modal lancar. Modal tetap adalah jenis modal yang dapat digunakan secara berulang-ulang. Misalnya mesin-mesin dan bangunan pabrik. Sementara itu, yang dimaksud dengan modal lancar adalah modal yang habus digunakan dalam satu kali proses produksi. Misalnya, bahan-bahan baku.

Kewirausahaan (entrepreneurship)

Faktor kewirausahaan adalah keahlian atau keterampilan yang digunakan seseorang dalam mengkoordinir faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Sebanyak dan sebagus apa pun faktir produksi alam, tenaga manusia, serta modal yang dipergunakan dalam proses produksi, jika dikelola dengan tidak baik, hasilnya tidak akan maksumal.



PERSAINGAN DALAM PASAR OUTPUT DAN INPUT

Pasar persaingan sempurna (perfect competition), adalah sebuah jenis pasar dengan jumlah penjual dan pembeli yang sangat banyak dan produk yang dijual bersifat homogen. Harga terbentuk melalui mekanisme pasar dan hasil interaksi antara penawaran dan permintaan sehingga penjual dan pembeli di pasar ini tidak dapat mempengaruhi harga dan hanya berperan sebagai penerima harga (price-taker). Barang dan jasa yang dijual di pasar ini bersifat homogen dan tidak dapat dibedakan. Semua produk terlihat identik. Pembeli tidak dapat membedakan apakah suatu barang berasal dari produsen A, produsen B, atau produsen C? Oleh karena itu, promosi dengan iklan tidak akan memberikan pengaruh terhadap penjualan produk.

Rasulullah sendiri sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil. Akan tetapi pasar di sini mengharuskan adanya moralitas, antara lain: persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan. Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan maka tidak ada alasan untuk menolak harga pasar. Di mana implementasi nilai-nilai moralitas dalam pasar merupakan tugas personal bagi setiap pelaku pasar. Bagi seorang muslim ini merupakan refleksi dari keimanannya kepada Allah. Dalam al-Quran surat An-Nisa ayat 29 di jelaskan : “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu” (QS An Nisa:26)

Baqir Sadr dalam bukunya Iatishaduna, 1979, mengatakan perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi konvesional adalah pada filosofi ekonomi yang dianutnya dan bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisikan alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.

Dengan kerangka ini maka alat-alat produksi Tenaga Kerja, Modal, Sumber daya alam, enterpreneurship dalam ekonomi Islam tidak berbeda dengan faktor produksi dalam ekonomi konvensional.

Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, disebut sebagai "dihasilkan." Prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Tidak ada perbedaan sudut pandang apa yang menjadi faktor-faktor produksi dalam pandangan ekonomi umum dengan ekonomi Islam yakni, Tanah, Tenaga kerja, Modal dan Organisasi dipandang sama sebagai faktor-faktor produksi. Perbedaan keduanya adalah dari sudut pandang perlakuan faktor-faktor produksi tersebut.

Dalam pandangan Kapitalisme tanah merupakan hak milik mutlak, sementara dalam pandangan Sosialis dan Komunis tanah hanya dimiliki negara sementara Islam memandang Tanah sebagai milik mutlak Allah. Sehingga baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun. Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan.

Masalah krusial hingga kini adalah berkaitan dengan tenaga kerja. Dalam pandangan Marx, ketidak adilan yang dilakukan para Kapitalis terletak pada pemenuhan upah yang tidak wajar. Sebagai contoh, para pemilik modal menetapkan hari kerja 12 jam. padahal pekerja yang bersangkutan dapat memproduksi nilai yang sama dengan upah subsitensinya dalam 7 jam, maka sisa 5 jam merupakan nilai surplus yang secara harfiah dicuri oleh para Kapitalis. Islam sangat concern terhadap posisi tenaga kerja Nabi berkata "Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya kering," ucapan Rasulullah tersebut mengisyaratkan betapa hak-hak pekerja harus mendapat jaminan yang cukup. Islam tidak memperkenankan pekerja bekerja pada bidang-bidang yang tidak diizinkan oleh syariat. Dalam Islam, buruh bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa abstrak yang ditawarkan untuk dijual pada para pencari tenaga kerja manusia. Mereka yang mempekerjakan buruh mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Dengan demikian sebuah lembaga Islam yang mempekerjakan buruh atau pekerja tidak diperkenankan membayar gaji mereka dengan tidak sewajarnya (ukuran wajar dapat diukur dengan standar hidup layak atau menurut ukuran pemerintah seperti UMP). Dan sangat besar dosanya bila sebuah lembaga Islam yang dengan sengaja tidak mau membayar upah buruhnya dengan standar kebutuhan, apalagi bila membujuknya dengan kata-kata bahwa, nilai pengorbanan si buruh tersebut merupakan pahala baginya. Padahal dibalik itu si pemilik modal (si pejabat) melakukan pemerasan berkedok agama. Baik si pekerja maupun majikan tidak boleh saling memeras. Tanggung jawab seorang buruh tidak berakhir ketika ia meninggalkan pabrik/usaha majikannya. Tetapi ia juga mempunyai tanggung jawab moral untuk melindungi kepentingan yang sah, baik kepentingan para majikan maupun para pekerja yang kurang beruntung.
Suatu sistem ekonomi Islam harus bebas dari riba, riba merupakan pemerasan kepada orang yang sesak hidupnya (terdesak oleh kebutuhan). Islam sangat mencela penggunaan modal yang mengandung riba. Dengan alasan inilah, modal telah menduduki tempat yang khusus dalam ilmu ekonomi Islam. Negara Islam mempunyai hak untuk turun tangan bila modal swasta digunakan untuk merugikan masyarakat. Tersedia hukuman yang berat bagi mereka yang menyalahgunakan kekayaan untuk merugikan masyarakat.

Lagi pula hanya sistem ekonomi Islam yang dapat menggunakan modal dengan benar dan baik, karena dalam sistem Kapitalis modern kita dapati bahwa manfaat kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari. Mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.
Tetapi Islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang, dikutuk! Al-Qur'an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, karena kekayaan harus tersebar dengan baik.

Dengan cara ini, Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi. Karena itu tingkat keuntungan pada usaha ekonomi yang khusus antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sarana penentuan modal.

Kelihatannya tidak ada ciri-ciri istimewa yang dapat dianggap sebagai organisasi dalam suatu kerangka Islam. Tetapi ciri-ciri khusus berikutnya dapat diperhatikan, untuk memahami peranan organisasi dalam ekonomi Islam. Pertama, dalam ekonomi Islam pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manajer cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi deviden di kalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra sutau usaha ekonomi. Kekuatan-kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacam-macam bentuk (mudaraba, musyarakah, dll).

Kedua, pengertian keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak diperkenankan. Modal manusia yang diberikan manajer harus diitegerasikan dengan modal yang berbentuk uang. Pengusaha penanam modal dan usahawan menjadi bagian terpadu dalam organisasi dimana keuntungan biasa menjadi urusan bersama.
Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketetapan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan daripada dalam organisasi sekular mana saja, dimana para pemilik modalnya mungkin bukan meruapakn bagian ari manajemen. Islam menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalam urusan perdagangan, karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.

Dapat disimpulkan bahwa sistem produktif dalam negara Islam harus dikendalikan dengan kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif diukur dengan kesejahteraan material, seangkan kriteria subjektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang harus dinilai dari segi etika ekonomi Islam.
Dalam Islam, faktor produksi tidak hanya tunduk pada proses perubahan sejarah yang didesak oleh banyak kekuatan berlatar belakang penguangan/monetization tenaga kerja, tanah dan modal, timbulnya negara nasional dari kerajaan feodal dan sebagainya, tetapi juga pada kerangka moral dan etika abadi sebagaimanatertulis dalam syariat. Tanah tidak dianggap sebagai hak kuno istimewa dari negara dan kekuasaan, tetapi dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan produksi yang digunakan demi kesejahteraan individu dan masyarakat.



OLIGOPOLI

Industri A.S. ditantai oleh sejumlah kecil perusahaan, masing-masing menguasai sebagian cukup berarti dari produksi industri masing-masing. Perusahaan-perusahaan ini biasanya dari 3 sampai 12 cenderung mendominasi industri demikian, dan para pendatang baru menemui kesulitan untuk memantapkan diri mereka. Struktur pasar yang merangkum industri-industri demikian dinamakan oligopoly, dari kata Yunani oligospolein, yang artinya “sedikit penjual”[8].

Secara harfiah oligopoly berarti ada beberapa penjual di pasar. Boleh dikatakan oligopoli merupakan pertengahan dari monopoly dan monopoloistik competition[9].

Suatu ologopoli adalah industri yang terdiri atas dua atau beberapa perusahaan, dedikitnya satu di antaranya menghasilkan sebagian cukup besar dari keluaran toral industri. Bila ada rasio konsentrasi yang tinggi untuk perusahaan-perusahaan yang melayani satu pasar tertentu, pasar tersebut oligopolistik. Dalam pasar ologopoli di mana ada sedikit penjual yang menjual barang sama, maka aksi penjual harus memerhatikan reaksi penjual lain. Ada dua aksi yang dapat diambil penjual yaitu[10]:

1. Menentukan berapa kuantitas yang akan diproduksinya. Model yang menjelaskan hal ini adalah Cournot Quantity Competition.[11]

2. Menentukan berapa harga yang akan ditawarkannya. Model yang menjelaskan hal ini adalah Betrand Price Competition.[12]

Para pengikut aliran Chamber menjelaskan keadaan oligopoly sebagai suatu keadaan “saat jumlah produsen dalam suatu pasar lebih besar dari yang lainnya, namun kelompok tersebut tidak cukup kuat memberikan pengaruh terhadap salah satu dari kelompok kecil mereka atas harga pasar”[13]. Sehubungan dengan masalah oligopoly dalam spirit Islam ini, M.A. Mannan (1992) melakukan analisis, walaupun ia sendiri masih menganggap sebagai suatu penilaian tentative. Menurutnya, pada dasar oligopolistik keadaannya adalah menunjukkan persaingan tidak sempurna antara beberapa perusahaan.

Persaingam yang dilakukan dengan pola oligopoly apapun alasan tetap tidak memberikan dampak baik bagi perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, bagaimana Islam memberikan jawaban atas persoalan mendasar oligopoly tersebut? Salah satu aspek yang menarik dari pasar oligopolistik dalam spirit Islam adalah terjadinya kooperasi di antara perusahaan-perusahaan yang ada – kooperasi dalam rangka untuk mencapai kebaikan masyarakat bukan untuk bermusuhan (bersaing).[14]

Cirri-ciri pasar oligopoly[15]:

a. Terdapat beberapa penjual/produsen yang menguasai pasar.

b. Barang yang diperjualbelikan dapat homogen dapat pula berbeda corak

c. Terdapat hambatan masuk yang cukup kuat badi perusahaan di luar pasar untuk masuk ke dalam pasar.

d. Satu di antara para oligopolies merupakan price leader yaitu penjual yang memiliki pangsa pasar yang terbesar. Ia memiliki kekuatan yang besar untuk menetapkan harga dan para penjual yang lainnya biasanya terpaksa mengikuti harga tersebut.



PENUTUP



Meskipun ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.
Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi adalah studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis.

Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Andaipun ada perbedaan itu terletak pada sifat dan volumenya (M. Abdul Mannan; 1993). Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara kedua sistem ilmu ekonomi dapat dikemukakan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan.

Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada macam-macam tingkah masing-masing individu. Mereka mungkin atau mungkin juga tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber semau kita. Dalam hal ini ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur'an dan Sunnah atas tenaga individu. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur'an atau Sunnah.

REKOMENDASI

Dalam ilmu ekonomi Islam kita tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya. Hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan dan kurangnya sarana, maka timbullah masalah ekonomi. Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi Islam. Namun perbedaan timbul berkenan dengan pilihan. Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam dan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu. Oleh karena itu kami mengharapkan sekali para pelaku ekonomi di Negara ini untuk sejenak berfikir yang lebih menarik untuk segera melakukan sebuah perubahan yang nyata dalam system ekonomi yang mengarah kepada kemaslahatan dan keadialn umat manusia.

[1] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, cet. Pertama, BPFE-Yogyakarta, 2004, hlm. 35-36.

[2] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (2007) hlm. 113

[3] Jaka Wasana, dkk, Pengantar Mikroekonomi Jilid I, , Jakarta, Binapura Aksara, 1995, hlm, 65.

[4] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islam, cet. Pertama, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm, 313.

[5] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (2007) hlm. 372-373.

[6] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islam, 2003, hlm, 313.

[7] Nurmawan, Struktur Pasar, jurnal Ekonomi 2001, hlm.15

[8] Agus Maulana, dkk, Pengantar Mikroekonomi, jilid 2, Jakarta, Bunapura Aksara, 1997, hlm. 68.

[9] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, edisi ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Pesada, 2007, hlm.175.

[10] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, edisi ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Pesada, 2007, hlm.176.

[11] Cournot mengembangkan model ini pada tahun 1835 dengan asumsi hanya ada dua penjual barang yang sama. Katakanlah di pasar hanya ada dua penjual air mineral, Arthes (perusahaan 1) dan Aqua (perusahaan 2). Kedua perusahaan memproduksi produk yang identik, sehingga meraka terdorong untuk menawarkan harga yang sama.

[12] Model Bertrand dikembangkan oleh Joseph Bertrand pada tahun 1883, dalam model ini, penjual menentukan harga yang memperoleh keuntungan maksimal, dengan memperhitungkan harga yang ia duga akan ditetapkan oleh pesaingnya. Dalam model ini, penjual tidak memperhitungkan bahwa pesaingnya akan bereaksi bila telah mengetahui harganya, jadi penjual menganggap harga pesaingnya tetap.

[13] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, cet. Pertama, BPFE-Yogyakarta, 2004, hlm. 390.

[14] Ibid, halm. 391.

[15] Rusjdi Rasjidin, dkk. Pelajaran Ekonomi, Jakarta, Yudistrira, 1995, hlm. 91.

Teruskan Baca......

Pedoman Transaksi Saham yang Sesuai Dengan Syariah

Konsep dasar
Saham adalah tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Selembar saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas adalah pemilik (berapapun porsinya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan kertas saham tersebut, sesuai porsi kepemilikan pada saham (Widiatmojo, 1997). Akan tetapi, sekarang ini sistem tanpa warkat sudah dilakukan di bursa efek Jakarta dimana bentuk kepemilikan tidak lagi berupa lembaran saham yang diberi nama pemiliknya tapi sudah berupa Taccount atas nama pemilik atau saham tanpa warkat. Jadi penyelesaian transaksi akan semakin cepat dan mudah karena tidak melalui surat, formulir, dan prosedur yang berbelit-belit.

Saham yang umum dikenal adalah saham biasa, tetapi jenis saham ada 2 yaitu: saham biasa dan saham preferen (Mamduh, 2006). Saham biasa adalah saham yang menempatkan pemiliknya paling terakhir terhadap pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi karena pemilik saham biasa ini tidak memiliki hak-hak istimewa. Pemilik saham biasa juga tidak akan memperoleh pembayaran dividen selama perusahaan tidak memperoleh laba.Setiap pemilik saham memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang saham /RUPS dengan ketentuan one share one vote. Pemegang saham biasa memiliki tanggung jawab terbatas terhadap klaim pihak lain sebesar proporsi sahamnya dan memiliki hak untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain.
Sedangkan saham preferen merupakan bentuk saham yang memiliki karakteristik obligasi. Pemegang saham preferen memperoleh dividen, tetapi dividen tersebut seperti bunga yang besarnya tetap. Biasanya besarnya sejumlah persentase tertentu dari nilai nominal saham preferen untuk setiap periode (Mamduh, 2006). Persamaan saham preferen dengan obligasi terletak pada 3 (tiga) hal yaitu ada klaim atas laba dan aktiva sebelumnya, dividen tetap selama masa berlaku dari saham dan memiliki hak tebus dan dapat dipertukarkan dengan saham biasa Saham preferen lebih aman dibandingkan dengan saham biasa karena memiliki hak klaim terhadap kekayaan perusahaan dan pembagian dividen terlebih dahulu Akan tetapi saham preferen mempunyai kelemahan yaitu sulit untuk diperjualbelikan seperti saham biasa, karena jumlahnya yang sedikit
Untuk memahami transaksi saham yang sesuai syariah, perlu kiranya memahami kaidah penetapan hukum Islam terlebih dulu. Hukum Islam atau yang dikenal dengan syariah bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Untuk memudahkan dalam pemahaman dan pelaksanaannya, para ulama manafsirkan perintah-perintah dan larangan-larangan yang diatur dalam Al-Quran dan Sunnah. Penanfsiran ini lebih dikenal dengan fiqih.
Dari seluruh aspek kehidupan yang diatur dalam Al-Quran dan sunnah. Berdasarkan hubungan manusia, fiqih mengelompokkan aspek-aspek kehidupan manusia dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok ibadah, yang merupakan seluruh aspek kehidupan manusia yang dilandasi hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya. Kaidah yang digunakan dalam pelaksanaan ibadah adalah semua tidak boleh dilakukan kecuali ada perintah atau ketentuannya. Dengan demikian dalam menjalankan ibadah manusia hanya boleh melakukan apa yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah.
Kelompok yang kedua, kelompok muamalah. Muamalah merupakan seluruh aspek kehidupan manusia yang dilandasi hubungan sesama manusia. Salah satu bentuk muamalah adalah perniagaan. Kaidah yang dipergunakan dalam bermuamalah adalah semua boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.
Kegiatan muamalah yang dilarang adalah kegiatan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman. Dalam melakukan muamalah manusia hanya perlu memperhatikan hal-hal yang dilarang. Dengan demikian manusia diberikan kebebasan untuk menciptakan berbagai pola perniagaan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. Kegiatan pasar modal termasuk dalam kelompok muamalah, sehingga transaksi dalam pasar modal diperbolehkan sepanjang tidak ada larangan menurut syariah.

Hukum investasi pada saham
Sejak secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham. Para ahli fiqih berpendapat bahwa suatu saham dapat dikatergorikan memenuhi prinsip syariah apabila kegiatan perusahaan yang menerbitkan saham tersebut tidak tercakup pada hal-hal yang dilarang dalam syariah islam, seperti :
1. alkohol;
2. perjudian;
3. produksi yang bahan bakunya berasal dari babi;
4. pornografi;
5. jasa keuangan yang bersifat konvensional;
6. asuransi yang bersifat konvensional.

Bentuk kontrak kepemilikan dalam hukum Islam bisa berupa mudharaba atau musharaka. Menurut (Achsien, 2000), Fiqh klasik berpandangan bahwa tidak boleh ada partner yang keluar dan/atau digantikan kecuali melalui penghentian atau likuidas partnership. Tujuannya adalah untuk menentukan secara persis dan final bagian yang dimiliki tiap pihak dalam kerjasama, untuk menyingkirkan kemungkinan uncertainty dalam penilaian asset yang dianggap gharar, Juga untuk kepentingan partner yang lain dalam keputusan untuk meneruskan usaha atau tidak dengan ataupun tanpa partner baru.
Untuk investor muslim, investasi pada saham (equity investment) memang sudah semestinya menjadi preferensi untuk menggantikan investasi pada deposito, walaupun dikatakan dalam fiqih klasik bahwa equity tidak bisa dipersamakan dengan keuangan Islami seperti kontrak mudharabah atau musharakah. Ekuity dapat dijual kapan saja pada pasar sekunder tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham. Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan rab al maal (investor) dan perusahaan sebagai mudharib untuk statu periode tertentu, karena batasan periode kontrak yang mengikat tersebut, mudharabah dan musyarakah seringkali dianggap tidak likuid. Sementara ekuiti yang memungkinkan untuk dijual kapan saja tentunya lebih liquid dan lebih atraktif, meskipun kemudian terjadi modifikasi progresif untuk membuat kontrak keuangan Islami menjadi lebih likuid.
Tetapi fiqih modern memajukan inovasi untuk hal ini yang belakangan juga sudah diterima secara luas. Sekuritas saham dipandang sebagai penyertaan dalam mudharaba partnership yang merefleksikan kepemilikan perusahaan (ownership of the entreprice), bukan saham partnership pribadi. Kepemilikan perusahaan ini kemudian disamakan dengan kepemilikan terhadap asset perusahaan. Setelah membuat asosiasi ini, perdagangan saham dapat dilakukan bukan sebagai model patungan usaha (sharika’aqd) tetapi dalam bentuk syarika milk atau kepemilikan bersama atas aset perusahaan. Konstruksi ini menguntungkan karena co-owners dapat menjual saham-nya pada pihak ketiga tanpa memerlukan persetujuan co-owner lainnya, atau melalui likuidasi terlebih dulu. Lagi pula, saat ini perusahaan memiliki durasi yang tidak terbatas dengan baragam proyek bisnis yang dilakukan.
Keberatan fiqih klasik bahwa penilai/penjualan ditengah masa usaha akan menimbulkan kemungkinan gharar-seperti halnya jual beli ikan dalam laut- dapat diatasi dengan praktek akuntansi modern dan adanya kewajiban disclosure laporan keuangan kepada pemilik saham. Dengan berbagai model valuasion modern saat ini, investor dam pasar secara luas, memiliki pengetahuan tentang nilai sebuah perusahaan, sehingga saham-saham dapat diperjual belikan secara wajar dengan harga pasar.Lagi pula market value tampaknya lebih mencerminkan nilai yang lebih wajar dibandingkan dengan book value. Dengan demikian, ditarik kesimpulan bahwa sekuritas-sekuritas dapat diperjualbelikan dengan menggunakan mekanisme pasar sebagai penentu harga. Dengan demikian , dapat memperoleh capital gain selain profit-sharing dari dividen.

Pedoman bertansaksi saham biasa yang sesuai dengan syariah
1. Menghindari gharar
Menurut Achsien (2000), sebuah transaksi yang gharar dapat timbul setidaknya karena dua sebab utama.] Yang pertama adalah kurangnya informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pada pihak yang melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya control atau skill pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya obyek. Ada pula yang membolehkan transaksi dengan obyek yang secara aktual belum ada, dengan syarat bahwa pihak yang melakukan transaksi memiliki kontrol untuk hampir bisa memastikannya di masa depan
Sebagai institusi keuangan modern, pasar modal tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kesalahan. Salah satunya adalah tindakan spekulasi. Para ”investor” selalu memperhatikan perubahan pasar, membuat berbagai analisis dan perhitungan, serta mengambil tindakan spekulasi di dalam pembelian maupun penjualan saham. Aktivitas inilah yang membuat pasar tetap aktif. Tetapi, aktivitas ini tidak selamanya menguntungkan, terutama ketika menimbulkan depresi yang luar biasa.
Dalam pasar modal ini, dibedakan antara spekulan dengan pelaku bisnis (investor) dari derjat ketidak pastian yang dihadapinya. Menurut Agustianto (2005), perlu dilihat dahulu karakter dari masing-masing investasi dan spekulasi, Pertama, Investor di pasar modal adalah mereka yang memanfaatkan pasar modal sebagai sarana untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan Tbk yang diyakininya baik dan menguntungkan, bukan untuk tujuan mencari capital gain melalui short selling. Mereka mendasari keputusan investasinya pada informasi yang terpercaya tentang faktor-faktor fundamental ekonomi dan perusahaan itu sendiri melalui kajian yang seksama. Sementara spekulan bertujuan untuk mendapatkan gain yang biasanya dilakukan dengan upaya goreng menggoreng saham.
Kedua, spekulasi sesungguhnya bukan merupakan investasi, meskipun di antara keduanya ada kemiripan. Perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya terletak pada 'spirit' yang menjiwainya, bukan pada bentuknya. Para spekulan membeli sekuritas untuk mendapatkan keuntungan dengan menjualnya kembali secara (short term). Sedangkan para investor membeli sekuritas dengan tujuan untuk berpartisipasi secara langsung dalam bisnis yang lazimnya bersifat long term.
Ketiga, Spekulasi adalah kegiatan game of chance sedangkan bisnis adalah game of skill. Seorang dianggap melakukan kegiatan spekulatif apabila ia ditenggarai memiliki motif memanfaatkan ketidak pastian tersebut untuk keuntungan jangka pendek. Dengan karakteristik tersebut, maka investor yang terjun di pasar perdana dengan motivasi mendapatkan capital gain semata-mata ketika saham dilepas di pasar sekunder, bisa masuk ke dalam golongan spekulan (Sapta, 2002) dalam Agustiarto
Keempat, spekulasi telah meningkatkan unearned income bagi sekelompok orang dalam masyarakat, tanpa mereka memberikan kontribusi apapun, baik yang bersifat positif maupun produktif. Bahkan, mereka telah mengambil keuntungan di atas biaya masyarakat, yang bagaimanapun juga sangat sulit untuk bisa dibenarkan secara ekonomi, sosial, maupun moral.
Kelimat, spekulasi merupakan sumber penyebab terjadinya krisis keuangan. Fakta menunjukkan bahwa aktivitas para spekulan inilah yang menimbulkan krisis di Wall Street tahun 1929 yang mengakibatkan depresi yang luar biasa bagi perekonomian dunia di tahun 1930-an. Begitu pula dengan devaluasi poundsterling tahun 1967, maupun krisis mata uang franc di tahun 1969. Ini hanyalah sebagian contoh saja. Bahkan hingga saat ini, otoritas moneter maupun para ahli keuangan selalu disibukkan untuk mengambil langkah-langkah guna mengantisipasi tindakan dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh para spekulan.
Keenam, spekulasi adalah outcome dari sikap mental 'ingin cepat kaya'. Jika seseorang telah terjebak pada sikap mental ini, maka ia akan berusaha dengan menghalalkan segala macam cara tanpa mempedulikan rambu-rambu agama dan etika.
Karena itu, ajaran Islam secara tegas melarang tindakan spekulasi ini, sebab secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai illahiyah dan insaniyyah.
2. Perhatikan operasi perusahaan
Perusahaan yang dapat digolongkan menjadi (Syahatah dan Fayyadh, 2004):
a. Perusahaan saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang halal dan baik, modalnya bersih dari riba dan penyucian harta kotor serta tidak memberikan salah satu pemegang sahamnya keistimewaan materi atas pemegang saham lainnya.
b. Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal yang diharamkan dan menjijikan, atau modalnya merupakan harta haram darimanapun asalnya, atau perusahaan tersebut memberikan keistimewaan materi bagi sebagian pemegang saham seperti keistimewaan materi bagi sebagian pemegang saham seperti keistimewaan dalam bentuk pengembalian modal terlebih dulu ketika perusahaan dilikuidasi atau keistimewaan atas hal tertentu dalam keuntungan (dividen)
c. Saham perusahaan yang operasionalnya bercampur antara yang halal dan yang haram
Ulasan berikut membahas hukum syara atas masing-masing jenis saham tersebut
a. Saham perusahaan yang beroperasi dalam hal-hal yang halal dan baik, bersih dari hal-hal kotor baik dalam operasionalnya maupun hasil produksinya
Menanam saham dalam perusahaan seperti itu adalah boleh secara syar’i, bahkan sangat dianjurkan dan disenangi (sunnah), karena adanya manfaat yang diraih dan kerusakan yang bisa dihindari dengan saham tersebut. Perdagangan (jual-beli) saham-saham tersebut, aktifitas mediator, publikasi saham dan pendaftarannya serta ikut memperoleh bagian dari keuntungannya, semua itu diperbolehkannya aktifitas tersebut. Islam sebagaimana telah kami sebutkan tidak melarang adanya bentuk-bentuk administrasi dan manajemen baru yang diterapkan didalmnya aktifitas yang diperbolehkan.
b. Saham perusahaan yang beraktifitas dalam hal-hal yang diharamkan, seperti perusahaan-perusahaan minuman keras, baik produsen, distributor atau pengimpor (pemasok dari luar negeri), perusahaan yang memproduksi daging babi, perusahaan simpan meminjam berdasarkan riba seperti bank-bank ribawi, perusahaan seni yang terlarang, perusahaan perjudian, pengelola prostitusi dan perusahaan yang membekali musuh dengan dana dan komoditas strategis yang digunakan untuk memerangi umat Islam, baik berupa senjata atau lainnya dan jenis-jenis usaha lainnya yang telah dinash oleh syariah Islam atas keharamannya.
Begitu juga jika modal perusahaan tersebut berasal dari riba atau dari harta kotor dan pendapatan dari kejahatan seperti harta hasil curian , penipuan dan yang sejenisnya. Hal yang sama juga jika saham tersebut memberi keistimewaaan materi bagi pemegangnya atas pemegang saham lainnya (saham preferen). Semua yang disebutkan diatas diharamkan secara syar’i, sehingga tidak boleh menanam saham dalam perusahaan-perusahaan seperti itu, begitu juga menjadi pialang dalam sahamnya, mengedarkan dan mencatatkannya dalam pasar.
c. Saham perusahaan yang bercampur antara yang halal dan yang haram seperti jika modal perusahaan tersebut halal, hanya saja perusahaan tersebut memakai pinjaman ribawi untuk mendanai sebagian aktifitasnya, atau operasional perusahaan tersebut berdasarkan akad-akad yang haram. Perusahaan seperti ini banyak dijumpai dewasa ini, bahkan sedikit sekali kita dapati aktifitas yang murni halal karena dominannya sistem dan undang-undang konfensional (kufur) dalam masyarakat muslim, sehingga tidak ada satu perusahaanpun atau suatu aktifitas pun yang bisa menghindarkan diri dari riba, suap atau akd-akad yang batil.

Lebih lanjut (Syahatah dan Fayyadh, 2004): menjelaskan para fuqaha (ahli hukum Islam) kontemporer berbeda pendapat dalam hal sejauh mana kebolehan perusahaan-perusahaan seperti ini. Diantara mereka ada yang memenangkan segi al-wara dan at-tahawwuth (hati-hati) serta melarang ikut andil dalam perusahaan –perusahaan tersebut atau berinteraksi dengannya dalam bentuk apapun sebagai bentuk pemenangan perkara yang haram atas sesuatu yang halal, karena sesuatu yang halal dan yang haram juka berkumpul maka akan dimenangkan yang haram. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalilkan sejumlah nash-nash Al-Quran dan hadits serta pendapat –pendapat para salf yang mengajak kepada kewaraan dari yang haram walalupun sedikit. Sebagian ulama ahli hukum yang lain memperbolehkannya dalam aktifitas dan modal perusahaan tersebut. Ada beberapa riwayat dari para salafus shahih yang menunjukkan bahwa harta yang bercampur antara halal dan haram, jika lebih banyak halalnya, maka boleh berinteraksi dalam harta tersebut selalgi sesuatu yang menjadi obyek muamalah tersebut hakekatnya tidak haram. Diantara perkataan para salaf tersebut antara lain.


Ucapan Ibn Najim Al-Hanafi
“Jika dalam suatu negara/wilayah apabila bercampur antara yang halal dan haram maka boleh membeli hal tersebut kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa barang tersebut haram.
Imam An-Nawawi berkata:
Pencampuran antara yang haram tak terhitung dengan halal yang terbatas dalam satu negeri tidak menjadikan pembelian dalam negeri tersebut haram,bahkan boleh mengambil daripadanya kecuali dalam sesuatu tersebut terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut termasuk yang haram. Jika tidak terdapat tanda-tanda keharaman maka barang tersebut tidak haram tetapi meninggalkannya termasuk sifat wara yang disenangi. Setiap bertambah besar keharaman, sikap wara semakin disenangi.
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan sekitar bermuamalah dengan orang yang mayoritas hartanya haram, seperti para penganut cukai (pungli) dan pemakan harta riba , berkata:
“Jika dalam hartanya ada yang halal dan ada yang haram , maka dalam bermuamalah dengan mereka terdapat syubhat, tidak dihukumi haram kecuali jika diketahui dia memberikan sesuatu yang haram untuk diberikan, dan tidak dihukumi halal kecuali jika diketahui bahwa yang diberikan adalah halal, jika sesuatu yang halal lebih dominan maka muamalah tersebut tidak bisa dihukum haram dan jika haram lebih dominan , maka ada dua pendapat: Kelompok pertama berpendapat bahwa muamalah tersebut halal dan kelompok kedua berpendapat bahwa muamalah tersebut haram

Syarat suatu saham yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dikatakan syariah
adalah sebagai berikut (Rizal, Sofyan, 2008):
a. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan yang mengeluarkan saham (emiten) atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah, antara lain: perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
b. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas saham syariah yang dikeluarkan.
c. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan saham syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer. (fatwa DSN No 40/2003)

Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non-syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinisp syariah. Dalam hal ini, di Bursa Efek Jakarta terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30 saham yang memenuhi criteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional (DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) sekarang BII bersama dengan PT Danareksa Invesment Management (DIM). Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui index ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah. Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari saham-saham yang sesuai dengan Syariah Islam. Penentuan kriteria pemilihan saham dalam Jakarta Islamic Index melibatkan pihak Dewan Pengawas Syariah PT Danareksa Invesment Management. Saham-saham yang masuk dalam Indeks Syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah seperti:
a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
b. usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
d. Usaha yang memproduksi, mendistribusi dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Selain criteria diatas, dalam proses pemilihan saham yang masuk JII Bursa Efek
Jakarta melakukan tahap-tahap pemilihan yang juga mempertimbangkan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu:
a. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar).
b. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun berakhir yang meiliki rasio Kewajiban terhadap Aktiva maksimal sebesar 90%.
c. Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir
d. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler selama satu tahun terakhir.
Pengkajian ulang akan dilakukan 6 bulan sekali dengan penentuan komponen index pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan perubahan pada jenis usaha emiten akan dimonitoring secara terus menerus berdasarkan data-data publik yang tersedia.

Berikut daftar Emiten Jakarta Islamic Index sampai dengan Juni 2007

Daftar Saham Yang Masuk Dalam Perhitungan
Jakarta Islamic Index
Periode Januari 2007 s.d Juni 2007

3. Tidak melakukan Margin trading (Asy-Syira’Bi Al-Hamisy)
Margin trading pada prinsipnya adalah penjualan kredit. Pada penjualan saham secara margin, investor diperlukan untuk mempunyai deposit pada broker yang nilainya merupakan persentase tertentu dari saham yang akan dibeli. Selanjutnya broker meminjamkan dulu dananya untuk membeli saham yang diminta.(Achsien, 2000). Surat berharga tersebut didaftarkan atas nama perusahaan perantara (pialang) dan bukan atas nama pembeli, kemudian pihak pialang membayar bunga kepada bank atas pinjaman tersbut dan membebankannya kepada pembeli dalam bentuk harga yang lebih tinggi dari harga bunga
Para spekulan menggunakan bentuk transaksi ini yang tersebar di bursa internasional karena adanya ekspektasi akan datang bagi tambahan harga pasar bagi surat berharga yang dibeli sehingga mereka meraih keuntungan yang tinggi atas bagian yang mereka bayar secara tunai.
Dalam transaksi ini, pembeli tidak membayar harga secara keseluruhan, sampai batas ini tidak ada permasalahan secara syar’i. Karena syariat Islam memperbolehkan jual-beli tempo. Menurut Syahatah dan Fayyadh (2004), keharaman tersebut dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Kondisi yang mana sisa harga akad yang belum dibayar, dihitangkan oleh pialang untuk pembeli dengan imbalan bunga yang diharamkan secara syar’I, karena ia merupakan riba yang diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan umat telah sepakat dengan hal itu.
b. Keadaan surat berharga yang menjadi obyek akad dijadikan jaminan pada pialang yang mengambil manfaat dari keuntungannya. Padahal yang berhak mengambil keuntungan dan manfaat sesuatu yang digadaikan adalah pemiliknya/penggadai bukan yang menerima gadai yang memberi hutang.
c. Adanya dua akad secara bersamaan dalam satu akad yaitu akad jual beli dan akad hutang. Padahal syariat Islam telah melarang berkumpulnya kedua hal tersebut secara bersamaan. Dalam hadis sahih, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual beli dan salaf
d. Praktek-praktek yang tidak bermoral yang menyertai transaksi ini. Keuntungan yang diperoleh oleh salah satu pihak merupakan kerugian bagi pihak yang lain, sehingga setiap pihak merupakan kerugian bagi pihak yang lain, sehingga setiap pihak berusaha untuk menimpakkan kerugian bagi pihak lain dengan segala macam cara, baik yang diperbolehkan maupun yang tidak, bahkan yang tidak diperbolehkan adalah lebih dominan.
e. Praktek perjudian atas surat berharga. Padahal perjudian dilarang berdasarkan firman Allah swt

4. Tidak melakukan short sale (Al-Bai’ ’ala Al-Maksyuf)
Short selling adalah menjual saham yang tidak dimiliki. Short selling dilakukan jika investor memperkirakan harga suatu saham akan turun. Investor bisa meminta kepada brokernya untuk melakukan short sell. Karena investor tersebut tidak mempunyai saham, broker kemudian mencari saham yang bisa dipinjamkan. Jika saham tersebut bisa diperoleh (dipinjam), maka investor tersebut bisa menjual saham pinjaman tadi dengan harga pasar saat ini. Beberapa saat kemudian, investor tersebut harus mengembalikan saham pinjaman tersebut. Investor tersebut bisa membeli saham dipasar untuk mengembalikan saham pinjaman tersebut.(Mamduh, 2006)
Syahatah dan Fayyadh (2006) menjelaskan sejauh mana kebolehan transaksi short sale ini, sesungguhnya dalam transaksi ini penjual tidak memiliki barang /surat berharga yang menjadi obyek akad. Ia hanya bersekulasi atas turunnya harga, yang mana ia perkirakan turunnya harga saham yang dia jual kemudian dia membeli pada waktu jath tempo dengan harga yang lebih murah sebagaimana ia perkirakan, sedangkan ia telah menjual saham tersebut dengan harga lebih tinggi sehingga ia memperoleh keuntungan dari perbedaan harga. Dalam waktu yang sama pembeli surat berharga tersebut berspekulasi bahwa harga akan naik, yang mana id memperkirakan harga kan naik padahal ia telah membeli dengan harga yang lebih murah, sehingga ia kan memperoleh keeuntungan dari perbedaan dua harga tersebut (capital gain)
Bentuk seperti ini diharamkan karena mengandung bebrapa yang dilarang, yang terpenting adalah:
a. Penjualan surat berharga yang tidak menjadi milik penjual, begitu juga pembelian sesuatu yang tidak menjadi milik penjual. Syariat Islam telah melarang hal ini, berdasarkan hadits:
Rasulullah saw melarang jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan melarang keuntungan dari sesuatu yang tidak bisa dijamin kapastiannya.
b. Memperbesar volume transaksi short sale mempunyai efek negatif dan membahayakan bagi pasar modal, karena jika spekulasi dalam bentuk seperti ini bertambah dalam surat berharga apapun akan memberikan inspirasi bagi yang lain bahwa harga akan turun yang kemudian diikuti dengan turunnya harga dipasar tanpa adanya informasi tntang jeleknya kondisi proyek/perusahaan yang mengeluarkan surat berharga tersebut. Hal ini jika berlangsung terus menerus akan melemahkan kekuatan pasar modal. Sering terjadi muamalah (persekongkolan) trhadap suatu perusahaan dengan cara seperti ini sehingga perusahaan tersebut terancam kehancuran akibat permaian mereka dan para spekulator
c. Praktek-praktek tidak bermoral yang menyertai proses transaksi ini, baik dalam bentuk jual-beli fiktif dan formalitas, penimbunan, penyebaran isu dan kebohong-bohongan lainna. Transaksi ini mengandung unsur judi dan taruhan yang diharamkan oleh Islam.

Teruskan Baca......

Pengertian Kepemilikan

Salah satu karakter yang dimiliki oleh setiap individu dalam kaitannya dengan kepentingan untuk dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya yaitu adanya naluri (ghorizah) untuk untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqa’) disamping naluri mempertahankan diri (ghorizatun nau’) dan naluri beragama (ghorizatut tadayyun). Ekspresi dari adanya naluri untuk mempertahankan diri tersebut adalah adanya kecenderungan dari seseorang untuk mencintai harta kekayaan. Keinginan untuk memiliki harta mendorong adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Berbagai aktivitas ekonomi muncul agar supaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang seiring dengan semakin maju kehidupan masyarakat. Keinginan untuk dapat memiliki harta yang banyak mendorong seseorang mau bekerja keras pagi sampai malam pada berbagai bidang ekonomi. Fenomena ini juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an:



Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imron : 14)
Jadi Islam dapat memahami adanya suatu fenomena tentang keinginan manusia untuk memiliki harta karena hal itu adalah suatu sunnatullah. Hanya persoalannya adanya bagaimana seseorang dalam upaya untuk dapat memperoleh harta dan kemudian memanfaatkannya senantiasa selaras dengan aturan-aturan yang telah digariskan dalam Islam. Permasalahan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan suatu upaya mencapai suatu kondisi kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Keadilan dan kesejahteraan baik dalam konteks kehidupan manusia sebagai suatu individu maupun sosial, karena Islam melihat persoalan hukum dalam masalah ekonomi tidak memisahkan antara yang wajib diterapkan pada suatu komunitas dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia dalam pengertian yang sebenar-benarnya baik dalam arti materi maupun non-materi, baik dunia maupun akhirat, baik individu maupun masyarakat.
Islam telah mengatur bagaimana mengelola sumberdaya ekonomi agar tercapai suatu kondisi yang diidealkan di atas. Dalam kaitannya dengan pengaturan kekayaan Islam menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek pengelolaan dan pemanfaatannya yaitu :
1. Pemanfaatan kekayaan, artinya bahwa kekayaan di bumi merupakan anugerah dari Allah SWT bagi kemakmuran dan kemaslahatan hidup manusia. Sehingga kekayaan yang dimiliki baik dalam lingkup pribadi, masyarakat dan negara harus benar-benar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Islam sangat menentang sikap hidup masyarakat dan kebijakan negara yang membiarkan dan menterlantarkan sumber ekonomi dan kekayaan alam.
2. Pembayaran Zakat, bahwa zakat merupakan satu bentuk instrumen ekonomi yang berlandaskan syariat yang berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan ekonomi di antara masyarakat agar tidak terjadi goncangan kehidupan masyarakat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan mekanisme ekonomi dalam pengaturan aset-aset ekonomi masyarakat. Zakat merupakan suatu bentuk ketaatan seorang muslim terhadap aturan Islam yang berdampak sosial.
3. Penggunaan harta benda secara berfaedah, sumber-sumber ekonomi yang dianugerahkan Allah SWT bagi manusia adalah merupakan wujud dari sifat kasih dan sayang-Nya. Sehingga pemanfaatan sumber-sumber ekonomi harus benar-benar digunakan bagi kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam sangat mencela setiap tindakan yang dapat menganggu keseimbangan lingkungan dan mengancam kelestarian hidup manusia.
4. Penggunaan harta benda tanpa merugikan orang lain, bahwa penggunaan aset ekonomi senantiasa diorientasikan bagi kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Dalam perspektif ekonomi pemanfaatan sumber ekonomi disamping efisien juga harus mencapai Pareto optimality artinya bahwa sumber daya ekonomi benar-benar dapat digunakan bagi kemaslahatan hidup masyarakat.
5. Memiliki harta benda secara sah, bahwa hak seseorang dalam penggunaan harta harus benar-benar memperhatikan kaidah syariat. Tidak dibenarkan seseorang menggunakan harta yang bukan miliknya. Aturan syariat dalam penggunaan harta menjamin ketertiban hidup di tengah masyarakat.
6. Penggunaan berimbang, pemanfaatan kekayaan menyangkut pemenuhan hidup manusia. Kebutuhan manusia menyangkut aspek jasmani dan rohani, dimensi duniawi dan ukhrohi, aspek pribadi dan sosial. Penggunaan kekayaan harus senantiasi memperhatikan keseimbangan aspek-aspek tersebut agar dapat mencapai tingkat kemanfaatan yang optimal. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga aturan syariat pasti menjamin keseimbangan dalam kehidupan manusia.
7. Pemanfaatan sesuai dengan hak, bahwa pemanfaatan kekayaan harus disesuaikan dengan prioritas dan kebutuhan yang tepat. Pilihan prioritas harus diterapkan secara baik agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kesalahan dalam menetapkan prioritas akan menyebabkan kesalahan dalam merumuskan kebijakan sehingga akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.
8. Kepentingan kehidupan, bahwa pemanfaatan kekayaan harus selalu dikaitkan dengan kepentingan kelangsungan hidup manusia. Islam telah membuat satu aturan yang rapi dan teratur menyangkut pemanfaatan dan penggunaan kekayaan termasuk dalam hal pengaturan harta waris.
Syaik Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa sistem ekonomi diatur dalam suatu aturan yang dibangun atas tiga asas yaitu :
1. Konsep Kepemilikan (al-Milkiyah)
2. Pemanfaatan kepemilikan (Tasharuf fi al-Milkiyah)
3. Distribusi kekayaan di antara manusia (Tauzi’u al-Tsarwah bayna an-Naas)

Teruskan Baca......

Landasan Normatif Ekonomi Islam

Landasan akidah, nilai fundamental Islam menjadi landasan dalam berbagai aktivitas termasuk aktivitas ekonomi. Akidah Islam menjadi keyakinan dan sekaligus panduan bagi setiap muslim dalam melangkah sehingga aktivitas duniawi tidak hanya berorientasi untuk berkarya secara materi namun juga memiliki nilai tambah berupa kemenangan dan keuntungan (falaah) di akhirat. Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya :


Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan Sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS Ali Imran : 57)

Landasan akhlaq, ekonomi Islam merupakan bagian dari manifestasi akhlaq Islam dalam bidang ekonomi. Nilai dan kehormatan pada diri seorang manusia ditentukan oleh kualitas akhlaqnya. Akhlaq dalam Islam merupakan nilai yang strategis dalam eksistensi kehidupan manusia karena akhlaq menyangkut aspek yang multidimensional. Islam mengatur bagaimana akhlaq manusia dengan penciptanya, akhlaq manusia dengan lingkungannya, akhlak manusia dengan sesamanya kesemuanya itu diatur untuk bisa menghadirkan suatu tatanan kehidupan yang lurus dan tertib selaras dengan prinsip dasar ajaran Islam. Akhlaq Islam dalam bidang ekonomi menyangkut semua dimensi dan aktivitas ekonomi sehingga tercapai keselarasan dan kesinambungan (sustainability) pembangunan bagi kesejahteraan umat manusia. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (QS Al-Bayyinah : 7)

Landasan syariah, yang meliputi sumber-sumber otentik dalam Islam untuk menjadi rujukan dalam pengambilan hukum dan dalil-dalil agama. Landasan syariah Islam meliputi Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad yang meliputi Qiyas, Mashlahah Mursalah, Istihsan, Isthab dan ‘Urf. Landasan syariah Islam diatur untuk menjaga kehidupan manusia dari kekacauan pada semua aspek kehidupan baik menyangkut kehidupan individu maupun sosial, aspek ekonomi, politik, budaya, seni, dan sosial.

Teruskan Baca......

Landasan Instrumental Ekonomi Islam

Kewajiban Zakat, merupakan bentuk ibadah mahdhoh sebagai bagian dari kesempurnaan rukum Islam yang berimplikasi sosial. Ketaatan seorang muslim tidak hanya menyangkut ibadah yang dimensi vertikal tapi juga harus diikuti dengan ibadah yang berdimensi horizontal dan inilah makna Islam sebagai agama yang membawa kedamaian bagi seluruh alam (rahmatal lil ‘aalamien). Kesediaan seorang muslim untuk menyisihkan sebagian dari hartanya untuk zakat, infak dan shodaqoh merupakan indikator keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT. Perintah untuk berinfak dan berzakat tersebut dalam Al-Qur’an :


103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Attaubah 103)

Maksud dari kata ‘membersihkan’ dari ayat ini bahwa zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan maksud kata ‘mensucikan’ dalam ayat ini bahwa zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Larangan Riba, hal ini untuk menghindari eksploitasi antara satu kelompok terhadap kelompok lainnya dalam suatu aktivitas ekonomi yang dapat menimbulkan distorsi dalam perekonomian. Secara mikroekonomi praktek riba menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya ekonomi sehingga mengganggu produktivitas ekonomi. Sedangkan secara makroekonomi praktek riba menyebabkan ketidakseimbangan makroekonomi sehingga mendorong perekonomian ke jurang resesi ekonomi. Keadaan ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemilik modal dengan para pekerja. Kecenderungan pemilik modal berusaha mendapatkan keuntungan yang berlipat dari modal yang ditanamkan tanpa menghadapi resiko usaha yang mungkin timbul sehingga dengan kepemilikan modalnya akan mengeksploitasi untuk memberikan keuntungan yang besar. Sedangkan pekerja dengan posisinya yang lemah akan menjadi korban dalam sistem ekonomi kapitalis yang menerapkan prinsip ekonomi ribawi. Secara akumulatif kaum pekerja (proletar) dalam jumlah yang masal akan melakukan perlawanan secara fisik dan ekonomi melalui revolusi social untuk merebut sumber-sumber dan alat-alat ekonomi yang dikuasai kelompok kapitalis (borjuis) dan akhirnya akan melahirkan masyarakat sosialis tanpa kelas (komunis). Itulah gambaran yang dikemukakan secara singkat oleh Karl Marx dalam bukunya das Kapital yang mengkritisi system dan praktek ekonomi kapitalis yang berkembang melalui praktek ribawi. Islam tidak menghendaki adanya ketidakadilan dalam setiap aktivitas ekonomi yang akan berakibat pada ketidakharmonisan dalam hubungan atau relasi antar individu dan kelompok dalam masyarakat. Islam mendorong semangat kerjasama saling menguntungkan dan saling tolong menolong antar sesama individu sehingga tercipta masyarakat yang hidup dalam keharmonisan yang dibangun dari interaksi antar individu yang saling mendukung satu sama lain. Larangan riba secara tegas diungkapkan Allah SWT dalam firman-Nya dalam Al-Qur’an :

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Ali Imron : 130)

Dalam ayat tersebut yang dimaksud riba ialah riba nasi'ah dan menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah dan juga banyak dijumpai dalam praktek perbankan konvensional.
Kerjasama Ekonomi, manusia dilahirkan berasal dari satu keturunan yaitu merupakan anak cucu dari Nabi Adam AS sehingga dengan kesadaran seperti itu harus melahirkan suatu semangat persaudaraan dan kerjasama antar umat manusia dengan dilandasi keimanan kepada Allah SWT sebagai pencipta seluruh umat manusia di bumi ini. Kerjasama ekonomi merupakan wujud dari kesadaran bahwa manusia secara fitroh adalah makhluk sosial yang eksistensinya sangat ditentukan interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Tidak bisa dibayangkan bagamana kehidupan seseorang yang tercerabut dari akar sosial dimana dia berada, bisa dipastikan bahwa akan menghadapi banyak kesulitan karena kehidupan seseorang tidak bisa dilepaskan dari campur tangan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan, pakaian, perumahan, transportasi dsb. Islam sangat menganjurkan agar seorang muslim selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain dan mendorong semangat kerjasama dalam kebaikan bagi kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Sengketa antar individu dan kelompok justru menjerumuskan manusia dalam jurang kesengsaraan hidup yang tidak akan pernah selesai kecuali kembali merajut tali kerjasama saling tolong menolong antar individu dan kelompok dalam masyarakat sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an

28. Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? patutkah (pula) kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma'siat? (QS Shaad : 28)

Jaminan Sosial, Islam sangat menghormati harkat dan martabat seorang manusia karena syariat Islam diturunkan untuk memberikan jaminan keselamatan atas kehormatan, kehidupan, kekayaan manusia. Dalam konteks kehidupan sosial Islam mensyaratkan adanya jaminan sosial pada setiap individu dalam masyarakat. Peranan negara melalui baitul maal berfungsi untuk memberikan perlindungan dan kepastian bagian kebutuhan hidup semua lapisan masyarakat sehingga ada alokasi anggaran yang digunakan untuk kepentingan masyarakat miskin, bantuan bencana alam, jaminan bagi manula dan kepentingan sosial lain yang bersifat darurat dan mendesak. Dalam konteks kehidupan masyarakat Islam juga telah menggariskan tentang mekanisme jaminan sosial dalam suatu keluarga melalui syariat harta waris agar tercipta jaminan kelangsungan hidup bagi suatu generasi.
Peranan Negara, aturan Islam menyangkut kehidupan baik dalam skala individu maupun sosial untuk terciptanya keseimbangan hidup manusia. Negara berperanan untuk menjadi regulator agar aktivitas ekonomi berjalan secara benar dan mencegah terjadinya eksploitasi antar kelompok dalam masyarakat. Negara berperan agar penggunaan dan alokasi sumber daya ekonomi dilakukan secara efisien dan berorientasi kepada kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat dan sekaligus untuk mencegah terjadinya konsentrasi dan monopoli kekayaan pada satu kelompok dalam masyarakat.

Teruskan Baca......

Perhitungan Laba dalam Konsep Islam

A. Pendahuluan
Diantara tujuan dagang yang terpenting ialah meraih laba, yang merupakan cerminan pertumbuhan harta. Laba ini muncul dari proses pemutaran modal dan pengopersiannya dalam aksi-aksi dagang dan moneter. Islam sangat mendorong pendayagunaan harta/modal yang melarang menyimapnnya sehingga tidak habis sdimakan zakat, sehingga harta itu dapat merealisasikan peranannya dalam aktivitas ekonomi.
Di dalam Islam, laba mempunyai pengertian khusus sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf. Hal ini terlihat ketika mereka telah menetapkan dasar-dasar perhitungan laba serta pembagiannya di kalangan mitra usaha. Mereka juga menjelaskan kapan laba itu digabungkan kepada modal pokok untuk tujuan ¬
perhitungan zakat, bahkan mereka juga menetapkan kriteria-kriteria yang jelas untuk menentukan kadar dan nisbah zakat itu, seperti yang terdapat dalam khasanah Islam., yaitu tentang mretode-metode akuntansi penghitungan zakat.
Bab ini khusus memabahas tentang pengertrian laba menurut konsep Islam serta keterkaitannya dengan pertumbuhan, pengahasilan, dan pendapat lainnya. Bab ini juga mencakup kriteria-kriteriayang menjelaskan laba dan kaidah-kaidah penghitungan yang dilengkapi dengan praktik-praktik yang mengkombinasikan antara konsep (teori) dan praktik.
B. Pengertian Laba
1. Arti Laba Secara Bahasa
Dalam bahasa Arab, laba berrti pertumbuhan dalm dagang, seperti terdapat dalam kitab Lisanul-Arab karangna Ibnu manzur: yaitu pertmbuhan dalam dagang. Berkata Azhadi, mak jual beli adalah ribh dan perdagangan adalah rabihah, yaitu laba hasil dagang.
Orang-orang Arab berkata, khath, yaitu ‘saya memberinya laba (untung)’, atau ‘memberikan padanya laba dengan barang-barangnya’. Ia telah memberinya harta muranahah, yaitu harta yang berasal dari keuntungan mereka berdua. Contoh lain, “Sayas telah menjual sesuatu (barang) secara muarabahah dengan ketentuan dari setiap 10 dirham diambil 1 dirham. “Artinya, dengan keuntungan satu dirham berarti 10%. Untuk pembahasan hukum laba ada perincian yang detail dalam buku-buku fiqih tertentu
2. ¬
3. Arti Laba dalam Islam
Di dalam surah al-Baqarah, Allah berfirman,
  ïÂµÃ¯‚Žï´Ã¯‰Ã¯Æ’´Ã¯‚©Ã¯€¤Ã¯€£  ï‚“ ïÅ Ã¯³Ã¯Æ’¹ ïÂµÃ¯‚‘ ïÅ½Ã¯Æ’Ÿï§Ã¯Æ’¨Ã¯€¿Ã¯´Ã¯‚Ã¯‚»Ã¯°Ã¯§Ã¯Æ’Ã¯«Ã¯‚ ïÂµÃ¯²   
“Mereka Itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (al-Baqarah)
Ada beberapa penafsiran dari ayat ini, seperti dalam tafsir Al-Qurthubi al-Jamii li Ahkamil-Quran, yaitu pada fiman Allah ïÅ½Ã¯Æ’Ÿï§Ã¯€¿Ã¯´Ã¯‚Ã¯‚»Ã¯°Ã¯§Ã¯Æ’Ã¯«Ã¯‚ïÂµÃ¯‚‘ïÅ Ã¯³Ã¯Æ’¹Ã¯€ . Allah mendasarkan pengertian laba dagang itu kepada kebiasaan orang Arab seperti pada ucapan mereka, hadist “beruntung denganmu”, hadist “ merugi transaksimu”. Kedua ungkapan ini berarti “kamu beruntung dan merugi dalam jual beli kamu”. Adapun dalam tafsir an-Nasafi dikatakan bahwa laba itu ialah kelebihan dari pokok dan perdagangan itu ialah pekerjaan si pedagang. Si pedagang ialah orang yang membeli dan menjual untuk mencari laba. Pada perdagangan hanyalah penyandaran metafora (majasi). Karenanya, arti kalimat ïÅ½Ã¯Æ’Ÿï§Ã¯€¿Ã¯´Ã¯‚Ã¯‚»Ã¯°Ã¯§Ã¯Æ’Ã¯«Ã¯‚ïÂµÃ¯‚‘ïÅ Ã¯³Ã¯Æ’¹Ã¯€ ialah “perdagangan itu tidak beruntung”. Dengan adanya susunan ”membeli kesesatan dengan kebenaran (petunjuk)” sebagai kiasan (majasi), kemudian langsung diikuti dengan menyebutkan laba dan dagang serta mereka tidak mendapat petunjuk dalam pedagangan mereka, seperti para pedagang yang selalu merasakan keuntungan dan kerugian dalam dagangannya. Jelasnya, tujuan para pedagang ialah menyelamatkan modal pokok dan meraih laba. Sementara iru, orang-orang yang dicontohkan dalam ayat-ayat di atas menyia-nyiakan semua itu, yaitu modal utama mereka ialah al-huda (petunjuk), tetapi ¬
petunjuk itu tidak tersisa pada mereka karena adanya dhalah (penyelewengan) atau (kesesatan) dan tujuan-tujuan duniawi. Jadi, yang dimaksud denganad-dhal ialah orang-orang yang merugi karena orang tersebut tidak dapat menyelamatkan modal utamanya, maka orang seperti ini tidak bisa dikatakan orang yang beruntung.
Di dalam tafsir al-Manar dikatakan bahwa sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) lebih memilih kesesatan (dhalalah) daripada petunjuk (al-huda) demi suatu keuntungan yang mana mereka yakin bisa mendapatkannya dari orang lain. Bentuknya adalah barter antara kedua belah pihak dengan tujuan mendapatkan laba. Inilah makna isytirak (partnerhip) dan syira’ (pembelian) di dalam laba dan membeli. Adapun menyandarkan laba pada perdagangan adalah jelas sekali karena laba itu ialah pertambahan pada hasil dagang. Prses barter ini akan menumbuhkan laba. Karenanya, maksud ayat di atas seolah-olah dikatakan bahwa tidak ada pertambahan dalam perdagangan mereka, atau mereka telah menjual petunjuk dalam perdagangan itu, karena mereka telah menjual petunjuk dan ajaran yang telah diberikan Allah kepada mereka dengan kegelapan taklid. Kesesatan hawa nafsu, serta bid’ah-bid’ah yang telah mengendalikan diri mereka.
Juga, sebagaimana yang terdapat dalam tafsir Ruhul Ma’ani karangan Imam al-Alusi tentang tafsir ayat ini, “Perdagangan itu ialah pengelolaan terhadap modal pokok untuk mencari laba. Laba itu ialah pertmabahan pada modal pokok.
Dari beberap tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian laba dalam Al-Qur’an berdasarkan ayat-ayat yang telah disebutkan di atas ialah kelebihan pokok atau pertambahan pada modal pokok yang diperoleh dari proses dagang. Jadi, tujuan utama para pedagang ialah melindungi dan menyelamatkan modal pokok dan mendapatkan laba.

4. ¬
5. Arti Laba dalam Sunnah
Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan laba, diantaranya’
............................................................

“Seorang mukmin itu bagaikan seorang pedagang; dia tidak akan menerima laba sebelum ia mendapatkan modal pokoknya. Demikian juga, seorang mukmin tidak akan mendapatkan amalan-amalan sunnahnya sebelum ia menerima amalan-amalan wajibnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Raslullah mengumpamakan seorang mukmin dengan seorang pedagang, maka seorang pedagang tidak bisa dikatakan beruntungsbelum dia mendapatkan modal pokoknya. Begitu juga halnya seorang mukmin tidak bisa menadapatkan balsan atau pahala dari amalan-amalan sunnahnya kecuali ia telah melengkapi kekuranagan-kekurangan yang tedapat pada amalan fardhunya.
Dari hadits di atas diketahui bahwa laba itu ialah bagian yang berlebih stelah menyempurnakan modal pokok. Pengertian ini sesuai dengan keterangan tentang laba dalam bahasa Arab dalam Al-Qur’an, yaitu pertambahan dari modal pokok.
6. Pengertian Laba Menurut Fuqaha
Para ulam fiqih sangat konsen pada bahasan laba dari segi pengertian dan ukurannya, terutama pada studi yirkah-syirkah (kerja sama), fiqih murabahah (pembagian hasil), dan fiqih zakat. Berikut ini kita akan memaparkan beberapa pendapat ulama dalam bidang muamalah.
Berkata Ibnu Quddamah, “Laba dari harta dagangan ialah pertumbuhan pada modal, yaitu petambahan nilai barang dagang.” Dari pendapat ini bisa dipahami bahwa laba itu ada karena adanya pertmabahan pada nilai harta yang telh ditetpkan untuk dagang.
¬
Berkata Ibnu Al-Arabi, “Setiap mu’awadhah (barter) merupakan perdagangan terhadap apapun bentuk barang penggantinya. Si pelaku barter hanya menginginkan kwalitas barang atau jumlahnya, sedangkan laba adalah kelebihan yang diperoleh oleh sesorang atas nilai pengganti.” Dari statemen ini dipahami bahwa laba ialah hasil dari selisih nilai awal harga pembelian dengan nilai penjualan.
Di dalam muqaddimah Ibnu Khaldun dikatakan, “Perdagangan ialah usaha untuk mewujudkan pertumbuhan atau pertambahan harta denga membeli barang dengan murah kemuidian menjualnya dengan harga mahal. Apapun jenis barangnya, jumlah pertambahan itulah yang disebut laba. Adpaun usaha mendapatkan laba itu ialah dengan menyimpan barang dan menunggu perubahan pasar dari harga murah hingga harga mahal sehingga labanya akan lebih besar atau juga dapat dilakukan dengan membawa barang tersebut ke daerah lainyang dsana bisa djual dengan harga yang lebih mahal dari harga daerah asal, maka labanya akan lebih besar.
Dari beberapa pendapatdi atas apat disimpulkan bahwa laba itu ialah salah satu jenis pertumbuhan, yaitu pertmabahan pada modal pokok yang dikhusukan untuk perdagangan. Dengan kata lain, laba ialah suatu pertambahan pada nilai yang terdapat antara harga beli dan harga jual. Tujtuan si pedagang dalam dagangannya ialah untuk menyelamatkan modal pokok dan mendapatkan laba. Jadi, orang yang tidak mendapatkan modal pokoknya tidak bisa dikatakan berlaba atau beruntung.
7. Pengertian Laba dalam Konsep Islam
Dari pengertian laba secara bahasa atau menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pendapat ulama-ulama fiqih dapat kita simpulkan bahwa laba ialah pertambahan pada modal pokok perdagangan atau dapat juga dikatakan sebagai tambahan nilai yang timbul karena barter atau ekpedisi dagang.

Berikut ini beberapa aturan tentang laba dalam konsep Islam.
• Adanya harta (uang) yang dikhususkan untuk perdagangan
• Mengoperasikan modal tersebut secara interaktif dengan unsur-unsur yang lain lain yang terkait untuk produksi, seperti usaha dan umber-sumber alam.
• Memposisikan harta sebagai obyek dalam pemutarannya karena adanya kemungkinan-kemungkinan pertmabahan atau pengurangan jumlahnya
• Selamatnya modal pokok yang berati modal bisa sikembalikan.

Teruskan Baca......

Prinsip-prinsip Akuntansi Syariah

Prinsip-Prinsip Akuntansi pada Modal Pokok
Diantara tujunan syariat Islam ialah menjaga dan mengembangkannya melalui jalur-jalur yang syar’i, untuk merealisasikan fungsinya dalam kehidupan perekonomian serta membantu memakmurkan bumi dan pengabdian kepada Allah SWT. Sumber-sumber hukum Islam telah mencukup kaidah-kaidah yang mengatur pemeliharaan terhadap modal pokok (kapital) di dala peranannya. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut.
1. Tamwil dan Syumul (Mengandung Nilai dan Universal)
modal itu harus dapat memberikan nilai, yaitu mempunyai nilai tukar di pasar bebas. Bisa saja, modal beda dalam naungan sebuah peruashaan dalam bentuk uang, barang milik, atau barang dagangan selama harta itu masih bisa dinilai dengan uang oleh pakar-pakar yang ahli di bidang itu serta disepakati oleh mitra usaha.
Ra’sul-maal (modal awal) juga bisa berbentuk manfaat , yang dalam konsepakuntansi positif disebut ushul ma’nawiah (modal nonmateri), seperti halnya sesorang yang terkenal maupun nama baik dan hak-hak istimewa. Oleh karena itu dalam konsep akuntasi Islam, kapital mempunyai makna universal dan luas, yang meliputi uang, benda, atau yang nonmateri.
2. Mutaqawwim (Bernilai)
Modal itu harus bernilai, artinya dapat dimanfaatkan secara syar’i. Jadi, harta-harta yang tidak mengandung nilai tidak termasuk dalam wilayah akuntansi yang sedang dibicarakan, seperti khamar, daging babi, dan alat-alat perjudian.
Di suatu negara yang berhukum kepada hukum Islam, tidak boleh masuk kedalam keuangannya atau keuangan masyarakatnya yang muslim jenis-jenis harta yang tidak boleh dimafaatkan secara syar’i. Jika didapati, harus disita dan menghukum orang-orang Islam yang memilikinya.

3. ¬
4. Penguasaan dan Pemilikan yang Berharga
Mal atau harta itu harus dimilki secara sempurna dan dikuasainya sehingga ia dapat memanfaatkannya secara beabs dalam bermuamalah atau bertransaksi. Sebagai contoh, tidak boleh bagi seseorang untuk memulai dengan pihak lain kerja sama dalam uang dan pekerjaan dengan janji membayarkan uang tersebut dikemudian hari atau uang itu masih bersifat utang (dalam jaminan), seperti yang ditegaskan oleh ulama fiqih dalam fiqih syarikah.
5. Keselamatan dan Keutuhan Ra,sul-maal
Sistem akuntansi Isalm menekankan pemeliharan terhadap kapital yang hakiki, seperti yang tergambar dalam sabda Rasul;
..............................................................................

“Seorang mukminn itu bagaikan seorang pedagang; dia tidak akan menerima laba sebelum dia mendapatka ra’sul-maalnya (modal). Demikian juga, seorang mukmin tidak akan mendapatkan amalan-amalan sunnahnya sebelum ia menerima amalan-amalan wajibny.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi, kalau modal belum dipisahkan dan keuntungan telah dibagi, itu dianggap telah membalikan sebagai modal kepada sipemilik saham. Hal inilah yang banyak menimbulkan masalah dalam perusahaan-perusahaan.
Adapun yang dimaksud dengan selamatnya modal hakiki ialah selamat dari julah, unit-unit materinya, dan daya tukar barang, bukan dari segi unit-unit uangnya dan juga bukan dari segi daya beli secara umum.
Prinsip ini adalah hasil bahasan seorang peneliti konsep akuntansi Islam dalam tesis magisternya yang berjudul “Perhitungan terhadap Modak antara konsep Akuntansi Islam Modern”. Dia menjelaskan kelebihan konnsep akuntansi Islam yang lebih dahulu menyelesaikan problem pemeliharaan terhadap modal hakiki. Hukum-hukum Isla juga mengandung kaidah-kaidah pengukuran yang dapat merealisasikannya. ¬
Hukum Islam juga meangadung apa yang kita bahas, yang diantaranya tentang penentuan harga berdasarkan nilai yang berlaku di pasar bebas yang jauh dari tipu muslihat, monopoli, dan semua jenis jual beli yang dilarang syar’i, yang menyebabkan memakan harta orang lain secara batil.
Berikut ini beberapa pendapat ahli tafsir dan ulama fiqih tentang pemeliharaan modal (ra’sul-maal) hakiki.
1. Imam ar-Razi berkata, “Yang diinginkan oleh seorang saudagar dari usahannya ialah dua hal: keselamatan modal dan laba.”
2. Imam an-Nasafi berkata, “Sesungguhnya tuntutandagang itu ialah selamatnya modal dan adnya laba.”
3. Ibnu Qudamah berkata, “laba itu ialah hasil pemeliharaan terhadap modal.”
4. At-habari berkata. “orang yang beruntung dalam perdagangannya ialah orang yang menukar barang yang dimilikinya dengan suatu tukaran yang lebih berharga dari barangnya semula.”

Teruskan Baca......

Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah

Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah


*

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)-
*

diambil dari milling list MES http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/



Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.



Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”



Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.



Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”



Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.



Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”



Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.



Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.



Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.



Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.



Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.



Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.



Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

Teruskan Baca......