SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI EARLY RIDHO KISMAWADI & SEMOGA BERMANFAAT, Jangan Lupa Tinggalkan Commentnya

Kamis, 29 Januari 2009

Reintegrasi Intelektual Dayah dan Kampus(Apresiasi atas tulisan Muhammad Dayyan)

Reintegrasi Intelektual Dayah dan Kampus

(Apresiasi atas tulisan Muhammad Dayyan)

[ penulis: Tgk. Mahfudh Muhammad, S.Pd.I |Serambi Online ]

SECARA umum, agama masyarakat Aceh dikawal dua lembaga tinggi; Dayah (Pesantren) dan PTI (Perguruan Tinggi Islam) baik negeri maupun swasta. Santri (sebutan peserta ajar Dayah) atau mahasiswa (sebutan di PTI) adalah generasi intelektual Islam, dan tradisi intelektualisme mereka berpengaruh pada perkembangan sosial keagamaan masyarakatnya.

Semangat intelektual itu, terlihat ketika seorang santri menghabiskan waktunya bertahun tahun untuk menghafal berbagai kitab, seperti kitab Alfiah( kitab Nahwu berisi 1000 bait karangan Ibnu Malik, ulama Andalusia) atau kitab Matn Sullam (kitab Manthiq yang terkenal karangan Abdurrahman Al-akhdhari) dan kitab lainnya. Umumnya kitab-kitab seperti itu ditulis berbentuk nadham (sastra yang huruf akhirnya sama) agar mudah dihafal oleh penuntut ilmu. Mereka tidak akan berpindah dari satu kitab ke kitab lain bila belum yang menamatkannya secara tuntas. Hal itu mereka lakukan bukan tanpa landasan ilmiah, tetapi merupakan aplikasi sebuah konsep yang dikemukakan oleh seorang tokoh pendidikan klasik; Az Zarnuji (Ta‘limul Muta‘alim,h.15)

Di samping kitab kitab berbentuk nadham, santri Dayah juga menghafal ta‘rif ta‘rif (definisi dari suatu istilah), qa‘idah (undang undang umum) dari berbagai disiplin ilmu; fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits (yang dikenal dengan ilmu pokok; ushul fiqh, ’ulumul hadits, nahwu, sharf, manthiq, bayan, ma‘ani, badi‘(yang dimasyhurkan dengan ilmu alat). Ketika membaca sebuah permasalahan ilmiah dalam kitab fiqh misalnya, mereka dituntut bisa mengaplikasikan hasil hafalan dan pemahamannya dalam ilmu alat ke dalam sebuah paragraf kitab yang sedang dibahas. Bahkan tak jarang hanya dalam satu kalimat atau kata, mereka harus bisa menganalisanya dari berbagai sudut pandang ilmu yang telah mereka hafal. Hal itu mereka lakukan, hanya untuk mengambil satu kesimpulan atau shurah yang benar benar ilmiah dan argumentatif.

Praktis, pembahasannya mendalam dan sistematis. Biasanya, pendalaman (tahqiq) seperti itu, baru mereka lakukan setelah menempuh proses pendidikan yang sangat melelahkan minimal tujuh tahun, bahkan sampai 15 tahun lebih. Tentu tak sedikit yang drop out, karena tak sanggup menempuh sistem demikian. Paling kurang mereka akan menjadi santri yang berada di zona aman yang hanya nginap di dayah sekedar tidak meninggalkan shalat atau memahami dan mengamalkan hukum fardhu ’ain saja. Itulah sekilas tradisi intelektualitas dayah, yang sampai sekarang masih berlangsung. Efektifkah sistem demikian di era TI (Teknologi Informasi) yang semakin berkembang? Mampukah dayah menjawab permasalahan kontemporer yang semakin kompleks?

Sementara dalam system perguruan tinggi, seorang mahasiswa -seolah dikejar waktu- masuk perpustakaan, meminjam beberapa buku yang berkaitan dengan judul makalah yang diberikan oleh sang dosen, atau membaca, mencatat dan mengcopy hal hal penting, kemudian mereka pergi ke rental komputer mengetik sendiri atau menyewa jasa pengetik kemudian mengeluarkan beberapa lembar rupiah sebagai gantinya.

Mahasiswa dilatih untuk mencari, memilah dan memilih kemudian mengambil kesimpulan berdasarkan analisa hasil bacaan. Sampai pada waktu yang ditentukan, mereka mempresentasikan makalah setebal 10-15 halaman tentang tema yang telah ditentukan, Ushul Fiqh misalnya. Kemudian mahasiswa lainnya mengajukan beberapa pertanyaan, dan muncullah diskusi di antara mereka, yang diakhiri dengan kesimpulan yang dipaparkan oleh dosen. Dalam waktu sekitar 90 menit mereka selesai membedah satu tema keagamaan. Dalam waktu sesingkat itu mereka bisa mengkaji 15 halaman, suatu hal yang kalau di dayah memerlukan waktu satu minggu baru tuntas pembahasannya. Tradisi seperti itu kini sedang berlangsun. Kebanyakan mahasiswa di PTI berasal dari MAN dan SMU, sangat sedikit yang berasal dari Pesantren terpadu dan dayah, bagaimana mereka bisa memahami fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir dan ilmu keislaman lainnya secara tuntas hanya dalam waktu empat tahun dan tidak mempunyai basic ilmu alat yang kuat?

Dualisme sistem pengembangan intelektualitas (Dayah dan Kampus) adalah suatu realita. Ini kemudian kerap menimbulkan pro-kontra. Sebagian kalangan kampus mengkritik metode pembelajaran di dayah. Mereka berkata” Dunia semakin berkembang, tak mungkin kita mempertahankan sistem seperti di dayah. Kita dituntut oleh waktu untuk terus berkreasi dan melahirkan inovasi baru. Adalah satu hal yang mustahil memunculkan ide ide baru, bila sistemnya hanya menghafal teks teks klasik yang tidak up to date dengan perkembangan zaman, permasalahan kontemporer memerlukan analisa kritis dengan sudut pandang komprehensif dengan memadukan berbagai pendapat para ahli dari berbagai mazhab. Sangat naïf, kalau kita hanya berpegang pada satu mazhab saja dan mengabaikan mazhab lainnya dan untuk apa menghabiskan waktu puluhan tahun, kalau pemikirannya tidak berkembang dengan bukti rendahnya produktivitas mereka dalam menulis “.

Kalangan dayah -seolah ingin membela diri- berujar “Kreasi dan inovasi apa yang bisa dilahirkan oleh intelektual kampus, kalau mereka belajar fiqh dari buku buku terjemahan, tanpa mengaplikasikan ilmu ilmu alat dalam teks teks arab yang rumit dan sulit, sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang valid dan tahan uji? Kalaupun mereka bisa membaca teks arab, analisa mereka akan mirip dengan khayalan belaka karena mereka tidak menghafal dan mendalami ilmu manthiq, nahw, sharf, qa‘idah dan ta‘rif? Bagaimana mau mengadopsi mazhab lain, kalau belajarnya tidak tuntas dari A-Z dari suatu permasalahan?

Mengkompromikan sistem

Sungguh agama Islam ini luas, lues dan komplek. Tidak hanya mazhab Syafi‘i saja. Jadi, kita harus eksklusif terhadap perubahan dan perbedaan pendapat, kemudian menghasilkan intelektual kampus yang mampu melahirkan karya hasil pemikiran mereka yang beroirentasi pada kontekstualitas. Sebab bila ditelusuri, bahwa lembaga kampus menciptakan sebuah paradigma berfikir secara universal dan komprehensif. Sementara, lembaga dayah menumbuhkan satu dinamika berfikir yang radikal (mendalam) dan tuntas dari suatu masalah berdasarkan mazhab tertentu, sehingga melahirkan ulama ulama yang berkompeten dalam mempertahankan aqidah ahlussunnah wal jama‘ah dengan menolak syubhat dan bid‘ah dalam agama.

Maka sangat ironis, ketika dua kubu ini saling menyikat dan menyikut, saling mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar. Padahal, mereka memiliki misi yang sama, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan. Namun, perbedaan metode dan prinsip telah menimbulkan dikhotomi pemikiran dalam dunia pendidikan Islam di Aceh.

Bagaimana mendamaikan konflik intelektual itu? Mungkinkah proses reintegrasi bisa berlangsung? Mengadopsi teori Ushul fiqh ketika kontradiksi dua dalil. Cara penyelesaiannya yang paling utama adalah dengan Al Jam‘u wa al taufiq (mengkompromikan kedua dalil tersebut dengan menempatkannya pada posisi masing masing). Maka bukan suatu yang mustahil, seperti diharapkan oleh saudara Muhammad Dayyan dalam ungkapannya” Para dosen yang berkecimpung dalam perguruan tinggi Islam perlu mempelajari tradisi ilmiah klasik, tradisi ilmiah kontemporer dan mengkombinasikan hal hal positif dari keduanya dan memperbaiki hal hal negatif dari keduanya”. Agaknya, inilah yang dimaksud dalam suatu qa‘idah fiqh, dikatakan “Al Muhafazhah ’ala al qadim al shalih wa al akhzu bi al jadid al ashlah” melestarikan tradisi (media) lama yang bagus dan mengadopsi tradisi (media) baru yang lebih bagus.

Mudah mudahan di Aceh akan lahir intelektual kampus (dosen dan mahasiswa) yang bisa menghafal dan mendalami Alfiah, Matn Sullam, Qaidah, Ta‘rif dan ilmu alat lainnya. Sehingga analisa, observasi dan eksplorasi ilmiah mereka lebih mendalam dan terarah. Juga akan tumbuh intelektual dayah (guru dan santri) yang bisa mengembangkan pemikiran dan berusaha melakukan pengkajian masalah kontemporer yang semakin berkembang, kemudian menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah, sehingga muzakarah dan mubahatsah mereka yang mendalam tidak terbawa arus zaman yang terus berubah. Mungkin, Dayah Mudi Mesra Samalanga saat ini telah melakukan inovasi ke arah itu dengan mendirikan STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Al ’Aziziyah, yang berdiri megah di depan Dayah. Semoga berhasil.

*) Penulis adalah Dosen STAI Al ’Azizyah Samalanga, mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar Raniry.

Teruskan Baca......

Mendobrak Kegamangan Fikih(Tanggapan atas tulisan Khairizzaman)

Mendobrak Kegamangan Fikih

(Tanggapan atas tulisan Khairizzaman)

[ penulis: Tgk. Mahfudh Muhammad, S.PdI | Serambi Online ]

MENARIK untuk dianalisis tulisan saudara Khairizzaman (Kz) berjudul “mendobrak tradisi fikih” (opini Serambi Indonesia, 6/12/2008). Kz mengilustrasikan santri dayah Aceh ibarat seorang “terdakwa” dengan melakukan tujuh “dosa besar”. Namun, menurut saya, tudingan itu terkesan juz‘i (parsial) dan cenderung digeneralisasi (kulli) secara paksa.

Ada tujuh “dosa besar” santri Dayah Salafi yang saya simpulkan berdasarkan “tudingan” saudara Kz dalam tulisannya. Pertama, pola pengajaran fikih di dayah salafi bersifat dogmatis, sangat sedikit mempertanyakan alasan keberadaan sebuah pendapat. Sehingga pola pikir dogmatis juga melekat dan mengental pada kelompok santri salafi.

Kedua, kaum santri sangat sedikit mengaitkan sebuah pendapat dengan realitas sosial kelahiran sebuah pendapat, asbabunnuzul yang melatari turunnya ayat serta asbabulwurud sebuah hadits, sehingga teks cenderung dilepaskan dari konteks.

Ketiga, pemikiran fikih kaum santri sangat berbahaya bagi upaya pengembangan fikih modern yang harus selalu mengartikulasi konteks supaya hukum Islam terhindar dari kevakuman. Keempat, paradigma berfikir fikih kaum santri akan mengantarkan mereka pada cara berfikir kebenaran hakiki hadir dalam persepsi manusia, bukan pada Tuhan.

Kelima, kaum santri cenderung menyamakan antara syari‘at dengan fikih. Mereka menganggap keduanya bersifat universal, absolut dan abadi. Keenam, kaum santri menganggap ijtihad sesuatu yang telah tertutup rapat. Ketujuh, kaum santri sudah terjebak dalam bahaya penggunaan “cara berfikir kemarin” untuk memecahkan masalah sekarang.

Itulah tujuh “dosa besar” kaum santri dayah menurut “fatwa” Kz dalam tulisannya. Benarkah begitu? Apakah bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah? Bagaimana metodologi Kz hingga menyimpulkan analisisnya? Saya menilai Kz hanya mengambil sampel dari sebagian santri yang mengikuti SPU program BRR. Itu tidak cukup untuk mewakili jumlah santri dayah salafi di seluruh Aceh. Metode seperti ini sangat tidak bisa menggambarkan realitas sebenarnya.

Secara metodoli, Kz harus mengambil sampel, jika respondennya lebih dari 100, maka sampelnya berkisar 20 sampai 25 persen. Artinya, bila jumlah santri dayah di Aceh mencapai puluhan ribu, maka Kz harus mengambil sampelnya paling kurang 10 persen, bukan hanya belasan santri. Agaknya Kz mengabaikan hal ini sehingga analisisnya mirip dengan “khayalan” dan cenderung mendistorsi fakta.

Saya menggunakan dua pendekatan untuk membedah analisis Kz, yaitu teoritis dan empiris. Secara teoritis, tak satupun dari kitab kitab yang dipelajari di dayah menyodorkan sebuah teori atau konsep yang menganjurkan para santri untuk mengamalkan tujuh “dosa besar” yang disebutkan Kz. Tapi yang kita dapatkan justru sebaliknya, banyak teks teks kitab kuning menganjurkan untuk; muzakarah dan mubahatsah (sebuah konsep yang memustahilkan kedogmatisan berfikir) dengan guru dan para ulama yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang argumentatif (Ta‘limul Muta‘allim: 30).

Kita tidak boleh menelan mentah mentah pendapat ulama. Tapi harus dinilai rajih (kuat) tidaknya ditinjau dari faktor internal; matan/teks harus berdasarkan dalil yang shahih dan faktor eksternal; kondisi ulama, kecerdasannya, ketakwaanya dan kewaraannya (Majmu‘ah Sab‘ah Kutub: 44). Dan juga tinjaun adat (kondisi sosial) masyarakat, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh “al `adah muhakkamah” adat kebiasaan dapat menjadi landasan hukum (Al Asybah wan Nadhair: 63).

Penuntut ilmu harus berusaha sekuat tenaga keluar dari belenggu taklid. Bahkan apabila ia mampu berijtihad, maka haram baginya untuk taklid (Waraqat: 23). Kita harus mengecek ulang status hukum suatu peristiwa, karena bisa jadi ’illat yang ada pada hukum itu sudah hilang, maka dengan sendirinya hukum itu tidak berlaku lagi. Sesuai dengan qa‘idah fiqh “al hukmu yaduru ma‘al ’illat wujudan wa ’adaman” hukum itu berorientasi pada ’illat, ada dan tiadanya (Tuhfatul Muhtaj, vol 4:113) Inilah sekilas konsep yang difahami dan diamalkan oleh santri dayah. Jadi, mengapa saudara Kz menuduh pemikiran fikih santri dayah bersifat dogmatis, statis dan jumud, padahal konsep yang mereka pelajari sangat ilmiah dan otentik?

Materi fikih itu sangat luas, mencakup ibadah, mu‘amalah, munakahah dan jinayah. Itupun dibagi lagi menjadi qath‘i dan dhanni. Demikian juga ada materi fikih yang ta‘abbudi (tidak bisa dilogikakan) dan ta‘aqquli (bisa dilogikakan) dan ada hukum yang ditetapkan berdasarkan adat. Kategori mana yang dimaksud oleh Kz harus berubah karena faktor sosial? Kalau Kz menjawab sebagian kategori dhanniyah yang bersifat ta‘aqquli atau sebagian hukum mu‘amalah yang bersifat dhanni dan dipengaruhi oleh adat dan ’illat, maka santri dayah sudah puluhan tahun memahami dan mengamalkannya.

Apa landasan Kz mengklaim santri dayah tidak berani mendobrak tradisi fikih? Pendobrakan fikih bukan seperti mendobrak “gerobak”. Perubahan hukum bukan laksana berubahnya “bunglon” karena beradaptasi dengan tempat. Tapi harus dilakukan oleh para ahli yang telah mendalami ratusan bahkan ribuan konsep “ilmu alat” yang sudah dibangun oleh Imam mujtahid zaman dahulu. Demikian halnya pintu ijtihad, tidak tertutup sampai akhir zaman. Tapi realitasnya “tidak ada” bukan “tidak boleh”. Siapapun yang memenuhi syarat untuk itu, maka “pintu” terbuka lebar baginya.

Masalahnya adalah, Kz terlalu menyederhanakan masalah (over simplication). Ungkapan Kz menyiratkan seolah fikih itu bisa berubah “semau gue” seperti yang dilakonkan oleh kaum liberalis ala JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla. Dan semua orang yang berfatwa tentang hukum suatu peristiwa baru di zaman modern langsung dikatakan “mujtahid”. Padahal mereka cuma menganalisis dengan memakai metode yang telah dibangun oleh imam mujtahid, bukan metode baru yang mereka temukan sendiri. Kalau begini realitasnya, santri dayah juga sudah melakukannya sedari dulu. Mereka sudah menganalisis berbagai persoalan kontemporer dengan menggunakan metode para imam mujtahid. Tapi mereka tidak menggambar-gemborkan bahwa itu adalah ijtihad. Mereka lebih layak disebut mufti, bukan mujtahid.

Yang mengherankan lagi, Kz menuduh santri dayah terjebak dalam bahaya penggunaan “cara berfikir kemarin” untuk memecahkan masalah sekarang. Padahal Kz menganjurkan penggunaan metodologi qiyas, istihsan, maslahah mursalah, sadduzzari‘ah yang notabenenya merupakan “cara berfikir kemarin” yang diproduk pada tahun II dan III H. Kz melarang sesuatu yang justru ia sendiri memerintahkannya. Nampaknya Kz terjebak dalam “perangkap” yang dibuatnya sendiri. Seorang Profesor fikih pada program Pascasarjana IAIN Arraniry berkata; “fikih yang dibangun oleh Imam mujtahid zaman dahulu adalah ibarat gedung megah bertingkat, sedangkan fikih modern yang muncul sekarang ini ibarat dekorasi dan perlengkapan tambahan sebuah gedung”. Jadi, apa dalil Kz menuduh pemikiran fikih santri dayah membahayakan fikih modern, kalau kenyataanya fikih modern justru terbina diatas fondasi fikih klasik?

Saya melihat santri Dayah adalah kaum yang sangat terbuka. Muzakarah (berdiskusi dan berdebat demi kebenaran) menjadi “makanan” mereka. Mereka tak segan segan mendobrak kesimpulan kawan dan lawan, bahkan sang guru tak luput dari debatan. Mereka berdebat untuk mencari kebenaran yang argumentatif. Biasanya, hanya santri “setengah matang”-kalau tidak dikatakan bodoh- yang terdogma mentah mentah oleh pemikiran guru. Tapi santri yang mempunyai daya nalar tinggi, ia akan terus mencari, menelaah dengan ilmu ilmu alat yang sudah mapan dibinanya selama puluhan tahun. Sehingga tak heran, ketika sebagian mereka belajar di kampus, gaya berdebat ala dayah kerap “merepotkan” sang dosen. Ini bukan berarti santri dayah sudah “maha sempurna”. Di antara kekurangan mereka yang harus diperbaiki -menurut saya- adalah sangat minimnya himmah dalam mengahafal Al Qur‘an sampai 30 juz dan kurangnya produktivitas mereka dalam menulis, sesuatu yang sangat kontras dengan dunia Islam lainnya.

Nampaknya, fenomena “mengkambinghitamkan” dayah bukan hanya hasil “ijtihad” Kz semata, tetapi lebih merupakan “ijtihad kolektif” sebagian “intelektual” yang melihat dan menilai dayah seperti orang buta yang memegang gajah. Ketika yang terpegang belalai gajah, ia bersikeras mengatakan gajah itu adalah bulat, panjang dan mengecil keujung. Ketika dikoreksi dan dijelaskan realitas gajah yang sebenarnya, ia akan menolak dan memberi argumen bantahan. Dinamika santri dan dayah ibarat seorang muslim dan agama Islam. Ketika ada sebagian orang Islam tidak shalat, suka berdusta dan tidak disiplin, apakah kita akan menyalahkan ajaran Islam yang begitu agung? Demikan juga, ketika ada sebagian santri “setengah matang” yang menampakkan ketidakilmiahannya dalam berfikir, apakah kita akan mengklaim dayah sebagai biang keladinya? Inilah “kegamangan” pola fikir sebagian “intelektual” terhadap tradisi fikih yang harus berani kita dobrak. Wallahu a‘lam bissawab.

*) Penulis adalah Dosen STAI Al ’Aziziyah, Samalanga, mahasiswa Pascasarjana IAIN Arraniry

Teruskan Baca......

Mendobrak Tradisi Fikih 1

Mendobrak Tradisi Fikih

[ penulis: Khairizzaman | Serambi Online ]

ANDIL keterbelakangan umat Islam, disinyalir akibat terpengaruh dengan teologi kadariah, terpengaruh dengan tradisi fikih yang diasumsikan mapan dan juga menganggap yang berasal dari negara-negara Barat semua haram. Tulisan ini hanya difokuskan pada ketergantungan tingkat tinggi kaum santri kepada tradisi fikih yang sudah ada, tanpa ada keberanian untuk mempertanyakan, mengkritisi, mendobrak apalagi membongkarnya. Padahal fikih merupakan produk material yang ditinggalkan generasi terdahulu kepada generasi sesudahnya.

Sebagai hasil ciptaan dan produk kreatifitas sadar manusia dalam episode sejarah yang silih berganti. Fikih bukanlah aksioma mapan yang harus selalu dipegang, tetapi lebih sebagai sesuatu yang dapat didiskusikan, direvisi dan diperdebatkan sepanjang waktu.

Sebagian umat Islam menganggap fikih sebagai sesuatu yang suci dan tidak boleh dilangkahi. Menepisnya dalam konteks tertentu justru dianggap tabu dan melampaui pewaris. Kecenderungan pemahaman seperti ini terekam dari diskusi panjang saya dengan santri dayah salafi yang tergabung dalam beberapa angkatan Program Studi Purna Ulama (SPU) dan magang santri ke pulau Jawa tahun 2007/2008, sebuah program investasi berharga bagi kelompok santri dari BRR di bawah Kedeputian Agama, Sosial dan Budaya. Mengapa para santri dayah salafi di Aceh tidak punya keberanian mendobrak tradisi fikih itu? Inilah pertanyaan utama yang hendak diulas dalam kajian ini.

Orientasi fikih dayah salafi

Dalam sejarah Aceh, dayah salafi sebagai lembaga pendidikan non formal telah mampu mewariskan proses transmisi, internalisasi dan tradisi keilmuan fikih yang sangat tinggi dibandingkan disiplin ilmu lain. Ilmu fikih terutama yang bermazhab Asy-Syafiì rata-rata dikuasai secara mendalam dan sangat menonjol dalam proses transformasi pengetahuan. Penguasaan santri terhadap tradisi fikih itu tidak perlu diragukan lagi, sehingga mereka menjadi tempat bertanya bagi masyarakat yang mempunyai problema dalam kehidupan sehari-hari.

Pola pengajaran fikih di dayah salafi pada umumnya dialihkan para guru kepada muridnya dengan gaya dogmatis yang sangat sedikit mempertanyakan alasan keberadaan sebuah pendapat, apalagi mengaitkan dengan realitas sosial kelahiran sebuah pendapat. Asbabun nuzul yang melatari turunnya ayat, asbabul wurud sebuah hadits, latar belakang lahirnya sebuah pendapat, sejarah sosial fikih sangat sedikit diapresiasikan dengan baik sehingga cenderung teks (pendapat) dilepaskan dengan konteks. Bukankah sebuah teks juga tidak lahir begitu saja tanpa konteks?

Bagaimanapun teks tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Teks terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis.

Dalam sejarah peradaban Aceh, santri dayah salafi diyakini sangat mengapresiasi fikih klasik yang terfragmentasi dalam berbagai lembaran kitab kuning. Khazanah itu dijadikan rujukan utama dalam menjawab semua persoalan, sehingga tidak jarang terkondisikan oleh realitas masa lalu secara apa adanya. Fenomena ini disadari atau tidak telah mempengaruhi pembentukan struktur kesadaran seseorang, sehingga pola pikir dogmatis juga melekat dan mengental pada kelompok santri salafi.

Kecenderungan itui bahkan diyakini telah merambah secara fundamental dalam pembentukan karakter, nalar dan prilaku sehari-hari masyarakat Aceh, apapun persoalan yang dihadapinya. Solusinya adalah kembali kepada fikih-fikih klasik, sehingga pola pikir sebagian masyarakat-pun terlihat sangat fikih oriented. Dampak sakralisasi fikih klasik sangat dominan dalam frame pemikiran kaum santri dan ini akan sangat berbahaya bagi upaya pengembangan fikih modern yang harus selalu mengartikulasikan konteks supaya hukum Islam terhindar dari kevakuman.

Kalau ditelaah realitas proses belajar mengajar kelompok santri, setidaknya ada beberapa alasan utama mengapa fikih klasik itu diadopsi penuh oleh kalangan santri. Pertama, fikih klasik itu dianggap sesuatu yang mapan, establish, tidak perlu ada pemaknaan dan pengkajian kembali sehingga santri dayah salafi melegitimasi fikih sebagai kebenaran ekslusif. Paradigma ini akan mengantarkan santri pada cara berfikir kebenaran hakiki hadir dalam persepsi manusia, bukan pada Tuhan

Kedua, belum terbedakan dengan jelas karakteristik syari’at dan fikih.Ini sangat penting dipahami secara proporsional agar tidak menimbulkan kerancuan terhadap fikih itu sendiri. Syari’ah adalah wahyu dan merupakan sumber ajaran paling fundamental, khitab Allah yang hakiki dan bersifat abadi, universal serta memiliki kebenaran mutlak. Sedangkan fikih adalah formula hasil kajian para fuqaha dalam usahanya menemukan hukum Tuhan. Karenanya kebenaran fikih ádalah relatif. Karakter fikih sangat varian, berwatak liberal dan mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu. Menyamakan syari’ah dan fikih berarti menganggap keduanya bersifat universal, absolut dan abadi. Sungguh ini suatu kekeliruan yang harus diperbaiki dalam pemikiran fikih kaum santri di Aceh.

Ketiga, menganggap ijtihad sesuatu yang telah tertutup rapat. Padahal ijtihad untuk menggali hukum-hukum Islam justru terbuka lebar bagi kelompok ulama yang mempunyai kapasitas berijtihad. Hal ini dibutuhkan karena banyak sekali persoalan yang dihadapi kaum muslimin tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah saw, apalagi era global ini yang mempunyai semangat zaman berbeda dengan masa Rasul dan tidak pernah ada apresiasinya dalam fikih klasik. Inilah celah kita mengembangkan pemikiran fikih apalagi setelah melihat fakta perbedaan kaídah yang digunakan imam mazhab sehingga melahirkan produk hukum fikih yang berbeda pula.

Fikih klasik sebagai ilmu praktis yang ditransformasikan oleh pembawa Islam terdahulu tetap saja dijadikan acuan membedah hukum generasi sekarang ini, tetapi tidak secara totalitas tanpa ada gugatan historisitas sedikitpun. Apalagi social setting dan waktu yang dihadapi sangat berbeda. Menerimanya secara utuh dan terlepas dari konteks sejarah kapan dan dimana ia lahir justru akan membuat kita terperangkap kepada bahaya terbesar yang menurut istilah Peter Drucker masuk kategori turbulensi. Yang berbahaya bukanlah turbulensi itu sendiri melainkan “cara berpikir kemarin” yang dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.

Suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa fikih itu ditulis para ulama terdahulu pada abad III dan IV H. Karena itu pasti butuh pemahaman yang lebih konstekstual agar tidak kehilangan perannya menjadi rambu bagi kehidupan masyarakat, menjadi tugas penting dan mendesak yang tidak bisa dihindari dan dielak. Karena itu diperlukan adanya keberanian untuk mendobrak sekurang-kurangnya mereformasi hukum Islam dan tidak mentolerir adanya kevakuman hukum dengan dalih ulama terdahulu tidak membicarakannya.

Dalam sejarah kelahirannya, bangunan fikih sering muncul ketika persoalan kemanusiaan di masyarakat mengemuka dan perlu direspons. Inilah yang membuat fikih disebut sumber dinamisme, dimana produk ijtihad juris Islam selalu dikreasikan sepanjang zaman. Sebagai sebuah kreasi (ijtihad), fikih tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah kapan dan dimana ia lahir. Dengan dasar pijakan ini, fikih tidak semata berupa teks tetapi juga realitas masyarakat fikih itu sendiri sebagai objeknya.

Paradigma alternatif

Di abad modern ini, umat Islam dihadapkan pada aneka masalah kontemporer yang sangat komplek seiring dengan perubahan zaman yang drastis, karena itu umat Islam mesti mendobrak tradisi fikih klasik dan tidak perlu ragu berijtihad menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan semangat zamannya. Kondisi ini sangat dipegaruhi oleh iklim proses belajar mengajar baru yang tidak dogmatis, bersifat mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali. Umat Islam perlu mendesign paradigma alternatif yang tidak “mengekor” pada masa sebelumnya, meski tidak berarti meninggalkannya secara totalitas.

Paradigma alternatif yang mungkin ditempuh adalah menghidupkan kembali tradisi berfikir manhaji (metodologis) dengan mengakomodasikan berbagai metode yang telah dirumuskan para ulama mazhab sunni terdahulu seperti qiyas, istihsan, maslahat mursalah, sadd zariàh dan lain-lain secara simultan. Artinya, nalar fikih yang dikembangkan ulama terdahulu harus dikembangkan kelompok santri salafi, sebab ia selalu mampu didialogkan kembali dengan setting social dan kultur baru setiap zaman. Jika ini dapat dipahami dengan baik maka klaim dan lebel jumud (stagnan) pada fikih menjadi kehilangan relevansinya.

Fikih harus diapresiasi dalam kerangka hukum produk setting dan budaya lokal, bukan internasional, produk hukum sezaman bukan setiap zaman, meskipun masih banyak fatwa-fatwa fikih yang masih relevan dengan situasi dan kondisi kekinian. Nalar fikih sesunguhnya sudah ada dan nyata dalam semangat ijtihad dan fatwa para ulama terdahulu. Sebagian nalar itu sudah terakomodir dalam kaídah-kaidah ushuliyyah dan fikhiyyah.

Para fuqaha telah mewariskan semangat dan nalar yang begitu berharga bagi generasi berikutnya yang harus diapresiasi dengan baik. Para santri harus memiliki “simbiosis-mutualisme” terhadap realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kepekaan yang kuat, pengamatan yang tajam dan daya analisis yang memadai harus ditunjukkan para santri dalam merespons fenemona-fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya. Dengan metode alternatif ini, para santri dayah salafi di Aceh diyakini akan terselamatkan kesadarannya dari ketersisihan dinamika sejarah dan keterkungkungan dalam benteng masa lampau. Perlu kita ingat bahwa masa lampau betapapun gemilang, indah dan megah, namun tetaplah telah berakhir dan terlewatkan.

*) Penulis adalah staf Dinas Syari’at Islam Kabupaten Pidie, Peneliti Pada PKPM Propinsi NAD.

Teruskan Baca......

Mendobrak Kegamangan Fikih

Mendobrak Kegamangan Fikih

(Tanggapan atas tulisan Khairizzaman)

[ penulis: Tgk. Mahfudh Muhammad, S.PdI | Serambi Online ]

MENARIK untuk dianalisis tulisan saudara Khairizzaman (Kz) berjudul “mendobrak tradisi fikih” (opini Serambi Indonesia, 6/12/2008). Kz mengilustrasikan santri dayah Aceh ibarat seorang “terdakwa” dengan melakukan tujuh “dosa besar”. Namun, menurut saya, tudingan itu terkesan juz‘i (parsial) dan cenderung digeneralisasi (kulli) secara paksa.

Ada tujuh “dosa besar” santri Dayah Salafi yang saya simpulkan berdasarkan “tudingan” saudara Kz dalam tulisannya. Pertama, pola pengajaran fikih di dayah salafi bersifat dogmatis, sangat sedikit mempertanyakan alasan keberadaan sebuah pendapat. Sehingga pola pikir dogmatis juga melekat dan mengental pada kelompok santri salafi.

Kedua, kaum santri sangat sedikit mengaitkan sebuah pendapat dengan realitas sosial kelahiran sebuah pendapat, asbabunnuzul yang melatari turunnya ayat serta asbabulwurud sebuah hadits, sehingga teks cenderung dilepaskan dari konteks.

Ketiga, pemikiran fikih kaum santri sangat berbahaya bagi upaya pengembangan fikih modern yang harus selalu mengartikulasi konteks supaya hukum Islam terhindar dari kevakuman. Keempat, paradigma berfikir fikih kaum santri akan mengantarkan mereka pada cara berfikir kebenaran hakiki hadir dalam persepsi manusia, bukan pada Tuhan.

Kelima, kaum santri cenderung menyamakan antara syari‘at dengan fikih. Mereka menganggap keduanya bersifat universal, absolut dan abadi. Keenam, kaum santri menganggap ijtihad sesuatu yang telah tertutup rapat. Ketujuh, kaum santri sudah terjebak dalam bahaya penggunaan “cara berfikir kemarin” untuk memecahkan masalah sekarang.

Itulah tujuh “dosa besar” kaum santri dayah menurut “fatwa” Kz dalam tulisannya. Benarkah begitu? Apakah bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah? Bagaimana metodologi Kz hingga menyimpulkan analisisnya? Saya menilai Kz hanya mengambil sampel dari sebagian santri yang mengikuti SPU program BRR. Itu tidak cukup untuk mewakili jumlah santri dayah salafi di seluruh Aceh. Metode seperti ini sangat tidak bisa menggambarkan realitas sebenarnya.

Secara metodoli, Kz harus mengambil sampel, jika respondennya lebih dari 100, maka sampelnya berkisar 20 sampai 25 persen. Artinya, bila jumlah santri dayah di Aceh mencapai puluhan ribu, maka Kz harus mengambil sampelnya paling kurang 10 persen, bukan hanya belasan santri. Agaknya Kz mengabaikan hal ini sehingga analisisnya mirip dengan “khayalan” dan cenderung mendistorsi fakta.

Saya menggunakan dua pendekatan untuk membedah analisis Kz, yaitu teoritis dan empiris. Secara teoritis, tak satupun dari kitab kitab yang dipelajari di dayah menyodorkan sebuah teori atau konsep yang menganjurkan para santri untuk mengamalkan tujuh “dosa besar” yang disebutkan Kz. Tapi yang kita dapatkan justru sebaliknya, banyak teks teks kitab kuning menganjurkan untuk; muzakarah dan mubahatsah (sebuah konsep yang memustahilkan kedogmatisan berfikir) dengan guru dan para ulama yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang argumentatif (Ta‘limul Muta‘allim: 30).

Kita tidak boleh menelan mentah mentah pendapat ulama. Tapi harus dinilai rajih (kuat) tidaknya ditinjau dari faktor internal; matan/teks harus berdasarkan dalil yang shahih dan faktor eksternal; kondisi ulama, kecerdasannya, ketakwaanya dan kewaraannya (Majmu‘ah Sab‘ah Kutub: 44). Dan juga tinjaun adat (kondisi sosial) masyarakat, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh “al `adah muhakkamah” adat kebiasaan dapat menjadi landasan hukum (Al Asybah wan Nadhair: 63).

Penuntut ilmu harus berusaha sekuat tenaga keluar dari belenggu taklid. Bahkan apabila ia mampu berijtihad, maka haram baginya untuk taklid (Waraqat: 23). Kita harus mengecek ulang status hukum suatu peristiwa, karena bisa jadi ’illat yang ada pada hukum itu sudah hilang, maka dengan sendirinya hukum itu tidak berlaku lagi. Sesuai dengan qa‘idah fiqh “al hukmu yaduru ma‘al ’illat wujudan wa ’adaman” hukum itu berorientasi pada ’illat, ada dan tiadanya (Tuhfatul Muhtaj, vol 4:113) Inilah sekilas konsep yang difahami dan diamalkan oleh santri dayah. Jadi, mengapa saudara Kz menuduh pemikiran fikih santri dayah bersifat dogmatis, statis dan jumud, padahal konsep yang mereka pelajari sangat ilmiah dan otentik?

Materi fikih itu sangat luas, mencakup ibadah, mu‘amalah, munakahah dan jinayah. Itupun dibagi lagi menjadi qath‘i dan dhanni. Demikian juga ada materi fikih yang ta‘abbudi (tidak bisa dilogikakan) dan ta‘aqquli (bisa dilogikakan) dan ada hukum yang ditetapkan berdasarkan adat. Kategori mana yang dimaksud oleh Kz harus berubah karena faktor sosial? Kalau Kz menjawab sebagian kategori dhanniyah yang bersifat ta‘aqquli atau sebagian hukum mu‘amalah yang bersifat dhanni dan dipengaruhi oleh adat dan ’illat, maka santri dayah sudah puluhan tahun memahami dan mengamalkannya.

Apa landasan Kz mengklaim santri dayah tidak berani mendobrak tradisi fikih? Pendobrakan fikih bukan seperti mendobrak “gerobak”. Perubahan hukum bukan laksana berubahnya “bunglon” karena beradaptasi dengan tempat. Tapi harus dilakukan oleh para ahli yang telah mendalami ratusan bahkan ribuan konsep “ilmu alat” yang sudah dibangun oleh Imam mujtahid zaman dahulu. Demikian halnya pintu ijtihad, tidak tertutup sampai akhir zaman. Tapi realitasnya “tidak ada” bukan “tidak boleh”. Siapapun yang memenuhi syarat untuk itu, maka “pintu” terbuka lebar baginya.

Masalahnya adalah, Kz terlalu menyederhanakan masalah (over simplication). Ungkapan Kz menyiratkan seolah fikih itu bisa berubah “semau gue” seperti yang dilakonkan oleh kaum liberalis ala JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla. Dan semua orang yang berfatwa tentang hukum suatu peristiwa baru di zaman modern langsung dikatakan “mujtahid”. Padahal mereka cuma menganalisis dengan memakai metode yang telah dibangun oleh imam mujtahid, bukan metode baru yang mereka temukan sendiri. Kalau begini realitasnya, santri dayah juga sudah melakukannya sedari dulu. Mereka sudah menganalisis berbagai persoalan kontemporer dengan menggunakan metode para imam mujtahid. Tapi mereka tidak menggambar-gemborkan bahwa itu adalah ijtihad. Mereka lebih layak disebut mufti, bukan mujtahid.

Yang mengherankan lagi, Kz menuduh santri dayah terjebak dalam bahaya penggunaan “cara berfikir kemarin” untuk memecahkan masalah sekarang. Padahal Kz menganjurkan penggunaan metodologi qiyas, istihsan, maslahah mursalah, sadduzzari‘ah yang notabenenya merupakan “cara berfikir kemarin” yang diproduk pada tahun II dan III H. Kz melarang sesuatu yang justru ia sendiri memerintahkannya. Nampaknya Kz terjebak dalam “perangkap” yang dibuatnya sendiri. Seorang Profesor fikih pada program Pascasarjana IAIN Arraniry berkata; “fikih yang dibangun oleh Imam mujtahid zaman dahulu adalah ibarat gedung megah bertingkat, sedangkan fikih modern yang muncul sekarang ini ibarat dekorasi dan perlengkapan tambahan sebuah gedung”. Jadi, apa dalil Kz menuduh pemikiran fikih santri dayah membahayakan fikih modern, kalau kenyataanya fikih modern justru terbina diatas fondasi fikih klasik?

Saya melihat santri Dayah adalah kaum yang sangat terbuka. Muzakarah (berdiskusi dan berdebat demi kebenaran) menjadi “makanan” mereka. Mereka tak segan segan mendobrak kesimpulan kawan dan lawan, bahkan sang guru tak luput dari debatan. Mereka berdebat untuk mencari kebenaran yang argumentatif. Biasanya, hanya santri “setengah matang”-kalau tidak dikatakan bodoh- yang terdogma mentah mentah oleh pemikiran guru. Tapi santri yang mempunyai daya nalar tinggi, ia akan terus mencari, menelaah dengan ilmu ilmu alat yang sudah mapan dibinanya selama puluhan tahun. Sehingga tak heran, ketika sebagian mereka belajar di kampus, gaya berdebat ala dayah kerap “merepotkan” sang dosen. Ini bukan berarti santri dayah sudah “maha sempurna”. Di antara kekurangan mereka yang harus diperbaiki -menurut saya- adalah sangat minimnya himmah dalam mengahafal Al Qur‘an sampai 30 juz dan kurangnya produktivitas mereka dalam menulis, sesuatu yang sangat kontras dengan dunia Islam lainnya.

Nampaknya, fenomena “mengkambinghitamkan” dayah bukan hanya hasil “ijtihad” Kz semata, tetapi lebih merupakan “ijtihad kolektif” sebagian “intelektual” yang melihat dan menilai dayah seperti orang buta yang memegang gajah. Ketika yang terpegang belalai gajah, ia bersikeras mengatakan gajah itu adalah bulat, panjang dan mengecil keujung. Ketika dikoreksi dan dijelaskan realitas gajah yang sebenarnya, ia akan menolak dan memberi argumen bantahan. Dinamika santri dan dayah ibarat seorang muslim dan agama Islam. Ketika ada sebagian orang Islam tidak shalat, suka berdusta dan tidak disiplin, apakah kita akan menyalahkan ajaran Islam yang begitu agung? Demikan juga, ketika ada sebagian santri “setengah matang” yang menampakkan ketidakilmiahannya dalam berfikir, apakah kita akan mengklaim dayah sebagai biang keladinya? Inilah “kegamangan” pola fikir sebagian “intelektual” terhadap tradisi fikih yang harus berani kita dobrak. Wallahu a‘lam bissawab.

*) Penulis adalah Dosen STAI Al ’Aziziyah, Samalanga, mahasiswa Pascasarjana IAIN Arraniry

1

Teruskan Baca......

Rabu, 28 Januari 2009

Ekonomi Kapitalis

Ekonomi Kapitalis
by Early ridho kismawadi
Ekonomi kapitalis adalah sebuah sebuah sistem ekonomi yang memberikan kebebasan penuh kepada para pelaku ekonomi,dalam sistem ekonomi kapitalis pemerintah dapat turut serta unuk memestikan kelancaran perekonomian, dan dapat pula pemerintah tidak turut campur tangan. Persaingan bebas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem perekonomian ini untuk memperoleh laba sebesar besarnya dengan berbagai cara.
Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, tumbuh aliran pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).
Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar “Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita dapat makan siang,” kata Smith “akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.” (Robert L. Heilbroner;1986, UI Press). Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, pada akhirnya melahirkan ekonomi Kapitalis.
Milton H. Spencer (1977), menulis dalam bukunya Contemporary Economics: “Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.”
Pandangan ekonomi kapitalis terhadap apa yang harus di produksi, bagaimana menggunakan faktorfaktor produksi, dan untuk siapa barang tersebut harus di produksi.
a. Dalam hal apa yang harus di produksi,secara umum menyangkut dengan hal-hal yang berkaitan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, dan secara khusus menyangkut dengan kesesuaian antara kebutuhan manusia dan daya beli. Peningkatan produksi sebanyak-banyaknya secara mikro, dan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tinggiya bila dipandang dari teori makronya.
b. Pemanfatan faktor-faktor produksi berprinsipkan dengan menggunakan faktor-faktor produksi seminimal mungkin dengan hasil yang semaksimal mungkin.
c. dalam perekkonomian kapitalis menjawab tentang untuk siapa baran di produksi dijawab dengan teori harga.
Pandangan ekonomi kapitalis terhadap nilai (value) barang
Pandangan mengenai nilai(value)barang dalam perekonomian kapitalis setidaknya membahas 2 hal,pertama nilai guna (utility value), dan nilai tukar (exchange value)
Semakin banyak satuan suatu barang dikonsumsi individu, semakin kecil guna batas yang diperoleh orang tersebut, bahkan akhirnya menjadi negatif. Teori ini dikenal sebagai “hukum guna batas yang semakin menurun” (the law of diminishing marginal utility) yang dikenal juga dengan sebutan “hukum gossen I”, karena pandangan ini pertama kali dikemukakan oleh Hermann Heirich Gossen (1810-1858 M)
Yang dimaksud nilai guna suatu barang dan jasa dalam kapitalisme ditentukan oleh penilaian subyektif individu dari satu unit atau beberapa unit barang yang dikonsumsinya pada saat mencapai kepuasan maksimum. Dengan demikian berdasarkan “hukum guna batas yang semakin menurun”, pada titik tertentu nilai guna suatu barang menurun, pada titik tertentu pula suatu barang tidak dianggap berguna bagi individu, dan bahkan pada titik negatif barang tersebut dianggap sama sekali tidak berguna. Dalam pandangan ini, maka seorang individu dituntut mengkonsumsi barang sebanyak-banyaknya (rakus) sampai batas kepuasan maksimum bukan sampai batas sesuai kebutuhan.
Nilai tukar (exchange value) didefinisikan sebagai kekuatan tukar suatu barang dengan barang lainnya atau nilai suatu barang yang diukur dengan barang lainnya (An Nabhani: 10: 2000). Untuk menghindari kesalahan penaksiran nlai tukar maka diciptakanlah sebuah alat yang disebut alat tukar, biasanya berupa emas ataupun uang (harga) Jadi harga merupakan sebutan khusus nilai tukar suatu barang. Atau dapat dikatakan perbedaan antara nilai tukar dengan harga adalah niai tukar merupakan penisbatan pertukaran suatu barang dengan barang-barang lainnya secara mutlak, sedangkan harga merupakan penisbatan nilai tukar suatu barang dengan uang.
Kekuatan permintaan (demand) dan kekuatan penawaran (supply) menentukan tingkat harga barang dan jasa. Logika teori ini tidak terjadi secara mutlak dan mengharuskan adanya syarat-syarat (asumsi) agar teori tersebut terjadi, seperti faktor-faktor lainnya dianggap tetap (cateris paribus)
Harga dalam perekonmian kapitalis berperan sebagai stnadar nilai barang dan peranannya dalam menentukan kegiatan produksi – konsumsi – distribusi

Teruskan Baca......

Perbedaan Akuntansi Syariah & Konvensional

Perbedaan akuntansi syariah & konvensional
By Early Ridho Kismawadi

Perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Berikut Ini adalah PSAK(Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syari'ah)

Teruskan Baca......

Tujuan Keamanan Sistem Informasi

Tujuan Keamanan Sistem Informasi

by Early ridho kismawadi

Keamanan sistem mengacu pada perlindungan terhadap semua sumberdaya informasi organisasi dari ancaman oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Institusi/organisasi menerapkan suatu program keamanan sistem yang efektif dengan mengidentifikasi berbagai kelemahan dan kemudian menerapkan perlawanan dan perlindungan yang diperlukan. Keamanan sistem dimaksudkan untuk mencapai tiga tujuan utama yaitu; kerahasiaan, ketersediaan dan integritas.

1. Kerahasian. Setiap organisasi berusaha melindungi data dan informasinya dari pengungkapan kepada pihak-pihak yang tidak berwenang. Sistem informasi yang perlu mendapatkan prioritas kerahasian yang tinggi mencakup; sistem informasi eksekutif, sistem informasi kepagawaian (SDM), sistem informasi keuangan, dan sistem informasi pemanfaatan sumberdaya alam.

2. Ketersediaan. Sistem dimaksudkan untuk selalu siap menyediakan data dan informasi bagi mereka yang berwenang untuk menggunakannya. Tujuan ini penting khususnya bagi sistem yang berorientasi informasi seperti SIM, DSS dan sistem pakar (ES).

3. Integritas. Semua sistem dan subsistem yang dibangun harus mampu memberikan gambaran yang lengkap dan akurat dari sistem fisik yang diwakilinya.

Kesimpulan

  1. Seiring dengan perkembangan lingkungan bisnis yang rumit dan lingkungan yang dinamis tuntutan terhadap keberadaan Sistem informasi manajemen adalah menjadi kebutuhan.
  2. Sistem informasi manajemen adalah serangkaian sub sistem informasi yang menyeluruh dan terkoordinasi secara rasional dan yang mentransformasikan data menjadi informasi dengan berbagai cara sehingga dapat meningkatkan produktifitas selain juga harus disesuaikan dengan gaya dan watak para manajernya.
  3. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab gagalnya membangun SIM, antara lain :

 Kurang organisasi yang wajar

 Kurangnya perencanaan yang memadai

 Kurang personil yang handal

 Kurangnya partisipasi manajemen dalam bentuk keikutsertaan para manajer dalam merancang sistem, mengendalikan upaya pengembangan sistem dan memotivasi seluruh personil yang terlibat.

  1. Kemampuan teknis sistem komputer :
    • Pemrosesan data batch
    • Pemrosesan data tunggal
    • Pemrosesan on-line, real time
    • Komunikasi data dan switching pesan
    • Pemasukan data jarak jauh dan up date file
    • Pencarian records dan analisis
    • Pencarian file
    • Algoritme dan model keputusan
    • Otomatisasi kantor.

5.Keamanan dalam sistem informasi manajemen merupakan salah satu hal yang sangat penting dan diperlukan suatu sistem pengamanan yang handal untuk memperoleh keamanan dalam informasi sebuah perusahaan dan organis

Teruskan Baca......